Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215174 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Lydia Freyani Hawadi
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan skala identifikasi anak berbakat yang bisa digunakan oleh orang bukan psikolog di Sekolah Dasar serta melihat ketepatan peramalan dari skala identifikasi anak berbakat dalam membedakan kelompok anak berbakat dengan kelompok anak tidak berbakat. Keberadaan anak berbakat tidak saja diakui oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara namun juga oleh Undang-Undang No.2 Tahun1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian anak berbakat yang digunakan adalah mengacu pada definisi anak berbakat dari United States Office of Education (USOE) dan konsep keberbakatan dari Renzulli.
Melalui definisi anak berbakat dari USOE diperoleh pemahaman adanya berbagai pengertian "berbakat" dan salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbakat dalam bidang intelektual. Sedangkan dari konsep keberbakatan Renzulli diperoleh pemahaman bahwa yang dimaksud dengan anak berbakat adalah mereka yang memenuhi persyaratan pada tiga aspek yaitu aspek inteligensi umum di atas rata-rata, kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas.
Proses awal identifikasi yang lazim digunakan adalah menggunakan tes inteligensi namun cara ini dianggap memakan biaya, waktu dan tenaga. Untuk itu ada cara lain yang dianjurkan adalah cara metode majemuk yang merupakan kombinasi dari penggunaan tes inteligensi dengan observasi dan studi kasus yang diperoleh dari sumber-sumber di sekitar anak. Melalui cara metode majemuk diharapkan bahwa proses identifikasi bagi anak berbakat di Indonesia akan menjadi lebih mudah. Alat identifikasi yang dikembangkan dan disusun dalam penelitian ini meliputi Skala Nominasi oleh Guru, Skala Nominasi oleh Teman Sebaya dan Skala Nominasi oleh Diri Sendiri.
Sampel penelitian terdiri dari 1975 murid Sekolah Dasar kelas 4,5 dan kelas 6 Sekolah Dasar negeri maupun Sekolah Dasar Swasta yang ada di Wilayah DKI Jakarta. Melalui penjaringan yang dilakukan dengan tes inteligensi CFIT Skala 2B dan diikuti oleh tes yang mengukur keberbakatan Renzulli yaitu tes inteligensi WISC-Adapatasi Indonesia, tes kreativitas TKF dan Skala Pengikatan diri terhadap tugas diperoleh sebanyak 67 anak berbakat. Kriteria keberbakatan yang ditetapkan adalah taraf inteligensi 120 ke atas, taraf kreativitas 110 ke atas dan taraf pengikatan diri terhadap tugas 132 ke atas.
Hipotesis penelitian yang ditegakan mencakup adanya hubungan yang positif dan bermakna antara masing-masing skala identifikasi anak berbakat dengan variabel keberbakatan dan adanya nilai rata-rata pada masing-masing skala identifikasi anak berbakat dari kelompok anak berbakat secara bermakna lebih tinggi dari pada kelompok anak tidak berbakat.
Disamping hipotesis, penelitian juga ingin menjawab pertanyaan deskriptif yang menyangkut besarnya ketepatan peramalan dari ketiga skala identifikasi anak berbakat di atas dan alat identifikasi anak berbakat manakah yang mempunyai bobot yang besar dalam membedakan kelompok anak berbakat dengan kelompok anak tidak berbakat."
Depok: Universitas Indonesia, 1993
D101
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Vidiyanto
"ABSTRAK
Quality of School Life (QSL) adalah kesejahteraan dan kepuasan peserta didik
secara umum pada kehidupan di sekolahnya, dipandang dari pengalaman positif
dan negatif mereka di sekolah dan aktivitasnya di sekolah (Linnakyla, 1996). QSL
merupakan salah satu bentuk dari persepsi sosial. Sebagaimana dikatakan oleh
Baron dan Byrne (2000) bahwa persepsi sosial merupakan proses yang terjadi
manakala seseorang berusaha untuk mengetahui dan memahami orang lain atau
situasi, maka dalam QSL hendak dilihat bagaimana peserta didik mempersepsi
kehidupan di sekolahnya. Menurut William dan Batten (dalam Mok & Flynn,
1997) dalam QSL terkandung 7 dimensi yang terkait dengan kepuasan peserta
didik terhadap sekolahnya, yaitu kepuasan peserta didik secara umum terhadap
sekolahnya, perasaan negatif peserta didik terhadap sekolahnya (karena samasama
membahas tentang perasaan peserta didik maka oleh peneliti kedua dimensi
ini digabungkan dalam dimensi perasaan-perasaan peserta didik selama di
sekolah), dimensi hubungan dengan guru, sense of achievement di sekolah,
peluang (opporiunily) peserta didik menghadapi masa depan, pembentukan
identi.tas peserta didik di sekolah, serta harga diri dan status peserta didik di
sekolah.
Pada penelitian ini, hendak dilihat bagaimana persepsi QSL antara peserta
didik yang berasal dari SMU di daerah rural dan urban Bekasi karena
sebagaimana prinsip reciprocal determinism yang diutarakan oleh Bandura
(dalam Hall & Lindzey, 1985) bahwa perilaku manusia selalu berhubungan
dengan lingkungan dan proses persepsinya. Sehingga dari penelitian ini dapat
diketahui apakah ada persamaan atau perbedaan persepsi terhadap QSL antara
peserta didik di rural dan urban serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
persamaan maupun perbedaan tersebut. Penelitian ini menjadi penting karena
persepsi peserta didik terhadap sekolah akan berpengaruh terhadap tingkat
kenyamanan selama berada di sekolahnya yang kelak akan berimbas pada hasil
prestasi belajarnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengambilan
data melalui wawancara. Wawancara dilakukan terhadap 4 subyek yaitu 2 subyek
berasal dari SMU di daerah rural dan 2 subyek dari SMU di daerah urban Bekasi.
Subyek diambil dari peserta didik SMA dikarenakan ketika SMA, seseorang
mulai memasuki masa remaja akhir dimana perubahan emosinya semakin
meninggi seiring perubahan pada fisik dan psikologisnya (Hurlock, 1992),
tekanan peer group-nya pun semakin besar (Papalia, Olds & Feldman, 2001),
serta mulai dituntut untuk mempersiapkan karir dan vikasionalnya (Havighurst
dalam Sukadji, 2000).
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa ada beberapa persamaan dan tidak
ditemukan perbedaan yang cukup besar mengenai gambaran QSL antara peserta
didik SMU yang berada di daerah rural dan urban Bekasi. Persamaan utama yang
dijumpai diantaranya, keempat subyek sama-sama merasa nyaman di sekolah
dikarenakan dapat berinteraksi dengan teman-teman dan merasa tidak puas
dengan fasilitas yang tersedia di sekolahnya, hal ini terkait dengan aspek dalam
QSL yaitu pembentukan identitas peserta didik di sekolah dan aspek perasaanperasaan
peserta didik selama berada di sekolah. Persamaan lainnya adalah samasama
menilai kepuasan terhadap aspek hubungan dengan guru berdasarkan
potensi dan kepribadian guru. Selain itu, terkait dengan dimensi peluang
(opportunily) peserta didik menghadapi masa depan, semua subyek menyatakan
bahwa sekolah belum memberikan bekal yang cukup untuk menghadapi masa
depan.
Berdasarkan penelitian ini dapat diajukan beberapa saran guna memperbaiki
penelitian selanjutnya, diantaranya melengkapi pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini dengan metode kuantitatif agar dapat diperoleh gambaran QSL dari
peserta didik secara menyeluruh. Selain itu, perlu juga ditambahkan data dari
significant others serta penentuan lokasi rural yang masih belum banyak terkena
imbas modernisasi agar terlihat perbedaannya. Kemampuan peneliti dalam
menggali dan mengolah data pun perlu ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan
kredibilitas penelitian. Adapun saran praktis yang dapat peneliti sampaikan
diantaranya; sekolah hendaknya mampu mengefektifkan peran bimbingan
konseling (BK) guna membantu peserta didik mengarahkan karir dan
vokasionalnya, guru pun hendaknya mampu menjalin komunikasi yang baik serta
memberikan teladan pada peserta didik. Selain itu, pihak sekolah diharap dapat
menyertakan peserta didik dalam penetapan suatu kebijakan lokal di sekolah dan
mampu pula mengusahakan kelengkapan sarana dan prasarana sehingga aktivitas
belajar mengajar dapat berjalan optimal."
2004
S3446
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami Ayuningsih Mariani Soedarsono
"Autisme meningkat pesat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tahun 2000-an diperkirakan 1 per 150 anak menyandang autisme di setiap penjuru dunia, termasuk Indonesia. Salah satu karakteristik autisme adalah adanya kekurangan dalam interaksi sosial dan komunikasi. Anak autistik tampak tidak tertarik untuk bermain bersama teman dan lebih suka menyendiri. Perkembangan bahasanya lambat dan bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi (APA dalam Welton, Vakil dan Caresea, 2004). Pendidikan inklusi merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak autistik (Diknas, 2001), di mana di dalam pendidikan inklusi anak diikutsertakan dalam proses pembelajaran bersama anak-anak normal lainnya. Pendidikan inklusi mempunyai hubungan yang positif dalam memperbaiki komunikasi dan interaksi sosial bagi anak autistik (Kamps, 2002).
Namun berdasarkan pengamatan yang tidak sistematis dan tidak formal yang dilakukan penulis di beberapa sekolah dasar di Jakarta menunjukkan bahwa anak autistik yang ikut serta dalam pendidikan inklusi belum memperlihatkan perkembangan yang nyata dalam komunikasi dan interaksi sosialnya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu penelitian untuk melihat bagaimana hubungan antara pendidikan inklusi dengan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial anak autistik di sekolah dasar yang diikutinya di Jakarta.
Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental dengan melakukan penelitian di lapangan. Metode penelitian yang dipakai adalah pendekatan kuantitatif dengan menguji hipotesis melalui metode korelasi. Sampel penelitian adalah 21 anak autistik yang tersebar pada 14 SD negeri dan swasta di DKI Jakarta. Alat ukur berupa kuesioner dibuat sendiri oleh penulis khusus untuk penelitian ini, di mana data diambil melalui guru dan orang tua mereka.
Hasil analisis memperlihatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan inklusi dengan perkembangan komunikasi dan interaksi sosial pada anak autistik. Hal ini disebabkan pendidikan inklusi pada penelitian ini belum memiliki seluruh komponen yang menjadi kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusi. Hal ini dibuktikan bahwa mayoritas sekolah regular menerima anak autistik tanpa didasari pengetahuan tentang kondisi anak, pelatihan guru, pendataan anak, serta tidak adanya persiapan sebelum menerima anak. Selain itu tidak adanya data yang lengkap tentang kondisi anak sebelum mengikuti pendidikan inklusi maka data yang diperoleh hanya data kondisi komunikasi dan interaksi sosial saat ini sehingga tidak dapat diperoleh berapa besar perkembangannya. Namun mayoritas anak autistik yang ikut serta dalam pendidikan inklusi di sekolah regular memperoleh kemajuan, baik di bidang komunikasi, interaksi sosial, akademik, motorik maupun kemandirian.
Kesimpulan penelitian ini adalah perlunya kesiapan sekolah dengan memiliki seluruh komponen yang menjadi kriteria penyelenggaraan pendidikan inklusi, serta perlunya pendataan bagi siswa yang ikut serta dalam pendidikan inklusi secara lengkap dan akurat untuk melihat perkembangannya. Saran dari penelitian ini adalah adanya kolaborasi dari semua pihak untuk bersama-sama membantu anak autistik agar memperoleh kemajuan, serta perhatian yang nyata (konkrit) dari instansi pemerintah terkait untuk kemajuan pendidikan anak autistik di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seta Ariawuri Wicaksana
"ABSTRAK
Mutu pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih harus diperbaiki agar
ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain tidak semakin jauh. Lebih penting lagi adalah
agar bangsa Indonesia mampu mengatasi persaingan ketat dalam era globalisasi
yang sedang dan akan dirasakan pengaruhnya (Djojonegoro dalam Widiasih, 2001).
Usaha peningkatan mutu pendidikan seharusnya dimulai dari sekolah, tempat proses
belajar-mengajar berlangsung. Tanpa mempertiatikan kebutuhan proses belajarmengajar
yang berlangsung di dalam kelas, usaha peningkatan mutu pendidikan
tidak akan memiliki dampak bagi perbaikan pendidikan nasional (dalam Kompas,
2002).
Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di Indonesia tiap kali ada
pergantian kurikulum (pergantian kurikulum di Indonesia yang terjadi berdasarkan
arahan kebijakan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN)). Selama 20 tahun
terakhir saja paling tidak sudah empat jenis kurikulum yang diberlakukan, yakni
Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang akhir-akhir ini dikenal dengan kurikulum 2004.
Keberhasilan suatu kurikulum ditentukan beberapa faktor, salah satu yang
utama adalah guru. Guru yang berkualitas baik dapat melaksanakan tuntunan
kurikulum secara maksimal, bahkan guru dapat mengembangkan kurikulum itu lebih
baik daripada yang tertulis. Ketersediaan guru yang mampu melaksanakan program
pengajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum sangatlah besar peranannya
dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah digariskan (Suwandi, 1995).
Pada tahun 2005, KBK akan dilaksanakan secara serentak agar KBK dapat
berjalan dengan baik diharapkan guru memiliki sikap yang baik terhadap KBK karena
sikap merupakan faktor utama dalam menju profesionalisme guru dalam mengajar
khususnya dalam pelaksanaan KBK (Maister dalam Hasan, 2003). Melihat
pentingnya sikap guru terhadap KBK, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran
sikap guru SD Negeri (guru bidang studi / kelas) terhadap KBK yang akan
diaplikasikan tahun 2005 yang akan datang.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik skala sikap Likert untuk
mengetahui gambaian sikap guru SDN terhadap KBK. Menurut Edwards (1957),
skala sikap adalah alat yang mudah, tidak rumit, cepat dan dapat mencakup
sejumi jn responden sekaligus. Skala sikap memungkinkan untuk mengetahui derajat
perasaan responden terhadap obyek sikap. Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian deskriptif. Menurut Hyman (dalam Koentjaraningrat, 1994) penelitian
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu
gejala atau adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya
dalam masyarakat. Dalam penelitian ini melibatkan 53 guru di empat SDN di Jakarta antara lain
SD Negeri 01 Kelapa Gading, SD Negeri 05 Pegangsaan Dua, SD Negeri 07
Pegangsaan Dua, dan SD Negeri 011 Pondok Labu, yang telah mendapatkan
penataran atau sosialisasi mengenai KBK. Di dapatkan hasil bahwa sikap guru-guru
di keempat SDN tersebut memiliki sikap positif terhadap KBK.
Disarankan pada penelitian selanjutnya untuk memperdalam dan
memperkaya hasil penelitian ini dapat dilakukan tidak hanya dengan menggunakan
metoda kuantitatif tetapi dilengkapi juga dengan metode kualitatif, misalnya dengan
wawancara mendalam atau Focus Group Discussion (FGD), agar diperoleh alasan
yang lebih lengkap mengenai pandangan dari masing-masing guru."
2004
S3332
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Permasari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2282
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Jakarta Utara merupakan daerah dengan insidens demam berdarah dengue (DBD) tinggi di Provinsi DKI Jakarta. Untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat DBD masyarakat khususnya guru sekolah perlu diberikan pengetahuan mengenai pertolongan pertama pada DBD. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan mengenai pertolongan pertama DBD pada guru swasta di Jakarta Utara. Desain penelitian ini adalah pre-post study dan data diambil pada tanggal 22 September 2011. Semua guru yang hadir saat penyuluhan dijadikan subyek penelitian. Data diambil dengan kuesioner yang berisi lima pertanyaan mengenai pertolongan pertama sebelum dan sesudah penyuluhan. Data diproses dengan SPSS versi 11,5 dan diuji dengan marginal homogeneity. Hasilnya menunjukkan dari 82 responden, guru perempuan 34 orang (41,5%) dan laki- laki 48 orang (58,5%). Hasil pre-test, guru yang memiliki tingkat pengetahuan baik adalah 3 orang (3,7%), cukup 13 orang (15,9%), dan kurang 66 orang (80,5%). Pada post-testjumlah guru dengan pengetahuan baik menjadi 5 orang (6,1% ), cukup 26 orang (31,7%), dan kurang 51 orang (62,2%). Uji marginal homogeneity menunjukkan perbedaan bermakna pada tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah penyuluhan (p<0,01). Disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan guru mengenai pertolongan pertama DBD.

Abstract
North Jakarta has high incidence of dengue haemorrhagic fever (DHF). To reduce DHF mortality and morbidity, teachers need to be educated on DHF first aid. The purpose of this research is to determine the effectiveness of health education on DHF first aid on private teachers in North Jakarta. Research design was pre-post study and data was taken on September 22nd, 2011. Teachers who attended the session were taken as subjects. Data was taken by questionnaires consisting of 5 questions about DHF first aid, and was tested before and after the education. Data was processed using SPSS version 11.5 and tested with marginal homogeneity. Out of 82 respondents, 34 (41.5%) were female teachers and 48 (58.5%) were male teachers. Pretest results showed level of nowledge as follows: 3 (3.7%) were good, 13 (15.9%) were moderate, and 66 (80.5%) were poor. After the education, it was as follows: 5 (6,1%) were good, 26 (31.7%) were moderate, and 51 (62.2%) were poor. Marginal homogeneity showed significant difference on knowledge before and after the education (p<0.01). To conclude, health education is effective to increase knowledge on DHF first aid."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Savitri
"Maslach memandang burnout sebagai sindrom psikologis yang meliputi tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan low personal accomplishment (Maslach, 1982; 1993). Dimensi kelelahan emosional mencerminkan terkurasnya sumber-sumber diri sehingga individu tidak mampu memberikan pelayanan dengan baik. Kemudian dimensi depersonalisasi ditandai oleh kecenderungan individu bersikap negatif dan sinis terhadap penerima pelayanan. Sedangkan dimensi low personal accomplishment mengacu pada penilaian negatif terhadap kinerja diri.
Fenomena burnout umumnya dialami oleh profesional yang bekerja di bidang pelayanan sosial. Maslach (1993) serta Pines dan Aronson (1993) berpendapat bahwa para profesional di sektor pelayanan sosial selalu dituntut untuk memberikan pelayanan dengan baik. Hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan yang bersifat asimetris menyebabkan pemberi pelayanan dituntut secara kontinyu memperhatikan kesejahteraan penerima pelayanan. Padahal selama proses pemberian pelayanan mereka menghadapi situasi yang kompleks sehingga rentan terhadap emosi negatif. Situasi yang kompleks tersebut misalnya penerima pelayanan yang tidak kooperatif, beban kerja, konflik dengan rekan kerja, sampai masalah birokrasi. Dengan berjalannya waktu energi pemberi pelayanan akan terkuras sehingga berkembanglah fenomena burnout.
Dalam memahami proses burnout memang tidak terlepas dari teori stres umum (Chemiss, 1980). Ia menjelaskan Iebih lanjut, burnout diawali oleh adanya persepsi individu terhadap tuntutan pekerjaan yang berlebihan (stres). Kemudian individu berupaya mengatasi ketidaknyamanan akibat stres (coping). Ketika upaya mengatasi pemwasalahan selalu menemui kegagalan, individu menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut menyebabkan individu menggunakan mekanisme pertahanan intrapsikis seperti menjaga jarak dari klien serta memperlakukan mereka secara sinis. Simtom-simtom tersebut mencerminkan individu mengalami burnout.
Peneliti tertarik untuk melihat burnout pada guru SLB tuna ganda, yaitu individu yang mengajar siswa yang memiliki Iebih dari satu kelainan. Dawson dkk., (dalam Stieler, 1994) mengatakan bahwa guru SLB tuna ganda rentan terhadap timbulnya frustrasi karena menghadapi karakteristik siswa yang tidak responsif, labil secara emosi, dan daya tangkap siswa sangat terbatas. Kondisi ini menuntut perhatian dan pelayanan guru terus menerus secara individual. Selain itu tugas-tugas guru SLB tuna ganda pun beragam, selain melayani siswa secara individual, mereka juga memodifikasi perilaku siswa, menjalin kerjasama dengan orangtua dan profesional lain, serta menyelesaikan tugas-tugas tambahan lain. Dengan beragamnya tuntutan yang dihadapi guru SLB tuna ganda maka dengan berjalannya waktu, rnereka rentan terhadap burnout. Dengan demikian permasalahan yang ingin diteliti adalah bagaimanakah gambaran burnout yang dialami guru SLB tuna ganda pada dimensi kelelahan emosional, depersonalisasi, dan low personal accomplishment? Faktor-faktor apa sajakah yang merupakan sumber burnout?, serta bagaimanakah proses berkembangnya burnout yang dialami oleh guru SLB tuna ganda?
Melalui wawancara mendalam diperoleh hasil sebagai berikut gambaran dimensi kelelahan emosionai ditandai dengan perasaan frustrasi, lelah secara psikologis, jenuh, dan tidak berdaya yang bersifat kronis. Kemudian gambaran dimensi depersonalisasi yang tercermin dari informan adalah kehilangan idealisme terhadap siswa, sikap apatis untuk menerapkan metode Iain, malas mengajar, serta perilaku mudah membentak siswa. Adapun dimensi low personal accomplishment yang dialami informan meliputi perasaan gagal sebagai guru, meragukan kompetensi diri, merasa tidak berharga, tidak ada keinginan untuk mengembangkan potensi diri di pekerjaan, tidak memiliki target (kecuali demi meraih kepangkatan), serta perasaan putus asa terhadap pekerjaannya.
Adapun sumber-sumber burnout yang diperoleh dari penelitian ini meliputi empat matra yaitu keterlibatan dengan siswa, lingkungan kerja, individu, dan keluarga. Matra keterlibatan dengan siswa tuna ganda yaitu perasaan jenuh. kesal, dan Ielah menghadapi perubahan pada siswa yang sangat Iambat karena karakteristik siswa tuna ganda yang keterbelakangan mental, daya tangkap terbatas, labil secara emosi, serta tidak mampu menolong diri. Kondisi tersebut selalu menuntut kesabaran dan kompetensi guru untuk mengulang-ulang pelajaran dalam jangka waktu yang Iama. Sedangkan matra lingkungan kerja sebagai sumber burnout meliputi beban kerja secara kuantitas dan kualitas, konflik dengan rekan, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, konflik peran, ambiguitas peran, jalur komunikasi dari atas tidak jelas, sikap orangtua tidak kooperatif, serta dukungan sosial yang tidak dirasakan dari rekan dan atasan. Adapun matra individu yang merupakan sumber burnout adalah harapan yang tidak realistis terhadap siswa, konsep diri yang tergolong rendah, sikap tertutup, penekanan keberhasilan pada hasil akhir, locus of control cenderung eksternal, kurang gigih dalam berusaha, dan penghayatan terhadap makna kerja untuk mencapai kemapanan secara materi. Sedangkan matra keluarga yaitu konflik peran pada wanita bekerja.
Penelitian ini juga memperoleh hasil bahwa burnout yang dialami informan berkembang karena strategi coping yang tidak adekuat dalam menghadapi permasalahan siswa dan permasalahan lain di tempat kerja. Informan menggunakan strategi coping yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan emosional (emotion-regulating function), seperti penghindaran terhadap masalah, penyangkalan terhadap masalah, maupun upaya melupakan permasalahan. Penggunaan strategi coping tersebut disebabkan oieh kegagalan berulang kali dalam mengembangkan siswa. Ada sejumlah faktor internal dan eksternal yang turut mempengaruhi kegagalan dalam mengembangkan siswa. Faktor eksternal meliputi karakteristik psikologis siswa tuna ganda dan sikap orangtua yang tidak kooperatif. Sedangkan faktor internal yang turut andil menyebabkan kegagaian dalam mengembangkan siswa meliputi: harapan yang tidak realistis terhadap siswa, locus of control cenderung eksternal, ragu terhadap kompetensi diri dan kurang gigih dalam berusaha. Penggunaan strategi coping yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan emosional memang adaptif untuk jangka pendek. Namun jika berlangsung lama, ternyata tidak efektif. Permasalahan yang dihadapi informan tetap muncul karena karakteristik siswa tuna ganda yang dihadapi informan merupakan stressor yang kronis. Dengan bertambahnya waktu energi informan terfokus untuk mengatasi pemasalahan yang tidak kunjung dapat diatasi sehingga semakin lama menguras sumber-sumber diri informan. Pada akhirnya informan mengalami humour, yaitu kelelahan emosional. Kemudian keIelahan emosional tersebut menyebabkan perkembangan depersonalisasi dan low personal accomplishment.
Penelitian ini juga mendapatkan informan yang tidak mengalami burnout. Proses yang dialami informan yang tidak mengalami burnout yaitu mereka menggunakan strategi coping yang mengarah pada pemecahan masaIah. Hal ini tampak dari membuat program yang disesuaikan dengan kemampuan siswa, berkonsultasi dengan rekan, pakar, dan atasan mengenai masalah pekerjaan, selalu mencoba metode secara konsisten, membuat suasana belajar yang berbeda, serta mengisi hidup secara variatif. Penggunaan strategi coping tersebut dilakukan setelah informan dapat 'menerima keterbatasan siswa tuna ganda apa adanya'. Selanjutnya penggunaan strategi coping yang mengarah pada pemecahan masalah menyebabkan informan meraih keberhasilan dalam mengembangkan siswa setahap demi setahap. Keberhasilan yang diraih secara bertahap tersebut mengembangkan sense of personal accomplishment.
Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga perlu dikembangkan untuk penelitian selanjutnya dengan menggunakan desain korelasional maupun penelitian longitudinal untuk memahami keterkaitan antara sumber burnout, burnout, dan dampak dari burnout di Indonesia. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan pendekatan lain seperti pendekatan organisasional terhadap burnout. Sedangkan saran metodologis untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan triangulasi metodologis. Adapun saran praktis untuk informan yang mengalami burnout yaitu konseling karir untuk menetapkan harapan yang realistis serta menyadari kekuatan dan keterbatasan diri. Selain itu pemberian pelatihan seperti pelatihan keterampilan sosial dan pelatihan strategi coping yang adaptif, akan membantu informan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan mengatasi masalah. Pihak sekolah sebaiknya membentuk support group untuk mengembangkan dukungan sosial antara sesama guru maupun guru dengan orangtua siswa."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2656
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>