Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100565 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steven Giovanni Sugiarto
"Penulis akan membahas mengapa korupsi masih terjadi di Indonesia, terlepas dari semua upaya yang telah dilakukan. Indonesia, sebagai salah satu negara yang dianggap kotor oleh beberapa indeks, sebenarnya dipandang sebagai salah satu negara yang telah memperkenalkan banyak agenda tentang bagaimana menghadapinya. Esai ini akan membahas beberapa inisiatif yang telah dibuat, lalu mengapa korupsi masih berlanjut. Tiga alasan termasuk, predator-elit, fraud-triangle, dan budaya korupsi. Beberapa rekomendasi yang mungkin tentang apa yang bisa dilakukan juga akan dibahas.

The writer will be discussing why corruption persists in Indonesia, despite all of the efforts that have been made. Indonesia, as one of the countries considered corrupted by several indexes, has actually being seen as one of the countries that had introduced numerous agendas on how to deal with it. This essay will discuss several initiatives that have been made, then why then corruption still persists. Three reasons are included, predatory-elites, fraud triangle, and culture of corruption. Several possible recommendations on what could be done will also be discussed"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirullah
"Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti korupsi yang lahir pada masa bergulirnya reformasi pada Mei 1998. Kelahiran ICW tidak terlepas dari konteks perubahan sosial dan politik yang ada pada saat itu. Dan korupsi ini menjadi salah satu isu dari berbagai isu lainnya yang dihembuskan oleh kalangan mahasiswa dalam rangka melengserkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Selain itu, ICW sebagai salah satu aktor gerakan sosial yang menghendaki adanya perubahan sosial. Yaitu ingin menghilangkan praktek-praktek dan sistem pemerintahan yang penuh dengan nuansa koruptif.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui latar belakang kelahiran ICW dalam konteks perubahan sosial politik dan ingin mengetahui strategi gerakan anti korupsi yang dilakukan oleh ICW. Untuk perlu dipahami latar belakang kemunculan ICW. Selain itu, perlu diketahui juga arah, karakter dan aksi program ICW dalam mewujudkan perjuangannya yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini, penyusun menggunakan kerangka konseptual, yaitu; teori gerakan sosial, konsep korupsi dan konsep LSM. Adapun yang dimaksud dengan gerakan sosial itu ialah sebagai upaya kolektif yang mengupayakan suatu kepentingan bersama atau menjamin suatu tujuan bersama melalui tindakan bersama di luar dari kelembagaan yang mapan. Sedangkan korupsi itu yaitu suatu monopoli kekuasaan dengan kewenangan yang dipegangnya tapi tanpa adanya akuntabilitas. Terus, LSM itu ialah organisasiorganisasi privat yang secara umum memperoleh atau mendapat dukungan keuangan dari lembaga-lembaga donor internasional dan yang mengkonsentrasikan diri mereka dalam merancang, memperlajari dan melaksanakan program dan projek di negara-negara berkembang.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ICW termasuk salah satu bentuk gerakan sosial yang ada di Indonesia. ICW dalam melaksankan visi dan misi organisasinya terdapat berbagai aksi program pemberantasan korupsi. Beberapa cakupan aktifitas ICW dapat dilihat dari pelaksanaan divisi monitoring pelayanan publik, divisi korupsi, dan divisi hukum dan monitoring peradilan. Sedangkan untuk strategi gerakan yang dipergunakan oleh ICW yaitu; aliansi, jaringan, publikasi, individu atau organisasi. Untuk pendekatan gearakannya yaitu penelitian, investigasi, advokasi, kampanye, altematif kebijakan. Secara tipologi, ICW tergolong dalam LSM advokasi dengan beberapa karakteristik, yaitu; pemantauan, terminasi dan penilaian. Dalam aksi program ICW banyak melakukan kontrol publik, baik terhadap negara maupun sektor swasta.
Tipologi ICW dimasukkan ke dalam kategori LSM advokasi. Hal ini sejalan juga dengan temuan-temuan dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa beragamnya pendekatan dan strategi yang dipergunakan ICW. Pada awal kelahiran ICW, lembaga ini berfungsi sebuah sebagai lembaga watchdog. Tapi dalam perkembangan selanjutnya terdapat pendekatan lainnya seperti riset dan kebijakan altematif. Sedangkan strategi ICW yaitu menggunakan jaringan (networking) dalam menjalankan perjuangan organisasinya. Secara teoritis, bila menggunakan tipologi Tim Lindsey tadi, maka ICW termasuk ke dalam tipe LSM advokasi. Namun dalam tipe advokasi juga terdapat berbagai macam variannya yaitu tipe advokasi supporter, tipe advokasi partner dan tipe advokasi main actor. Berdasarkan kerangka analisis dan temuan lapangan menunjukkan bahwa ICW masuk ke dalam tipe advokasi partner. Yaitu membuat jaringan dengan organisasi rakyat dan LSM lain. Demikian dapat disimpulkan bahwa ICW merupakan sebuah LSM anti korupsi-advokasi-partner.
Di dalam penelitian ini, penyusun menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Sedangkan untuk pengumpulan data dilakukan dengan cara, yaitu; Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Kedua. dokumen (documentation). Dan ketiga, observasi (observation). Untuk nara sumber dalam wawancara mendalam ini yaitu; dari pihak Pendiri ICW, Dewan Etik ICW dan Badan Pekerja ICW.
Sedangkan rekomendasinya yaitu sebagai berikut Pertama, untuk menambah daya dorong dalam gerakan anti korupsi di Indonesia, ICW perlu terus menggalang kekuatan rakyat secara massif dalam pemberantasan korupsi. Kedua, di dalam memperkuat dan menjaga kesinambungan kelembaagaan ICW dapat melakukan penggalangan dana dari masyarakat sebagai salah satu bentuk peran aktif dalam gerakan anti korupsi.. Ketiga, ICW perlu juga melakukan kajian-kajian tentang strategi dan pendekatan gerakan anti korupsi lainnya dengan belajar dari pengalaman negara-negara lain. Keempat, ICW perlu membangun juga jaringan dengan kalangan perguruan tinggi. Ini dapat membangun kerja sama yang sinergis terutama dalam tinjauan akademik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifulloh Ramdani
"Skripsi ini membahas tentang pemberantasan korupsi di Indonesia oleh Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada kurun waktu 1967-1977. Penelitian ini menggunakan teknik penulisan metode sejarah (Heuristik, kritik, interpretasi, dan penulisan secara kronologis). Hasil penelitian menyatakan bahwa TPK tidak berhasil memberantas korupsi secara keseluruhan. Hal itu disebabkan oleh adanya hambatanhambatan yang dihadapi TPK. Hambatan-hambatan tersebut antara lain keterbatasan kewenangan yang diberikan oleh UU No.24/Prp/1960 dan ketidakkonsistenan Pemerintah dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan TPK.

This thesis discussed about eradication of corruption in Indonesia by the Corruption Eradication Team (TPK) in the period 1967-1977. The research used technique writing with historical method (Heuristic, critic, interpretation, and chronological). The study result that TPK unsuccessful eradicating corruption overall. It was caused by the obstacles faced by the TPK. These obstacles include the limited authority granted by Law No.24/Prp/1960 and inconsistencies Government in supporting efforts to eradicate corruption by TPK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S60572
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Resmana
"Dengan memfokuskan korupsi pada level provinsi, thesis ini memeriksa apakah korupsi oleh pemerintah daerah aka mempengaruhi tingkat kemiskinan. Panel data dengan pendekatan “fixed effect” diimplementasikan pada data level provinsi dari tahun 2007 sampai dengan 2010. Dengan menggunakan temuan audit, hasil regresi menunjukan bahwa korupsi pemerintah daerah memiliki korelasi positif dengan kejadian kemiskinan. Jika provinsi-provinsi di Indonesia mengurangi korupsi, ini akan berkontribusi pada semakin banyak orang keluar dari kemiskinan. Hasil penelitian ini menekankan pada pentingnya penyempurnaan intitusi seperti pemberantasan korupsi dalam kebijakan pengentasan kemiskinan. Kebijakan anti korupsi sangat dibutuhkan agar program-program pengentasan kemiskinan lebih effisien.

Focusing on the provincial corruption level, this thesis examines whether local government corruption influences the regional poverty rate. In this paper, a fixed approach panel data method is implemented to a provincial level data set from 2007 to 2010. Using audit findings as measurement of provincial corruption level, the results show that local government corruption has positive correlation with poverty incident. If provinces in Indonesia reduce their corruption level, it contributes more people moving out of poverty. This study highlight the important of institutional improvement i.e. the corruption eradication effort in the poverty reduction policy. Thus, anti-corruption policies are necessary for anti-poverty programs to be efficient."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T39324
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wartiningsih
"Hingga saat ini Indonesia masih menghadapi masalah korupsi atas keuangan negara yang masih tinggi meskipun upaya perbaikan sistem laporan keuangan yang berkualitas sudah diterapkan. Di sisi lain, dengan sistem desentralisasi dan pemilihan langsung atas lembaga legislatif dan eksekutif pemerintahan, divided government akan mendorong terjadinya proses checks and balances yang juga dapat mengurangi korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran sistem pelaporan keuangan sebagai bentuk dari good governance dan peran divided government terhadap korupsi. Dengan tidak menggunakan variabel korupsi yang berupa persepsi karena bersifat subjektif dan cenderung bias, studi ini menggunakan data korupsi yang bersifat inkracht sehingga dapat menggambarkan kasus korupsi yang sebenarnya terjadi.
Hasil studi menunjukkan bahwa good governance dengan indikator opini BPK yang diperoleh pemerintah kabupaten/kota belum bersifat substantif menggambarkan penggunaan keuangan negara. Akibatnya korupsi masih tetap terjadi pada wilayah yang sudah memperoleh opini terbaik. Sedangkan divided government yang seharusnya mendorong adanya checks and balances justru memunculkan ruang untuk negosiasi dan membuat peluang terjadinya korupsi semakin besar. Terlepas dari hal itu, upaya pemberantasan korupsi pada era pertama presiden Jokowi lebih baik dibandingkan periode sebelumnya.

Indonesia still faces the problem of corruption in the country's finances which are still high even though efforts to improve the quality of the financial report system have been implemented. Furthermore, with a decentralized and direct election system of the legislative and executive institutions, divided government will encourage the process of checks and balances which can reduce corruption. This study aims to investigate the role of financial reporting systems as a representation of good governance and the role of divided government against corruption. Instead of using corruption perception variables which are subjective and susceptible to be biased, this study uses inkracht corruption data that can describe corruption cases that actually occur.
The results of the study show that good governance approached by Audit Board of the Republic of Indonesia (Badan Pemeriksa Keuangan - BPK) opinion indicators obtained by district/city governments have not been substantively describing the use of state finances. As a result, corruption still occurs in the regions even for those which have obtained the best opinion. Whereas divided government, which should encourage checks and balances, promotes situations for negotiations and makes the chances of corruption occurring even greater. Despite on that fact, efforts to eradicate corruption in President Jokowi's first era were better than the previous government.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T54163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deri Yanto
"Korupsi adalah salah satu permasalahan utama di negara berkembang, terutama korupsi dalam pengadaan barang jasa. Penelitian ini membahas korelasi audit belanja dan perilaku korupsi pengadaan barang jasa pada pemerintah daerah di Indonesia. Penelitian dilakukan dalam konteks peran Badan Pemeriksa Keuangan Indonesia (BPK RI), yang secara acak melakukan audit tujuan tertentu, audit belanja. Penelitian ini menemukan bahwa audit belanja yang dilakukan pada periode sebelumnya berkorelasi terhadap perubahan perilaku korupsi pengadaan barang jasa pada pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan mengurangi perilaku korupsi sebagai implikasi dari perubahan pandangan dan rekalkulasi expected cost korupsi berdasarkan pengalamannya diaudit.

Corruption is one of the main problems in developing countries, especially corruption in the public procurement. This paper examines the correlation government expenditure audit and local government corruption behavior. We do so in the context of Supreme Audit Board of Indonesia (BPK RI) authority, which randomly does special purpose audit on government expenditure. This study found that the government expenditure audit carried out in the previous period correlated with changes in local government corruption behavior. Local governments will reduce corruption behavior as an implication of changing views and calculating expected cost corruption based on their experience of being audited."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T52819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suha Qoriroh
"Keberadaan lembaga anti-korupsi dinilai penting untuk menanggulangi persoalan korupsi yang hampir terjadi di setiap negara. Penelitian ini akan mengkaji tentang mengapa diperlukan integrasi kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia dan bagaimana model kelembagaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di masa yang akan datang. Metode penelitian ini berbentuk penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan dan komparasi dengan lima negara: Singapura, Hong Kong, Lithuania, Latvia dan Korea Selatan. Hasil penelitian menunjukkan ada dua urgensi untuk mengintegrasikan kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu: Pertama, tidak efektifnya sistem the multi agency yang melibatkan lembaga pemerintah (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya disebabkan karena tumpang tindih kewenangan penyidikan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK. Kedua,kegagalan badan antikorupsi yang pernah ada yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi sejak pasca kemerdekaan sampai era reformasi dan tingginya angka korupsi di indonesia yang melibatkan kedua lembaga tersebut. Penelitian ini mengusulkan model pemberantasan korupsi the single agency, dengan menjadikan KPK sebagaisatu-satunya lembaga yang berwenang dalam memberantas korupsi. Perbandingan dengan 5 negara lain menunjukkan model the single agency bukan hal yang baru dan sudah diterapkan oleh Singapura, Hong Kong dan Korea Selatan. Performa model ini terbukti dapat meningkatkan CPI masing-masing negara sehingga lebih efektif dalam memberantas korupsi. Lembaga antikorupsi adalah lembaga negara penunjang dalam cabang kekuasaan eksekutif yang independen, hal ini dapat dilihat berdasarkan fungsi, wewenang dan pertanggungjawaban lembaga antikorupsi tersebut. Penelitian ini memberikan tiga catatan terhadap perbaikan KPK di masa yang akan datang dengan menguatkan independensi structural, fungsional dan administrasi KPK. Saran kepada MPR agar mulai mengkaji dan menjadikan KPK sebagai lembaga negara penunjang yang independen dalam konstitusi dan bagi pembentuk undang-undang untuk menyelaraskan dan melengkapi instrument hukum yang mumpuni dalam pemberantasan korupsi.

The existence of an anti-corruption agency is considered important to overcome the problem of corruption that occurs in almost every country. This research will examine why it is necessary to integrate the authority of corruption eradication agencies in Indonesia and how the institutional model for the Corruption Eradication Commission will be in the future. This research method is in the form of normative legal research through literature studies and comparisons with five countries: Singapore, Hong Kong, Lithuania, Latvia, and South Korea. The results of the study show that there are two urgencies to integrate the authority of corruption eradication agencies in Indonesia, namely: First, the ineffectiveness of the multi-agency system involving government agencies (the Police and the Attorney General's Office) in eradicating corruption. One reason is the overlapping investigative powers between the police, prosecutors, and the KPK. Second, the failure of anti-corruption agencies that have involved the police and prosecutors in eradicating corruption from the post-independence era to the reform era and the high rate of corruption in Indonesia involving these two institutions. This study proposes the single agency model of eradicating corruption, by making the KPK the only institution authorized to eradicate corruption. Comparison with 5 other countries shows that the single-agency model is not new and has been implemented by Singapore, Hong Kong, and South Korea. The performance of this model is proven to be able to increase the CPI of each country so that it is more effective in eradicating corruption. The anti-corruption agency is a supporting state institution in the independent branch of executive power, this can be seen based on the function, authority, and accountability of the anti-corruption agency. This research provides three notes on future improvements to the KPK by strengthening the structural, functional, and administrative independence of the KPK. Suggestions to the MPR to start reviewing and making the KPK an independent supporting state institution in the constitution and for legislators to align and complement qualified legal instruments in eradicating corruption."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Jakarta: Fakultas Hukum, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar Abubakar
"Korupsi merupakan salah satu masalah fundamental yang dihadapi bangsa Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak lima dekade yang lalu, namun upaya tersebut belum dilakukan dengan efektif. Salah satu sebab ketidakefektifan upaya pemberantasan korupsi adalah tidak adanya kolaborasi antarinstitusi dalam pemberantasan korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pola dan dampak relasi antarinstitusi serta membangun model collaborative governance dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa wawancara mendalam, diskusi terarah, dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses kolabporasi pemberantasan korupsi di Indonesi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disampaikan oleh Ansell dan Gash, yaitu kondisi awal; kepemimpinan fasilitatif; ketidakseimbangan kewenangan; sumber daya manusia, dan anggaran antarinstitusi; insentif dan batasan untuk berpartisipasi; dan desain kelembagaan, serta beberapa faktor yang secara khusus ditemukan di Indonesia, yaitu: integritas SDM pemangku kepentingan; budaya masyarakat yang permisif terhadap korupsi; kondisi politik yang berbiaya tinggi; dan budaya organisasi patron client institusi pemberantasan korupsi. Dari temuan faktor-faktor tersebut, peneliti merumuskan pola relasi antarinstitusi dalam pemberantasan korupsi. Pola relasi tersebut berdampak pada belum efektifnya upaya pemberantasan korupsi. Model collaborative governance dalam pemberantasan korupsi disusun dengan modifikasi model yang digagas oleh Ansell dan Gash. Modifikasi terdapat pada dua hal, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi collaborative governance dan urutan dalam proses kolaborasi. Terkait urutan dalam proses kolaborasi, kepemimpinan yang fasilitatif dan teladan menjadi inisiator proses kolaborasi. Untuk memberantas korupsi di Indonesia, presiden harus tampil sebagai fasilitator dan teladan, terutama dalam menginisiasi dialog tatap muka antarinstitusi terkait dalam rangka penyusunan strategi utama pemberantasan korupsi.

Corruption is one of the fundamental problems facing by Indonesian. Corruption eradication efforts have been carried out since five decades ago, but these efforts have not been done effectively. One of the reasons for the ineffectiveness of anti-corruption efforts is the absence of inter-institutional collaboration in eradicating corruption. This study aims to analyze the patterns and impacts of inter-institutional relations and to build collaborative governance model in eradicating corruption in Indonesia. The research was conducted by qualitative approach with data collection method in the form of in-depth interview, focus group discussion, and existing statistic. The results showed that the process of eradicating corruption in Indonesia is influenced by the factors conveyed by Ansell and Gash, namely the initial condition; facilitative leadership; imbalance of authority; human resources, and anti-institutional budget; incentives and limitations to participate; and institutional design, and several factors that are specifically found in Indonesia, namely: the integrity of key stakeholder; a permissive culture of society against corruption; high-cost political conditions; and patron client organizational culture. From the findings of these factors, the researcher formulated the inter-institutional relationship pattern in corruption eradication. The relationship pattern has an impact on the effectiveness of anti-corruption efforts. Collaborative governance model in eradicating corruption is developed by modification of model initiated by Ansell and Gash. Modification exists in two ways, namely factors affecting collaborative governance and sequencing in the process of collaboration. Regarding sequences in the collaboration process, facilitative leadership and role models become the initiators of the collaborative process. To combat corruption in Indonesia, the president must emerge as facilitator and role model, especially in initiating face-to-face dialogue in the framework of preparing a grand strategy to eradicate corruption."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesalonika
"Penulisan ini membahas mengenai proporsionalitas penghukuman dalam kasus korupsi di Indonesia. Korupsi merupakan pelanggaran hak asasi berupa hak sosial dan ekonomimasyarakat. Sehingga korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang memerlukanpenanganan secara luar biasa pula. Penanganan yang diharapkan adalah hukuman yangdirasa adil. Dalam kasus korupsi, keadilan tersebut diharapkan dapat dirasakan olehmasyarakat karena pelaku korupsi telah merugikan negara dan dampak dari korupsidapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat. Untukdapat mendapatkan hukuman yang adil maka hukuman tersebut seharusnyaproporsional. Penulis mengambil data dari laporan yang dibuat ICW yangmenunjukkan bahwa penghukuman dalam kasus korupsi masih belum proporsionalkarena masih banyak terdapat disparitas pemidanaan. Penulis menggunakan dua konsepdalam menentukan hukuman yang proporsional yaitu faktor keseriusan kejahatan danfaktor individu pelaku. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukumanyang seharusnya diterapkan agar hukuman tersebut proporsional melalui dua konseptersebut dan masyarakat merasakan keadilan.

This writing discusses the proportionality of punishment on corruption cases inIndonesia. Corruption i a violation of human rights in the form of social and economicrights of society. Because of that, corruption is seen as a extraordinary crime thatrequires extraordinary handling as well. The expected treatment is a punishment that isfair. In the case of corruption, justice is expected to be perceived by the society becauseof the perpetrators of corruption have been detetrimental to the State and the impacts ofcorruption could be felt directly and or indirectly by the community. To be able to get afair punishment then the punishment should be proportionate. The author retrieve datafrom a report by ICW that shows the punishment on corruption cases is still notproportional because there are still many dsiparities in punishment. The author uses twoconcepts in determining the punishment that is proportional to the seriousness of crimeand individual factors of the perpetrator. This writing aims to find out how thepunishment should be applied so that the punishment is proportional through the twoconcepts and the public can feel justice through a proportional punishment."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>