Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 141237 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Fadhilah Suralaga
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh jawaban tentang hubungan antara sikap orang tua terhadap anak berbakat dan "Task Commitment" siswa berbakat dengan prestasi belajar. Penelitian dilaksanakan pada dua SMU unggulan (SMU Plus) di Jakarta, yaitu SMUN 70 dan SMUN 68.
Subyek penelitian dipilih dengan menggunakan teknik "Purposive Sampling" yaitu memilih anak berbakat berdasarkan data skor inteligensi (IQ ? 120) dam Tes Inteligensi Kolektif Indonesia -- Tinggi (TIKI-T) dan skor kreativitas (CQ 110) dari Tes Kreativitas Verbal (TKV- Konstruksi Utami Munandar). Dan 655 siswa kelas II, jumlah subyek yang berbakat adalah 63 orang (9,6%).
Sikap orang tua diukur dengan instrumen "Skala Sikap Orang Tua Terhadap Anak Berbakat" yang disusun sendiri, sedangkan "Task Commitment" siswa diukur dengan "Skala Pengikatan Diri Anak Berbakat Terhadap Tugas" konstruksi Yaumil Achir yang dimodifikasi. Sebelum digunakan, kedua alat ukur tersebut telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Skala sikap orang tua meliputi dimensi penerimaan terhadap keberbakatan, harapan tentang prestasi anak, perlindungan terhadap anak, pemberian tanggung jawab dan sikap pengasuhan. Skala "Task Commitment" Anak Berbakat meliputi dimensi kemampuan mengarahkan perilaku ke tujuan yang nyata, menetapkan "goal" di atas rata-rata, belajar dengan disiplin dan rencana, belajar secara mandiri serta ketangguhan/ keuletan.
Data prestasi belajar diambil dari nilai Rapor Catur Wulan 1, yaitu nilai rata-rata seluruh bidang studi. Diteliti pula nilai per bidang studi yang diperoleh melalui Ulangan Umum Bersama (UUB), yaitu nilai Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi dan PPKN.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara sikap orang tua terhadap anak berbakat pada dimensi perlindungan terhadap anak dengan prestasi belajar Bidang Studi Bahasa Inggris. Pada dimensi lainnya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap orang tua dengan prestasi belajar siswa. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa ada hubungan positif antara "Task Commitment" siswa secara umum dan perdimensi dengan prestasi belajar, namun hubungan tersebut tidak signifikan.
Untuk meningkatkan mutu SMU unggulan (SMU Plus) dan pelayanan siswa berbakat disarankan agar diupayakan terns peningkatan kualitas guru dan proses belajar mengajamya. Penambahan waktu belajar hendaknya lebih diarahkan untuk membantu perkembangan dan memenuhi kebutuhan siswa secara individual, antara lain dengan mendorong siswa melakukan penelitian-penelitian, baik penelitian survai maupun eksperimental. Kepada siswa yang teridentifikasi sebagai berbakat dan orang tua mereka perlu diberikan pemahaman tentang keberbakatan dan upaya pengembangannya. Pelayanan Bimbingan Konseling juga perlu lebih ditingkatkan.
Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa calon siswa SMU yang mempunyai NEM SMP tinggi tidak selalu diikuti dengan prestasi belajar yang tinggi pula di SMU. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor situasional siswa pada saat evaluasi belajar dilaksanakan. Karena itu sistem penerimaan siswa berdasarkan NEM saja perlu dipertimbangkan kembali.
Dalam penelitian selanjutnya perlu diupayakan antara lain : pengambilan subjek yang lebih luas, penyusunan instrumen yang lebih baik, serta pengukuran aspek-aspek lain yang mungkin mempengaruhi prestasi belajar siswa berbakat. Dapat pula dilakukan perbandingan antara "task commitment" siswa berbakat dengan siswa berkemampuan normal yang berprestasi tinggi.
Lebih lanjut perlu juga dilakukan penelitian terhadap orang-orang yang sudah bekerja untuk melihat apakah ada hubungan antara prestasi akademis dengan prestasi kerja.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Gifted visual-spatial laearners is one of categories of gifted children that has been ovelooked and under diagnosed. Linda Kreger Silverman (1995;2002) defined Gifted Visual spatial learner as those highly intelligence children (gifted) with special developmental pattern and characteristics. Their strenghts are the visual - spatial ability and gestalt cognitive style. They learn better visually that auditory. They learn all-at-once, and when they got the concept, the learning is permanent. Gifted children with visual-spatial learning style often have asynchronous developmental pattern and tend to have speech and language expressive disorder, or more commonly known as a specific Language Impairment (SLI) or Pure Dysphasic Development. These unique developmental characteristic often cause problems generally worsen without proper assistance and strategies of intervention. They also often misdiagnosed under the label of high function autism, ADHD and / or learning disabilities. A collaborative diagnostic with a long term continual observation and special approach is needed to help this population."
150 PJIP 1:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Primayana Miranti
"ABSTRAK
Anak ADHD digambarkan sering menampilkan perilaku yang membawa dampak negatif bagi hubungan antara anak dan orang-orang di sekitarnya, misalnya dengan orangtua dan teman sebaya anak (Mash dan Wolfe,1999). Perilaku anak seringkali tidak sesuai dengan tuntutan situasi atau harapan orang lain kepadanya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai faktor apa yang menyebabkan anak ADHD menampilkan perilaku tersebut. Apakah anak ADHD
mengalami masalah dalam kemampuannya untuk memahami situasi dan mengalami kesulitan untuk menentukan perilaku yang tepat sesuai dengan situasi?
Cicerone (dalam www.nbia.nf.ca) mengemukakan istilah penalaran sosial yang terdiri atas dua komponen penting yaitu pemahaman sosial dan penilaian sosial. Pemahaman sosial menyangkut kemampuan seseorang untuk memahami
situasi sosial, sedangkan penilaian Sosial mengacu pada kemampuan seseorang untuk menentukan keputusan yang tepat serta berperilaku secara tepat sesuai tuntutan situasi. Kemampuan penilaian sosial yang baik memerlukan kemampuan
seseorang untuk dapat mengantisipasi konsekuensi perilaku.
Anak ADHD digambarkan mengalami defisit dalam kemampuan untuk memahami situasi sosial (Campbell dalam Zentall, javorsky, dan cassady, 2001). Singh (dalam Cadcsky, Mota, dan Schachar, 2000) mengungkapkan bahwa anak ADHD cenderung mengalami kesulitan dalam menginterpretasi cues sosial. Menurut Osman (2002), anak ADHD cenderung kurang memperhatikan pemainan atau percakapan yang sedang berlangsung sehingga anak mengalami kesulitan memisahkan informasi yang penting dari yang kurang penting. Anak
kehilangan konteks situasi dan akhirnya menampilkan perilaku yang kurang tepat sesuai situasi yang sedang dihadapi.
Osman (2002) mengungkapkan bahwa banyak anak ADHD gagal
mengamati ekspresi wajah., gerakan tubuh, Serta tidak memahami perubahan intonasi suara yang diucapkan orang lain. Dikaitkan dengan kemampuan untuk mengantisipasi konsekuensi perilaku, Barkley (dalam Wenar,l994) mengemukakan bahwa anak ADHD gagal memahami hubungan dari suatu perilaku / peristiwa dengan perilaku / peristiwa lain yang muncul sebelum dan sesudahnya.
Dari pendapat tersebut tampak bahwa anak ADHD mengalami masalah dalam penalaran sosial karena anak gagal memahami situasi sosial dan mengantisipasi konsekuensi perilaku atau peristiwa. Di sisi lain ada pendapat yang
mengemukakan bahwa anak ADHD tidak mengalami defisit dalam
kemampuannya untuk memahami situasi sosial. Whalen dan Henker (dalam Mash dan Wolfe, 1999) mengemukakan bahwa anak ADHD tidak mengalami defisit dalam kemampuan penalaran sosialnya atau kemampuan anak untuk menginterpretasi situasi sosial. Penelitian Whalen, Henker, dan Granger (dalam Wenar,l994) menghasilkan bahwa masalah sosial yang muncul dalam hubungan antara anak ADHD dan teman sebaya tidak disebabkan oleh kegagalan dalam
pemrosesan informasi sosial pada anak ADHD. Anak ADHD ternyata memiliki kemampuan yang setara dengan anak normal dalam mengevaluasi apakah perbuatan teman sebayanya merupakan perbuatan yang tepat atau tidak tepat.
Berdasarkan dua pandangan yang ada mengenai kemampuan anak ADHD dalam hal penalaran sosial, peneliti tertarik untuk melihat lebih lanjut kemampuan penalaran sosial anak ADHD. Penelitian dilakukan terhadap empat orang anak yang didiagnosis mengalami ADHD dengan rentang usia antara 8 hingga 12 tahun. Alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah subtes Picture Arrangement WISC-R Subtes tersebut mengukur kemampuan untuk menginterpretasi situasi sosial serta mengantisipasi konsekuensi dari perilaku atau shuasi (Sauler,I992). Untuk dapat berhasil mengerjakan tugas subtes Picture Arrangement, anak harus memahami situasi total pada setiap item. Untuk dapat
memahami situasi, anak perlu memperhatikan informasi-informasi yang tampil, perlu mengenali dan menginterpretasi perilaku, ekspresi wajah, ciri fisik, dan
kondisi psikologis tokoh. Anak juga perlu dapat mengantisipasi konsekuensi perilaku tokoh atau situasi pada gambar. Hal-hal lersebut mencermikan kemampuan pemahaman dan penilaian sosial anak Menurut Cicerone (dalam www.nbia.nf.ca), kedua hal tersebut merupakan komponen penting dalam melakukan penalaran sosial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat subjek memiliki
kemampuan penalaran sosial yang cukup baik. Dalam memahami dan menilai situasi pada kartu-kartu Subtes Picture Arrangement WISC-R, subjek mampu melakukan encoding terhadap situasi yang tampil pada kartu, serta melakukan person perception dengan mengenali dan menginterpretasi perilaku, kondisi psikologis, ciri fisik, dan ekspresi wajah tokoh. Secara umum subjek dapat memahami situasi dan mengantisipasi perilaku tokoh pada subtes Picture
Arragement WISC-R. Hasil penelitian tersebut mendukung pernyataan Whalen dan Henker (dalam Mash dan Wolfe, 1999) bahwa anak ADHD tidak mengalami defisit dalam kemampuan penalaran sosial atau kemampuan untuk menginterpretasi situasi sosial. Dikaitkan dengan hasil subtes Picture Completion tampak bahwa seluruh subjek memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan hal yang penting dari yang kurang penting. Hal tersebut merupakan faktor penting yang mempengaruhi kemampuan penalaran sosial seseorang (Cicerone dalam www.nbia.nf.ca). Cara kerja subjek yang secara umum mampu memberikan perhatian yang cukup baik saat mengerjakan tugas subtes Picture Arrangement WLSC-R juga mendukung kemampuan subjek dalam melakukan penalaran sosial terhadap situasi pada kartu-kartu subtes Picture Arrangement."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tiel, Julia Maria van
Jakarta: Prenada Media Group, 2011
155.4 TIE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Evi
"

Latar belakang: Proses belajar penting bagi seorang anak dalam perkembangannya. Anak dapat belajar dengan baik bila didukung kondisi yang baik pula. Salah satu faktor pendukung tersebut adalah fungsi memori kerja. Penelitian menunjukkan memori kerja merupakan prediktor kapasitas belajar yang lebih bermakna daripada intelligence quotient (IQ). Bila fungsi ini terganggu, anak dapat mengalami kesulitan belajar. Studi melaporkan gangguan memori kerja banyak ditemukan pada gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mendapatkan data proporsi gangguan memori kerja pada anak GPPH dan perbandingan dengan anak tanpa GPPH. Data ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi pengembangan intervensi selanjutnya.

 

Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang pada bulan Mei 2017 hingga Mei 2019. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode randomized sampling menggunakan program SPSS. Instrumen Mini International Neuropsychiatry Interview KID (M.I.N.I. KID) digunakan untuk membantu menegakkan 24 diagnosis gangguan jiwa anak dan remaja yang terdapat di DSM-IV dan ICD-10 secara komprehensif dan Working Memory Rating Scale (WMRS) dgunakan untuk menentukan ada tidaknya defisit memori kerja pada anak berusia 5-11 tahun dan telah divalidasi dalam Bahasa Indonesia oleh Wiguna, dkk. (2012).

 

Hasil: Proporsi gangguan memori kerja pada kelompok anak dengan GPPH berbeda bermakna dibandingkan kelompok anak tanpa GPPH (44% vs 0%, p<0,05). Pada uji analisis, didapatkan prevalence ratio (PR) sebesar 40,4 (95%CI 2,22 - 738,01), artinya anak dengan GPPH berisiko mengalami gangguan memori kerja 40,4 kali lebih besar dibandingkan anak tanpa GPPH. Rerata WMRS juga menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok subjek dengan GPPH dan kelompok subjek tanpa GPPH [50,48 (SB=11,08) vs 30,60 (SB=8,04), p<0,05] namun tidak berbeda bermakna antara kelompok subjek dengan GPPH yang mengkonsumsi metilfenidat hidroklorida  dan yang tidak mengkonsumsi metilfenidat hidroklorida [50,93 (SB=10,25) vs 50,09 (SB=11,26), p=0,85].

 

Simpulan: Gangguan memori kerja lebih banyak ditemukan pada anak dengan GPPH. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian lainnya. Oleh karena itu, pemeriksaan memori kerja pada anak dengan GPPH sebaiknya dilakukan untuk mengantisipasi kesulitan belajar yang mungkin timbul di kemudian. Intervensi tambahan, seperti game therapy dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki gangguan memori kerja yang ditemukan pada anak-anak dengan GPPH.


Background: Learning process is important in child’s development. Children may learn well if supported by good conditions. One of the supporting factors is working memory. Research shows working memory is more meaningful learning capacity’s predictor than intelligence quotient (IQ). If this function is interrupted, children can experience learning difficulties. Studies reporting working memory impairment often found in attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Therefore, this study tried to obtain data on the proportion of working memory impairment in ADHD children and its comparison with healthy children. Results is expected to be the basic data for the development of further interventions.

 

Method: This study was conducted in a cross-sectional design in May 2017 to May 2019. Sampling was done by randomized sampling method using the SPSS program. The Mini International Neuropsychiatry KID Interview Instrument (MINI KID) was used to establish 24 diagnoses of child and adolescent mental disorders comprehensively as in the DSM-IV and ICD-10, and the Working Memory Rating Scale (WMRS) was used to determine the presence or absence of working memory deficits in children aged 5-11 years and have been validated in Indonesian by Wiguna et al. (2012).

 

Results: Proportion of working memory impairments in ADHD group was significantly different compared to group without ADHD (44% vs 0%, p <0.05). Analysis test shows children with ADHD were at risk of experiencing working memory impairment 40.4 times greater than children without ADHD (prevalence ratio 40.4, 95% CI 2.22 - 738.01). The average WMRS scores also showed significant difference between group with ADHD and without ADHD [50.48 (SD = 11.08) vs 30.60 (SD = 8.04), p <0.05]

but not significantly different between who consumed and those who did not consume methylphenidate hydrochloride [50.93 (SD = 10.25) vs 50.09 (SD = 11.26), p = 0.85].

 

Conclusions: Working memory disorders are more common in children with ADHD. This finding is in accordance with the results of other studies. Therefore, examination of working memory in children with ADHD should be done to anticipate learning difficulties that may arise later. Additional interventions, such as game therapy, can be considered to improve working memory impairment found in children with ADHD.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharti
"Siswa berbakat intelektual merupakan sumber daya manusia berkualitas yang potensial dan tidak boleh disia - siakan. Mereka harus diberi perhatian dan pelayanan khusus. Di Indonesia pemerintah telah mencoba suatu bentuk sekolah yang dapat menampung anak yang cerdas dan berprestasi unggul pada suatu sekolah unggulan.
Tujuan SMU Unggulan adalah menghimpun peserta didik yang memiliki bakat khusus, kemampuan dan kecerdasan tinggi di seluruh wilayah DKI Jakarta untuk dikembangkan secara optimal, serta untuk dijadikan pusat keunggulan sehingga dapat memberikan resonansi kompetitif dan motivasi bagi SMU lainnya di Jakarta. Kriteria untuk anak yang berprestasi unggul agar dapat masuk ke SMU Unggulan pada saat ini adalah Nilai Ebtanas Murni (NEM). Mereka yang merniliki NEM tinggi dapat masuk ke sekolah unggulan.
Berdasarkan hasil pengetesan tingkat kecerdasan dan kreativitas ditemukan anak - anak di sekolah unggul ini cukup banyak yang memiliki IQ yang tergolong superior dan very superior serta kreativitas pada taraf rata - rata. Suatu penelitian yang melibatkan 308 siswa SMU Unggulan 8 diperoleh 240 siswa yang memiliki IQ pada taraf very superior sementara kreativitas lebih banyak berkisar pada taraf rata - rata. Hal ini mengindikasikan bahwa di sekolah unggulan, besar kemungkinan siswa - siswanya tergolong berbakat intelektual karena siswa yang tergolong berbakat intelektual haruslah memiliki IQ 130 ke atas atau very superior (Utami Munandar, 1982). Akan tetapi kemampuan intelektual yang tinggi ini belum didukung oleh tingkat kreativitas yang tinggi pula.
Sedangkan untuk dapat berhasil dalam pendidikan, banyak faktor yang mempengaruhi. Selain inteligensi, bakat, minat, motivasi, kepribadian dan faktor - faktor di luar diri siswa seperti lingkungan keluarga, sekolah dan guru turut mempengaruhi. Dalam penelitiannya, Tini Setiawati (1996) menemukan adanya hubungan yangsignifikan antara inteligensi, kreativitas, dan motivasi berprestasi dengan prestasi belajar siswa SMU Unggulan 8 Jakarta. Selain itu kreativitas secara sendiri juga memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar. Dengan demikian kreativitas menjadi suatu unsur yang berpengaruh pada prestasi.
Kreativitas meliputi dua ciri yaitu ciri aptitude dan non aptitude. Ciri yang pertama berhubungan dengan kognisi sepertl kelancaran, keluwesan dan keaslian dalam pemikiran sedangkan ciri kedua berkaitan dengan sikap dan perasaan ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan, selalu ingin mencari pengalaman baru, imajinatif, serta termasuk di dalamnya motivasi untuk berprestasi. Ciri yang pertama disebut kreativitas segi kognitif sedangkan ciri yang kedua disebut kreativitas segi afektif. Kedua - duanya diperlukan untuk terwujudnya kreativitas seseorang. (Utami Munandar, 1995).
Dalam kaitannya dengan prestasi belajar, siswa berbakat intelektual yang memiliki inteligensi yang tinggi diharapkan dapat berprestasi tinggi akan tetapi tidak sedikit mereka yang berprestasi rendah. Oleh karena itu peneliti ingin melihat bagaimana halnya dengan kreativitas mereka karena kreativitas dapat juga dijadikan prediktor prestasi belajar siswa. Dari hasil penelitian Utami Munandar (1977) ditemukan adanya hubungan antara kreativitas dengan prestasi belajar (0,611 untuk SD dan 0,63 untuk SMP). Selain itu penelitian Tini Setiawati (1996) juga menemukan adanya hubungan yang bermakna antara kreativitas dengan prestasi belajar siswa.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan melihat hubungan antara kreativitas dengan prestasi belajar pada siswa SMU Unggulan 13 dan SMU Unggulan 8, dengan memasukkan kreativitas baik segi kognitif maupun segi afektif. Selain itu akan diperoleh juga besarnya sumbangan variabel kreativitas pada prestasi belajar siswa. Dan juga akan didapat gambaran potensi siswa berbakat intelektual berdasarkan kreativitasnya.
Penelitian ini melibatkan 31 siswa kelas II dan kepada mereka telah diberikan tes TIKI-T, TKV, dan Skala Sikap Kreatif sedangkan prestasi belajar diperoleh dari nilai UUB. Ternyata hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kreativitas segi kognitif, kreativitas segi afektif dengan prestasi belajar secara bersama maupun sendiri. Kedua variabel kreativitas tersebut memberikan sumbangan sebesar 4,95 % terhadap prestasi belajar. Oleh karena itu perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai besarnya sumbangan varibel Iain yang juga berpengaruh pada prestasi belajar. Selain itu perlu ada penelitian tentang sistem pendidikan termasuk di dalamnya kurikulum, sistem belajar mengajar, sistem evaluasi (UUB) apakah semuanya telah memperhatikan aspek - aspek kreatif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>