Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159143 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sugiarto
"Latar Belakang: Subyek diabetes melitus (DM) tipe 2 mengalami peningkatan
risiko fraktur akibat penurunan kekuatan tulang. Bone mineral density (BMD),
sebagai parameter kuantitas tulang, tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada subyek DM tipe 2 karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat dibandingkan dengan subyek bukan DM, sehingga peningkatan resiko fraktur pada subyek DM tipe 2 lebih disebabkan oleh penurunan kualitas tulang. Salah satu unsur penentu kualitas tulang adalah turnover tulang. Beberapa faktor yang berpengaruh pada turnover tulang, antara lain tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan sclerostin. Kajian TNF-α dan sclerostin pada subyek DM perempuan pernah dilaporkan namun melibatkan subyek pascamenopause, sehingga tidak dapat dipisahkan efek TNF-α dan sclerostin terhadap turnover tulang.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil kadar TNF-α dan
sclerostin serum pada subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 dan bukan
DM.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 80 subyek perempuan
pramenopause yang terdiri dari ini 40 subyek DM Tipe 2 dan 40 subyek bukan
DM. Data yang dikumpulkan antara lain: karakteristik subyek, riwayat
penggunaan obat-obatan, HbA1C, SGPT, kreatinin, dan eGFR. Pemeriksaan
TNF-α dan sclerostin serum dilakukan dengan metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Median (rentang interkuartil) kadar TNF-α serum pada subyek DM tipe 2
[43,0 pg/mL (14,4-101,31)], lebih tinggi dibandingkan subyek bukan DM [23,86
pg/mL (11,98-78,54)] namun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0.900).
Rerata (simpang baku) kadar sclerostin serum pada subyek DM tipe 2 [132,05
pg/mL (SB 41,54)], lebih tinggi bermakna (p<0.001) dibandingkan subyek bukan DM [96,03 pg/mL (SB 43,66)]. Tidak didapatkan hubungan antara kadar TNF-α dan sclerostin serum baik pada subyek DM tipe 2 (p=0,630) maupun subyek bukan DM (p=0,560).
Kesimpulan: Subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 memiliki kadar TNF-
α serum lebih tinggi namun tidak bermakna dibandingkan dengan subyek bukan DM. Subyek perempuan pramenopause DM tipe 2 memiliki kadar sclerostin serum lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan subyek bukan DM.

Background: The subject of type 2 diabetes mellitus (T2DM) has an increased
risk of fracture due to a decrease in bone strength. Bone mineral density (BMD), as a parameter of bone quantity, cannot describe bone fragility in T2DM subjects because it shows normal or increased results compared to non-DM subjects, so an increased risk of fracture in T2DM subjects is due to a decrease in bone quality. One element that determines bone quality is bone turnover. Some factors that influence bone turnover include tumor necrosis factor-α (TNF-α) and sclerostin. TNF-α and sclerostin studies in female DM subjects have been reported but involve postmenopausal subjects, so that the effects of TNF-α and sclerostin cannot be separated from bone turnover.
Objective: This study aims to obtain a profile of serum TNF-α and sclerostin levels in premenopausal women with T2DM and non-DM.
Method: A cross-sectional study was carried out on 80 premenopausal female
subjects consisting of 40 T2DM subjects and 40 non-DM subjects. Data collected included: subject characteristics, history of drug use, HbA1C, SGPT, creatinine, and eGFR. Serum TNF-α and sclerostin examination was carried out by the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Results: The median (interquartile range) of serum TNF-α levels in T2DM
subjects [43.0 pg/mL (14.4-101.31)], was higher than non-DM subjects [23.86
pg/mL (11.98 -78.54)] but the difference was not significant (p= 0.900). The mean (standard deviation) of serum sclerostin levels in T2DM subjects [132.05 pg/mL (SD 41.54)], was significantly higher (p< 0.001) than non-DM subjects [96.03 pg/mL (SD 43.66)]. There was no association between serum TNF-α and sclerostin levels in both T2DM subjects (p= 0.630) and non-DM subjects (p= 0.560).
Conclusions: Subjects of premenopausal women with T2DM had higher serum
TNF-α levels but were not significant compared to non-DM subjects. Subjects of premenopausal women with T2DM had significantly higher serum sclerostin
levels compared to non-DM subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malikul Chair
"Artritis reumatoid (AR) dapat menyebabkan penurunan massa tulang sistemik akibat adanya peningkatan osteoklastogenesis dan penghambatan osteoblastogenesis melalui peningkatan sklerostin yang menyebabkan penghambatan jalur Wingless(Wnt)-bcatenin canonicaldan bone morphogenetic proteins(BMP). Sampai saat ini masih belum ada penelitian tentang korelasi TNF-adan sklerostin terhadap penanda turnovertulang (CTX dan P1NP) pada pasien AR perempuan premenopause.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan patogenesis hilangnya massa tulang pada pasien artritis rheumatoid perempuan premenopause dengan menilai hubungan antara kadar sitokin proinflamasi TNF-α, penghambat Wnt signalingsklerostin, dan penanda resorpsi tulang P1NP dan CTX.Studi potong lintang ini melibatkan 38 perempuan AR premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Pemeriksaan dilakukan dengan ELISA.
Penelitian ini didapatkan kadar CTX (rerata 2,74 ng/ml) yang lebih tinggi dan P1NP (median 34,04 pg/ml) yang lebih rendahdibandingkan dengan sampel sehat pada penelitian sebelumnya. Terdapat korelasi negatif (r = -0,388) antara kadar TNF-α dengan kadar sklerostin yang bermakna secara statistik (p = 0,016). Terdapat pula korelasi positif (r = 0,362) antara kadar TNF-α dengan kadar P1NP yang bermakna secara statistik (p = 0,026). didapatkan adanya peningkatan CTX dan penurunan P1NP, adanya korelasi negatif bermakna antara kadar TNF-α dan sklerostin serta adanya korelasi positif bermakna antara kadar TNF-α dan P1NP.

Rheumatoid arthritis is associated with systemic bone mass loss due tostimulation of osteoclastogenesis and inhibition of osteoblastogenesis through inhibition of Wingless(Wnt) -bcatenin canonical and bone morphogenetic proteins(BMP) pathway by sclerostin. There are currently no studies that assess the correlation of TNF-α and sclerostin with bone resorption markers CTX and P1NPin premenopause rheumatoid arthritis patients. This study aims to explainthe pathogenesis of bone mass decrease by assessing the correlation between TNF-α, sclerostin, P1NP and CTX. This cross-sectional study involves 38 premenopausal women with AR. Sampling is done consecutively. Examination is done by ELISA.
This study found higher level of serum CTX (mean 2,74ng/mL) and lower level of P1NP (median 34,04 pg/mL) than normal population in previous studies. There was a negative correlation (r = -0,388) between TNF-α levels and sclerostin levels which was significant (p = 0,016). There wasalso a positive correlation (r = 0,362) between TNF-α levels and P1NP levels which was also significant (p = 0,026). This study found an increase in CTX and decrease in P1NP. There was a significant negative correlation between TNF-α and sclerostin levels and also a significant positive correlation between TNF-α and P1NP levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Faisal
"Latar Belakang: Kehilangan massa tulang pada artritis reumatoid (AR) terjadi akibat ketidakseimbangan proses resorpsi dan formasi tulang. Tumor necrosis factor-α (TNF-a) adalah salah satu sitokin proinflamasi utama yang secara langsung dapat menyebabkan peningkatan resorpsi tulang, namun peranannya pada proses formasi tulang belum secara jelas diketahui. Aktivitas formasi tulang dapat dihambat oleh Dickkopf-1 (DKK-1) yang meningkat pada pasien AR. Penilaian turnover tulang dapat dilakukan dengan mengukur kadar C-terminal telopeptide (CTX) dan N-terminal propeptide (PINP) yang saat ini menjadi standar untuk penanda turnover tulang.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran aktivitas turnover tulang pada pasien AR dengan melihat korelasi antara TNF-α dengan DKK-1 dan CTX untuk penilaian resorpsi tulang, dan korelasi antaran TNF-α dengan DKK-1 dan P1NP untuk penilaian formasi tulang.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 38 subjek artritis reumatoid perempuan premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinik reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan TNF-α, DKK-1, CTX, dan P1NP dilakukan dengan metode ELISA.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median durasi menderita penyakit adalah 5 tahun. 60,5% pasien berada dalam kondisi remisi atau aktivitas penyakit rendah, 36,8% dalam kondisi aktivitas penyakit sedang, dan 2,6% pasien dalam kondisi aktivitas penyakit tinggi. Didapatkan median kadar TNF-a adalah 10.6 pg/mL, rerata kadar DKK-1 adalah 4027 pg/mL, rerata kadar CTX adalah 2,74 ng/mL, serta median nilai P1NP adalah 34 pg/mL. Kadar DKK-1 dan CTX dijumpai lebih tinggi sedangkan kadar P1NP lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar pasien AR pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menemukan korelasi positif lemah antara TNF-α dengan P1NP, sedangkan variabel lain tidak menunjukkan korelasi yang signifikan.
Simpulan: Pada penelitian ini ditemukan korelasi positif lemah antara TNF-α dengan P1NP. Dijumpai kadar TNF-a yang rendah, DKK-1 yang tinggi, dan CTX yang tinggi dengan kadar P1NP yang rendah yang menunjukkan respon perbaikan tulang pada pasien AR tidak dapat mengimbangi tingginya aktivitas resorpsi tulang.

Background: Bone mass loss in rheumatoid arthritis (RA) is due to the imbalance of bone resorption and formation process.Tumor necrosis factor-α (TNF-a) is one of the main proinflammatory cytokines that can directly increase bone resorption, but its effect on bone formation is still uncertain. Bone formation could be inhibited by Dickkopf-1 (DKK-1) that is increased in RA patients. Bone turnover could be determined by assessing the level of C-terminal telopeptide (CTX) and N-terminal propeptide (PINP), both are standard measurement for bone turnover markers.
Objective: This study aims to examine bone turnover in RA patients by analysing correlation between TNF-α with DKK-1 and CTX for assesment of bone resorption, and correlation between TNF-α with DKK-1 and P1NP for assesment of bone formation.
Methods: This is a cross-sectional study with 38 subjects of RA premenopausal women. The subjects were collected with consecutive sampling technique in rheumatology outpatient clinic in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum TNF-α, DKK-1, CTX, and P1NP levels were done using ELISA technique.
Results: The median duration of RA in this study is 5 years. 60,5% of the patients were in remission or low activity disease, 36,8% were in moderate activity disease, and 2,6% were in high activity disease. The median value of TNF-a was 10.6 pg/mL, mean value of DKK-1 was 4027 pg/mL, mean value of CTX was 2,74 ng/mL, and mean value of P1NP was 34 pg/mL. DKK-1 and CTX levels were increased while P1NP level was lower compared to the RA patients in previous studies. This study found weak positive correlation between TNF-α and P1NP, while the other variables showed no significant correlation.
Conclusions: This study demonstrated weak positive correlation between TNF-α and P1NP. We found low level of TNF-α, high level of DKK-1, and high level of CTX with low level of P1NP that indicate that the bone repair response could not keep up to the high bone resorption activity in RA patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahriani Sylvawani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita Diabetes Melitus (DM) mengalami peningkatan resiko fraktur akibat penurunan kualitas dan kekuatan tulang. Bone Mineral Densitometry tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada pasien DM tipe 2 (DMT2) karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat penurunan penanda formasi tulang (P1NP) pada perempuan pramenopause dengan DMT2 dibandingkan dengan bukan DM. IGF-1 dan sclerostin adalah faktor yang mempengaruhi diferensiasi dan maturasi osteoblast dalam formasi tulang dan saat ini belum diketahui profilnya pada perempuan pramenopause dengan DM. Tujuan: Untuk mengetahui dan membandingkan kadar IGF-1 serum dan sclerostin serum perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM. Metode: Studi potong lintang, dilakukan pada Agustus 2018 dan melibatkan 80 perempuan pramenopause yang terdiri dari 40 subjek DMT2 dan 40 bukan DM. Pemeriksaan IGF-1 serum dan Sclerostin serum dilakukan dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian: Median (rentang interkuartal) kadar IGF-1 serum pada pasien DMT2 lebih rendah tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok bukan DM (40,6 (11-110) ng/ml vs 42,75 (10-65) ng/ml, p=0.900). Rerata kadar sclerostin serum pada kelompok DMT2 lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok bukan DM (132.05 (SB 41.54) ng/ml vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66) (p<0.001). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 serum antara perempuan pramenopause DMT2 dan bukan DM. Terdapat perbedaan bermakna sclerostin serum antara perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM.

ABSTRACT
Background: Diabetes mellitus (DM) patients are at increased risk for fracture due to the decrease in bone quality and strength. Bone Mineral Densitometry (BMD) measurement in T2DM cannot depict bone fragility (T2DM) because they are shown to be normal or increased results. Previous studies have shown a decrease in markers of bone formation (P1NP) in premenopausal women with T2DM compered non-DM. IGF-1 and sclerostin are factors that influence the differentiation and maturation of osteoblasts in bone formation and their profiles are not currently known in patients with premenopausal women with diabetes. Objective: To determine and compare serum IGF-1 and serum sclerostin levels between premenopausal women T2DM and non-DM. Method: A cross-sectional study was conducted in August 2018 and involved 80 premenopausal women consisting of 40 DMT2 and 40 non-DM subjects. Serum IGF-1 and serum sclerostin were examined using an enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. Results: Median (interquarter range) serum IGF-1 in T2DM is 40.6 ng/ml (11-110 ng/ml) vs. 42.75 ng/ml (10-65 ng/ml) in non-DM (p=0.900). Mean serum sclerostin level in T2DM is 132.05 ng/ml (SB 41.54 ng/ml) vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66 ng/ml) in not DM (p<0.001). Conclusion: There was no difference in serum IGF-1 levels between premenopausal women with T2DM and non-DM. There were significant differences in serum sclerostin between premenopausal women with T2DM and non-DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Andi Raga
"Latar Belakang: Pada artritis reumatoid diketahui terjadi kehilangan massa tulang, baik secara lokal maupun sistemik. TNF-a adalah sitokin utama yang berperan pada proses resorpsi tulang, namun perannya pada formasi tulang belum diketahui. Penelitian ini akan menilai korelasi TNF-adengan proses formasi tulang yang dinilai dengan P1NP, terutama berhubungan dengan SFRP-1 yang merupakan inhibitor alami osteoblas. Sampai saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan sitokin proinflamasi TNF-a, SFRP1 terhadap kedua penanda turnover tulang(CTX dan P1NP) secara sistemik pada pasien artritis reumatoid.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran aktivitas turnovertulang pada pasien AR dengan melihat korelasi antara TNF-adengan SFRP-1, CTX dan P1NP, dan korelasi SFRP1 dengan P1NP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan 38 subjek perempuan premenopause dengan AR. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif di poliklinik reumatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemeriksaan TNF-a, SFRP-1, CTX, dan P1NP dilakukan dengan metode ELISA.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan median durasi menderita AR 5 tahun. 60,6% pasien berada dalam kondisi remisi dan aktivitas rendah. Kadar TNF-amedian 10,6 pg/mL, rerata kadar SFRP-1 9,29 ng/mL, rerata kadar CTX 2,74 ng/mL, serta kadar P1NP 34 pg/mL. Kadar SFRP-1 dan CTX dijumpai meningkat sedangkan P1NP relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar populasi normal pada penelitian-penelitian terdahulu. Pada penelitian ini dijumpai adanya korelasi positif lemah antara TNF-a dengan P1NP (r=0,363, p=0,026), begitu juga SFRP-1 dengan P1NP (r=0,341; p=0,036), sedangkan variabel lain tidak menunjukkan korelasi yang bermakna.
Simpulan: Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif lemah antara TNF-adengan P1NP, dan korelasi positif lemah antara SFRP-1 dengan P1NP. Namun dijumpai kadar CTX yang tinggidan kadar P1NP yang rendah, menunjukkan respon resorpsi meningkat namun tidak diimbangi dengan formasi pada pasien AR perempuan premenopause.

Background: Rheumatoid arthritis is known to have a loss of bone mass, both locally and systemically. TNF-a is the main inflammatory cytokine that can directly increase bone resorption. However, its role in bone formation is still unknown. This study will assess the correlation of TNF-a with the process of bone formation evaluated with P1NP, mainly related to the SFRP-1 pathway which is a natural inhibitor of osteoblasts. However, there are currently no studies that assess the correlation of inflammatory cytokines TNF-a, SFRP-1, with bone turnover marker (CTX and P1NP) in rheumatoid arthritis patients
Objective: This study aims to examine bone turnover in RA patients by analyzing the correlation between TNF-a with SFRP-1 and CTX and P1NP, and correlation SFRP-1 with P1NP
Methods: This is a cross-sectional study in 38 subjects of premenopausal women with RA. The Subjects were collected with consecutive sampling technique in rheumatology outpatient clinic in Rumah SakitCipto Mangunkusumo, Jakarta. Measurement of serum TNF-a, SFRP-1, CTX, and P1NP levels were done using ELISA technique.
Results: In this study, the median duration of RA is 5 years. 60.6% of the patients were in remission and low activity disease. The median value of TNF-a was 10.6 pg/mL, the mean value of SFRP-1 was 9.29 ng/mL, the mean value of CTX was 2.74 ng/mL, and mean value of P1NP was 34 pg/mL. SFRP-1 and CTX levels were increased while P1NP level was relatively lower compared to the normal population value in previous studies. There was a weak positive correlation between TNF-a and P1NP(r=0.363, p=0.026), also SFRP-1 and P1NP(r=0.341; p=0.036),while the other variables showed no significant correlation.
Conclusions: This study demonstrated weak positive correlation between TNF-a and P1NP, and weak positive correlation between SFRP-1 and P1NP. However high value of CTX and low value of P1NP showed that a high resorption response cannot be balanced with bone formation activity in patients with rheumatoid arthritis in premenopausal woman.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Ilone
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien Diabetes Mellitus DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko terjadinya fraktur yang dikenal dengan istilah diabetoporosis. Pemeriksaan Bone Mass Densitometry BMD dinilai tidak superior dalam mendiagnosis diabetoporosis mengingat nilai BMD pada DM tipe 2 dapat normal bahkan meningkat. Beberapa penanda diharapkan dapat menggambarkan kualitas tulang secara non invasif. Peran AGEs dan reseptornya dinilai penting dalam proses diabetoporosis. Namun demikian, penelitian mengenai penanda AGEs dan reseptornya pada pasien DM tipe 2 masih tergolong sangat sedikit serta belum adanya penelitian yang membandingkan kadar AGEs dan reseptornya pada pasien DM tipe 2 dan subjek normal.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar pentosidine serum, esRAGE serum, rasio esRAGE/pentosidine serum antara pasien DM tipe 2 dan subjek normal, serta korelasi rasio esRAGE/pentosidine serum terhadap P1NP serum sebagai penanda peningkatan risiko diabetoporosis.Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 38 perempuan DM tipe 2 belum menopause, berusia 35 tahun dengan diagnosis DM tipe 2 yang berobat di Poli Metabolik Endokrin RSCM, Klaster Diabetes Kencana RSCM, RSUP Persahabatan, RSUK Tugu Koja, RSUK Kemayoran, dan Puskesmas Jatinegara. Sebagai kelompok non DM adalah 36 perempuan non DM dengan rentang usia yang sama. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling terhadap darah yang terkumpul. Pemeriksaan Pentosidine serum dan esRAGE dilakukan dengan metode ELISA sedangkan pemeriksaan P1NP dilakukan dengan menggunakan metode ECLIA.Hasil Penelitian: Pasien DM tipe 2 memiliki kadar pentosidine lebih tinggi p=0,028 , kadar esRAGE yang lebih rendah p=0,248 , serta rasio esRAGE/pentosidine yang lebih rendah p=0,001 daripada subjek normal. Rerata kadar pentosidine serum pada DM tipe 2 dan subjek normal adalah 5406 1911 pmol/ml dan 3145 1892 pmol/ml; sedangkan median rasio esRAGE/pentosidine serum adalah 0,03 pg/pmol dan 0,06 pg/pmol. Tidak terdapat korelasi antara rasio esRAGE/pentosidine dengan kadar P1NP serum.Kesimpulan: Kondisi hiperglikemia pada DM tipe 2 menyebabkan tingginya kadar pentosidine serum yang tidak diimbangi dengan peningkatan kadar esRAGE serum. Secara khusus, terjadi penurunan rasio esRAGE/pentosidine serum pada pasien DM tipe 2 perempuan dan tidak ditemukan korelasi antara rasio esRAGE/pentosidine serum dengan kadar P1NP serum sebagai penanda formasi tulang.
ABSTRACT
Background: Diabetes Mellitus type 2 T2DM patients have an increased risk of fracture known as diabetoporosis. Examination of Bone Mass Densitometry BMD is considered not superior in diagnosing diabetoporosis since the BMD value in type 2 DM can be normal and even increased. Some markers are expected to describe bone quality in a non invasive manner. The role of AGEs and their receptors is considered important in the process of diabetoporosis. However, research on the role of AGEs and their receptors in T2DM patients is still lacking and there was no study comparing AGEs and their receptors in T2DM and non T2DM patients before.Aim: The aim of this study is to determine the difference of serum pentosidine level, serum esRAGE, serum esRAGE/pentosidine ratio between T2DM and non T2DM patients, and correlation of serum esRAGE/pentosidine ratio to serum P1NP as a marker of increased risk of diabetoporosis.Method: This is a cross-sectional study on 38 premenopausal females with T2DM with a minimum age of 35 years with symptoms or diagnosis of T2DM for more than 5 years, seen for treatment at Endokrin Metabolik Klinik at RSCM, Klaster Diabetes RSCM Kencana, RSUP Persahabatan, RSUK Tugu Koja, RSUK Kemayoran, and Puskesmas Jatinegara. Healthy controls are 36 non-DM females with similar age range. Sampling was done by simple random sampling. Serum pentosidine and serum esRAGE measurement were done by ELISA method and serum P1NP measurement was done by ECLIA method.Results: T2DM patients had higher serum pentosidine levels p=0.028 , lower serum esRAGE p=0.248 , as well as lower esRAGE/pentosidine p=0.001 ratios than non T2DM. Serum pentosidine in T2DM and non T2DM is 5406 1911 pmol/ml and 3145 1892 pmol/ml; whereas median ratio of serum esRAGE/pentosidine was 0.03 pg/pmol and 0.06 pg/pmol. There was no correlation between ratio serum esRAGE/pentosidine and serum P1NP in T2DM patients.Conclusions: Hyperglycemia in T2DM patients lead to high serum pentosidine levels that are not followed by elevated serum esRAGE levels. In combination, there was a decrease level of serum esRAGE/pentosidine ratio in T2DM patients. No correlation was seen between level of serum esRAGE/pentosidine ratio and level of P1NP as a marker for bone formation in T2DM patients. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reynardi Larope Sutanto
"Jumlah penduduk lanjut usia di dunia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini diikuti dengan semakin naiknya insidensi penyakit tidak menular yang kerap menyerang di usia tua. Penggunaan antioksidan dapat mencegah insidensi penyakit-penyakit tersebut melalui kapasitasnya menangkal peningkatan radikal bebas, inflammaging, dan markamarka inflamasi, seperti TNF-α. Salah satu sumber antioksidan yang paling baik dan banyak tersedia adalah dari tanaman-tanaman herbal, seperti Acalypha indica L. (AI). Tidak hanya banyak tersedia, tanaman ini juga telah dipakai secara empiris oleh berbagai peradaban dunia dan ditemukan memiliki sifat antioksidan. Metode: Penelitian dilaksanakan pada tikus Sprague-Dawley yang dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (plasebo), kontrol positif (6 IU vitamin E), perlakuan (250 mg/kg berat badan (mg/kgBB) ekstrak AI), dan kontrol pembanding (tikus muda). Setelah 28 hari, tikus diterminasi dan diambil organ ginjal dan jantungnya untuk dilakukan pengecekan kadar TNF-α menggunakan metode ELISA. Data yang didapatkan dianalisis menggunakan tes Saphiro-Wilk dan one-way ANOVA. Hasil: Pemberian AI menghasilkan penurunan kadar TNF-α in pada ginjal (0,95 ± 0,76 pg/mg pada kelompok perlakuan vs 1,37 ± 0,41 pg/mg pada kelompok kontrol negatif) dan jantung (15,43 pg/mg ± 2,33 pada kelompok perlakuan vs 16,50 ± 1,33 pg/mg pada kelompok kontrol negatif) tikus tua meski tidak signifikan (p = 0,645 pada ginjal dan p = 0,973 pada jantung). Kesimpulan: Penemuan penurunan TNF-α dalam studi ini menunjukkan potensi penggunaan AI sebagai agen antiinflamasi dan anti penuaan. Penelitian dan investigasi lebih lanjut perlu dilakukan pada AI dengan menggunakan durasi perlakuan, dosis, dan parameter inflammaging yang berbeda.

The world’s elderly are currently rising in numbers every year. This is followed by an increase of noncommunicable diseases which are often found in the elderly. Antioxidants could prevent occurrences of such diseases because of their capacity to counter rising free radicals, inflammaging, and inflammatory markers, such as TNF-α. One of the main abundant sources of antioxidants are herbal plants, such as Acalypha indica L. (AI). AI has been used empirically by different cultures and is found to have antioxidant properties. Method: Research was conducted on Sprague-Dawley rats which were divided into four groups, the negative control (placebo), positive control (6 IU vitamin E), treatment group (250 mg/kg of body weight (mg/kgBW) AI extract), and comparison control (young rats). The rats were terminated after 28 days with their organs, kidneys and hearts examined using ELISA to look for TNF-α concentration. Data were analysed using the Saphiro-Wilk test and one-way ANOVA. Results: AI administration yielded decrease of TNF-α in both the kidneys (0.95 ± 0.76 pg/mg in treatment group vs 1.37 ± 0.41 pg/mg in negative control) and hearts (15.43 pg/mg ± 2.33 in treatment group vs 16.50 ± 1.33 pg/mg in negative control) of aged SD rats, albeit insignificantly (p value for the kidney = 0.645 and p value for the heart = 0.973). Conclusion: This finding of decreased TNF-α suggests a potential anti-inflammatory and anti-aging effect of AI. Further research and investigation need to be made on AI, such as by using different dosages, time, and inflammaging parameters."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Tri Juli Edi
"Latar belakang: Hipomagnesemia berhubungan dengan kejadian pre-diabetes, konversi ke diabetes tipe 2 dan juga komplikasi kronik diabetes, termasuk albuminuria. Hasil studi hubungan antara kadar magnesium dengan kejadian albuminuria pada diabetes melitus tipe 2 masih kontroversial. Untuk itu perlu dilakukan penelitian hubungan tersebut.
Metode: Potong lintang dengan consecutive sampling pada pasien DM tipe 2 yang sudah terdiagnosis nefropati diabetes. Dilakukan anamnesis faktor risiko, pemeriksaan fisik, kadar magnesium, albumine creatinine ratio dan A1C.
Hasil: Tiga puluh delapan subjek ikut dalam penelitian yang sebagian besar berusia lebih 50 tahun dan memiliki kontrol glikemik yang buruk (81,6%). Pada subjek penelitian yang memiliki kadar Mg <1,7 mg/dl 80% mengalami albuminuria, sementara subjek yang memiliki kadar Mg ≥ 1,7 mg/dl didapat 63,6% subjek penelitian yang mengalami albuminuria. Pada penelitian ini didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,006 yang menunjukkan hubungan yang lemah antara kadar magnesium dalam darah dengan albuminuria.
Kesimpulan: Secara statistik tidak ditemukan korelasi antara kadar magnesium dengan albuminuria.

Background: Hypomagnesemia associated with occurance of prediabetes, convertion to type 2 diabetes and also chronic complication of diabetes, including albuminuria. Studies that look for correlation magnesium concentration with albuminuria in type 2 diabetes still controvensial that?s why we need to do this research.
Method: Cross sectional study done in type 2 diabetes who have been diagnosed with nephropathy. Correlation Pearson test used to prove correlation between magnesium level with albuminuria.
Result: Thirty eight subjects follow this study, majority of them age more than 50 years old, mostly having bad glycemic control (81,6%).There are 80 % subject with hypomagnesemia (Mg <1,7 mg/dl) suffered from albuminuria while subject with normomagnesia (Mg ≥ 1.7 mg/dl) only 63.6% suffered from albuminuria. This study result in no correlation between magnesium level in type 2 diabetes.
Conclusion: No correlation between serum magnesium concentration with albuminuria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>