Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171454 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ruzicka Ilma Faradisi
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan beberapa faktor pada DM tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Mutan p53 yang terbukti berkontribusi terhadap perkembangan tumor sementara insulin yang diketahui berperan dalam mengendalikan kadar gula tubuh, dipilih menjadi biomarker yang akan diteliti pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan kadar mutan p53 dan insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (n=51) dan pasien DM tipe 2 (n=51). Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Pada penelitian, diketahui tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,774) pada nilai mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (1,65±0,10 ng/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (1,62±0,09 ng/mL). Terdapat perbedaan bermakna (p<0,001) pada kadar insulin antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (19,33±2,68 µIU/mL) dan kelompok pasien DM tipe 2 (37,31±2,68 µIU/mL). Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dengan kadar insulin pada kelompok pasien DM tipe 2 + kanker (r=0,191; p= 0,179) dan pada kelompok pasien DM tipe 2 (r=-0,081; p= 0,574). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kadar mutan p53 antara kelompok pasien DM tipe 2 + kanker dan kelompok pasien DM tipe 2, namun terdapat perbedaan pada kadar insulin pada kedua kelompok. Selain itu, tidak ada korelasi bermakna antara kadar mutan p53 dan insulin pada kedua kelompok.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown that several factors in type 2 DM are related to cancer incidents. Mutant p53 is scientifically proven to contribute in tumor development while insulin that known well to play an important role in controlling body glucose levels, therefore those two biomarkers were chosen to be investigated in this study. This research aimed to study the correlation of mutant p53 and insulin in type 2 DM + cancer (n=51) and type 2 DM patients (n=51). This research was a cross-sectional study with consecutive technique sampling. This study showed that there was no significant difference (p=0.774) of mutant p53 value between type 2 DM + cancer patients group (1.65±0.10 ng/mL) and type 2 DM patients group (1.62±0.09 ng/mL). However, it was significant difference (p<0.001) of insulin value in type 2 DM + cancer patients group (19.33±2.68 µIU/mL) and type 2 DM patients group (37.31±2.68 µIU/mL). There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in type 2 DM + cancer patients group (r=0.191; p=0.179) and type 2 DM patients group (r=-0.081; p=0.574). Based on the results, we concluded that there was no significant difference of mutant p53 value in type 2 DM + cancer patients group and in type 2 DM patients group but there was significant difference of insulin value in both groups. There was also no significant correlation between mutan p53 and insulin value in both groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aisyah
"Beberapa studi epidemiologi maupun studi metaanalisis menunjukkan faktor seperti jenis kelamin dan usia, obesitas, dan resistensi insulin, pada diabetes mellitus tipe 2 memiliki hubungan dengan risiko terjadinya kanker. Hiperinsulinemia dapat mempengaruhi risiko kanker tidak hanya melalui efek mitogenik langsung dari insulin tetapi juga secara tidak langsung melalui peningkatan produksi IGF-1. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis hubungan antibodi anti-p53 dengan beberapa penanda metabolik HbA1c, insulin, dan IGF-1 pada pasien diabetes melitus yang menerima terapi antidiabetes metformin n=47 , non-metformin n=31 , dan subjek sehat n=16 di Puskesmas Pasar Minggu. Sampel yang digunakan adalah serum darah yang kemudian diuji menggunakan metode ELISA untuk menganalisis antibodi anti-p53, IGF-1, dan Insulin. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,26 0,06 dan pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,24 0,08 pada kelompok non-metformin. Nilai pada kedua kelompok memiliki perbedaan yang bermakna p< 0,001 jika dibandingkan dengan subjek sehat. Terdapat korelasi negatif menengah antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c r = -0,407; p= 0,023 dan dengan IGF-1 r = - 0,571; p = 0,021 pada kelompok non-metformin. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan kadar insulin pada ketiga kelompok.

Either epidemiological studies or meta analysis has shown that several factors such as gender, age, obesity, and insulin resistance are related to cancer incidents. Hyperinsulinemia affect cancer progression not only trough insulin mitogenic activities but also trough inducing IGF 1 production. Metformin as a first line therapy for patients with type 2 diabetes mellites has been associated with a reduced risk of various cancer cells. Aside from its insulin sensitizer mechanism, several studies showed other mechanism related to cancer treatment. This cross sectional study compares and analyzes the correlation between effect of antidiabetic treatment in the group of metformin combination n 47 and non metformin n 31 against anti p53 antibody and their relation to HbA1c, IGF 1, and insulin in type 2 diabetes mellitus patients in Pasar Minggu Primary Health Center. Patient rsquo s blood serum was collected then analyzed with ELISA kit to measure the value of anti p53 antibody, IGF 1, and insulin. The average of anti p53 antibody were 0.26 0.06 and 0.24 0.08 in metformin combination group and non metformin group, respectively. There was a statistically significant difference anti p53 antibody level between the two groups against age and sex match 16 apparently healthy subjects.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S68867
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
July
"Diabetes melitus termasuk sepuluh penyebab kematian terbesar di dunia, dengan peningkatan 70% sejak tahun 2000. Kepatuhan menggunakan obat sangat penting untuk mencapai gula darah yang terkontrol pada pasien diabetes melitus. Pemberian insulin umumnya memberikan kontrol glikemik yang lebih baik sehingga meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi komplikasi diabetes, namun pemberiannya menyakitkan, membutuhkan teknik khusus, dan membatasi aktivitas harian pasien. Pemberian insulin pada pasien penyakit saraf memerlukan pertimbangan khusus karena kondisi pasien dapat memengaruhi kepatuhan menggunakan obat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pemberian insulin dengan kepatuhan menggunakan obat pada pasien diabetes melitus dengan penyakit saraf, serta pengaruh berbagai variabel perancu. Penelitian observasional ini dilakukan dengan desain potong lintang di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Timur pada September 2021-Januari 2022. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 yang mendapatkan antidiabetes minimal 6 bulan. Variabel bebas adalah pemberian insulin, sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan yang diukur dengan menggunakan metode subjektif (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) dan metode objektif (Medication Refill Adherence). Variabel perancu meliputi karakteristik dasar, riwayat kesehatan, dan pengobatan pasien. Berdasarkan metode ARMS dan MRA, dari 175 responden, 28 responden (16,0%) patuh, yaitu 5 responden (8,9%) yang menggunakan insulin dan 23 responden (19,3%) yang tidak menggunakan insulin. Pada pasien diabetes dengan penyakit saraf, pemberian insulin memengaruhi kepatuhan menggunakan obat sebesar 0,374 kali (IK95%: 0,129-1,087) atau pasien yang mendapatkan insulin memiliki kepatuhan 62,6% lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak mendapatkan insulin setelah dikontrol oleh iterasi dan perubahan antidiabetes yang digunakan pasien.

Diabetes mellitus is one of the ten leading causes of death in the world, with an increase of 70% since 2000. Medication adherence is very important to achieve controlled blood sugar in patients with diabetes mellitus. Insulin generally provides better glycaemic control thereby improving quality of life and reducing diabetes complications. However, the delivery considered painful, requires special techniques, and limits the patient's daily activities. Insulin administration in patients with neurological diseases requires special consideration because the patient's condition can affect medication adherence. This study aimed to analyze the relationship between insulin administration and medication adherence in diabetic patients with neurological diseases, and the influence of various confounding variables. This observational study was conducted with a cross-sectional design at a government hospital in East Jakarta from September 2021 to January 2022. The sample was type 2 diabetes mellitus patients who received antidiabetics for at least 6 months. The independent variable was insulin administration, while the dependent variable was adherence, measured using subjective methods (Adherence to Refills and Medications Scale, ARMS) and objective methods (Medication Refill Adherence, MRA). Confounding variables included baseline characteristics, medical history, and patient medication. Based on ARMS and MRA, there were 28 of 175 respondents (16.0%) who complied, namely 5 respondent (8.9%) who used insulin and 23 respondents (19.3%) who did not use insulin. Administration of insulin affects medication adherence by 0.374 times (95% CI: 0.129-1.087) than patients who do not use insulin or patients who use insulin have 62.6% lower adherence than patients who do not use insulin controlled by repeated prescription and antidiabetic changes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih
"Latar Belakang. Terdapat dua hipotesis mengenai terjadinya diabetes melitus tipe 2 yaitu kegagalan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Mengingat pengaruh faktor genetik pada kejadian DM tipe 2 maka diperkirakan resistensi insulin juga dipengaruhi faktor genetik. Sejauh ini data prevalensi resistensi insulin dan gambaran metabolik pads saudara kandung subyek DM tipe 2 di Indonesia belum ada.
Tujuan. Mendapatkan angka prevalensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek dengan DM tipe 2 dan mendapatkan data profil metabolik (profil lipid, IMT, lingkar perut, konsentrasi asam urat darah), tekanan darah dan distribusinya pads seluruh saudara kandung subyek dengan DM tipe 2
Metodologi. Studi pendahuluan dan potong lintang dilakukan pada 30 saudara kandung subyek DM tipe 2 yang datang berobat di Poliklinik Metabolik dan Endokrinologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, untuk dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, konsentrasi insulin darah puasa, glukosa puasa, trigliserida, kolesterol HDL dan asam urat. Resistensi insulin ditentukan dari persentil 75 dari HOMA-IR.
Hasil. Nilai cut-off HOMA-IR pada penelitian ini sebesar 2,04. Frekuensi resistensi insulin pads saudara kandung subyek DM sebesar 26,67% dengan proporsi di tiap keluarga bervariasi dari 0-75%. Semua subyek dengan resistensi insulin memiliki obesitas sentral dan sebanyak 75% memiliki IMT > 25. Komponen metabolik yang paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral (56,7%), menyusul hipertensi (46,7%), hipokolesterol HDL dan hipertrigliseridemia masing-masing 26,6%, dan hiperglikemia (20%).
Simpulan. Frekuensi resistensi insulin pada saudara kandung subyek DM tipe 2 sebesar 26,67% dengan proporsi yang bervariasi di setiap keluarga antara 0-75%. Komponen metabolik paling banyak ditemukan adalah obesitas sentral.

Backgrounds. There are two hypothesis in the pathogenesis of type 2 DM, beta cell failure and insulin resistance. As genetic background has significant role in type 2 DM cases, insulin resistance is also suspected to be influenced by genetic factor. Thus far, there are no insulin resistance prevalence data and metabolic abnormalities among siblings of subjects with type 2 DM available in Indonesia.
Objectives. To obtain prevalence figure of insulin resistance among siblings of subjects with type 2 DM and to obtain their metabolic abnormality profiles as measured by their BMI, waist circumference (WC), blood pressure, glucose intolerance, concentration of triglyceride, HDL cholesterol and uric acid.
Methods. Cross-sectional study is conducted to 30 siblings of subjects with type 2 DM who are still alive and agree to participate in this study. The subjects are interviewed, physically examined and go through laboratory examination (fasting plasma insulin, plasma glucose, serum triglyceride, HDL cholesterol and uric acid concentration). Insulin resistance is derived from 75 percentile of HOMA-IR.
Results. The HOMA-IR cut-off value found in this study is 2,04. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. All of subjects with insulin resistance have central obesity. About 75% subjects with insulin resistance have BMI ? 25. The metabolic components which are frequently found in this study can be ranked as follows; central obesity (56,7%), hypertension (46,7%), hypocholesterol HDL (26,6%), hypertriglyceridemia (26,6%) and hyperglycemia (20%).
Conclusion. The frequency of insulin resistance is 26,67% among siblings of subjects with type 2 DM within variation range of 0-75%. Among the metabolic components found in this study, central obesity is the most frequent."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andisyah Putri Sekar
"Abnormalitas metabolisme glukosa yang terjadi pada pasien diabetes mengambarkan peningkatan risiko pada perkembangan dan prognosis kanker tertentu. Metformin yang merupakan terapi lini pertama untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah dikaitkan dengan risiko berkurangnya berbagai sel kanker. Penelitian ini membandingkan dan menganalisis efektivitas pengobatan metformin tunggal/kombinasi dan non-metformin terhadap nilai antibodi anti-p53 dan hubungannya dengan nilai HbA1c pada pasien T2DM yang memiliki faktor risiko kanker. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dengan menggunakan metode cross-sectional dengan jumlah sampel 32 orang yang diambil di Puskesmas Pasar Minggu, Puskesmas Cimanggis, RSUD Depok, dan pasien volunteer di kabupaten Tangerang dengan teknik total sampling. Nilai rerata antibodi anti-p53 diukur menggunakan elisa kit MESACUP anti-p53 Test, sedangkan HbA1c diukur di lab klinik terakreditasi dengan metode ion exchange HPLC. Nilai antibodi anti-p53, yaitu 0,17 ± 0,07 pada kelompok metformin tunggal/kombinasi dan 0,25 ± 0,12 pada kelompok non-metformin. Namun, nilai antibodi anti-p53 pada kedua kelompok tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p = 0,970). Analisis korelasi antara nilai HbA1c dengan nilai antibodi anti-p53 pada kelompok non-metformin menghasilkan hubungan negatif yang kuat dan bermakna (r = -0,709; p = 0,003). Sedangkan pada kelompok metformin tunggal/atau kombinasi tidak ditemukan hubungan yang bermakna (r = -0,056; p = 0,830).

Abnormalities of glucose metabolism that occur in diabetic patients describe an increased risk in the development and prognosis of certain cancers. Metformin is a first-line therapy for patients with type 2 diabetes melitus has been associated with a reduced risk of various cancer cells. This study compares and analyzes the effectiveness of treatment in group of metformin or combination and non-metformin towards anti-p53 antibody ​​and their relation to HbA1c in T2DM patients who have risk factors for cancer. Type of research is an observational study using cross-sectional method with a total sample is 32 people in Puskesmas Pasar Minggu, Puskesmas Cimanggis, RSUD Depok, and volunteers patient in Tangerang district using total sampling technique. Anti-p53 antibody was measured using elisa kit MESACUP anti-p53 Test whereas HbA1c was measured in accredited clinical lab by ion exchange HPLC method. The average of anti-p53 antibody is 0,17 ± 0,07 in metformin single dose/combinations group and 0,25 ± 0,12 in non-metformin group. Moreover, there was no significance difference between the group of metformin or combination and non-metformin (p = 0,970). On the other hand, there was a strongly correlation between HbA1c values and anti-p53 antibody in group of non-metformin (r = -0,709; p = 0,003) but none in the group of single dose or combinations group (r = -0,056; p = 0,830).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65034
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handono Fatkhur Rahman
"Efikasi diri dan kepatuhan merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat efikasi diri dan kepatuhan dengan kualitas hidup pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit di Jakarta.
Desain dalam penelitian ini adalah cross sectional, dengan jumlah sampel 125 pasien DM tipe 2. Alat ukur yang digunakan adalah Diabetes Management Self-Efficacy (DMSES), the Diabetes Activities Questionare (TDAQ), dan Diabetes Quality Of Life (DQOL).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri (0,0005), dan kepatuhan (0,0005) berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup dengan variabel yang paling dominan adalah kepatuhan.
Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa variabel efikasi diri, kepatuhan, tingkat pendidikan, dan depresi menentukan kualitas hidup pasien DM. Perlunya dikembangkan pengkajian dan intervensi keperawatan yang berfokus pada efikasi diri dan kepatuhan pasien DM tipe 2.

Self-efficacy and adherence are important factor in improving the quality of life of patients with type 2 diabetes. This study aimed to determine the relationship between self-efficacy and adherence to the quality of life of patients with type 2 diabetes mellitus in an outpatient unit of a Hospital in Jakarta.
This study was a cross-sectional, with sample of 125 patients with type 2 diabetes mellitus. The Diabetes Management Self- Efficacy (DMSES), the Diabetes Activities Questionare (TDAQ), and the Diabetes Quality of Life (DQOL) were employed as instruments.
The results showed that selfefficacy (0.0005), and adherence (0.0005) were significantly associated with quality of life and the most dominant variable is adherence.
Multivariate test results indicate that the variable self-efficacy, adherence, education level, and depression determines quality of life of diabetic patients. This study suggestsis the need fornursing assessment and interventions that focus on the self-efficacy and adherence diabetes mellitus patient.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42400
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Adhiatma
"Latar Belakang. Populasi penderita DM tipe 2 semakin meningkat, seringkali disertai dengan komorbid, salah satunya depresi dengan prevalensi bervariasi. Depresi dapat mempengaruhi keluaran penyakit DM tipe 2. Beberapa obat antidepresan diketahui dapat mengganggu kontrol gula darah. Vitamin D, telah lama diketahui berkaitan dengan berbagai penyakit kronik, berpotensi memperbaiki gejala depresi, walaupun belum diketahui hubungannya.
Tujuan. Mengetahui adanya hubungan antara kadar vitamin D pada pasien DM tipe dengan kejadian depresi pada pasien dengan DM tipe 2.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi pada, dilakukan penapisan depresi menggunakan kuesioner BDI-II, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, depresi (BDI-II ≥14) dan tanpa depresi (BDI-II <14). Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, dan dilakukan analisis perbedaan rerata pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik terhadap variabel perancu.
Hasil. Dari 60 subjek dengan DM tipe 2 yang yang memenuhi kriteria, didapatkan 23 subjek (38,3%) yang depresi, dan 37 subjek (61,7%) yang tidak depresi. Didapatkan median kadar vitamin D 21,8 ng/mL (RIK 14,9-26,6) pada kelompok depresi, sementara median kadar vitamin D 26,5 ng/mL (RIK 23,96-34,08) pada kelompok tanpa depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p = 0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel perancu jenis kelamin, paparan sinar matahari, dan IMT, didapatkan adjusted odds ratio(adjusted OR) 1,123 (IK 95%: 1,003-1,259) dengan nilai p=0,045.
Kesimpulan. Kadar vitamin D yang lebih rendah meningkatkan kejadian depresi pada pasien DM tipe 2.

Background. The population of people with type 2 diabetes is increasing, which is often accompanied by comorbid, one of them is depression. The presence of depression can affect the outcome of type 2 diabetes mellitus. Some of antidepressants are known to interfere with blood sugar control. Vitamin D levels have long been known to be associated with a variety of chronic diseases, have the potential to improve symptoms of depression, although the relationship is not yet known.
Methods. This research is a cross sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with type 2 DM who met the inclusion criteria on an outpatient basis were screened for depression using BDI-II questionnaire, then divided into two groups, depressed (BDI-II ≥ 14), and without depression (BDI-II <14). Then both groups were examined for vitamin D levels using the ELISA method, and an analysis of the mean difference between the two groups was performed.
Results. From the 60 subjects with type 2 DM who met the criteria, 23 subjects (38.3%) were depressed, and 37 subjects (61.7%) were not depressed. The median of vitamin D level was 21.8 ng/mL (IQR 14.9-26.6) in the depressed group, while the median vitamin D level was 26.5 ng/mL (IQR 23.96-34.08) in the non-depressed group (p = 0.001). After doing multivariate analysis with confounding variables the adjusted odds ratio was 1.123 (95% CI: 1.003-1.259) with p value=0.045.
Conclusion. Lower levels of vitamin D increase the incidence of depression in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misella Elvira Farida
"Kualitas tidur yang buruk pada pasien diabetes melitus tipe 2 akan berdampak pada kualitas hidupnya. Kualitas tidur yang buruk disebabkan oleh tanda dan gejala serta komplikasi diabetes melitus yang diakibatkan oleh status kontrol gula darah yang buruk. Kadar HbA1c dapat menggambarkan status kontrol gula darah pasien dalam tiga bulan terakhir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kadar HbA1c dengan kualitas tidur pada pasien diabetes melitus tipe 2. Desain penelitian ini adalah analisis korelatif dengan pendekatan cross sectional, reponden pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 sebanyak 110 pasien di Poli Endokrin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan samel dengan teknik consecutive sampling. Data kadar HbA1c diambil dari hasil pemeriksaan HbA1c responden dalam tiga bulan terakhir dan kualitas tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan kualitas tidur responden (p=0,000) dimana responden dengan kadar HbA1c pada kategori diabetes memiliki peluang 45 kali untuk memiliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan responden dengan kadar HbA1c pada kategori normal.
Penelitian ini merekomendasikan kepada perawat agar memberikan edukasi mengenai manajemen diabetes melitus sehingga pasien dapat mempertahankan status kontrol gula darah yang baik dan mendapatkan kualitas tidur yang baik.

Poor sleep quality in patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) will have an impact on their quality of life. Poor sleep quality is caused by signs and symptoms and complications of diabetes mellitus caused by poor glycemic control. HbA1c level describes the patient's glycemic control in the last three months.
This study aims to identify the relationship between HbA1c level and sleep quality in patients with T2DM. The study was using a cross sectional approach, 110 patients with T2DM at the Endocrine Polyclinic of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Referal Hospital Jakarta were recruited by consecutive sampling technique. HbA1c level was taken from the results of HbA1c examination of respondents in the last three months and sleep quality was measured by the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).
The results of this study indicated that there was a significant correlation between HbA1c level and the sleep quality of respondents (p = 0,000). The respondents with HbA1c level in the diabetes category have a 45 times greater chance of experiencing poor sleep quality compared to respondents with levels HbA1c in the normal category.
This study recommends the nurses to provid education and encourage patients with T2DM to maintain their glycemic control to promote healthy sleep among diabetic.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>