Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118532 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghea Dwi Apriliana
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah di Indonesia. PPOK ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang disebabkan oleh kelainan saluran napas atau kelainan anatomis paru atau kombinasi dari keduanya. Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada penderita PPOK yaitu kurangnya asupan oksigen pada waktu malam hari. Keadaan tersebut akan semakin diperberat apabila penderita PPOK juga menderita gangguan tidur Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA adalah gangguan tidur yang disebabkan penyumbatan saluran napas dan menyebabkan jeda sementara saat napas minimal 10 detik.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan seleksi fitur Information Gain untuk mencari fitur-fitur yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya OSA pada pasien PPOK. Setelah proses seleksi fitur selesai, peneliti menggunakan metode Random Forest untuk mengklasifikasi pasien PPOK yang beresiko tinggi terkena OSA dan yang berisiko rendah terkena OSA. Sampel pada penelitian ini merupakan 111 pasien PPOK yang berada di RS Cipto Mangunkusumo.
Dari hasil penelitian ini, nilai akurasi terbaik didapat saat penggunaan 4 fitur terbaik dari keseluruhan fitur (10% fitur dari keseluruhan fitur) sebesar 85.71% dengan sensitifitas dan spesifisitas berturut-turut sebesar 71.43% dan 92.86%. Fitur yang memiliki rangking terbaik adalah lingkar pinggang.

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is one of the epidemic diseases in Indonesia. The characters of COPD can be seen from airway abnormalities, anatomical abnormalities of the lungs, or the combination of both. One complication that can occur in patients with COPD is lack of oxygen intake at night. This situation will be further aggravated if COPD patients also suffer from Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA is a sleep disorder caused by airway obstruction, and causes a temporary pause when breathing for at least 10 seconds.
In this study, we used Information Gain feature selection to determine which features that affect the risk of OSA in COPD patients. After the feature selection process was completed, we used the Random Forest Classifier method to classify who has the high risk and who has the low risk of developing OSA in COPD patients. The sample in this study consist of 111 COPD patients with 34 features who hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital.
From experimental result, the best accuracy are obtained by 4 features (10% of total features) i.e 85.71% with sensitivity and specificity are 71.43% and 92.86% respectively. The feature with highest ranking is waist size.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Surya Anisa
"Pada tahun 2015 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menyebabkan kematian rata-rata sekitar 5% di dunia dan jumlah kejadian PPOK di Indonesia rata-rata sebesar 3,7%. Salah satu komplikasi yang dapat dialami oleh pasien PPOK adalah nocturnal hypoxemia yaitu kurangnya asupan oksigen pada waktu malam hari. Keadaan ini akan semakin diperberat jika pasien PPOK juga menderita gangguan tidur berupa Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA adalah gangguan tidur yang disebabkan oleh saluran napas yang tersumbat dan menyebabkan jeda sementara saat napas minimal 10 detik. Ketika PPOK dan OSA terjadi disaat yang bersamaan dapat menyebabkan dua kali lipat kondisi tidak nyaman saat bernapas.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan model prediksi risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada pasien PPOK berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi risiko terjadinya OSA pada pasien PPOK. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer pasien PPOK yang telah terdiagnosis oleh dokter di RSCM dengan mewawancarai menggunakan kuesioner Berlin dan pemeriksaan fisik seperti mengukur lingkar leher dan lingkar pinggang. Sampel yang dipilih menggunakan non-probability sampling dengan metode purposive sampling. Sampel pada penelitian ini adalah pasien PPOK sebanyak 111 pasien.
Metode yang digunakan adalah regresi logistik biner untuk memprediksi model risiko terjadinya OSA pada pasien PPOK. Hasil yang didapatkan untuk faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap risiko terjadinya OSA pada pasien PPOK adalah lingkar pinggang dan Kuesioner CAT 2 (PPOK derajat berat) yang berarti pasien PPOK dengan derajat berat. Pasien PPOK berderajat berat lebih berisiko terkena OSA sebesar 4,39 kali lebih besar dibandingkan pasien PPOK berderajat ringan hingga sedang dan setiap kenaikan 1 cm lingkar pinggang pada pasien berisiko terjadinya OSA. Hasilnya menunjukan bahwa pasien PPOK derajat berat lebih berisiko terjadinya OSA dibandingkan yang tidak. Keakuratan model tersebut dihitung menggunakan tabel klasifikasi pada cut point 0,5, diperoleh tingkat ketepatan klasifikasi sebesar 73,9%.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) has caused death of around 5% in the world and 3.7% in Indonesia. One of the complications that can be experienced by patients with COPD is nocturnal hypoxemia, which is the lack of oxygen intake at night. This situation will be more aggravated if patients with COPD also suffer from sleep disorder which is called Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA is a sleep disorder caused by a blocked airway and led to a temporary pause while breathing for at least 10 seconds. When COPD and OSA occur at the same time, it can create double discomfort while breathing.
The purpose of this research is to determine prediction model occurrence OSA risk in COPD patient based on factor affecting the risk of OSA occurring in COPD patients. Data used in this research is primary data from COPD patients who is diagnosed by doctor at RSCM by interviewing them using Berlin questionnaire and physical examination such as measuring the circumference of neck and waist.
This study uses non-probability sampling i.e. purposive sampling method. Sample of this research is 111 patients with COPD. This research uses binary logistic regression to predict model occurrence of OSA risk in COPD patients. This study shows that waist circumference and COPD Assessment Test (CAT) 2 questionnaire (COPD patients with severe degree) are significant factor of OSA on COPD patient. In addition, COPD patients with severe degree are 4.39 times greater risk suffer from OSA than mild to moderate COPD patients and each centimetre increase of waist circumference has higher risk of OSA. Accuracy of our model is estimated using classification table with cut point at 0.5 and its accuracy is 73,9%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alyanisa Ulfathinah
"Penyakit paru obstruktif kronik dapat menyebabkan seseorang mengalami keluhan pernapasan seperti sesak napas, batuk, sputum berlebih. Keluhan pernapasan dan berbagai faktor dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas tidur pada pasien PPOK. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan purposive sampling. Sebanyak 200 sampel diambil di tiga rumah sakit daerah jakarta pada Mei-Juni 2018. Kuesioner menggunakan COPD Assesment Test dan Pittsburgh Sleep Quality Index.
Hasil penelitan menunjukkan 66 pasien PPOK memiliki kualitas tidur buruk dengan masalah tertinggi yaitu durasi tidur. Kualitas tidur buruk ditemukan rata-rata pada usia 62 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SD/SMP, pendapatan kurang lebih Rp.2.000.000, menikah, IMT normal, memiliki >1 penyakit penyerta, terdiagnosis PPOK 12 bulan. Pasien PPOK yang mengalami kualitas tidur buruk mayoritas memiliki keluhan pernapasan sedang-berat. Tingkat keluhan pernapasan memiliki hubungan dengan kualitas tidur p = 0,016;OR:2,28. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas tidur pasien PPOK.

Chronic obstructive pulmonary disease can cause someone experience respiratory complaints such as shortness breath, coughing, excessive sputum. Respiratory complaints and many factors can influence sleep quality. This study purpose to describe sleep quality in COPD. Design used cross sectional purposive sampling in May June 2018. Respondents was 200 at three hospitals in Jakarta. Questionnaire used COPD Assesment Test and the PSQI.
Results showed that 66 COPD had poor sleep quality, the highest problems was sleep duration. Poor sleep quality was found average at 62 years old, male, education level in elementary junior high school, income Rp.2.000.000, married, had normal BMI and 1 comorbidities, diagnosed COPD for 12 months. Most of COPD who experience poor sleep had moderate severe respiratory complaints. There was relationship between respiratory complaints and poor sleep quality in COPD p 0.016 OR 2,28 . Nurses as caregivers is expected to correct or improve sleep quality in COPD.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ai Cahyati
"ABSTRAK
OSA dapat memperberat komplikasi CAD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko terjadinya OSA pada pasien CAD. Penelitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional. Responden berjumlah 161 orang. Pengukuran risiko OSA menggunakan kuesioner. Dari hasil analisis data ditemukan ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, riwayat keluarga, IMT, hipertensi, diabetes melitus, lingkar leher dan lingkar perut dengan risiko terjadinya OSA, sedangkan umur dan dislipidemia tidak berhubungan. Faktor yang paling berhubungan adalah IMT, Diabetes Melitus dan lingkar perut. Rekomendasi: Deteksi dini risiko terjadinya OSA sangat diperlukan bagi pasien CAD.

ABSTRACT
OSA can give complicated burdens on CAD. This research aimed at indentifying factors which relate to risks of the occurrence of OSA on patients with CAD. This research employed Cross Sectional Design. The total of respondents were 161 respondents. The measurement of OSA risks was conducted using questionnaires. The result of data analyse identified that there is a significant correlation among sex, history of family, IMT, hypertension, Diabetic mellitus, circle of neck and belly with the risks of OSA occurrence, whereas, the age and dislipidemia do not have correlation with the evidence of OSA. The most significant correlated factors are IMT, Diabetic mellitus and the circle of belly. Recommendation reveals that screening on the risks of OSA occurrence is needed for CAD patients."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T33104
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Annisa Maula Utrujah
"Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia. PPOK mengganggu proses masuk dan keluarnya udara sehingga dapat menimbulkan gejala seperti batuk, sesak, dan produksi sputum berlebih. Aktivitas fisik penting untuk pasien PPOK. Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko hospitalisasi dan mortalitas. Tujuan penelitian ini, yaitu melihat gambaran karakteristik dan aktivitas fisik pada pasien PPOK. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional pada 200 responden dengan teknik purposive sampling. Alat pengumpulan data menggunakan International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) untuk aktivitas fisik. Hasil penelitian didapatkan 66 orang (33%) aktivitas fisik ringan, 74 orang (37%) aktivitas fisik sedang, dan 60 orang (30%) aktivitas fisik berat. Pada 200 orang responden yang mengikuti penelitian ini paling banyak melakukan aktivitas fisik sedang, sehingga mayoritas responden aktivitas fisiknya terpenuhi. Pada aktivitas fisik ringan disarankan untuk menggunakan bronkodilator sebelum beraktivitas atau mengikuti rehabilitasi paru sehingga dapat meningkatkan aktivitas fisik.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the fourth leading cause of death in the world. COPD interferes with air entry and discharge, causing symptoms such as coughing, dyspnea, and excessive sputum production. Physical activity is important for COPD patients. Physical activity could reduce the risk of hospitalization and mortality. This study is aimed to describe the characteristic of physical activity on patients with COPD. Its design was cross-sectional with 200 samples and selected through purposive sampling technique. Physical activity were identifies using International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). The results showed there were 66 patients (33%) who had mild physical activity, 74 patients (37%) with moderate, and 60 patients (30%) which had severe physical activity. This study found that the majority of patients had a good physical activity. This study reccomends patients with mild physcial activity uses bronchodilator before joining the lung rehabilitation or other activities to improve the intensity of physical activity."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handoko
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit komorbid pada PPOK berkontribusi terhadap rendahnya status kesehatan, mempengaruhi lama perawatan bahkan kematian. Osteoporosis merupakan komorbid yang cukup sering ditemukan pada PPOK. Di Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan belum ada data prevalens osteoporosis pasien PPOK stabil.
Objektif: Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Disain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK stabil yang berkunjung di poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek diperiksa densitas mineral tulang menggunakan dual energy x-ray absorptiometry (DXA) dan diperiksa kadar vitamin D darah. Saat pasien berkunjung, dilakukan anamnesis gejala, eksaserbasi, riwayat merokok, penggunaan kortikosteroid (oral atau inhalasi), komorbid, penilaian status gizi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji statistik.
Hasil: Subjek terbanyak adalah laki-laki (90,6%) dengan kelompok usia 65-75 tahun (53,1%), riwayat merokok terbanyak (84,4%). Berdasarkan derajat PPOK terbanyak adalah GOLD II (46,9%) dan grup B (50%) dengan menggunakan kortikosteroid sebanyak (65,7%). Pada penelitian ini didapatkan prevalens osteoporosis sebesar 37,5%, artinya lebih dari sepertiga pasien mengalami osteoporosis. Dalam Penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara grup PPOK, derajat PPOK, jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat kortikosteroid, usia, kadar 25-OHD, faal paru dengan terjadinya osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p>0,05). Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna pada IMT yang rendah sebagai faktor risiko osteoporosis pada PPOK stabil (p<0,001).
Kesimpulan: Prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 37,5%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara IMT dengan osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p<0,001).

ABSTRACT
Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. Comorbid diseases in COPD contributing to low health status, affecting the duration of treatment and even death. Osteoporosis is a quite often comorbid that found in COPD. In Indonesia, particularly in Persahabatan Hospital there are no data of prevalence on osteoporosis in patient with stable COPD.
Objective: The purpose of this research is to get the prevalence?s data of osteoporosis in patients with stable COPD at Persahabatan Hospital-Jakarta.
Method: The studie?s design was cross-sectional. Patients with stable COPD who came to the Asthma/COPD policlinic at Persahabatan Hospital-Jakarta who meet the criteria of inclusion and exclusion. Subjects had an examined of bone mineral density using dual energy x-ray absorptiometry (DXA) and had an examined of vitamin D blood level. At the time of visit, conducted anamnesis of symptoms, exacerbations, history of smoking, used of corticosteroid (oral or inhaled), comorbid, assessment of nutritional status. Then we did statistical test for analysis.
Results: Subjects were dominated with male (90.6%) in the age group 65-75 years old (53.1%), and smoking history (84.4%). The most degree of COPD of the subject were GOLD II (46.9%) and group B (50%) that using corticosteroid (65.7%). In this study we found prevalence of osteoporosis was 37.5%, meaning that approximately more than one third of the patients have had osteoporosis. There were no statistically significant relationship between COPD group, the degree of COPD, sex, smoking history, history of corticosteroid, age, levels of 25-OHD, pulmonary function with the occurrence of osteoporosis in patients with stable COPD (p>0.05). We found a significant relationship on low BMI as a risk factor for osteoporosis in stable COPD (p<0.001).
Conclusion: The prevalence of osteoporosis in patients with stable COPD in Persahabatan Hospital-Jakarta is 37.5%. There are a statistically significant relationship between BMI with osteoporosis in patients with stable COPD (p <0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pangaribuan, Mariska Taruli Godang
"Latar belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit komorbid yang sering ditemui pada pasien PPOK. Penyakit paru obstruktif kronik dipertimbangkan sebagai faktor risiko berkembangnya diabetes tipe 2 melalui beberapa mekanisme antara lain inflamasi sitemik, merokok, stres oksidatif, obesitas dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. Prevalens DM pada pasien PPOK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Diabetes melitus sebagai penyakit komorbid pada pasien PPOK akan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan analisis deskriptif yang dilakukan di poliklinik asma ndash;PPOK Rumah sakit umum pusat Persahabatan pada bulan Februari ndash; Maret 2017 untuk melihat kejadian diabetes pada pasien PPOK. Enam puluh empat pasien PPOk di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan wawancara, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Pada penelitian ini diambil 64 pasien PPOK lakilaki: 60, perempuan : 4 dengan usia rata rata 65 8.7 tahun. Sebanyak 12 subjek 18.8 sudah memiliki riwayat DM sebelumnya dan pasien ini dimasukan kedalam kelompok DM tanpa memandang hasil laboratorium. Dari 52 81.3 subjek yang belum diketahui status DM ditemukan 2 subjek 3,1 dengan diagnosis DM. Prevalens DM pada pasien PPOK pada penelitian ini sebesar 21.9. Ditemukan 16 subjek 25 dengan kadar HbA1c sesuai dengan prediabetes. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, riwayat merokok, sataus gizi, hambatan aliran udara dan penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan kejadian DM pada pasien PPOK.
Kesimpulan: Prevalens DM pada pasien PPOK dalam penelitian ini adalah sebesar 21..9 . Penapisan komorbid DM penting dilakukan secara berkala.

Background: Type 2 diabetes mellitus DM is a common comorbidity of COPD. COPD may be considered as a risk factor for new onset type 2 DM via multiple pathophysiological alterations such as systemic inflammation, smoking, oxidative stress, obesity and inhaled corticosteroid use. Exact prevalence of DM in COPD patients in Indonesia are still unclear. Co morbid conditions like DM have great impacts on the outcome of COPD in the form of severity, morbidity and mortality
Method: A cross sectional study with descriptive analysis was done in Asthma COPD clinic Persahabatan Hospital from February to March 2017 to screen COPD patients for DM. Sixty four subjects were recruited consecutively. Interview, physical examination and laboratory testing were performed in all subjects.
Results: A total of 64 patients with COPD Males 60, Female 4 with mean age 65 8.7 were screened for DM. Patients with known history of DM were 12 18.8 and were enrolled as Known DM cases. Remaining 52 81.3 patients whose DM status were unclear and screened by random or fasting blood sugar and HbA1c. Two subjects 3.1 were considered as newly diagnosed DM cases. Prevalence of DM in present study was 21.9. Number of patients with prediabetes were 16 subjects 25. There were no significant relationship among gender, age, smoking, nutritional status, airflow limitation and inhaled corticosteroid use in occurrence of DM among COPD patients.
Conclusion: Prevalence of DM in COPD patients in the present study is 21.9. It is important to screen all COPD patients for DM routinely.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Ismail
"Latar belakang: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan dampak yang cukup besar pada kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari. Mayoritas pasien mengalami setidaknya satu eksaserbasi per tahun dan eksaserbasi telah dikaitkan dengan penurunan progresif dalam VEP1 dan dengan laporan yang berbeda-bedaada ketidakpastian apakah eksaserbasi meningkatkan tingkat penurunan fungsi paru.
Metode: Penelitian ini penelitian deskriptif dengan metode potong lintang yang menganalisis hasil spirometri pada pasien PPOK dan membandingkan dengan data spirometri tahun sebelumnya dan melihat perubahan VEP1. Jumlah sampel keseluruhan penelitian ini adalah 100 pasien yang sudah terdiagnosis PPOK dan rutin kontrol ke poli asma/PPOK RS persahabatan dari tahun 2011sampai 2013.
Hasil: Sebanyak 100 subjek diambil untuk penilitian ini. Sebagian besar pasien adalah laki-laki , 96 % ( n = 96 ) . Usia rata-rata adalah 66,5 tahun ( SD ± 7 tahun dan 95 % CI ) BMI subjek adalah 22.88 ( SD ± 3,95 & 95% CI ). Status merokok adalah; bekasperokok ( 89 %, 95 % CI ), merokok 3 %, dan 8 % yang tidak pernah merokok. Keparahan penyakit berdasarkan GOLD adalah; Derajat ringan 7 %, Sedang 45 %, berat 41% dan sangat berat 7 %. Penurunan VEP1terlihat pada 73 % subjek ( n = 73 ) dan penurunan VEP1 rata-rata 117mL per tahun. Subjek dalam penelitian kami ditemukan eksaserbasi tingkat tahunan rata-rata 2,4 per tahun. Kami idak menemukan korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dengan jumlah eksesabasi( p = 0,005) dan terdapat korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dan tingkat keparahan penyakit (p = 0,005 ). Kami tidak menemukan korelasi penurunan VEP1 dengan BMI (p = 0,602 ), Indeks Brinkman (p = 0,462) atau komorbiditi.
Kesimpulan: Penilitian ini terdapat hubungan yang bermakna dengan penurunan VEP1 dan tingkat keparahan penyakit dengan frekuensi eksaserbasi. Kami tidak menemukan hubungan yang bermakna dengan jumlah eksesabasi dengan BMI, Brinkman Index atau komorbiditi.

Introduction: Exacerbations of COPD are associated with considerable impact on quality of life and daily activities. The rate at which exacerbations varies greatly between patients. Majority of patients experience at least one exacerbation per year and exacerbations have been linked to a progressive decline in FEV1and with varying reports there is uncertainty as to whether exacerbations increase the rate of decline in lung function.
Method: We conducted a descriptive, cross-sectional study on COPD patients who were on regular follow up at our hospital since 2011. Spirometry at enrollment was compared with previous year’s spirometry and event-based exacerbations were inquired from the patient and from inpatient and outpatient hospital medical records.
Result: A total of 100 patients were included in the study. Majority of patients were males, 96% (n= 96). The mean age was 66.5 years (SD ±7 years and 95% CI) The BMI of the subjects was 22.88 (SD± 3.95 & at 95% CI). Smoking status of the subjects were; past smokers (89%, 95% CI), current smokers, 3%, and 8% who never smoked. Disease severity per GOLD were; Mild disease 7%, Moderate 45%, Severe 41% and very Severe 7%. Decline in FEV1 was observed in 73% subjects (n=73) and a mean decline of 117mL/year. Subjects in our study reported 288 exacerbations during the study with a mean annual exacerbations rate of 2.4 per year. FEV1 decline hada significant correlation with number of exacerbations (p=.0005) and also there was significant relationship with disease severity (p=0.005). We did not find a correlation of decline in FEV1 with BMI (p=.602), Index Brinkman (p=.462) or comorbidities.
Conclusion: There was a significant correlation with decline in FEV1 and disease severity with the total number of exacerbations. We also found a significant correlation with disease severity as per GOLD stage,however, we did not find a significant correlation between BMI, Brinkman Index or the comorbidities of the subjects with number of exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>