Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152246 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Musthofa Faruq
"Presiden pada sistem negara Presidensial memiliki kedudukan yang kuat karena tidak mudah untuk diberhentikan. Namun, mekanisme pemberhentian Presiden tetap diperlukan demi terciptanya checks and balances antar kekuasaan, untuk itu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan ruang bagi cabang kekuasaan lain, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk memberhentikan Presiden, dengan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 7A Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yaitu: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Perumus amendemen UUD NRI 1945 menghendaki proses pemberhentian Presiden jauh dari alasan politis, dan harus berlandaskan alasan hukum, maka dari seluruh alasan pemberhentian Presiden merupakan perbuatan hukum yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi pada frasa 'perbuatan tercela' batasannya hanyalah 'merendahkan martabat Presiden,' sehingga sangat berpotensi membuka alasan politis untuk memberhentikan Presiden. Berdasarkan hasil penelitian, frasa 'perbuatan tercela' diambil dari frasa misdemeanor, frasa ini awalnya digagas di Inggris sebagai salah satu alasan impeachment, kemudian diadopsi oleh Amerika Serikat dan diadopsi di Indonesia. Walaupun di kalangan ahli hukum masih terjadi perdebatan mengenai batasan perbuatan tercela, perumus amendemen menganggap penting frasa 'perbuatan tercela' sebagai penjaga moral Presiden, karena Presiden adalah panutan rakyatnya. Dari hasil penelitian, diajukan saran untuk frasa 'perbuatan tercela' diperjelas dengan ditambah maknanya yang terdiri dari: penyalahgunaan kekuasaan, mengabaikan tugas, mengganggu hak prerogatif parlemen, pengkhianatan terhadap kepercayaan, dan melanggar moral. Atau apabila proses pembentukan UU tidak berhasil memberikan batasan yang jelas terhadap makna perbuatan tercela, maka demi terwujudnya tujuan proses pemberhentian Presiden yang beralasan hukum dan bukan beralasan politik, untuk itu frasa perbuatan tercela dihapus dari rumusan Pasal 7A UUD NRI 1945 apabila terjadi proses amendemen kelima.

The president in the presidential state system has a strong position because President is not easy to impeach. However, the mechanism of impeachment of the President is still needed for the sake of checks and balances between powers, for this reason the Indonesian constitutional system provides chance for other branches of power, the People's Consultative Assembly (MPR), to impeach the President with reasons stated in Article 7A State Law of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI 1945): betrayal of the state, corruption, bribery, other serious crimes, or misdemeanors or if it is proven that it no longer fulfills the requirements as President. The formulator of the 1945 Indonesian Constitution amendment requires the process of dismissing the President away from political reasons, and must be based on legal reasons, so that all reasons for dismissal of the President are legal actions based on regulation and explanation in Law Number 24 of 2004 concerning the Constitutional Court. However, in the phrase 'misdemeanor' the limits are only 'degrading the President', so it has the potential to open up political reasons for dismissing the President. Based on the results of the study, the phrase 'misdemeanor' was taken from the phrase misdemeanor, this phrase was originally conceived in England as one of the reasons for impeachment, later adopted by the United States and adopted in Indonesia. Although there are still debates among legal experts regarding the limits of despicable acts, the amendment formulator consider it important that the phrase 'misdemeanor' be the guardian of the President's morality, because the President is a role model for his people. From the results of the study, researcher suggest for the phrase 'misdemeanor' must be clarified by adding their meaning consisting of: abuse of power, neglecting duties, disrupting parliamentary prerogatives, betrayal of trust, and violating morals. Or if the process of forming a law does not succeed in giving a clear boundary to the meaning of a misdemeanor act, then for the purpose of the termination of the President's legal grounds and not political reasons, for this reason the phrase misdemeanor is removed from the formulation of Article 7A 1945 Constitution in the event of the fifth amendment process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrurrahman
"Pengisian jabatan presiden dan wakil presiden merupakan aspek utama pada sistem pemerintahan presidensial. Saat ini, mekanisme pengisian jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia dilakukan melalui pemilihan umum. Namun, UUD NRI 1945 masih memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menyelenggarakan sidang pemilihan wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan atau pemilihan jabatan presiden dan wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan secara bersamaan sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Tulisan ini dihasilkan melalui penelitian normatif dengan metode kualitatif yang menjadikan sumber-sumber hukum sebagai landasan utama. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa adanya kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam memilih lembaga kepresidenan sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 merupakan pelaksanaan prinsip ‘checks and balances’ yang dibangun oleh UUD NRI 1945 dalam rangka penguatan sistem presidensial. Oleh sebab itu, penguatan sistem presidensial terkait kandungan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 kedepannya perlu diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang terkait lembaga kepresidenan.

Filling the positions of president and vice president is a major aspect of the presidential government system. Currently, the mechanism for filling the positions of president and vice president of Indonesia is carried out through general elections. However, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia still authorizes the People's Consultative Assembly to hold a vice presidential election session in the event of a vacancy in office or the election of the president and vice president in the event of a vacancy of office simultaneously as stated in Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia. 1945. This paper was produced through normative research with qualitative methods that use legal sources as the main basis. The conclusion obtained is that the existence of the authority possessed by the People's Consultative Assembly in choosing the presidential institution as stated in Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is the implementation of the principle of 'checks and balances' developed by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in order to strengthen presidential system. Therefore, strengthening the presidential system related to the contents of Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia needs to be comprehensively regulated in a law related to the presidential institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Nursyamsi
"Istilah 'Presiden' dapat diartikan sebagai suatu jabatan dan juga pejabat yang mengisi jabatan tersebut Dari sisi jabatan Presiden mengemban tugas dan kewenangan dalam menjalankan fungsinya sedangkan sebagai pejabat Presiden adalah seorang manusia yang tidak dapat lepas dari sifat manusiawi termasuk kondisi sakit atau disabilitas Dalam sistem pemerintahan Presidensiil Presiden menjadi posisi yang sentral karena bertindak sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara Salah satu konsekuensinya adalah jabatan Presiden yang tidak mudah dijatuhkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensiil juga mengatur konsekuensi itu dalam Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu masa jabatan Presiden yang tetap selama lima tahun dan kedudukan Presiden yang tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR sehingga lembaga itu tidak dapat menjatuhkan Presiden secara langsung Namun Presiden juga manusia yang dapat berada dalam kondisi sakit atau disabilitas yang menyebabkan dirinya tidak mampu menjalankan tugas dan kewajibannya secara tetap ditengah masa jabatan Dalam kondisi itu penting untuk diatur dalam konstitusi suatu negara mengenai pergantian jabatan Presiden yaitu mengganti Presiden dengan Wakil Presiden sampai selesai sisa masa jabatan Pergantian jabatan Presiden dilakukan agar tidak terjadi kekosongan jabatan Namun menjadi permasalahan ketika ketentuan mengenai pergantian jabatan Presiden dengan dasar 'tidak dapat melakukan kewajibannya' dalam Pasal 8 ayat 1 UUD NRI 1945 tidak dilengkapi dengan ruang lingkup dan kewenangan pengambilan keputusan sehingga proses pergantian jabatan Presiden menjadi mudah untuk dilakukan dengan hanya didasarkan kepada pertimbangan politik Kondisi itu berpotensi melanggar prinsip dalam sistem pemerintahan Presidensiil dan juga prinsip checks and balances pada teori separation of power yang dianut juga di Indonesia Oleh karena itu diperlukan kajian mendalam untuk merumuskan ruang lingkup dari dasar 'tidak dapat melakukan kewajibannya' dalam Pasal 8 ayat 1 UUD NRI 1945 serta kewenangan pengambilan keputusannya sehingga Presiden tetap menjadi jabatan yang sulit dijatuhkan tanpa mengabaikan kemungkinan seorang Presiden harus diganti ditengah masa jabatannya karena dasar 'tidak dapat melakukan kewajibannya'.

The term of President can be interpreted as a position and also the officials who fill these positions In terms of office the President has the duty and authority to perform its functions while as an officer the President is a man who can not be separated from human nature including illness or disability In the Presidential system the President is in a central position because it acts as head of government and head of state A consequence is the position of President which is not easily to be remove Indonesia as a country which adheres to the Presidential system regulate the consequences of it in the Indonesian Constitution 1945 the presidential term fixed for five years and the position of the President that are no longer accountable to MPR so that the agency can not be dropped President directly However the President also people who may be in illness or disability condition which made him unable to carry out their duties and obligations in middle of a term permanently In that condition it is important to regulate in the constitution of a country on the removal of the office of President namely replacing the President with the Vice President to complete the remaining term Replacement of the President is done in order to avoid a vacancy However it will becomes a problem when the provisions on the removal of presidential because of inability in Article 8 paragraph 1 Indonesian Constitution 1945 not equipped with the scope and authority of decision making so that the process of changing the office of President becomes easier with only based on political considerations The condition is potentially not only violates the principle of the Presidential system but also the principle of checks and balances on the separation of power theory which also adopted in Indonesia Therefore in depth study to define the scope of 'inability' in Article 8 paragraph 1 Indonesia Constitution 1945 are required as well as the authority for decision making so that the President still difficult to remove without ignoring the possibility of a President to be replaced in the middle of his tenure for reason of inability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calyna Salsabila Nikmatullah
"Tesis ini membahas kewenangan pemerintah dalam rangka penataan ruang di era otonomi daerah berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945 beserta peran kementerian terkait penataan ruang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis serta sosiologi hukum. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketentuan persetujuan substansi dan evaluasi oleh menteri terhadap rancangan Perda Tata Ruang Wilayah adalah konstitusional; dan kementerian memiliki peranan yang dominan dalam rangka penataan ruang di daerah.

This research about The Government Authority in Spatial Planning Based On Article 18 Clause (2) and Clause (5) The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia in regional autonomy era and the role of the relevant ministries of spatial planning. This research is a normative juridical approach legislation, the approach of the case, and a historical approach and sociology of law . The study concluded that the provisions of substance approval and evaluation by the minister for Spatial draft law is constitutional ; and the ministry has a imperative role in the framework of spatial planning in regional autonomy era."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aziz Fauzi
"Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan kewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum dari pengujian suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Suatu undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dikarenakan prosedur pembentukan tidak sesuai UUD NRI Tahun 1945 atau materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mendasari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa inti dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang adalah untuk membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, dalam beberapa putusannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan norma, melainkan juga membuat norma yang berakibat pada terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran. Kendati perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945, namun hal tersebut diperlukan untuk memastikan UUD NRI Tahun 1945 tetap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ketatanegaraan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tesis ini akan menjelaskan 2 (dua) pokok bahasan. Pertama, sebab terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan memberikan makna tekstual (textual meaning) terhadap UUD NRI Tahun 1945 melalui pemaknaan yang berbeda dari makna asli (original meaning) UUD NRI Tahun 1945. Sehingga, secara materiil terjadi perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang disebabkan adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi yang menganggap kalimat konstitusi tidak jelas atau tidak memberikan jalan keluar. Kedua, akibat hukum perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) terjadi perubahan makna tekstual terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang berakibat pada terjadinya perubahan implementasi ketentuan UUD NRI Tahun 1945; dan (ii) wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 tidak menjadi hilang setalah perubahan UUD NRI Tahun 1945 melalui penafsiran Mahkamah Konstitusi. Sebab, wewenang MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 merupakan wewenang atribusi yang bersumber dari UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak akan hilang sepanjang tidak dihapus dari UUD NRI Tahun 1945.

The judicial review of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) is an authority given to the Constitutional Court by the UUD NRI Tahun 1945. The legal consequences of reviewing a law that is inconsistent with the constitution are further specified in Article 56 and Article 57 of Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court, namely that they do not have binding legal force. A law is declared to have no binding legal force because its formulation is not in accordance with the UUD NRI Tahun 1945 or the contents of paragraphs, articles and/or parts of the procedural law are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. Based on the provisions of Article 56 and Article 57 of the Law It can be understood that the essence of the Constitutional Court's authority in reviewing laws is to abolish norms that are contrary to the UUD NRI Tahun 1945. However, in several of its decisions, the Constitutional Court not only annuls norms, but also makes norms that result in fatal in the occurrence of amendments to the UUD NRI Tahun 1945 through monitoring. Although the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the stipulation of the Constitutional Court was not specified in the UUD NRI Tahun 1945, this was necessary to ensure that the UUD NRI Tahun 1945 remained in accordance with the needs and developments of the state administration. By using normative juridical research methods, this thesis will explain 2 (two) main topics. First, the reason for the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results of the study show that the Constitutional Court interprets the constitution in judicial review by giving a textual meaning to the UUD NRI Tahun 1945 through a different meaning from the original meaning of the UUD NRI Tahun 1945. Thus, materially there was a change in the UUD NRI Tahun 1945 due to the interpretation of the Constitutional Court which considered the sentence of the constitution to be unclear or did not provide a way out. Second, the legal consequences of changing the UUD NRI Tahun 1945 through the interpretation of the Constitutional Court. The results showed that: (i) there was a change in the textual meaning of the UUD NRI Tahun 1945 which resulted in a change in the implementation of the provisions of the UUD NRI Tahun 1945; and (ii) the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 was not lost after the amendment to the UUD NRI Tahun 1945 was through the interpretation of the Constitutional Court. This is because the MPR’s authority to amend the UUD NRI Tahun 1945 is an attribution authority originating from the UUD NRI Tahun 1945, so it will not be lost as long as it is not removed from the UUD NRI Tahun 1945"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Fitriyani
"Konstitusi sebagai hukum tertinggi melalui Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 telah mengamanatkan negara untuk melakukan penguasaan terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai panafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi melahirkan Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003. Dalam putusan ini, Mahkamah menyatakan bahwa penilaian terkait sifat dari cabang produksi menjadi kewenangan Pemerintah dan DPR untuk menentukannya. Permasalahan kemudian muncul akibat tidak adanya pengaturan mengenai kriteria untuk menentukan cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab tidak dapat diprediksi tindakan apa yang akan diambil dalam menilai cabang produksi tersebut oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini dikarenakan tiadanya rambu-rambu hukum dalam melakukan penilaiannya. Akibatnya timbullah ketidaktransparan dalam penilaian, dan berujung pada penilaian yang tidak objektif dari Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, tulisan ini hadir untuk menjawab 2 (dua) persoalan, pertama, penilaian Pemerintah dan DPR terhadap cabang produksi yang dikuasai oleh negara dalam undang-undang. Kedua, menganalisis dan menawarkan materi dan bentuk pengaturan yang seharusnya terhadap kriteria cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Metode penelitian hukum doktrinal merupakan metode penelitian yang digunakan dengan pengumpulan data studi kepustakaan untuk menjawab permasalahan. Melalui tulisan ini ditemui bahwa, hingaa saat ini belum terdapat pengaturan kriteria cabang produksi. Adapun setelah menelusuri 13 undang-undang terkait hak menguasai negara, tidak ada kriteria penilaian baku yang digunakan oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini dapat berkibat pada keleluasaan Pemerintah dan DPR dalam menentukan cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara sehingga legislasi perekonomian Indoneisa ke depan jatuh ke dalam inkonstitusionalitas. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan mengenai kriteria cabang produksi, yang digali dari Putusan Mahkamah Konstitusi dan perbandingan konstitusi. Pengaturan ini nantinya akan dimuat dalam revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.

The Constitution as the supreme law through Article 33 paragraph (2) of the 1945 Constitution has mandated the state to exercise control over branches of production that are important to the state and control the livelihood of many people. As the interpreter of the Constitution, the Constitutional Court issued Decision No. 001-021-022/PUU-I/2003. In this decision, the Court stated that the assessment of the nature of the branch of production is the authority of the Government and the Parliament to determine. Problems then arose due to the absence of regulation regarding the criteria for determining branches of production important to the state and controlling the livelihood of many people. Thus, it creates legal uncertainty, because it cannot be predicted what actions will be taken in assessing the branch of production by the Government and the DPR. This is due to the absence of legal guidelines in conducting the assessment. As a result, there is a lack of transparency in the assessment, leading to unobjective assessments from the Government and the DPR. Therefore, this paper is present to answer 2 (two) issues, first, the assessment of the Government and the DPR on the branches of production controlled by the state in the law. Second, analyses and offers materials and forms of regulation that should be applied to the criteria for branches of production that should be controlled by the state. Doctrinal legal research method is a research method used with literature study data collection to answer the problem. Through this paper, it is found that until now there has been no regulation of the criteria for the branches of production. After tracing 13 laws related to the right to control the state, there are no standardised assessment criteria used by the Government and Parliament. This may result in the discretion of the Government and the Parliament in determining the branches of production that should be controlled by the state so that future Indonesian economic legislation falls into unconstitutionality. Therefore, it is necessary to regulate the criteria for branches of production, which are explored from the Constitutional Court Decision and constitutional comparison. This arrangement will later be contained in the revision of the State-Owned Enterprises Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuryadin
"Tesis ini menganalisi mengenai pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pelaksanaan keadaan darurat atau keadaan bahaya menurut Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kewenangan dalam keadaan darurat tersebut hanya terletak pada satu cabang kekuasaan, yaitu eksekutif. Bahkan, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 disebutkan, bahwa pengawasan oleh hakim dan Dewan Perwakilan Rakyat ditiadakan jika situasi negara berada dalam keadaan darurat sesaat setelah diumumkan oleh penguasa keadaa darurat (eksekutif). Berbeda halnya pengaturan mengenai pengawasan dibeberapa negara yang memberikan Dewan Perwakilan Rakyat kewenangan untuk melakukan pengawasan, bahkan sebelum keadaan darurat tersebut diumumkan. Tesis ini bermaksud menjawab mengenai bagaimana pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia terlibat dalam berbagai keadaan darurat yang pernah terjadi di Indonesia, dan juga mengenai bagaimana pengaturan yang ideal pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan rakyat dalam keadaan darurat. Dengan menggunakan pendekatan secara konseptual dan juga pendekatan secara perundang-undangan ditemukan beberapa persoalan di dalam beberapa situasi darurat yang berkaitan dengan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan juga hukum yang digunakan dalam situasi darurat itu sendiri, dan dengan berbagai pendekatan yang dilakukan, disimpulkan bahwa pengaturan mengenai keadaan darurat di Indonesia harus ditinjau ulang karena banyak yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, khususnya dalam hal pengawasan. Pelaksanaan keadaan darurat tidak bisa dijalankan oleh satu kekuasaan tanpa melibatkan cabang kekuasaan lain, hal itu akan cenderung disalahgunakan

This thesis analyzes the supervision by the House of Representatives on the implementation of an emergency or a state of danger according to Article 12 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which authority in an emergency situation lies only in one branch of power, namely the executive. In fact, in Law Number 23 Prp of 1959 it is stated that supervision by judges and the House of Representatives is abolished if the state is in a state of emergency immediately after an emergency (executive) authority has announced it. This is different from the regulation regarding supervision in several countries which gives the House of Representatives the authority to carry out supervision, even before the state of emergency is declared. This thesis intends to answer how the supervision of the House of Representatives in Indonesia is involved in various emergencies that have occurred in Indonesia, and also about the ideal arrangement of supervision carried out by the House of Representatives in an emergency. By using a conceptual approach as well as a statutory approach, several problems were found in several emergency situations related to the supervision carried out by the House of Representatives and also the law used in the emergency situation itself, and with the various approaches taken, it was concluded that Regulations regarding the state of emergency in Indonesia must be reviewed because many are not in accordance with the times, especially in terms of supervision. The implementation of a state of emergency cannot be carried out by one power without involving other branches of power, it will tend to be misused."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahliya Bahnan
"Tesis ini membahas tentang bagaimana peran pemerintah dalam usaha memajukan dunia pendidikan di Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 31 UUD Tahun 1945 serta Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan juga menganalisis bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materil Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta pengaruh yang timbul akibat adanya putusan tersebut. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yang berkaitan dengan pembentukan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau Sekolah Bertaraf Internasional secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi peran pemerintah terhadap kebijakan rencana dan strategi pendidikan nasional, hal ini tak lepas dari fungsinya dalam memberikan jaminan perlindungan pendidikan yang layak untuk warga negara, adanya putusan tersebut bukan berarti penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah dan/atau pemerintah daerah lepas tangan begitu saja untuk mengembangkan RSBI/SBI tetapi justru harus lebih berperan lagi, sepanjang dalam prakteknya tetap memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi karena sejatinya tujuan awal dikembangkannya RSBI/SBI adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar internasional/dunia tetapi tetap menjaga nilai-nilai luhur bangsa dan negara serta budaya lokal.
Penulisan tesis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder atau bahan pustaka dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach).

This thesis discusses how the role of government in an effort to advance education in Indonesia in accordance with the constitutional mandate of Article 31 of the 1945 Constitution and the Law on National Education System and also analyze how the interpretation of the Constitutional Court in the Judicial Article 50 Paragraph (3) of the Law Number 20 Year 2003 on National Education System, As well as the effects that arise as a result of the decision. With the decision of the Constitutional Court No. 5/PUU-X/2012 on National Education System, relating to the establishment of international school or international school directly and indirectly affect the role of government to plan policies and national education strategy. it is not separated from its function in providing protection guarantee a decent education for citizens, the ruling does not mean the state officials in this case the government and/or local governments just hand off to develop RSBI/SBI but it should be more involved again, all in practice taking into account the legal reasoning of the Constitutional Court because his initial goals developed RSBI/SBI is to produce graduates who have the competence to international standards/ world but still maintain high values ​​of the nation and the state as well as local culture.
The thesis using research methods of juridical normative research. The research is done by examining secondary data or library materials and analyzing in term of the legislative approach (statue approach).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Rahmat Sorialam
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S25297
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Muhammad Faisal Akbar
"Aturan Peralihan atau transitional provisions merupakan suatu prinsip transisi hukum yang berkaitan dengan adanya perubahan norma sehingga digunakan untuk tetap memberlakukan norma lama menuju keberlakuan norma baru yang sifatnya sekali-selesai. Sifat transisi tersebut kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) untuk tetap memberlakukan segala peraturan perundang-undangan yang terbentuk dari sistem hukum lama. Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 ini sesuai original intent mengamanatkan untuk segera dilakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan agar berdasar kepada UUD hasil perubahan untuk mengakhiri masa transisi hukum. Namun karena tidak dicantumkan secara tegas batasan waktu transisi, sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan dari sistem hukum lama terus berlaku yang berdampak pada pengabaian UUD NRI 1945 dan pertentangan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pembangunan materi hukum nasional masuk dalam rencana pembangunan nasional, sehingga mestinya segala peraturan perundang-undangan yang lahir dari sistem hukum lama menjadi skala prioritas dalam perancangan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) setiap tahunnya. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan menganalisis teori perundang-undangan melihat Aturan Peralihan UUD NRI 1945 yang melingkupi pengkajian original intent. Selain itu akan menganalisis implementasi amanat dari original intent Aturan Peralihan UUD NRI 1945 yang akan memberikan gambaran pengaruh hukum terhadap pembentukan perundang-undangan nasional yang dapat menggunakan instrumen Prolegnas.

Transitional provisions or transitional provisions are a principle of legal transition related to changes in norms so that they are used to continue to enforce old norms towards the implementation of new norms which are one-time in nature. This transitional nature was later adopted in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution of the Republic of Indonesia) to continue to enforce all laws and regulations that were formed from the old legal system. Article I of the Transitional Rules of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is in accordance with the original intent of mandating immediate adjustments to laws and regulations so that they are based on the amended Constitution to end the legal transition period. However, because no time limit for the transition is explicitly stated, to date there are still many laws and regulations from the old legal system that continue to apply which results in the abandonment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and conflicts with Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation. The development of national legal materials is included in the national development plan, so that all laws and regulations that were born from the old legal system should become a priority scale in designing the National Legislation Program (Prolegnas) every year. By using the doctrinal research method, this study will analyze the theory of legislation looking at the Transitional Rules of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which cover the study of original intent. In addition, it will analyze the implementation of the mandate from the original intent of the Transitional Rules of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which will provide an overview of the legal influence on the formation of national legislation that can use the Prolegnas instrument."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>