Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164936 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Utami Listia
"Kejahatan narkotika berkembang menjadi kejahatan luar biasa dan kejahatan terorganisasi. Agar pengungkapan kasusnya bisa lebih mendalam dibutuhkan peranan seorang saksi yang juga tersangka (Justice Collaborator). Data ICJR tahun 2016 mengungkapkan banyak instansi yang telah memberikan rekomendasi persetujuan Justice Collaborator namun Badan Narkotika Nasional selama ini menolak sedangkan Polri belum diketahui. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis regulasi Justice Collaborator di Indonesia dan Implementasinya pada Badan Narkotika Nasional dan Polri. Metode yang digunakan kualitatif deskriptif. Hasilnya menunjukkan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan bahwa pengajuan status Justice Collaborator bisa pada tahap penyidikan, penuntutan dan pemidanaan serta adanya perlakuan khusus dan penghargaan. Implementasinya pengajuan Justice Collaborator narapidana selama ini ditolak oleh dua instansi karena belum adanya aturan pelaksanaan yang padu dan khusus bagi tindak pidana narkotika. peran Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika sangat penting untuk dapat dimaksimalkan peranannya agar tercipta ketahanan nasional yang lebih baik.

Narcotics crime develops into extraordinary crime and organized crime. In order for the disclosure of his case to be more profound, the role of a witness who is also a suspect is needed (Justice Collaborator). ICJR data in 2016 revealed that many agencies had given recommendations to the Justice Collaborator, but the National Narcotics Agency had refused while the National Police was unknown. The purpose of this study was to analyze the regulation of Justice Collaborator in Indonesia and its implementation in the National Narcotics Agency and National Police. The method used is qualitative descriptive. The results show that the regulations in Law No. 31 of 2014 state that the submission of Justice Collaborator status can be at the stage of investigation, prosecution and punishment as well as special treatment and awards. The implementation of the prisoners Justice Collaborator submission has been rejected by two agencies because there is no implementation rule that is unified and specifically for narcotics crime. However, the rejection attitude so far still corresponds to justice as well as the efforts of law enforcement agencies in realizing national security amid the limitations of existing regulations."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52712
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Andri
"Aktifitas penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor telah begitu luas di masyarakat kita. Masalah ini akan menjadi ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan hidup dan masa depan pelakunya, tetapi juga sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu pemerintah telah melakukan langkah-langkah dengan mengundangkan peraturan perundangundangan terkait penyalahgunaan Narkoba serta membentuk lembaga non struktural yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menjadi badan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada perkembangannya setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tugas dan fungsi BNN diberikan kewenangan yang besar. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekusor narkotika. BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika diluar penyidik POLRI yang sudah ada.
Dalam sistem peradilan pidana, Penyidik BNN menjadi salah satu gatekeeper selain penyidik POLRI dan PPNS dalam penanganan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Porsi kewenangan BNN yang sangat besar dan tidak adanya aturan diferensiasi dalam tataran pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan dengan penyidik POLRI, contoh dalam bentuk kekhasan cara penangkapan, obyek tangkapan, spesialisasi narkoba yang disita dan sebagainya antara penyidik BNN dengan penyidik kepolisiaan dapat menimbulkan permasalahan secara kelembagaan.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka dapat timbul kendala dimana sistem peradilan terpidana yang terpadu menghendaki keseluruhan proses yang bekerja dalam satu sistem, sehingga antara masing-masing lembaga itu sebagai sub sistem yang akan saling berhubungan dan mengaruhi satu sama dengan yang lainnya dapat bekerja sama dalam mewujudkan tujuan penegakan hukum.

The activity of abusing Narcotics and Precursor has been widely spread in our society. This problem will become a serious threat towards not only the survival but also the future of the victims, and is very harmful for the life of the society, the nation, and the state. Therefore, the government has taken some steps by enacting the relevant laws and regulations to the drugs abuse and by establishing a non-structural institution, BNN (National Narcotics Board) which becomes a coordinating board with the relevant government agencies for availability, prevention, and combat of the misuse and illegal selling of Narcotics and Narcotic Precursor.
In its development after the promulgation of the law No. 35 of the year 2009 on Narcotics, BNN has been granted big responsibilities for its duty and functions. One of BNN?s responsibilities is to prevent and combat the misuse and the spread of narcotics and narcotic precursor. BNN is granted a responsibility to do investigation and inquiry towards the misuse and the spread of the narcotics and narcotic precursor outside the existing POLRI (the Police Department of the Republic of Indonesia) investigators.
In the criminal justice system, BNN investigators become one of the gatekeepers besides POLRI and PPNS?s investigators in handling the Narcotics and Narcotic Precursor criminal acts. The portion of BNN responsibilities is very big and there is no differentiation rule in the level of execution of investigation and inquiry duty with POLRI investigators. Therefore, the differences in the way BNN and POLRI make an arrest, the subjects of the arrest, the drugs specialization confiscated, and other differences may cause problems institutionally.
Based on that, there will be problems incurred where the integrated criminal justice system expects the entire process works under one system so that each institution will be the sub-system mutually related and influencing one another, and can coorperate to accomplish the goal of the law enforcement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28937
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adib Candra Negara
"Seiring dengan perkembangan teknologi, semakin memberikan kemudahan kepada kita untuk melakukan pertukaran informasi. Jarak tidak menjadi penghalang untuk kita berkomunikasi dengan seseorang dimanapun mereka berada. Demikian pula dengan transaksi keuangan mengalami transformasi dan kemajuan yang sangat pesat, sehingga memudahkan kita untuk melakukan transaksi dimanapun berada. Globalisasi, liberalisasi dan berkembangnya teknologi memudahkan para pelaku untuk menyamarkan, menyembunyikan terhadap aset mereka, sehingga sulit dilakuan penelusuran aset (asset tracking) untuk mengetahui aset mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah gambaran proses penelusuran aset penegak hukum dalam menangani Tindak Pidana Pencucian Uang hasil Narkotika dan merumuskan kendala yang mempengaruhi penelusuran aset untuk selanjutnya dapat dilakukan upaya untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Badan Narkotika Nasional. Data yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder melalui penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, kemudian diolah dan ditinjau berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan selanjutnya disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang ada.
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penelusuran aset di Badan Narkotika Nasional sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi masih ada beberapa kendala yang berhubungan dengan sumber daya manusia, anggaran, sarana prasarana, kerjasama, standard operating procedure dan identitas fiktif. Hal ini yang menyebabkan proses penelusuran aset menjadi kurang optimal. Strategi untuk mengoptimalkan penelusuran aset dalam pemberantasan tindak pidana narkotika yaitu dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pusat data, meningkatkan kerjasama nasional dan internasional.

In line with technological developments make it easier for us to exchange information. Distance is not a barrier to communicating with person wherever they are. As well as financial transactions transformed and progressed very rapidly making it easier for us to conduct financial transaction. Globalization and liberalization give facilitation to narcotics syndicate to disguise, hide their assets and so hard to tracking their assets.
This study aims to get an overview of the process of asset tracking law enforcement in dealing with narcotics money laundering and formulate constraints affecting asset tracking can be done to further efforts to follow up on these issues.
This research was conducted at the National Narcotics Agency. The data obtained are primary data and secondary data through field research and library research. Data were analyzed descriptively, then processed and reviewed based formulation of the problem that has been established so that is expected to obtain a clear and concrete picture of the object further discussed qualitatively and presented descriptively that explain, describe, and illustrate in accordance with the existing problems.
Based on the results of research and discussion shows that the asset tracking at the National Narcotics Agency already well underway. However, there are still some problems related to human resources, budget, infrastructure, collaboration, standard operating procedures and fictitious identity. This causes the asset tracking process becomes less than optimal. Strategies for optimizing asset tracking in the eradication of narcotics is by improving the quality of human resources, development of data centers, improve national and international cooperation.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiandriatmoko
"Dalam suatu proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, fase penanganan awal merupakan fase yang paling krusial, karena merupakan fase yang sangat penting dalam menentukan “nasib” tersangka, apakah akan ditahan, direhabilitasi atau dibebaskan. Pada fase ini juga terjadi penggunaan diskresi yang paling intensif oleh Penyidik Polri, yaitu ketika Penyidik Polri menggunakan kewenangannya untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab atau bertindak menurut penilaiannya sendiri sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama dengan menggunakan metode survei terhadap 124 Penyidik Polri, diketahui bahwa Penyidik Polri memang masih tidak konsisten dalam penggunaan kewenangan diskresinya. Setelah dilakukan penelitian tahap kedua dengan menggunakan metode empiris, diketahui bahwa penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri hanya mempedomani ketentuan yang tertulis dalam KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian, dan kurang mempedomani teori dasar diskresi sebagaimana dikemukan oleh para ahli hukum yang pada intinya menegaskan bahwa diskresi adalah merupakan ide atau gagasan tentang moral, yang letak kedudukannya ada pada zona abu-abu antara hukum dan moral, dalam penggunaan diskresi semestinya lebih mengutamakan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum, dan harus mendasarkan pada akal sehat serta itikad baik. Akibatnya, penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri cenderung lebih mengejar kepastian hukum dari pada mewujudkan keadilan, lebih mengutamakan pertimbangan hukum dari pada pertimbangan moral, dan cara berpikirnya lebih berorientasi pada hukum positif dari pada hukum alam. Hal itulah yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya kelebihan hunian di Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia. Ketika hasil penelitian empiris dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan metode normatif, diketahui bahwa pengunaan diskresi oleh Penyidik Polri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari aspek hukum atau perundang-undangannya, aspek aparat penegak hukumnya, sarana pendukung penegakan hukumnya, maupun kondisi masyarakat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, agar penggunaan diskresi oleh Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana penyalahgunaan narkotika menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan upaya penataan ulang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut.

In the process of investigating crimes of narcotics abuse, the initial handling phase is the most crucial phase, because it is a very important phase in determining the "fate" of the suspect, whether they will be detained, rehabilitated or released. In this phase, the most intensive use of discretion by the Indonesian National Police Investigators also occurs, namely when the Indonesian National Police Investigators use their authority to carry out other actions according to the law that are responsible or action according to their own judgment as regulated in the Criminal Procedure Code and the Police Law. Based on the results of the first stage of research using a survey methode of 124 National Police Investigators, it is known that Indonesian National Police Investigators are still inconsistent in the use of their discretionary authority. After carrying out the second stage of research using empirical methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators only guided the provisions written in the Criminal Procedure Code and the Police Law, and did not follow the basic theory of discretion as put forward by legal experts who essentially emphasized that discretion is moral ideas, which are located in the gray zone between law and morals, in the use of discretion should prioritize moral considerations over legal considerations, and must be based on common sense and good faith. As a result, the use of discretion by Indonesian National Police Investigators tends to pursue legal certainty more than realizing justice, prioritizes legal considerations over moral considerations, and their way of thinking is more oriented towards legal positivism than natural law. This is thought to be one of the causes of excess in detentions and prisons throughout Indonesia. When the results of the empirical research were analyzed further using normative methods, it was discovered that the use of discretion by Indonesian National Police Investigators was influenced by various factors, such as legal or statutory aspects, aspects of law enforcement officers, supporting facilities for law enforcement, or the condition of society and the culture of the community. Therefore, in order for the use of discretion by Indonesian National Police Investigators in investigating crimes of narcotics abuse to be better, efforts need to be made to reorganize the various factors that influence this."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Toban
"Pelayanan publik merupakan langkah pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. SPAN-LAPOR! merupakan salah satu media pelayanan publik yang di mana masyarakat bisa memberikan langsung pengaduan kepada pemerintah. Pada SPAN-LAPOR!, masyarkat bisa melaporkan pengaduan terhadap lembaga atau badan pemerintah yang di mana salah satunya yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). Terdapatnya beberapa pengaduan yang belum ditindaklanjuti mempengerahui tidak tercapainya pengelolaan pengaduan yang belum efektif di BNN. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan pengelolaan pengaduan pada Badan Narkotika Nasional untuk meningkatkan jumlah pengaduan dari masyarakat melalui aplikasi SPAN-LAPOR! dan meningkatnya prosentase penyelesaian pengaduan. Penelitian ini merupakan penelitian penelitian campuran (mixed methods), metodologi kuantitatif digunakan pada saat kuesioner kepada seluruh satuan kerja dan kualitatif yang dilakukan dilakukan dengan wawancara dan asesmen kepada narasumber di BNN. Framework ITIL untuk mengukur tingkat kapabilitas layanan di BNN dan framewok SPAN-LAPOR! digunakan untuk menganalisis kondisi pengelolaan aplikasi SP4N-LAPOR! pada BNN.  Hasil penelitian menunjukkan tingkat kapabilitas layanan di BNN untuk proses incident management adalah satu dan untuk proses problem management adalah satu. Roadmap rencana aksi sebagai hasil akhir penelitian ini diharapkan menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan aduan pada BNN.

Public service is a government step to meet the needs of the community. SPAN-LAPOR! is one of the public service media that can provide direct complaints to the government. In SPAN-LAPOR!, the public can report complaints against government institutions or agencies, one of which is the National Narcotics Board (BNN). Several complaints have not been followed up for the follow-up, the ineffective management of complaints at BNN has not been achieved. The purpose of this study was to analyze the implementation of complaint management at the National Narcotics Board to increase the number of complaints from the public through the SPAN-LAPOR! and the percentage of complaint resolution. This research is a mixed research study, quantitative methods used in questionnaires to all work units and qualitative research carried out by interviews and assessments of resource persons at BNN. ITIL framework to measure service capability level in BNN and SPAN-LAPOR! used to analyze the management conditions of the SP4N-LAPOR! at BNN. The results show that the level of service capability at BNN for the incident management process is one and for the problem management process it is one. The action plan roadmap as the final result of this research is expected to be a guide in implementing the development of a complaint management system."
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Aldinan Robby Jevri Hanter
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana kepolisian di lingkungan Direktorat Tindak Pidana Narkoba BARESKRIM POLRI menggunakan kewenangannya dalam melakukan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika untuk direhabilitasi. Kewajiban untuk menerapkan rehabilitasi kepada para penyalahguna narkotika bersumber dari Pasal 54 Undang-Undang Narkotika. Pada tahun 2014, 7 lembaga negara telah mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur tentang penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Peraturan bersama tahun 2014 membawa perubahan yang cukup besar bagi penerapan rehabilitasi, termasuk peran kepolisian sebagai penyidik. Peran kepolisian dalam menerapkan rehabilitasi, bagaimana cara menerapkan rehabilitasi, serta dampak rehabilitasi yang diterapkan menjadi pembahasan utama dalam tesis ini.

This thesis discussess how the police in Directorate of Narcotic Crime of BARESKRIM POLRI on using its authority to punish drug abusers to implement the treatment. Obligation of treatment implementation comes from article 54 of Narcotic Act. In 2014, 7 agents of state have released the joint regulation about the implementation of treatment fo drug abusers. Those regulation bring the big change for treatment implementation, including the role of police as an investigator. The role of police on implement the treatment, the way of those implementation, and the impact of those implementation are the main discussion of these thesis."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Mikhael Retno Hamonangan
"Penelitian ini membahas justice collaborator sebagai syarat remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan, yakni melakukan wawancara langsung dengan Badan Narkotika Nasional, Polisi, Jaksa, Lembaga Pemasyarakatan, dan juga narapidana tindak pidana narkotika. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa pembatasan hak narapidana dalam memperoleh remisi dengan syarat justice collaborator adalah melanggar hak narapidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Perlu juga diatur mengenai penentuan justice collaborator bagi narapidana sehingga memberikan kepastian kepada narapidana yang menjadi justice collaborator perlindungan dan penghargaan.

This research discusses justice collaborator as a requirement for convict remissions of narcotics crime based on the Government Regulation Number 99 in 2012 about Terms and Procedures for Implementation of the Prison Rights Citizens. This research was conducted by using the technique of collecting data through fieldwork, doing a interview with the National Anti Narcotics Agency, Police, Prosecutors, Lembaga Pemasyarakatan, and also Convict of narcotics crime. As a results of the analysis concluded that the restriction of the rights convict in obtaining remission to provided justice collaborator is in violation of the prisoners rights, as settled in regulation. It should be also regulated about determining justice collaborator for convict thus giving certainty to the convict who became a protection and reward of justice collaborator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62451
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ela Bestia
"Banyaknya penyalahguna narkotika yang ditempatkan di Lapas menjadi tantangan sendiri bagi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam memenuhi kebutuhan rehabilitasi bagi mereka. BNN sebagai leading sektor pelaksanaan P4GN dan Kemenkumham sebagai instansi pelaksana perlu bersinergi dalam upaya rehabilitasi penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) agar dapat menekan laju prevalensi penyalahgunaan narkotika nasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sinergi yang terjalin antara BNN dan Kemenkumham dalam upaya rehabilitasi narapidana narkotika di Lapas, dan bagaimana kendala sinergi dan penyelenggaraan layanan rehabilitasi di Lapas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, teknik pengambilan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Peneliti menggunakan sejumlah teori dan konsep dalam penelitian ini, yaitu teori sinergi, konsep pemasyarakatan, dan rehabilitasi.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa sinergi antara BNN dengan Kemenkumham dalam upaya rehabilitasi narkotika di Lapas sudah terjalin sejak lama, namun bersifat dinamis. Adapun faktor yang mempengaruhi sinergi tersebut adalah anggaran, kebijakan pimpinan, dan kebijakan pemerintah. Pada awalnya BNN dan Kemenkumham bekerja sama menginisiasi program rehabilitasi di Lapas namun sejak BNN menghentikan dukungan anggaran ke Lapas, Kemenkumham berinisiatif melanjutkan program tersebut dengan menggunakan anggaran sendiri. Sinergi masih banyak bersifat prosedural dan administratif namun terbatas dalam hal implementasinya sehingga dibutuhkan kebijakan yang mengakomodasi sinergi tersebut, dukungan anggaran, sarana prasarana, peningkatan kemampuan petugas rehabilitasi, supervisi, monitor dan evaluasi yang dapat mengoptimalkan penyelenggaraan rehabilitasi narkotika di Lapas.

The large number of narcotics abusers placed in prisons is a challenge for the National Narcotics Agency (BNN) and the Ministry of Law and Human Rights (Kemenkumham) in meeting their rehabilitation needs. BNN as the leading sector in the implementation of P4GN and the Ministry of Law and Human Rights as the implementing agency need to synergize in efforts to rehabilitate narcotics abusers in prisons to reduce the prevalence of narcotics abuse nationwide. The purpose of this study was to find out the synergy that exists between BNN and the Ministry of Law and Human Rights in the rehabilitation of narcotics prisoners in prisons, the obstacles to synergy and the implementation of rehabilitation services in prisons. This study uses qualitative methods, data collection techniques through interviews, observation, and documentation. Researchers used several theories and concepts in this study, namely the theory of synergy, the concept of correctional, and rehabilitation.
The results of this study found that the synergy between BNN and the Ministry of Law and Human Rights in narcotics rehabilitation efforts in prisons has existed for a long time, but the policies are dynamic. The factors that influence the synergy are the budget, leadership policies, and government policies. At first BNN and Kemenkumham worked together to initiate rehabilitation in prisons, but since BNN stopped budget support to prisons, Kemenkumham has taken the initiative to continue the program with its own budget. Synergies are still mostly procedural and administrative in nature but limited in terms of implementation. Policies needed to accommodate these synergies are budget support, infrastructure, capacity building for rehabilitation officers, supervision, monitoring and evaluation that can optimize the implementation of rehabilitation in prisons.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andryanto Santoso Randotama
"Tesis ini membahas hasil penelitian tentang analisis penerapan diversi terhadap tersangka anaknarkoba pada lima Polres di DKI Jakarta : ditinjau dari Undang-Undang Sistem Peradilan PidanaAnak dan Undang-undang Narkotika. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif-kualitatifyang bersumber dari data primer dan sekunder dengan metode pengumpulan data yang dilakukandengan cara wawancara mendalam, wawancara pakar, observasi dan telaahan dokumen. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa pada lima Polres yang berada di DKI Jakarta, telah melakukanimplementasi diversi kepada para pelaku anak yang terlibat dalam kasus narkoba.
Adapun dalam proses pelaksanaannya, para penyidik Kepolisian pada masing-masing Polres mengedepankankonsep kepentingan terbaik bagi anak dengan menghindari adanya penghukuman badan dan lebihmengutamakan perbaikan serta pembimbingan yang dilakukan oleh pihak keluarga. Masing-masing Polres di DKI Jakarta yang mempunyai karakteristik masing-masing melihat konteksbahwa kasus-kasus narkoba dapat diselesaikan dengan melihat tercapainya tujuan hukum yangdiinginkan oleh masyarakat, yakni terjaminnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatandengan dipengaruhi dari kronologis masing-masing kasus yang ditangani. Adanya perbedaanimplementasi yang terdapat pada lima Polres ini dikembalikan kepada penilaian penyidik dalammengedepankan kewenangan diskresinya untuk memilih jalur diversi pada penyelesaiannya.
Faktor-faktor yang menentukan pelaksanaan diversi ini lebih kepada posisi pelaku anak dalamjeratan kasus yang melibatkannya yakni hanya sebagai pengguna narkoba, dan didukung oleh hasilpenyidikan polisi serta penelitian yang dilakukan oleh BAPAS, dengan melibatkan para orang tua,Kejaksaan dan Pejabat Lingkungan, yang menentukan bisa tidaknya diversi dilakukan. Denganmengacu kepada faktor-faktor pendukung dan keputusan elemen-elemen terkait, dimana peranserta masyarakat menjadi salah satu faktor penting keberhasilan pelaksanaan diversi setelahketetapan dilaksanakan, maka diharapkan keputusan yang diambil dapat merubah perilaku dankepribadian anak menjadi lebih baik jauh dari jeratan narkoba yang membayanginya.

This thesis discusses the results of research on the analysis implementation of diversion tonarcotics child suspects in five Districts Police at DKI Jakarta based on the Child Criminal JusticeSystem Regulation and Narcotics Regulation. This research is conducted by descriptive qualitativemethod that comes from primary and secondary data where data collection method is done by indepthinterview, expert interview, observation and document review. The result of the researchshows that in five District Police located in DKI Jakarta, has been implementing diversion to childperpetrators involved in drug cases.
As in the process of implementation, Police investigators ineach District Police put forward the concept of the best interests for children by avoiding the bodypunishment and prefer the improvement and guidance done by the family. Each District Police inJakarta which has its own characteristics see the context that drug cases can be solved by lookingat the achievement of the legal objectives desired by the community, namely the assurance of legalcertainty, fairness and benefit by being influenced from the chronology of each case handled. Theexistence of different implementation found in five District Police is returned to the assessment ofthe investigator in prioritizing his discretionary authority to choose the path of diversion in thesettlement.
Factors that determine the implementation of this diversity are mostly becauses theposition of the child abuser in the case as a drug user, and supported by the results of Policeinvestigations and research conducted by the BAPAS, involving parents, prosecutors andenvironmental officials, whether or not diversion can be done. With reference to the supportingfactors and decisions of related elements, in which public participation becomes one of theimportant factors of successful implementation of the diversion after the determination isimplemented, it is expected that the decision that had been taken can change the behavior andpersonality of the child to be better man away from the trap of drugs itself.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T49124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sriyanto
"Tesis ini bermaksud untuk menganalisis budaya organisasi yang saat ini terjadi/aktual dan mcnganalisis bagaimana budaya organisasi yang diharapkan atau sesuai untuk dikembangkan pada Badan Narkotika Nasional, dengan menggunakan kerangka berpikir Competing Values Framework (Cameron & Robert Quin, 1999) yang bertujuan untuk mengidentifikasi budaya yang saat ini terjadi/aktual dan berusaha menemukan budaya yang diharapkan.
Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner diperoleh temuan bahwa budaya yang paling dominan dan yang saat ini terjadi pada Badan Narkotika Nasional adalah budaya hirarki (Hierarchy), demikian pula terjadi pada satuan kerja di lingkungan Badan Narkotika Nasional. Tujuan dari budaya Hierarchy adalah untuk menjaga stabilitas dan bersifat formal, sedangkan budaya yang memiliki nilai fleksibilitas yaitu budaya Clan dan Adhocracy belum banyak dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional.
Temuan lainnya adalah bahwa nilai-nilai flesibilitas dalam budaya Clan dan Adhacracy sangat dibutuhkan oleh organisasi Badan Narkotika Nasional, sehingga diperlukan peningkatan dan pengembangan. Nilai budaya Adhocracy diperlukan oleh seluruh satuan kerja kecuali Inspektorat utama, sedang Deputi Bidang Pencegahan dan UPT/Balai Diklat mengharapkan budaya Adhocracy tetap. Budaya Marker dominan pada satuan kerja Sekretariat Utama, Deputi Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Pemberantasan, Deputi Bidang Rehabilitasi; dan UPT/Balai Diklat sehingga perlu dikurangi, sedangkan satuan kerja Deputi Bidang Pemberdayaan masyarakat dan Puslitdatin kurang memiliki budaya Market sehingga perlu ditingkatkan.

This thesis intends to analyze the organizational culture that is currently happening or actual and analyze how the organizational culture that is expected or appropriate to be developed at the National Narcotics Boards, using the tramework of thinking Competing Values Framework (cameron & Robert Quin, 1999) which aims to identify the current culture and and trying to find a culture that expected / ideal.
Based on questionnaire data processing results obtained findings that the most dominant culture and which is currently happening at the National Narcotics Boards is the culture of hierarchy, as occurs in the environment unit at the National Narcotics Boards. The purpose of the cultural hierarchy is to maintain stability and formally, while the culture that has a flexibility value is Clan culture and Adhocracy culture has not been commonly owned by the National Narcotics Boards.
Other findings arc that the values flexibility of the Clan and Adhocracy culture is needed by the organization of the National Narcotics Boards, so that needed improvement and development. Adhocracy culture values required by the entire unit except the main Inspectorate, than Deputy Prevention Unit and Training Center keep expect Adhocracy culture. Market dominant culture in the work unit Main Secretariat, Deputy of Prevention, Eradication Deputy, Deputy Head of Rehabilitation and UPT I Training Center so that needs to be reduced, while the work unit and community empowerment Deputy and Puslitdatin have lacked market culture, so it needs to be improved.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2011
T33064
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>