Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171581 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hisana Putri Gazali
"

Penelitian ini mengkaji tentang respon yang diberikan oleh Taiwan pada masa pemerintahan Presiden Tsai Ing Wen, dalam menghadapi penguatan regional-power Tiongkok di Asia. Kajian tersebut berkaitan dengan konflik politik internasional Taiwan dengan Tiongkok dalan isu cross-strait relations. Penelitian ini pun melihat bahwa Taiwan pada masa pemerintahan Tsai Ing Wen mengalami tantangan politik domestik terkait isu cross-strait relations pada hubungannya dengan Tiongkok. Kemudian dengan menggunakan metode analisis process-tracing, pergantian pemerintahan ke Presiden Tsai Ing Wen dan Partai Democratic Progressive Party, serta perkembangan tuntutan ekonomi domestik masyarakat untuk melepas ketergantungan ekonomi dengan Tiongkok menjadi mekanisme kausal yang menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat dari kebijakan Tsai Ing Wen dalam isu cross-strait relations. Hal itu dikaji melalui konsep perbedaan besaran power oleh Detlef Nolte, bahwa terdapat perbedaan besaran power antara Taiwan dan Tiongkok di tingkat regional. Taiwan merupakan minor-power dan Tiongkok merupakan regional-power. Teori yang digunakan adalah teori small-state oleh Tom Long untuk menganalisis kebijakan yang dilakukan Tsai Ing Wen di tengah penguatan minor-power Taiwan, sebagai bentuk respon terhadap penguatan regional-power Tiongkok. Penelitian ini pun menemukan bahwa Tsai merespon penguatan regional-power Tiongkok melalui kebijakan strategis yang termasuk dalam bentuk collective power, derivative power, dan particular-intrinsic power yang juga ditujukan untuk mengatasi isu ekonomi domestik.

 

Kata kunci: cross-strait relations, minor-power, regional-power, Tsai Ing Wen, small-state

 


The research examines the responses of Taiwan during President Tsai Ing Wen goverment towards China’s emerging regional-power in Asia, relating to the cross-strait relations conflict occured between Taiwan and China as a lasting international politics issue. This research then argues that Taiwan during the government of President Tsai Ing Wen has been facing several domestic challenges relating to the cross-strait relations at the cost of its international politics with China. Through the method of process-tracing method, the switch of Taiwan’s government to Presiden Tsai Ing Wen and the Democratic Progressive Party and the emerging domestic economic challenges to unfold dependency to China, have become the causal mechanisms to show a cause-and-outcome relations in Tsai’s policies towards the cross-strait relations. This research uses the theory of power by Detlef Nolte that both Taiwan and China have different power in regional level, positioning Taiwan as minor-power and China as regional-power. To analyze about the policies made by Tsai in those conditions, this research uses the theory of small-state by Tom Long to look for the policies towards cross-strait relations towards China’s emerging regional power. The finding from this research is that during her government, Tsai responds to China’s emerging regional power by implementing three major policies: collective-power, derivative-power, and particular intrinsic power in order to also satisfy the existing domestic politics in Taiwan.

 

Key words:

cross-strait relations, minor-power, regional-power, Tsai Ing Wen, small-state

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Hisyam
"Tesis ini membahas tentang ironi respon Taiwan di bawah Pemerintahan Presiden Chen Shui-bian pada 2000-2008, terhadap dampak peningkatan kapabilitas militer China. Pada periode tersebut, strategi militer China bertransformasi menjadi menyerang, namun Taiwan justru tidak meningkatkan, dan bahkan menurunkan, kapabilitas militernya. Dalam penelitian kualitatif dengan disain deskriptif ini, penyusun menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi respon Taiwan terhadap kpeningkatan kapabilitas militer China di tengah-tengah dilema keamanan yang mereka alami. Akhirnya, penyusun menyarankan China dan Taiwan untuk menggalang kerjasama melalui forum resmi atau tidak resmi, demi mencegah meletusnya konflik terbuka di sekitar Selat Taiwan.

This Thesis is about the ironic of Taiwan;s respond in the period of President Chen Shui-bian (2000-2008) towards the China;s military capability building. In that period of time, China's military strategy transform into attacking format, while Taiwan tend not to increasing it's military capability, but seem to downgrading it;s military capability. In this qualitative research along with description design, writers will explain some factors that influencing Taiwan's respond towards China's military capability building in the middle of security dilemma among them. At the end, writers suggests that China and Taiwan must cooperate through both official or un-official organization, in order to avoid warfare at the Taiwan Strait."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T28585
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khadijah Shahnaz Fitra
"Tugas Karya Akhir berusaha menjawab bagaimana respon Taiwan terhadap peningkatan kapabilitas militer Tiongkok era Presiden Xi Jinping. Untuk itu, landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori balance of threat milik Stephen M. Walt. Dalam teori tersebut, terdapat dua proposisi utama yang menjelaskan mengenai upaya balance of threat yang dilakukan oleh sebuah negara, yakni menjalin aliansi serta melakukan bandwagoning. Adapun, kedua proposisi itu yang kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam melihat respon Taiwan terhadap peningkatan kapabilitas militer Tiongkok pada era Presiden Xi Jinping. Untuk itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik studi literatur terhadap sejunlah literatur yang terkait. Penelitian ini menjawab bahwa respon Taiwan terhadap peningkatan kapabilitas militer Tiongkok era Presiden Xi Jinping adalah dengan menjalin aliansi serta bandwagoning dengan Amerika Serikat melalui kerja sama militer dalam kerangka Taiwan Relations Act (TRA) dan meningkatkan kapabilitas militer untuk perlindungan dari ancaman invasi Tiongkok tengah ketegangan dalam hubungan antar selat.

This research aimed to answer the question of how Taiwan responded to the China`s military capability enhancement on President Xi Jinping era. The theoritical basis used in this research is based on Stephen M. Walt`s Balance of Threat theory. In that theory, there are two main proposition which describes a country`s effort to do balance of threat, by forming an alliance and bandwagoning. In this case, these propositions were used as reference in seeing Taiwan`s response to the China's military capability enhancement on President Xi Jinping era. This research is using a qualitative method with literature study
techniques on a number of related literatures. This research concludes that Taiwan`s response to the China`s military capability enhancement on President Xi Jinping era was by forming alliance and bandwagoning with United States through military cooperation in Taiwan Relations Act (TRA) framework and increasing their military capability as a form of defense against China`s threat of invasion amid tensions in the relations between the straits.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Nabilah
"Skrispi ini membahas terjadinya transisi demokrasi di Myanmar. Dengan mengacu kepada teori Samuel P. Huntington mengenai faktor pendorong demokratisasi dan pola transisi demokrasi, skripsi ini berargumen bahwa transisi demokrasi di Myanmar terjadi karena diinisasi oleh rezim yang sedang berkuasa, dan dipengaruhi beberapa faktor pendorong, yaitu 1) krisis legitimasi, 2) faktor ekonomi, 3) perubahan keagamaan, 4) perubahan kebijakan pelaku eksternal dan 5) efek demonstrasi. Melalui penelitian kualitatif dan studi literatur skripsi ini menemukan bahwa proses transisi demokrasi di Myanmar dimulai setelah liberalisasi awal yang dilakukan oleh rezim militer pada tahun 2007, dan dilanjutkan oleh pemerintahan baru yang dipimpin Thein Sein pasca pemilihan umum 2010. Sepanjang 2011-2016, pemerintahan Thein Sein yang melibatkan koalisi militer dan sipil transisi demokrasi terbatas di Myanmar melalui penerapan kebijakan reformasi politik dan ekonomi. Dari temuan tersebut skripsi ini menyimpulkan bahwa pola transisi demokrasi Myanmar yang diinisiasi oleh rezim militer dan diterapkan secara terbatas dibawah pengaruh kuat militer dan pelibatan kelompok opisisi dalam pemerintahan Thein Sein merefleksikan ciri model transformasi.

This thesis discusses the occurrence of democratic transition in Myanmar. Referring to Samuel P. Huntington’s theory regarding the driving factors for democratization and the pattern of democratic transition, this thesis argues that the democratic transition in Myanmar occurred because of the initiatied by the ruling regime and influenced by several factors, such as 1) legitimacy crisis, 2) economic factors, 3) religious changes, 4) changes in policies of external actors and 5) demonstration effects. Through qualitative research and literature study, this thesis finds that the democratic transition process in Myanmar began after the initial liberalization carried out by the military regime in 2007, and continued by a new government led by Thein Sein after the 2010 general election. During 2011-2016, Thein Sein’s government involving military and civil coalitions of limited democratic transition in Myanmar through the implementation of political and economic reform policies. From these findings, this thesis concludes that the pattern of Myanmar’s democratic transition initiated by the military regime and implemented in a limited manner under the strong influence of the military and the involvement of opposition groups in Thein Sein’s government reflects the characteristics of the transformation model."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bang, Hye Seon
"ABSTRAK
Banyak negara berkembang yang telah mencapai perkembangan secara pesat dalam setengah abad terakhir berasal dari kawasan Asia Timur. Perkembangan yang pertama kali dimulai oleh Jepang kemudian ditiru oleh negara-negara Asia Timur lain sehingga ekonomi negara-negara kawasan tersebut meningkat secara sangat pesat pada periode 1965-1990 dibandingkan dengan kawasan lain. Pada akhirnya, pembangunan ekonomi oleh negara-negara Asia Timur tersebut sering disebut East Asian Miracle. Dalam konteks tersebut, berdirinya model pembangunan kawasan Asia Timur menjadi bukti bahwa negara-negara Asia Timur tentunya memiliki karakteristik umum dalam usaha untuk membangun ekonominya. Karakteristik model pembangunan Asia Timur di mana pembangunan ekonomi dipimpin oleh negara melalui industrialisasi mendorong terbentuknya konsep developmental state. Walaupun demikian, setiap negara Asia Timur memulai strategi pembangunan ekonomi yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, saat krisis finansial melanda kawasan Asia Timur pun, terdapat negara yang dapat menghindari krisis, namun ada juga negara yang terpuruk oleh krisis tersebut. Dengan demikian, kebijakan pembangunan ekonomi, peran negara, dan sistem pemerintahan akan menjadi inti utama dalam membahas perbedaan karakteristik antara model pembangunan negara Asia Timur tersebut.

ABSTRACT
Many developing countries that have achieved rapid development in last half a century locate in East Asia. Wave of development that began from Japan was soon followed by other East Asian countries, who all grew rapidly between 1965 and 1990 when compared to other regions. In the end, the economic development style from East Asian countries is often named ?East Asian Miracle?. It was found that there are common characteristics within the efforts of improving economic development from East Asian countries. Economic development of East Asian countries were frequently characterized by industrialization which evoked the concept of developmental state. Even so, each East Asian country had different economic development plan with different purposes from each other. Such difference resulted to differing fates for East Asian countries after the financial crisis. As a result, economic development policy, state role, and government system became the main elements to be discussed in the different characteristics of development models of East Asia.
"
2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Happy Yennidia Ariyanus
"ABSTRAK
Karya akhir ini memiliki dua tujuan, pertama, meneliti hubungan keseimbangan jangka
panjang (long-run equilibrium relationships) dan hubungan jangka pendek (short-run relationships) antar indeks saham pasar modal Asia Timur (Thailand, Indonesia, Korea, Malaysia, Philipina, dan Taiwan). Kedua, menganalisa dan menyusun struktur hubungan antar
pasar modal Asia Timur. Rentang periode data mulai Agustus 1997 sampai dengan Desember
2001. Adanya kecenderungan bahwa negara Asia Timur mengalami krisis ekonomi secara
bersama-sama merupakan asumsi yang mendasari penelitian ini. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Tracy Yang (2002) menemukan bahwa ada kointegrasi antar pasar modal di Asia Timur.
Metodologi yang digunakan untuk meneliti hubungan jangka panjang adalah Vector Error
Correction Model (VECM) dan prosedur Johansen-Juselius, sedangkan untuk meneliti hubungan
jangka pendek digunakan metode Granger-Causality, Impulse Response, dan Forecast Variance
Decomposition.
Hasil penelitian pada karya akhir ini menunjukkan bahwa pada terdapat satu persamaan
kointegrasi yang menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antar indeks saham
pasar modal Thailand, Indonesia, Korea, Malaysia, Philipina dan Taiwan. Pasar modal Thailand
dan Taiwan tidak terpengaruh oleh hubungan jangka panjang pasar modal Asia Timur. Namun
pasar modal Indonesia, Malaysia, Korea, dan Philipina terpengaruh oleh hubungan jangka
panjang pasar modal Asia Timur.
Dari hasil pengujian granger-causality didapat bahwa dalam jangka pendek, pasar Korea
hanya dipengaruhi oleh pasar Thailand. Namun demikian, pasar Korea mempengaruhi banyak
pasar Asia Timur lainnya, seperti Thailand, Indonesia, Malaysia, Philipina, dan Taiwan.
Malaysia merupakan pasar Asia Timur yang banyak dipengaruhi oleh pasar Asia Timur,
diantaranya Thailand, Indonesia, Korea, Philipina, dan Taiwan. Pasar Malaysia banyak
mempengaruhi pasar modal lainnya, yaitu Thailand, Indonesia, Philipina, dan Taiwan.
Pasar Taiwan dipengaruhi oleh pasar Korea dan Malaysia, dan Pasar Taiwan mempengaruhi pasar Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Pasar Thailand dipengaruhi oleh pasar Indonesia, Korea, Malaysia, Philipina, dan Taiwan, dan pasar Thailand mempengaruhi pasar Indonesia, Korea, malaysia, dan Philipina. Pasar Indonesia dipengaruhi oleh pasar Thailand, Korea, Malaysia, dan Pliilipina, dan pasar Indonesia mempengaruhi pasar Thailand, Malaysia, dan Philipina. Pasar Philipina dipengaruhi oleh pasar Thailand, Indonesia, Korea, Malaysia, dan Taiwan.
Berdasarkan hasil pengujian Granger-Causality juga didapat urutan terjadinya krisis di Asia Timur. Krisis Asia Timur terjadi pertama kali di Korea kemudian ke Taiwan ke Thailand ke Indonesia ke Malaysia dan terakhir ke Philipina.
Analisa forecast variance decomposition menunjukkan bahwa Thailand merupakan
variabel yang paling exogenous. Presentase variance decomposition Thailand, sebesar 92.61
persen dijelaskan oleh pasar Thailand sendiri. Philipina merupakan variabel yang paling
endogenus. Persentase variance decomposition Philipina yang dijelaskan oleh pasar Philipina
sebesar 42.66 persen. Pasar Thailand merupakan pasar Asia Timur yang memiliki banyak
pengaruh terhadap pasar Asia Timur lainnya. Pasar Malaysia merupakan pasar endogenous kedua
setelah pasar Philipina
Dari hasil analisa impulse response didapat bahwa dalam jangka pendek, pasar Thailand paling cepat merespon perubahan yang terjadi pada pasar Taiwan dibandingkan dengan pasar
Asia Timur lainnya. Respon Indonesia terhadap perubahan yang terjadi pada Thailand terjadi
dalam kurun waktu dua hari. Taiwan merespon perubahan pasar Korea dalam kurun waktu dua
hari. Pasar Philipina paling cepat merespon perubahan pasar Taiwan dibandingkan dengan pasar
Asia lainnya, yaitu dalam kurun waktu dua hari.
"
2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Purnamasari
"Kemenangan Jepang akan Tiongkok dalam perang Sino-Jepang pertama mengakibatkan jatuhnya Taiwan ke tangan Jepang (1985-1945). Ketegangan pada abad ke-19 akibat imperialisme dan kolonialisme menjadi salah satu alasan Jepang untuk membuat sebuah program bernama Gerakan Kominka pada tahun 1937-1945 dengan tujuan untuk menjadikan rakyat Taiwan sebagai orang Jepang yang sebenarnya, baik dari tindakannya maupun jiwanya. Program pemerintah yang terdiri dari empat komponen tersebut mendapat pro dan kontra dari rakyat Taiwan. Beberapa di antaranya berhasil di jalankan, sedang yang lainnya terpaksa ditangguhkan.

Japanese victory against Tiongkok in the first Sino-Japan war caused the fall of Taiwan into Japanese (1985-1945). Tensions in the 19th century as a result of imperialism and colonialism became one of the reasons why Japanese created a program called Kominka Movement in 1937-1945 with the aim to make Taiwanese became a truly Japanese, both in their actions and their souls. This colonial-state program which consist of four components got pros and cons from the Taiwanese. Some of them were successful to run, while the other had to be suspended.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8146
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldilla Indah Prihantini
"ABSTRAK
Tulisan ini berusaha mengkaji perkembangan literatur mengenai perluasan pengaruh Cina di kawasan Oseania pasca Perang Dingin dengan melihat respons Australia sebagai regional power. Tulisan ini mengelompokkan literatur-literatur tersebut dengan menggunakan metode taksonomi ke dalam dua tema besar yang menjadi permasalahan akademisi, yaitu: perluasan pengaruh Cina di kawasan Oseania, dan respons Australia terhadap perluasan Cina. Dalam tema besar pertama, para akademisi melihat adanya kepentingan ekonomi dan politik Cina sehingga melakukan pendekatan terhadap negara kawasan Oseania. Cina dilihat memperluas pengaruhnya hingga ke kawasan Oseania seiring dengan konteks kebangkitan Cina (the Rise of China). Literatur menunjukkan bahwa Cina berupaya meningkatkan kekuatan ekonominya tersebut melalui perluasan pengaruh ke kawasan Oseania. Cina melakukan optimalisasi potensi-potensi kawasan Oseania guna meningkatkan kekuatannya di tingkat global. Perluasan tersebut dilakukan Cina dengan membentuk upaya penempatan diri terhadap negara kawasan. Pada tema besar kedua, sebagai regional power, Australia memiliki pandangan tersendiri mengenai perluasan pengaruh Cina di kawasan Oseania dan merespons upaya perluasan pengaruh Cina tersebut. Australia melihat upaya perluasan pengaruh Cina di kawasan Oseania sebagai ancaman tetapi potensial secara ekonomi, sehingga Australia melakukan kerja sama bilateral dengan Cina serta melakukan hedging dengan Amerika Serikat. Oleh karena itu, secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi proses pendekatan Cina ke negara kawasan Oseania dalam rangka memperluas pengaruhnya ke kawasan. Akan tetapi, pandangan mengenai perluasan pengaruh Cina di kawasan Oseania di dominasi oleh akademisi Australia dan kurangnya tulisan akademisi dari negara kawasan Oseania sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut di masa depan.

ABSTRACT
This paper seeks to discuss the literature about the extent of Chinas influence in the Oceania post-Cold War era with the back of Australia as a regional power. This paper organizes the literatures based on the taxonomy classification method and finding two big themes: the expansion of Chinas influence in Oceania and the response of Australia as a regional power. For the first one, scholars regard the economic and political motives of China so that she is approaching the Oceanian countries. China has been seen to extend her influence into Oceania within the context of the Rise of China. The literature shows that China is gaining her economic power through optimizing the Oceanian potentials. By that, China is laying a connection with the Oceanian countries. For the second one, as the regional power, Australia has her own perspective towards Chinas influence in Oceania. Australia has seen Chinas influence in Oceania as a threat and economically potential, so Australia does cooperation bilaterally with China and hedging with the United States. Therefore, this paper concludes that in general there have been certain processes undertaken by China in approaching Oceanian countries in order to extend her influence. However, this the perspective of Chinas influence extension has been dominated by Australian scholars and the needs of other perspective leads to further research needed."
2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>