Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167491 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novina Fortunata
"Latar Belakang: Belum tersedia penelitian yang membandingkan teknik radiasi
konvensional dengan teknik bone marrow sparing (BMS) di Indonesia. Penelitian ini
bertujuan mengetahui teknik yang paling superior secara dosimetri dan akan menjadi data dasar untuk studi-studi klinis berikutnya. Metode: Sepuluh data Digital Imaging and Communications in Medicine (DICOM) Computed Tomography (CT) simulasi pasien kanker serviks stadium IB2 - IVA di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo pada studi eksperimental eksploratorik ini menjalani proses perencanaan radiasi teknik 3D konformal dengan 4 lapangan dan teknik BMS menggunakan intensity-modulated radiation therapy (IMRT) step-and-shoot (SS) dengan 7 lapangan, volumetric modulated arc therapy (VMAT) dengan full 2-arc dan tomoterapi spiral. Dosis 50 Gy dipreskripsikan terhadap planning target volume (PTV) dalam 25 fraksi. Parameter dosimetri pada target dan organ kritis, jumlah monitor units (MU) dan lama waktu radiasi dibandingkan melalui analisis statistik dan sistem skor keunggulan. Hasil: Seluruh teknik memberi cakupan PTV yang sangat baik. Perbedaan statistik terlihat pada rerata D98%; D95%; dan homogeneity index (HI), dengan IMRT SS dan tomoterapi merupakan teknik yang paling superior (D98% = 48 Gy; D95% = 48,98 Gy dan 48,97 Gy; HI = 0,06). VMAT memberi rerata terendah pada V40 (22,2%), Dmean (26,45 Gy) dan D2% (50,42 Gy) usus halus, namun IMRT SS paling mudah mencapai batasan dosis-volume V45 < 195 cc untuk volume usus halus yang luas. IMRT SS juga memberi rerata terendah pada V30 (86,93% dan 92,55%), V40 (65,92% dan 70,81%), Dmean (42,05 Gy dan 43,03 Gy) dan D2% (50,51 Gy dan 50,91 Gy) rektum dan buli, secara berurutan. Tomoterapi memberi rerata terendah pada V10 (83,31%), V20 (67,5%), V30 (46,04%), V40 (27,38%) dan Dmean (28,43 Gy) bone marrow, namun dengan rerata kedua tertinggi pada D2% (50,82 Gy) bone marrow. Teknik 3D konformal memberi rerata terendah pada V5 RVR (43,8%), jumlah MU (275,3) dan lama waktu radiasi (0,46 menit). Total skor keunggulan yang tertinggi diperoleh pada teknik IMRT SS (80), diikuti dengan VMAT (68), tomoterapi (65) dan terendah pada 3D konformal (43). Kesimpulan: Teknik IMRT SS, VMAT dan tomoterapi mampu menyelamatkan bone marrow pelvis dengan cakupan dosis PTV adekuat, homogenitas dan konformitas yang baik, serta memberi dosis radiasi yang aman terhadap organ-organ kritis. Secara keseluruhan, IMRT SS paling superior
dibanding ketiga teknik lainnya, terutama terlihat pada dosis rektum, buli dan usus halus yang luas. VMAT paling superior menurunkan dosis usus halus secara umum.
Tomoterapi paling superior menurunkan dosis bone marrow kecuali untuk parameter
D2%, sedangkan 3D konformal paling superior menurunkan dosis RVR, jumlah MU dan lama waktu radiasi.

Background: Currently there is no research that compares conventional radiotherapy
technique with bone marrow sparing (BMS) techniques in Indonesia. The aim of this
research was to discover the most superior technique dosimetrically and will be the basic data for further clinical studies. Method: Ten Digital Imaging and Communications in Medicine (DICOM) images of simulation Computed Tomography from stage IB2 - IVA cervical cancer patients at Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital were enrolled in this experimental exploratory study and planned for four-field three-dimensional (3D) conformal radiotherapy and BMS technique using seven-field step-andshoot intensity-modulated radiation therapy (SS IMRT), full 2-arc volumetric modulated arc therapy (VMAT), and helical tomotherapy. A dose of 50 Gy was prescribed to the planning target volume (PTV) in 25 fractions. Dosimetric parameters of the target and critical organs, total monitor units (MU), and beam-on time were compared by means of statistical analysis and superiority score system. Result: All techniques provided excellent PTV coverage. Statistical difference was seen in the average of D98%; D95%; and homogeneity index (HI), with SS IMRT and tomotherapy were the most superior techniques (D98% = 48 Gy; D95% = 48.98 Gy and 48.97 Gy; HI = 0.06). VMAT delivered the lowest average of small bowel V40 (22.2%), Dmean (26.45 Gy), and D2% (50.42 Gy), but SS IMRT was the easiest to achieve V45 < 195 cc dose-volume constraint for a large volume of the small bowel. SS IMRT also delivered the lowest average of rectum and bladder V30 (86.93% and 92.55%), V40 (65.92% and 70.81%),Dmean (42.05 Gy and 43.04 Gy), and D2% (50.51 Gy and 50.91 Gy), respectively. Tomotherapy delivered the lowest average of bone marrow V10 (83.31%), V20 (67.5%), V30 (46.04%), V40 (27.38%) and Dmean (28.43 Gy), although with second-highest average of D2% (50.82 Gy). Three-dimensional conformal radiotherapy delivered the lowest average of Remaining Volume at Risk (RVR) V5 (43.8%), total MU (275.3), and beam-on time (0.46 minutes). The highest total superiority score was obtained by SS IMRT (80), followed by VMAT (68), tomotherapy (65), and 3D conformal (43). Conclusion: SS IMRT, VMAT, and tomotherapy techniques were able to spare pelvic bone marrow with adequate PTV dose coverage, good homogeneity and conformity, and
provided safe radiation dose to critical organs. Overall, SS IMRT was the most superior technique compared to the other three techniques, particularly seen in the dose of rectum, bladder and a large volume of the small bowel. VMAT was most superior to decrease the dose of the general small bowel. Tomotherapy was most superior to decrease the dose of bone marrow except for the D2% parameter, while 3D conformal was most superior to decrease the dose of RVR, total MU, and beam-on time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny
"Latar Belakang: Hingga saat ini belum pernah dilakukan studi untuk menganalisis parameter dosimetri diantara teknik Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3D-CRT), Intensity Modulated Radiotherapy-Step and Shoot (IMRT-SS), IMRT-Helical Tomotherapy (HT) dan Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) pada kanker prostat di Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi pada 10 data CT plan pasien kanker prostat yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN-CM. Dosis 78 Gy diberikan pada PTV dalam 39 fraksi.
Hasil: rerata V75Gy rektum dan buli antara teknik 3D-CRT dengan tiga teknik lainnya, seluruhnya memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p <0,05). Rerata V5Gy RVR antara teknik 3D-CRT vs VMAT dan HT, IMRT-SS vs HT dan VMAT vs HT bermakna secara statistik dengan nilai p<0,0001. Rerata durasi penyinaran paling tinggi didapatkan dengan teknik HT (rerata 4,70±0,84 menit).
Kesimpulan: Angka V75Gy Rektum dan buli antara teknik 3D-CRT berbeda signifikan dibandingkan dengan tiga teknik lainnya. Teknik IMRT-SS menggunakan 5 arah sinar ko-planar mampu memberikan distribusi dosis yang baik terhadap PTV dan organ kritis meskipun tidak superior dibandingkan dengan teknik HT dan VMAT. Teknik HT memiliki konformitas yang lebih inferior dibandingkan dengan teknik VMAT. Durasi penyinaran terpendek dengan menggunakan teknik VMAT, berbeda signifikan dibandingkan dengan 3 teknik lainnya.
Background: There is limited study comparing dosimetry parameters between four different techniques; Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3D-CRT), Intensity Modulated Radiotherapy-Step and Shoot (IMRT-SS), IMRT-Helical Tomotherapy (HT) and Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) in relation to prostate cancer in Radiotherapy Department RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Method: Experimental study with intervention on 10 prostate cancer patients' CT planning data. All the subjects underwent radiation in radiotherapy department RSUPN-CM. 78 Gy dose in 39 fractions was given for PTV. Results: The mean V75Gy rectum and bladder between 3D-CRT and the other three above mentioned techniques all showed significant results (p <0.05). V5Gy RVR between 3D-CRT vs VMAT and HT, IMRT-SS vs HT and VMAT vs HT is statistically significant (p <0.0001). The longest radiation time was done with HT (mean 4.70±0.84 minutes).
Conclusion: V75Gy rectum and bladder between 3D-CRT is statistically significant compared with the other three techniques. Even though, it is not superior compared to HT and VMAT, IMRT-SS using 5 co-planar beams are able to provide good dose distribution for PTV and critical organs. HT have inferior conformity compared to VMAT. Shortest radiation time was done using VMAT (statistically significant compared to three other techniques)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmasari
"Latar Belakang: Radioterapi baik sebagai terapi tunggal maupun sebagai terapi kombinasi, memegang peranan yang penting dalam penatalaksanaan kanker payudara kiri. Eskalasi dosis dikatakan mampu meningkatkan kontrol dan menurunkan angka kekambuhan namun di sisi lain dapat meningkatkan angka toksisitas. Hingga saat ini masih terus dilakukan studi untuk menganalisis parameter dosimetri diantara teknik Three Dimensional Conformal Radiotherapy-Field and Field, Volumetric Modulated Arc Therapy, dan Helical Tomotherapy pada kanker payudara di departemen Radioterapi RSUPN-CM.
Metode: Studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi pada 10 data CT plan pasien kanker payudara kiri yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN-CM. Dosis 50 Gy diberikan pada PTV dalam 25 fraksi. Cakupan PTV dievaluasi menggunakan Indeks konformitas CI dan indeks homogenitas HI. Menilai perbandingan PTV lokal D98, D95, D2, D50 dan supraklavikula dan menilai organ kritis sekitar target seperti paru kiri ipsilateral V20 le; 30, paru kanan contralateral V5 le; 50, jantung V25 le;10, payudara kanan contralateral Dmean < 5Gy.
Hasil: Dari hasil analisis statistik tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF, VMAT maupun HT dalam mencapai dosis D98 dan D95, pada D50 terdapat perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara VMAT dengan HT p=0,508. Dalam hal ini, ketiga teknik mampu memberikan cakupan dosis minimal yang baik pada volume target, meskipun begitu dari hasil penelitian ini teknik HT mampu memberikan nilai rerata D95 yang superior. Untuk D50 lokal ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, maupun VMAT dengan HT p=0,005. Didapat teknik HT memiliki nilai rerata D50 yang paling baik 50.01 0.25. Untuk D2 dari hasil analisis statistik ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,005, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,005, maupun VMAT dengan HT p=0,005.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata D98 dan D95, namun terdapat perbedaan bermakna pada cakupan dosis D2 dan D50 antara teknik 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, dan VMAT vs HT, seluruhnya memperlihatkan perbedaan yang bermakna p < 0,05 . Rerata durasi penyinaran paling tinggi didapatkan dengan teknik HT dan paling rendah pada 3DCRT-FIF.

Background: Radiotherapy as a main or combination therapy, holds an important role in the management of left breast cancer. Dose escalation is said to increase control and lower recurrence rate. On the other hand, dose escalation increases toxicity. Until now there is many study comparing dosimetry parameters between three different techniques; Three Dimensional Conformal Radiotherapy ndash; Field and Field 3DCRT-FIF, Volumetric Modulated Arc Therapy VMAT and Helical Tomotherapy HT and in relation to left breast cancer in radiotherapy department RSUPN-CM.
Method: This is an experimental study with intervention on 10 left breast cancer patients, CT planning data. All the subjects underwent radiation in radiotherapy department RSUPN-CM. 50 Gy dose in 25 fractions was given for PTV. Afterwards, PTV coverage was evaluated using conformity index CI and homogeneity index HI . Comparison of critical organs was evaluated using Dmax le; 50 Gy spinal cord, V25 le; 10 heart, V20 le; 30 lung ipsilateral and V5 le; 30 lung contraleteral and Dmean < 5 Gy right breast.
Results: From the statistical analysis there is no difference between 3DCRT-FIF, VMAT and HT in achieving D98 in local PTV. At the D95 value there is a difference between 3DCRT- and VMAT p = 0.022, 3DCRT-FIF with HT p = 0.005, but no value exists between VMAT and HT p = 0.508. In this case, one of the techniques employed gives a good minimum amount of volume targets, although the results of this technique HT are able to provide a superior D95% average. For D50% locally found, there are three groups that exist between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,000, 3DCRT-FIF with HT p = 0,000, and VMAT with HT p = 0,005. HT technique has the highest mean D50 50.01 0.25. For D2 of the analysis results found there were significant differences in 3 groups that existed between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,005, 3DCRT-FIF with HT p = 0,005, and VMAT with HT p = 0,005.
Conclusion: There is no D98% and D95%, but there is still a difference with D2% and D50% between 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, and VMAT vs HT, all significant differences (p <0.05). The highest average duration of exposure with HT and lowest on 3DCRT-FIF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Aurika
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stereotactic Radiosurgery (SRS) merupakan salah satu modalitas non invasif dalam tatalaksana kasus schwannoma vestibular. Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membandingkan parameter dosimetri antara tiga teknik SRS yaitu Intensity-Modulated Radiotherapy Step and Shoot IMRT-SS , Volumetric-Modulated Arc Therapy VMAT , dan Helical Tomotherapy HT pada kasus schwannoma vestibular. Metode: Dilakukan planning IMRT-SS, VMAT, dan HT pada sebelas data CT plan kasus schwannoma vestibular. Dosis tepi yang diberikan adalah 12 Gy dengan fraksi tunggal. Hasil: Rerata ukuran tumor 8,23 cm 5,08 cm3. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata CI, GI, V100 , dan V50 antara ketiga teknik. Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata dosis maksimal pada batang otak, cochlea ipsilateral, chiasma opticum, nervus opticus ipsilateral dan kontralateral antara ketiga teknik. Terdapat perbedaan bermakna rerata dosis maksimal pada cochlea kontralateral antara teknik IMRT-SS dan VMAT. Rerata durasi penyinaran terpanjang didapatkan dengan teknik HT yaitu 1209,18 390,20 detik, diikuti teknik IMRT-SS yaitu 665,05 73,40 detik, dan yang terpendek dengan teknik VMAT yaitu 362,87 24,55 detikTerdapat perbedaan bermakna rerata MU dan durasi penyinaran antara teknik IMRT-SS vs VMAT, VMAT vs HT, serta IMRT-SS vs HT. Kesimpulan: Teknik VMAT dapat dijadikan pilihan untuk tatalaksana SRS kasus schwannoma vestibular mengingat dapat memberikan konformitas dan gradient index sama baik dengan teknik IMRT-SS dan HT, dengan menyelamatkan cochlea kontralateral lebih baik dibandingkan dengan teknik IMRT-SS, dan terutama karena memberikan durasi penyinaran yang jauh lebih singkat dibandingkan IMRT-SS dan HT. ABSTRACT
Background: Stereotactic Radiosurgery SRS is non-invasif modality in management of vestibular schwannoma. There is limited study comparing dosimetric parameters between three techniques SRS in vestibular schwannoma cases, thus Intensity-Modulated Radiotherapy Step and Shoot IMRT-SS , Volumetric-Modulated Arc Therapy VMAT , and Helical Tomotherapy HT . Method: Treatment planning with IMRT-SS, VMAT, and HT on eleven CT plan data for schwannoma vestibular cases. The marginal dose is 12 Gy with single fraction. Results: Mean tumor size was 8.23 ?? ??cm 5.08 cm3. No significant difference were found in the mean CI, GI, V100 , and V50 among the three techniques. There were no significant difference in maximal dose to brainstem, ipsilateral cochlea, optic chiasm, ipsilateral and contralateral optic nerve between the three techniques. There was significant difference of maximum dose on contralateral cochlea between IMRT-SS and VMAT techniques. The longest beam-on time was done with HT technique 1209,18 390,20 second , followed by IMRT-SS technique 665,05 73,40 second , and the shortest was with VMAT technique 362,87 24,55 second . There was significant difference in mean MU and beam on time between IMRT-SS vs. VMAT, VMAT vs HT, and IMRT-SS vs HT. Conclusion: VMAT technique could be an option for SRS of vestibular schwannoma cases to provide conformity and gradient index as well as IMRT-SS and HT techniques, with better rescue to contralateral cochlea compared with IMRT-SS techniques, and provides much shorter beam-on time rather than IMRT-SS and HT."
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Richard Immanuel B.
"Penelitian ini membahas mengenai tingkat keberhasilan verifikasi kasus kanker serviks dengan kanker nasofaring. Dalam penelitian ini telah dievaluasi data film verifikasi penyinaran pasien radioterapi untuk jenis kanker serviks dan nasofaring. Jumlah pasien untuk jenis kanker serviks berjumlah 45 pasien dan untuk jenis kanker nasofaring 45 pasien. Peneliti tidak melakukan verifikasi secara langsung dan tidak berhubungan dengan pasien, Data diperoleh dari status pasien yang tersedia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan verifikasi kasus kanker nasofaring lebih tinggi dibandingkan dengan kasus kanker serviks.

My research study is focused on evaluating the verification success rates of cervical cancer and nasopharyngeal cancer survivors. 45 patients underwent radiotherapy procedures to identify specific types of the two mentioned cancers followed by data recording, for a total of 90 patients. The experimenter conducted no direct verification and had no direct contact with the patients since the data samples were obtained from Cipto Mangunkusumo Hospital. Research findings proved that the success rates of nasopharyngeal cancer verification were higher than the cervical cancer verification."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S29432
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Sagung Ari Lestari
"Latar Belakang: Radiasi kraniospinal adalah metode radiasi yang sering digunakan pada kasus keganasan sistem saraf pusat yang menyebar ke cairan cerebrospinal, sehingga area radiasinya sangat luas meliputi seluruh otak dan canalis spinalis. Akibat daerah radiasi yang luas, area radiasi harus dibagi menjadi beberapa lapangan yang menghasilkan kesulitan dalam mengatasi junction antar lapangan tersebut.Kesulitan lain adalah banyaknya organ kritis yang terlibat dan usiapasien yang mayoritas anak-anak. Saat ini belum terdapat data penelitian yang menganalisis radiasi kraniospinal dengan teknik Three Dimentional Conformal Radiotherapy 3D-CRT, Intensity Modulated Radiotherapy IMRT, dan IMRT-Helical Tomotherapy HT di Indonesia.
Metode: studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi planning terhadap 10 data CT plan pasien kraniospinal yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dosis 36 Gy diberikan dalam 20 fraksi.Cakupan PTV kranial dan spinal dievaluasi menggunakan indeks konformitas CI dan indeks homogenitas HI.Dilakukan pencatatan parameter organ kritis lensa mata, mata, kelenjar parotis, kelenjar submandibula, tiroid, paru-paru, jantung, ginjal, testis dan ovarium, serta paparan radiasi pada seluruh tubuh.Selain itu juga dilakukan pencatatan jumlah MU dan durasi sinar beam on time.
Hasil: Teknik HT adalah teknik terbaik dalam pencapaian angka HI dan CI serta perlindungan terhadap organ kritis, namun memiliki paparan radiasi seluruh tubuh tertinggi dibandingkan teknik 3D CRT dan IMRT selain nilai MU tertinggi dan durasi penyinaran terlama sehingga harus dipertimbangkan penggunaannya pada pasien anak-anak karena resiko secondary malignancy yang tinggi. Teknik 3D CRT dengan arah sinar opposing lateral untuk lapangan kranial dan dari posterior untuk lapangan spinal memiliki nilai HI dan CI terburuk dengan keterbatasan kemampuan melindungi organ kritis namun memiliki paparan radiasi seluruh tubuh dan MU terendah serta durasi penyinaran terpendek.

Background: Craniospinal radiation is a method of radiation that is often used in cases of malignancy of the central nervous system that spread to cerebrospinal fluid, so that the area of ??radiation is very broad covering the entire brain and spinal canal. Due to the large area of radiation, the radiation area must be divided into several fields that produce difficulty in overcoming the inter-field junction. In addition, the number of critical organs involved and the age of patients with the majority of children result in separate considerations in the choice of craniospinal radiation techniques. Currently there is no research data that analyzes craniospinal radiation with Three Dimentional Conformal Radiotherapy 3D-CRT, Intensity Modulated Radiotherapy-Step and Shoot IMRT-SS, and IMRT-Helical Tomotherapy HT techniques in Indonesia.
Method: exploratory experimental study by planning intervention on 10 CT plan data of craniospinal patients radiated in Radiotherapy Department of Cipto Mangunkusumo General Hospital. Dose 36 Gy is given in 20 fractions. Cranial and spinal PTV coverage was evaluated using the conformity index CI and homogeneity index HI. Performed recording of critical organ parameters of lens, eye, parotid gland, submandibular gland, thyroid, lung, heart, kidney, testis and ovary, and exposure to radiation throughout the body. In addition, also recorded the number of MU and the duration of the beam.
Results: The HT technique is the best technique for achieving HI and CI figures and protection of critical organs, but has the highest body-wide radiation exposure compared to CRT and IMRT 3D techniques in addition to the highest MU values and longest exposure duration so should be considered in children high risk of secondary malignancy. 3D CRT technique with opposite lateral beam direction for the cranial field and from the posterior to the spinal field has the worst HI and CI values with limited ability to protect critical organs but has the lowest total body radiation and MU exposure as well as the shortest duration of irradiation. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudha Sulistiana
"Latar Belakang: Kanker serviks merupakan keganasan yang sering ditemukan diberbagai negara pada wanita setelah kanker payudara. Kanker serviks berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. FIGO merekomendasikan penggunaan MRI sebagai alat diagnosis dan prognosis. Tingkat proliferasi tumor berhubungan dengan respon terapi yang dapat diketahui dengan nilai signal intensitas sekuens T2WI. Saat ini belum ada penelitian yang menilai perbedaan nilai SI sekuens T2WI dengan respon terapi radiasi pada kanker serviks tipe karsinoma sel skuamosa.
Tujuan: Memperoleh perbedaan nilai rasio sekuens T2WI pada pasien kanker serviks karsinoma sel skuamosa yang mengalami respon dan tidak respon terapi.
Metode: Sebanyak 39 subjek penelitian dilakukan pemeriksaan MRI pelvis sebelum dan setelah terapi radiasi. Data penelitian diambil menggunakan sekuens T2WI dan data histologi berasal dari EHR RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan analisis data menggunakan uji normalitas Saphiro-Wilk dan uji T berpasangan.
Hasil: Pada kelompok umur, status pernikahan, status obstetri dan klasifikasi FIGO, didapatkan hasil tidak signifikan (p = 0,19, p = 0,348, p = 0,153, dan p = 0,995; p > 0,05). Begitupun pada kelompok respon dan tidak respon dengan RECIST 1.1, didapat hasil signifkan dengan p = 0,000; p < 0,05) sedangkan pada kelompok perbedaan nilai rasio sekuens T2WI, didapatkan hasil yang tidak signifikan (p = 0,436, p > 0,05).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan nilai rasio sekuens T2WI pada kelompok respon dan tidak respon terapi berdasarkan kriteria RECIST 1.1 pada kanker serviks tipe karsinoma sel skuamosa.

Background: Cervical cancer is a malignancy that is often found in various countries in women after breast cancer. Cervical cancer is associated with a high mortality rate. FIGO recommends the use of MRI as a diagnostic and prognostic tool. The rate of tumor proliferation is related to the therapeutic response which can be determined by the value of the T2WI sequence intensity signal. Currently, there are no studies that assess the differences in SI values of T2WI sequences and the response to radiation therapy in squamous cell carcinoma type cervical cancer.
Objective: Obtain differences in the value of the T2WI sequence ratio in patients with cervical cancer squamous cell carcinoma who experienced and did not respond to therapy.
Methods: A total of 39 study subjects were subjected to pelvic MRI examinations before and after radiation therapy. The research data were taken using T2WI sequences and histological data came from EHR RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Data were analyzed using the Saphiro-Wilk normality test and paired T test.
Results: In the age group, marital status, obstetric status and FIGO classification, the results were not significant (p = 0.19, p = 0.348, p = 0.153, and p = 0.995; p> 0.05). Likewise in the response dan unresponse group with RECIST 1.1, the results were significant with p = 0.000; p <0.05), while the difference in the value of the T2WI sequence ratio, the results were not significant (p = 0.436, p> 0.05).
Conclusion: There is no difference in the value of the T2WI sequence ratio in the response group and no response to therapy based on RECIST 1.1 criteria in squamous cell carcinoma type cervical cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Nurhadi
"Latar Belakang: Radiasi eksterna seringkali digunakan untuk mengurangi gejala dari metastasis otak. Teknik radiasi paliatif Whole Brain masih merupakan terapi standar bagi pasien kanker dengan metastasis otak, namun teknik radiasi ini dapat menyebabkan penurunan fungsi neurokognitif yang diakibatkan oleh inflamasi akibat radiasi pada daerah hipokampus. Hal ini memicu penggunaan Hippocampal Sparing Whole Brain Radiotherapy (HS-WBRT) untuk mengurangi efek samping penurunan neurokogntif yang terkait hipokampus. Thesis ini membahas perbandingan dosimetri teknik radiasi Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT), Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT), dan Helical Tomotherapy (HT) pada Hippocampal Sparing Whole Brain Radiotherapy (HS-WBRT) untuk menilai apakah ada perbedaan parameter dosimetri dari ketiga teknik radiasi tersebut. Penelitian ini merupakan studi eksperimental eksploratif dengan melakukan intervensi pada data CT-plan pasien metastasis otak secara in silico. Parameter dosimetri yang dinilai adalah Conformity Index, Homogenity Index, Treatment Time, D98% PTV, D2% PTV, D50% PTV, D100% Hipokampus, dan Dmax Hipokampus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik dalam parameter Homogenity Index, D98% PTV, D2% PTV, dan D50% PTV pada semua kelompok data teknik radiasi, dimana Helical Tomotherapy (HT) memiliki nilai rerata yang paling baik dibandingkan kedua teknik radiasi lainnya. Untuk parameter yang lainnya baik Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) maupun Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) memiliki nilai rerata yang tidak berbeda bermakna, kedua teknik radiasi tersebut masih memungkinkan sebagai tehnik pilihan dalam HSWBRT. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar guna menilai dengan baik teknik radiasi mana yang paling unggul untuk digunakan dalam perencanaan HS-WBRT serta menghasilkan perencanaan radiasi yang lebih baik.

Background: Radiation therapy is still a standard treatment in brain metastases cases. Whole brain radiation therapy is widely used to reduce debilitating symptoms, on the other hand this treatment could decrease neurocognitif function due to radiationinduced inflammation of the hippocampus. This is the ground reason to apply Hippocampal Sparing Whole Brain Radiotherapy (HS-WBRT), in order to reduce hippocamus related side effects. The focus in this study is to analyze dosimetric parameter between Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT), Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT), and Helical Tomotherapy (HT) in Hippocampal Sparing Whole Brain Radiotherapy (HS-WBRT) to asses any differences in dosimetric values. This study is an experimental study on CT and delivered treatment planing data, recalculated in silico as a hippocampal sparing treatment planning to be compared. The dosimetric parameter that were used in this study are Conformity Index, Homogenity Index, Treatment Time, D98% PTV, D2% PTV, D50% PTV, D100% Hippocampus, dan Dmax Hippocampus. The dosimetric comparisons between the three modalities resulted in statistically significant differences in Homogenity Index, D98% PTV, D2% PTV, D50% PTV, D100% where Helical Tomotherapy (HT) has a better mean value among the rest of the group. In other dosimetric comparisons, Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) and Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) does not have any significant differences, as such both modalities allows for sparing of the hippocampus with acceptable means value in many dosimetric parameters. Further research is nedeed, particularly with larger sample to assess superiority in HS-WBRT modalities, as such to increase efficacy in its treatment planning."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linggih Saputro
"Kanker serviks merupakan kanker kedua yang umum terjadi pada wanita yang da- pat menjadi ganas. Keganasan dapat disebabkan oleh deregulasi jalur sinyal Wnt/β- katenin. Inhibisi TNKS2 dengan ligan inhibitor dapat menjadi salah satu cara un- tuk menghentikan deregulasi ini. Ligan-ligan inhibitor yang berhasil terbentuk dari fragmen-fragmen akan ditapiskan secara in silico untuk mendapatkan ligan kandi- dat obat terbaik yang lebih baik dari ligan inhibitor standar. Ligan dengan kode 1-69 merupakan ligan inhibitor yang lebih baik jika dilihat dari energi pengikatan, kelarutan, total polar surface area.

Cervical cancer is the second most common cancer in women which can be ma- lignant. Malignancy can be caused by deregulation oleh Wnt/β-catenin signaling pathway. Inhibition of TNKS2 with ligand inhibitor can be an alternative way to stop this deregulation. All of the inhibitors which assembled from fragments were screened in silico to get the best hit which is better than standard inhibitor. Ligand with codename 1-69 is a better inhibitor than the standard in the term of binding energy, solubility and total polar surface area."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S55827
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erfina
"Kanker serviks merupakan salah satu keganasan pada sistem reproduksi perempuan. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap makna pengalaman hidup perempuan setelah menjalani terapi kanker serviks. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan metode fenomenologi. Delapan orang partisipan yang direkrut secara purposive sampling di poliklinik RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. Data yang diperoleh di analisis menurut Colaizzi.
Penelitian ini mengidentifikasi lima tema yang menggambarkan makna pengalaman perempuan setelah menjalani terapi kanker serviks yaitu berbagai dampak setelah menjalani terapi, adaptasi terhadap perubahan fisik setelah terapi, harapan terhadap kehidupan setelah menjalani terapi, dukungan sosial, persepsi terhadap pelayanan kesehatan yang diperoleh.
Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan perawat meningkatkan perbaikan pada pelayanan keperawatan bagi perempuan bukan saja selama sakit dan menjalani terapi, tetapi juga setelah menjalani terapi kanker serviks.

Cervical cancer is one of the malignancies in the female reproductive system. The aim of this research is to reveal the meaning of the experiences of women after cervical cancer therapy. This qualitative research was conducted using phenomenological methods. Eight participants were recruited by purposive sampling in the clinic at dr. Cipto Mangunkusumo hospital Jakarta. The collected data were analyzed according to Colaizzi.
This study identified five themes namely the adverse effects after therapy, adaptation to physical changes after therapy, life expectation after therapy, social support, perception health care.
This research's findings suggest that nurses must provide improve nursing services toward women not only on during illness and therapy, but also after therapies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T29359
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>