Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Rizal Maulana
"Skripsi ini membahas tentang hubungan Indonesia dengan Australia ketika diberlakukannya The Agreement on Maintaining Security (AMS) pada tahun 1995-1999. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah diplomasi yang memfokuskan pada bidang pertahanan dan keamanan, khususnya tentang persetujuan keamanan yang dibuat oleh Indonesia dan Australia pada tahun 1995. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan menggunakan sumber-sumber tertulis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain yang sejenis yaitu ruang lingkup permasalahannya yang menjadikan The Agreement on Maintaining Security (AMS) sebagai fokus pembahasan. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa AMS membuat hubungan kedua negara berada pada titik yang terdekat dibandingkan periode-periode sebelumnya. Akan tetapi, ternyata AMS tidak dapat bertahan lama karena persetujuan ini berakhir pada tahun 1999. Selain itu, dalam penelitian ini terdapat beberapa hasil temuan yang tidak menjadi perhatian khusus dari penelitian sebelumnya. Hasil-hasil temuan itu diantaranya proses negosiasi, respon dalam negeri dari kedua negara, serta implementasi dan dampaknya.

This thesis discusses the relationship between Indonesia and Australia on the implementation of the Agreement on Maintaining Security (AMS) in 1995-1999. This research is a research on history of diplomacy that focuses on the field of defense and security, especially regarding the security agreements made by Indonesia and Australia in 1995. The method used in this study is the historical method using written sources. The difference between this research and other similar studies is the scope of the problem which makes the Agreement on Maintaining Security (AMS) the focus of the discussion. The results of this study explain that AMS causes the relation between the two countries reached the closest point compared to the previous periods. However, it turned out that AMS could not last long because this agreement ended in 1999. In addition, in this study there were several findings that were not of particular concern from the previous researches. The findings include the negotiation process, the domestic responses from the two countries, also the implementation and impacts.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Rachman Kunjono
"Tesis ini menganalisis tentang Kerjasama Pertahanan dan Keamanan Australia - Indonesia (1995-1999): Studi Kasus Pembatalan Persetujuan Pemeliharaan Keamanan Hubungan bilateral Australia dengan Indonesia mencapai titik terendah dan sempat memanas karena masalah Timor Timur pada masa pemerintahan Howard (Australia) dan Habibie (Indonesia), yang antara lain berakibat pada pembatalan secara sepihak oleh Indonesia, Persetujuan Pemeliharaan Keamanan Australia - Indonesia pada 16 September 1999.
Pembatalan persetujuan keamanan tersebut disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam negeri sendiri (internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar (eksternal). Sejauh mana faktor tersebut berpengaruh, dalam studi kasus pembatalan persetujuan keamanan Australia - Indonesia, adalah permasalahan pokok yang diangkat dalam tesis ini.
Persetujuan pemeliharaan keamanan tersebut temyata tidak dapat berfungsi dan tidak dapat digunakan ketika terjadi krisis di Timor Timur. Padahal dalam kesepakatan tersebut kedua belah pihak telah sepakat akan mengadakan konsultasi bila salah satu pihak menghadapi kesulitan yang menyangkut kepentingan keamanan bersama dan bila perlu mengambil tindakan bersama atau sendiri-sendiri sesuai dengan proses pads masing-masing pemerintahnya. Hal ini jugs menunjukkan tidak berfungsinya forum menteri kedua negara, khususnya . antar Menteri Pertahanan kedua negara dalam mendiskusikan masalah Timor Timur. Untuk membahas permasalahan dalam tesis ini menggunakan teori-teori politik internasional mengenai konsep kebijakan luar negeri dari KJ.Holsti, }toward Lentner, Lloyd Jensen, Harold dan Margaret Sprout, serta Stephen L.Spiegel. Juga dicoba menggunakaan konsep persepsi dari Bruce Russet dan Harvey Starr untuk menganalisa persepsi para aktor politik kedua negara dalam konteks hubungan internasional kedua negara dalam masalah Timor Timur.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengandalkan data dan informasi yang dianggap relevan dengan penelitian ini.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan persetujuan keamanan tersebut sebagai reaksi atas aksi dan sikap Australia terhadap Indonesia yang berlebihan dalam masalah Timor Timur. Namun sikap dan tindakan Australia tersebut berawal dari adanya anarkis dan pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat.
"
2000
T3519
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elena Sarrah Novia
"ABSTRAK
Skripsi ini meneliti tentang bagaimana faktor-faktor domestik mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia dalam rangka merespons dinamika situasi internasional, dengan menggunakan teori Neoclassical Realism. Situasi internasional yang terjadi pada masa itu adalah modernisasi militer yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, diintervensi oleh keempat faktor domestik, yakni persepsi pemimpin, budaya strategis, hubungan negara dan masyarakat, dan institusi domestik. Dalam kurun waktu sepuluh tahun 1997-2007 , negara-negara di Asia Tenggara ndash; Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Indonesia ndash; melakukan modernisasi militer. Dibandingkan negara yang lain, Indonesia belum bisa melaksanakan modernisasi militer dengan optimal. Pada 27 April 2007 Indonesia dan Singapura sepakat untuk menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defense Cooperation Agreement DCA . Perjanjian ini akan memberikan akses terhadap Singapura ke beberapa wilayah kedaulatan Indonesia untuk digunakan sebagai Military Training Area MTA . Selain itu, DCA juga memungkinkan untuk dilakukannya latihan militer bersama, pertukaran personil militer, dan pembangunan fasilitas militer Indonesia oleh Singapura. Namun demikian, DPR RI justru mengecam penandatanganan DCA dan memutuskan untuk menolak untuk meratifikasi kesepakatan tersebut. Satu dekade setelah DCA ditandatangani, belum ada kelanjutan proses ratifikasi perjanjian pertahanan tersebut. Tulisan ini berargumen bahwa DCA merupakan bentuk external balancing yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap modernisasi negara-negara di Asia Tenggara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah Indonesia untuk melakukan external balancing gagal dikarenakan oleh empat variabel perantara, yakni persepsi DPR RI, budaya strategis, hubungan negara masyarakat, dan institusi domestik.

ABSTRAK
This thesis examines how domestic factors influence the direction of Indonesian foreign policy in order to respond to the dynamics of the international situation using the Neoclassical Realism theory. The international situation occurring during that period was the military modernization that occurred in Southeast Asia, which was interfered by the four domestic factors, namely leader 39 s perception, strategic culture, state and society relations, and domestic institutions. Within ten years 1997 2007 , countries in Southeast Asia Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, and Indonesia implementing military modernization. Compared to other countries, Indonesia has not been able to carry out military modernization optimally. On April 27, 2007 Indonesia and Singapore agreed to sign a Defense Cooperation Agreement DCA . This Agreement will grant Singapore access to several sovereign territories of Indonesia as a Military Training Area MTA . In addition, the DCA also allows for joint military exercises, military personnel exchanges, and the construction of Indonesian military facilities by Singapore. However, the DPR RI House of Representatives criticized the signing of the DCA and decided to refuse to ratify it. Up to a decade after the DCA was signed, there has been no continuation of the ratification process of the defense agreement. This paper argues that DCA is a form of external balancing by the Indonesian government towards the military modernization of countries in Southeast Asia. The results of this study indicate that the Indonesian government 39 s attempts to perform external balancing failed due to four intermediate variables, namely the perception of DPR RI, strategic culture, state and society relations, and domestic institutions."
2017
S69374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Reza Prabowo
"Forum IADSD dan 2+2 Dialogue merupakan forum dialog yang ditujukan bagi pembahasan isu pertahanan, keamanan, serta politik luar negeri secara umum. Meskipun isu pembahasan dalam IADSD dan 2+2 Dialogue bersifat umum, namun dikarenakan isu keamanan maritim menjadi salah satu isu penting bagi Indonesia maupun Australia, maka forum tersebut tidak dapat mengesampingkan pembahasan isu keamanan maritim. Penelitian ini menganalisis kerangka kerja, tingkat kesepakatan dan implementasi kerjasama di bidang keamanan maritim melalui forum IADSD serta 2+2 Dialogue, dan kontribusinya terhadap ketahanan nasional. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan bersumber pada data primer yang diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Informan pada penelitian ini terdiri dari 6 (enam) orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa terkait konsep diplomasi pertahanan, forum IADSD dan 2+2 Dialogue hanya mampu membentuk kerangka kerja pembangunan kepercayaan serta pencegahan konflik. Sedangkan dalam hal resolusi konflik, kedua forum tersebut belum dapat membentuk kerangka kerja yang mampu memberikan resolusi terhadap konflik bilateral. Di bidang keamanan maritim, forum IADSD merupakan forum yang efektif untuk membentuk kerjasama keamanan maritim bagi kedua negara karena forum IADSD memiliki kewenangan membentuk kerjasama spesifik, seperti patroli terkoordinasi, latihan bersama, pertukaran informasi, serta pendidikan dan pelatihan. Sedangkan forum 2+2 Dialogue kurang efektif untuk membentuk kerjasama keamanan maritim karena hasil dari forum tersebut hanya berupa komitmen politik, bukan membentuk kerjasama keamanan maritim spesifik di tingkat teknis. Seluruh kesepakatan dan komitmen politik di bidang keamanan maritim pada forum IADSD serta 2+2 Dialogue menunjukan diterapkannya diplomasi maritim kooperatif, sehingga hal tersebut memberikan kontribusi positif bagi ketahanan nasional, yaitu terkait pembangunan kepercayaan, pembangunan kapasitas, peningkatan peran dan citra positif negara di tingkat internasional, serta sebagai sarana untuk mendeteksi perubahan lingkungan strategis.

IADSD and 2+2 Dialogue are forums for dialogue that aimed at addressing general issues of defence, security, and foreign policy. Although the issues of discussion in IADSD and 2+2 Dialogue are in general basis, but because the issue of maritime security become an important issue for both Indonesia and Australia, the forums cannot overrule the discussion of maritime security issue. This research analyzes framework, level of agreement and the implementation of cooperation in the field of maritime security through IADSD as well as 2+2 Dialogue and its contribution to national resilience. This research using qualitative methods, that refers to primary data which is obtained through interviews and secondary data. Informants in this research consist of 6 peoples. The result show that related to the concept of defence diplomacy, IADSD and 2+2 Dialogue can only capable forming a framework of confidence building and conflict prevention. While in terms of conflict resolution, both forums has not been able to establish a framework that is able to provide a resolution to the bilateral conflict. In the field of maritime security, IADSD is an effective forum to establish maritime security cooperation for both countries, because IADSD forum has authority to establish specific cooperation, such as coordinated patrol, joint exercises, exchange of information, and also education and training. While the 2+2 dialogue is less effective to establish a maritime security cooperation, because the result of the forum is only form political commitment, not forming specific maritime security cooperation at the technical level. All of the result and political commitment in the field of maritime security in IADSD and 2+2 Dialogue, shows the implementation of cooperative maritime diplomacy, so it will provide positive contribution to national resilience that related to confidence building, capacity building, improving the role and positive image of the country at the international level, as well as a means to detecting strategic environment changes."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Priambodo
"Berakhirnya kerjasama Indonesia dan Australia dalam Regional Cooperation Agreement (RCA) yang telah dibangun sejak tahun 2000 memunculkan permasalahan baru bagi kelompok Pengungsi dan Pencari Suaka yang berada di Indonesia. Kajian ini menganalisa latar belakang serta dinamika berakhirnya perjanjian bilateral penanganan pegungsi dan pencari suaka di Indonesia. Dengan mengadopsi teori neo-classical realism sebagai kerangka analisis terhadap variabel data dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi berakhirnya kerjasama Regional Cooperation Agreement (RCA) dilatar belakangi oleh terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 125 tahun 2016 disajikan sebagai faktor sistemik yang memunculkan reaksi penilaian domestik Australia sebagai intervening variables yang mencakup persepsi pemimpin, budaya strategis, hubungan negara masyarakat, dan struktur negara dan politik domestik.

The end of the cooperation between Indonesia and Australia in the Regional Cooperation Agreement (RCA), which has been built since 2000, has created new problems for groups of refugees and asylum seekers who have been displaced in Indonesia. This study analyzes the background and dynamics of the termination of the bilateral agreement on handling refugees and asylum seekers in Indonesia. By adopting the theory of neoclassical realism as a framework for analyzing the data variables in this study, the factors that influenced the termination of the Regional Cooperation Agreement (RCA) were motivated by the isuued of Presidential Decree of the Republic of Indonesia No. 125 of 2016 as systemic factor which triggered Australia domestic assesment presented as an intervening variable which includes the perception of leaders, cultural strategies, public relations, and the structure of the state and domestic politics."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mufida Inas Aulia
"Perkembangan tren global menjadikan isu keamanan nasional sebagai poros kepentingan di setiap negara. Keamanan nasional bukan saja berkaitan dengan ancaman militer, namun mencakup berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Indonesia dan Persatuan Emirat Arab (UEA) merupakan dua negara yang telah memiliki hubungan erat dengan melakukan kerjasama di berbagai bidang, salah satunya adalah di bidang pertahanan. Berdasarkan teori sekuritisasi Buzan, konflik identitas, hegemoni kawasan, dan ancaman terorisme termasuk ke dalam ancaman terhadap komponen dari keamanan nasional, yakni the idea of the state, the physical base of the state, dan the institutional expression of the state. Melalui analisis Delphi, penulis mendapati bahwa terdapat 16 variabel yang berpengaruh terhadap keamanan nasional. Maka, perubahan status kerjasama industri pertahanan yang semula Business-to-Business (B2B) menjadi Government-to-Government (G2G) hadir sebagai isu yang menarik untuk dianalisa faktor dan dampaknya.

The development of global trends has made national security issues the axis of interest in every country. National security is not only related to military threats, but includes various aspect such as economics, political, and cultural. Indonesia and the United Arab Emirates (UEA) are two countries that have close relations by collaborating in various fields, one of which is in the defense sector. Based on Buzan’s securitization theory, identity conflict, regional hegemony, and threat of terrorism are included as threats to the components of national security, namely the idea of the state, the physical basis of the state, and the institutional expression of the state. Through a Delphi Method, the author finds out 16 variables that affect national security which will then provide conclusions on the impact of national security strategy policies that focus on defense industry agreements is the aim of this scientific work. So the change in the status of defense industry cooperation from Bussiness-to-bussiness (B2B) to Government-to-Government (G2G) appears as an interesting issue to analyse the factors and impacts."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virdi Lagaida Umam
"Dalam proses menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan, agenda keamanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)—sebagai institusi internasional utama di Asia Tenggara—melibatkan negara-negara anggotanya serta negara mitra dari luar dalam kegiatan-kegiatannya. Dengan sengketa maritim yang belum terselesaikan, meningkatnya pengaruh dari negara-negara kuat di ambang perbatasannya, serta munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis yang diarahkan pada kemampuan institusi-institusi internasional, peran ASEAN dalam dimensi keamanan maritim lantas menjadi titik kritis secara akademik dan politik. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk menganalisis pemahaman akademis mengenai kerja sama keamanan maritim ASEAN secara kritis, serta menerapkan analisis tersebut pada konteks regional yang terus berkembang. Menggunakan 25 literatur serta metode taksonomi, artikel ini mengidentifikasi tiga titik fokus utama literatur: 1) ASEAN sebagai aktor dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan; 2) keamanan non-tradisional sebagai fokus utama keamanan maritim ASEAN; dan 3) analisis kritis mengenai kapabilitas dan agensi ASEAN sebagai institusi internasional. Tinjauan ini menemukan bahwa Tiongkok tetap menjadi faktor utama yang konstan dalam diskursus keamanan ASEAN, dan tindakannya di Laut Tiongkok Selatan menjadi tantangan keamanan utama bagi agenda keamanan ASEAN. Tinjauan ini juga menemukan bahwa diskursus akademik terpengaruh oleh interaksi antar-negara adidaya (great powers), khususnya kontestasi antara AS dan Tiongkok. Mengingat aspirasi ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya dalam menjamin perdamaian dan stabilitas kawasan, kajian literatur ini menyimpulkan bahwa ASEAN harus mengambil tindakan jika ingin mempertahankan sentralitas tersebut saat ini.

The issue of maritime security cooperation has become one of considerable importance within the changing political context of the maritime Southeast Asia region. In the process of establishing and maintaining the region’s peace and stability, the security agendas of the Association of Southeast Asian Nation—acting as Southeast Asia’s premier international institution—sees active participation by both its member states within the region as well as partners from without. But how does it fare in the face of its changing security challenges? With unresolved maritime disputes within its borders, the growing influence of international powers, and critical questions poised at the capabilities of international institutions, ASEAN’s role within the dimension of maritime security becomes a critical academic and political juncture. This literature review aims to critically analyze current academic understanding of ASEAN maritime security cooperation, applying it to the changing regional context. Using 25 relevant academic articles, this article identifies three main focal points of literature: 1) ASEAN as an actor in the South China Sea disputes’ 2) non-traditional security as the primary focus of ASEAN maritime security; and 3) critical analyses regarding ASEAN’s institutional capability and agency. It finds that China remains a constant primary factor in ASEAN’s security discourse, and its actions in the South China Sea constitutes ASEAN’s main security challenge. It also finds that the academic discourse is subject to the encroachment of great power politics, particularly the US-China contestation. Considering ASEAN’s aspirations to maintain its centrality in guaranteeing the region’s peace and stability, this literature review concludes that ASEAN must take political and academic action if it seeks to maintain its current trajectory."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Nurkomarini Jauhari
"ABSTRAK
Di era globalisasi pada masa pasca Perang Dingin, negara-negara semakin perlu untuk melakukan kerja sama di bidang industri pertahanan akibat adanya hambatan ekonomi, politik, dan sosial. Dalam tulisannya, penulis bertujuan untuk mengkaji literatur mengenai kerja sama industri pertahanan internasional dan selanjutnya menganalisis karakter hubungan yang tercipta. Dalam pembahasannya, literatur tersebut kemudian penulis kategorisasikan berdasarkan tipologi motif pelaksanaan kerja sama industri pertahanan menurut Widjajanto, et al. (2012) yang meliputi motif anggaran, teknologi, dan pasar. Hasil temuan berdasarkan tinjauan literatur menunjukkan bahwa kategorisasi juga dapat dilakukan melalui sifat hubungan regional, multilateral, maupun bilateral dalam kerangka aliansi, kemitraan strategis, dan juga atas dasar proyek. Melalui tinjauan terhadap literatur, diketahui bahwa sebagian besar hubungan kerja sama didasarkan atas motif atau kepentingan teknologi dan sifat hubungan bilateral menjadi kondisi yang lebih efektif untuk melaksanakan kerja sama. Temuan baru yang diidentifikasi penulis adalah pelaksanaan kerja sama industri pertahanan juga dapat turut dilaksanakan melalui motif persamaan ancaman.

ABSTRACT
In the era of globalization of the post-Cold War time, countries increasingly need to collaborate in defense industry sector due to economic, political and social barriers. In this paper, the author aimed to review the literatures on international defense industry cooperation and further analyzed the character of the relationships that are created. In the discussion, the author then categorized the literature based on the typologies of the motives for implementing defense industry cooperation according to Widjajanto, et al. (2012), which consists of budget, technology, and market motives. The findings based on the literature review indicated that categorization can also be made through the nature of regional, multilateral, and bilateral relations within the framework of alliances, strategic partnerships, and project-based program. Through the review, it is known that most cooperative relationships are based on technological motives or interests and the nature of bilateral relations is a more effective condition for carrying out cooperation. The new finding identified by the author is that the implementation of the defense industry cooperation can also be made through the threat motive.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Deandra Bangkur
"Tulisan ini menganalisis mengapa Australia yang merupakan negara non senjata nuklir melakukan pengadaan kapal selam bertenaga nuklir dalam kerja sama keamanan trilateral AUKUS. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan causal-process tracing. Analisis dalam tesis ini menggunakan konsep Foreign Policy Analysis (FPA), untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan kebijakan luar negeri Australia yang merupakan negara non-nuklir namun melakukan pengadaan kapal selam bertenaga nuklir dengan Amerika Serikat dan Inggris melalui AUKUS. Faktor-faktor penyusun kebijakan luar negeri yang dimaksud dalam konsep ini adalah faktor domestik dan internasional. Hasil dari analisis artikel ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri Australia dipengaruhi oleh faktor domestik dengan indikator keadaan geografi, tradisi dan sejarah, serta kapabilitas militer dari Australia, serta faktor internasional dengan indikator sistem internasional, perjanjian internasional, dan kerja sama Australia. Walaupun kebijakan yang diambil oleh Australia ini menghadirkan beragam tanggapan yang cenderung negatif atas penggunaan kapal selam bertenaga nuklr, kebijakan tersebut tetap dijalankan oleh Australia mengingat terus meningkatnya ancaman di Indo-Pasifik.

This article analyzes why Australia, which is a non-nuclear weapons country, procures nuclear-powered submarines in the AUKUS trilateral security cooperation. This article uses qualitative research methods with a causal-process tracing approach. The analysis in this thesis uses the concept of Foreign Policy Analysis (FPA), to analyze the factors that influence the foreign policy formulation of Australia, which is a non-nuclear country but is procuring nuclear-powered submarines with the United States and England through AUKUS. The factors that make up foreign policy referred to in this concept are domestic and international factors. The results of this thesis analysis show that Australia's foreign policy is influenced by domestic factors with indicators of geography, tradition and history, as well as Australia's military capabilities, as well as international factors with indicators of the international system, international agreements and Australian alliances. Even though the policy adopted by Australia presents a variety of responses that tend to be negative regarding the use of nuclear-powered submarines, this policy is still implemented by Australia considering the continuing increase in threats in the Indo-Pacific.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Budi Darmawan
"Kebijakan keamanan nasional Indonesia yang telah berorientasi terhadap ancaman dari luar dan cenderung mengabaikan keberadaan keamanan individu. Mengingat keberadaan ancaman invasi militer dari negara Iain sejak berakhirnya Perang Dingin telah berkurang atau bahkan tidak ada, justru ancaman terhadap keamanan nasional muncul dari beberapa sektor lain di Iuar militer, seperti masalah lingkungan dan sosial.
Penerapan Doktrin Sishankamrata sebagai landasan dalam upaya melakukan pertahanan negara, memberikan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter dan prinsip perang yang adil.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah, apakah Doktrin Sishankamrata memberikan perlindungan terhadap keamanan manusia? Sejauh manakah permasalahan-permasalahan non-combatant timbul dalam perang rakyat semesta?
Untuk menjawab pokok permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan pemikiran-pemikiran tentang Keamanan Nasional (Joseph S. Nye, Jr., HJ . Morgenthau) dan Keamanan Manusia (Barry Buzan, J. Ann Tickner, Ole Weaver) melalui sudut pandangan Hukum Humaniter dan Perang yang Adil (Michael Walzer, Liebe C. Greene) melalui metode kulitatif sebagai pilihan cara dalam memahami pemaknaan keamanan nasional Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada penerapan perang semesta yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, menunjukkan bahwa perang semesta telah mengaburkan prinsip diskriminasi yang mengharuskan pembedaan antara combatant dan non-combatant. Begitu pula dalam penerapan Doktrin Sishankamrata dalam konflik internal (Timor-Timur, Aceh dan Papua) yang terjadi di Indonesia, yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat.
Implikasi teoritik dari penelitian ini adalah bahwa teori Keamanan Nasional dalam pemikiran tradisional (dengan penekanan pada state centric) seperti yang diimplementasikan dalam Perang Semesta dan Doktrin Sishankamrata tidak sejalan dengan hukum humaniter dan prinsip perang yang adil, baik prinsip jus ad helium maupun jus in bella. Seperti yang ditunjukkan dalam kasus Bosnia-Herzegovina dan konflik internal di Indonesia (Timor Timur, Aceh dan Papua).

Indonesian National Security Policy until today is still orienting through external threat and tends to ignore the existence of individual security. Considering that the existence of military invasion threat irom other countries since the end of Cold War had been reduced or even disappeared, but threat of National Security is occur from many other sectors outside military such as environment and social problem.
The implementation of SISHANKAMRATA Doctrine as a guideline in country defense causes acts against humanitarian law and just war principle.
The issue which want to be taken up in this research is Does SISHANKAMRATA Doctrine give protection for human security? How far the non-combatant issues occur within the total war?
To answer the main problems above, this research is using many thoughts pertaining National Security (Joseph S. Nye, Jr., HJ. Morgenthau) and Human Security (Barry Buzan, J. Ann Tickner, Ole Weaver) through Humanitarian Law and Just War (Michael Walzer, Liebe C. Greene) perspectives and using qualitative method in order to understand Indonesian National Security.
The result of this research shows that the implementation of total war in Bosnia- Herzegovina had made unclear discrimination principle which supposed to make separation between combatants with non-combatant. This also happened to the implementation of SIS TA Doctrine in internal conflict (East Timor, Aceh and Papua) in Indonesia which caused the occurrence of horizontal conflict within the society.
Theoretical implication in this research is that National Security Theory in traditional thought (emphasizing to state centric) as what had been implemented in Total War and SISHANKAMRATA Doctrine, were not the same with Humanitarian Law and Just War principle, in jus ad bellum principle or even in jus in bella, as what had been shown in Bosnia-Herzegovina case and internal conflict in Indonesia (East Timor, Aceh and Papua).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>