Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40030 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasiholan, Gabrielle Octavian
"Perjanjian Kredit adalah perjanjian pinjaman antara bank dan pelanggan bank To memastikan perjanjian kredit jiwa mereka dapat dilakukan dengan mudah. Perjanjian biasanya terkait dengan jaminan sebagai jaminan, umumnya atas hak tanah dengan Hipotek institusi terikat dengan perjanjian jaminan. Sifat agunan Perjanjian dibangun sebagai perjanjian yang accesoir, dengan konsekuensi hukum serta perjanjian accesoir lainnya. Putusan Mahkamah Agung No. 353K / PDT / 2015 memberikan pembatalan perjanjian kredit dan Hak Tanggungan. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa ini tidak dapat dibenarkan, karena Pembatalan hipotek setuju tidak selalu mengarah pada pembatalan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Perjanjian kredit dilakukan antara bank dan bea cukai, meskipun jaminan kredit diajukan oleh a pihak ketiga. Oleh karena itu, perjanjian ini mengikat pihak yang membuatnya, debitur dan kreditor. Permintaan pembatalan perjanjian kredit tidak dapat diajukan oleh pihak ketiga.

Credit Agreement is a loan agreement between a bank and a bank customer to ensure that their life credit agreement can be done easily. Agreements are usually related to collateral as collateral, generally for land rights with mortgage institutions bound by collateral agreements. The nature of collateral agreements are built as access agreements, with legal consequences and other access agreement. Decision of the Supreme Court No. 353K / PDT / 2015 provides cancellation of credit agreements and Mortgage Rights. Based on this research, it was found that this cannot be justified, because cancellation of a agreed mortgage does not always lead to the cancellation of the credit agreement as the principal agreement. Credit agreement made between a bank and customs, even if a credit guarantee is submitted by a third party. Therefore, this agreement is binding on the parties that made it, the debtor and creditor. Request to cancel the credit agreement cannot be submitted by a third party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Milanda Afratya
"ABSTRAK
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank dengan nasabah bank. Perjanjian kredit ini biasanya terkait dengan jaminan sebagai agunan, umumnya atas tanah dengan lembaga Hak Tanggungan, yang diikat dengan suatu perjanjian penjaminan. Sifat perjanjian penjaminan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir dengan akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir lainnya. Putusan Mahkamah Agung Nomor 754K/PDT/2011 mengabulkan pembatalan Hak Tanggungan beserta perjanjian kreditnya, dimana gugatan diajukan pihak ketiga dengan alasan pembebanan Hak Tanggungan dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang atas tanah objek Hak Tanggungan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa hal tersebut tidak dapat dibenarkan, karena kebatalan perjanjian penjaminan Hak Tanggungan tidak serta merta menyebabkan batalnya perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit terjadi antara dua perseroan terbatas yang masing-masing merupakan subjek hukum , meskipun jaminan kredit diajukan oleh pihak ketiga. Karena itu, perjanjian kredit ini mengikat pihak-pihak yang membuatnya, yaitu pihak debitur dan pihak kreditur. Permohonan pembatalan perjanjian kredit tidak dapat diajukan oleh pihak ketiga.

ABSTRACT
Credit agreement is a loan agreement between the to the bank customers. The agreement is usually associated with a guarantee as collateral, generally over land rights with Mortgage institution, bound with a collateral agreement. The nature of the collateral agreement is constructed as an agreement that is accessoir, with legal consequences as well as other accessoir agreements. Supreme Court Decision No. 754K PDT 2011 granted cancellation of both the credit agreement and its Mortgage, where the lawsuit was filed by a third party by reason of the imposition of Mortgage encumbrance was performed by unauthorized person of the land rights. Based on this research, it was found that this can not be justified, because Mortgage agreement nullification does not necessarily lead to the cancellation of the credit agreement as the principal agreement. The credit agreement was done between two public limited companies each of which is subject to the law , although credit guarantees were submitted by a third party. Therefore, this agreement binds the parties who made it, the debtor and the creditor. Cancellation request of a credit agreement can not be filed by a third party."
2017
T46891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tenriana Nur Qalby Rahman
"Penelitian ini meneliti tentang suatu Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan dijadikan sebagai jaminan atas perjanjian utang piutang yang kemudian menimbulkan sengketa. Hal tersebut dikarenakan adanya peralihan hak atas tanah didasarkan pada PPJB dan dilakukan secara melawan hukum . Kasus tersebut dapat dilihat dalam Putsan Mahkamah Agung Nomor 2462/K/Pdt/2019. Penelitian ini menganalisis bagaimana kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas jaminan utang piutang berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 2461/K/Pdt/2019 dan bagaimana Perlindungan hukum debitur selaku Pemberi jaminan atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 2461/K/Pdt/2019. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan menggunakan data sekunder pengumpulan data dengan cara melakukan studi dokumen dan dianalisis secara kualitatif dan akan menghasilkan penelitian yang deskriptif analitis. Berdasarkan hasil analisis data, PPJB dalam hal dia sebagai jaminan maka dapat batal demi hukum selain itu apabila debitur wanprestasi, maka hak atas tanah yang dijaminkan itu tidak bisa serta merta beralih menjadi atas nama kreditur.

This research examines a Deed of Sale and Purchase Agreement (PPJB) and is used as collateral for a debt and credit agreement which then causes a dispute. This is because the transfer of land rights is based on PPJB and is carried out unlawfully. The case can be seen in Supreme Court Decision Number 2462/K/Pdt/2019. This research analyzes how the position of the Sale and Purchase Agreement on debt and credit collateral based on the Supreme Court Decision Number 2461/K/Pdt/2019 and how the legal protection of the debtor as the collateral provider of the Sale and Purchase Agreement based on the Supreme Court Decision Number 2461/K/Pdt/2019. This research uses doctrinal methods using secondary data data collection by conducting document studies and analyzed qualitatively and will produce analytical descriptive research. Based on the results of data analysis, PPJB in the event that it is used as collateral, it can be null and void, besides that if the debtor defaults, the land rights that are pledged cannot immediately change to the name of the creditor."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mal Abrina
"Hibah merupakan perjanjian sepihak yang diberikan secara cuma- cuma dari pemberi hibah kepada penerima hibah. Terdapat perbedaan antara hibah wasiat dengan hibah biasa. Dimana hibah biasa dapat dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup, dan proses balik namanya pun bisa dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup, sedangkan hibah wasiat dapat dilaksankan hanya ketika pemberi hibah sudah meninggal dunia. Tesis ini menganalisa tentang Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 23/ PDT.G/ 2008/ PN. BDG mengenai pertimbangan hakim tentang proses balik nama sertifikat harta hibah yang dilakukan oleh penerima hibah ketika pemberi hibah masih hidup dan akibat dari perjanjian yang tidak dilaksanakan oleh penerima hibah.terkait adanya suatu syarat dalam penghibahan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, simpulan dari tesis ini adalah proses balik nama sertifikat tersebut adalah sah serta tidak melanggar kaidah hukum karena dalam kasus ini adalah hibah biasa bukan hibah wasiat sehingga akibat dari perjanjian yang tidak dilaksanakan oleh penerima hibah terkait dan syarat dalam penghibahan tersebut menjadi dihapuskan.

Grant a unilateral agreement which is freely given by the grantor to the grantee. There is a difference between the will grant and the common grant. Common grants can be granted when the grantor is still alive, and the title transfer process can be commenced while the grantor is still alive, while the will grant can only be granted when the grantor died. This thesis analysed the decision of the district court judgement No 23/ PDT. G/ 2008/ PN. BDG consist of the judge`s judgement related to title transfer done by grantee while grantor still alive and the effect of unexecuted condition by the grantee. The utilized research method is the juridical normative, conclusion of this thesis is the certificate`s title transfer process is valid and does not violate the rule of law due to the grant is categorized as common grant instead of will grant, thus the consequences of unexecuted condition done by the grantee can be neglected."
Salemba: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Priambodo
"Perkawinan merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan dalam setiap kehidupan manusia. Setiap manusia membutuhkan pasangan untuk meneruskan keturunan dan juga meningkatkan taraf hidupnya. Dengan adanya perkawinan ini tentunya memiliki akibat hukum terhadap beberapa aspek salah satunya terhadap harta perkawinan antara pasangan suami dan istri. Dengan adanya perkawinan yang sah, antara suami dan istri tersebut jadi memiliki harta bersama yang mana harta tersebut diperoleh selama masa perkawinan. Dalam meningkatkan taraf hidup kehidupan, banyak pasangan suami istri melakukan pinjaman kepada pihak ketiga dengan melakukan perjanjian kredit dan menjaminkan surat-surat berharga atau harta benda yang dimilikinya. Penjaminan atas perjanjian kredit yang dilakukan oleh pasangan suami istri tersebut tidak jarang yang menggunakan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. Salah satu objek yang sering dijaminkan adalah tanah dan bangunan yang dikategorikan sebagai harta bersama dan dijaminkan menggunakan Jaminan Hak Tanggungan. Perjanjian Jaminan Hak Tanggungan ini yang dijaminkan adalah hak atas tanah yang dapat berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada dan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Pembebanan atas Jaminan Hak Tanggungan tersebut secara tegas dan diikat menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Notaris PPAT dan disetujui oleh kedua belah pihak antara debitur dan kreditur.

Marriage is one of the important aspects needed in every human life. Every individual requires a partner to continue the lineage and also to improve their standard of living. With the existence of marriage, it certainly has legal consequences on various aspects, one of which is the marital property between husband and wife. Through a valid marriage, the husband and wife share common assets acquired during the marriage. In the pursuit of improving their quality of life, many married couples borrow from third parties through credit agreements, pledging valuable documents or assets they own. The collateral for these credit agreements, undertaken by the married couple, often involves the common assets acquired during the marriage. One commonly pledged item is land and buildings categorized as joint property and pledged using a Deed of Mortgage. This Deed of Mortgage secures rights over the land, including buildings, plants, and creations that exist or will exist and are integral to the land. The encumbrance on the Mortgage Deed is explicitly and legally binding, established through a Deed of Granting Mortgage created by a Notary Public Land Deed Official and approved by both parties, the debtor, and the creditor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Via Aulia
"Tesis ini meneliti tentang akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), akta Kuasa untuk Menjual dan akta Perjanjian Pengosongan yang dituangkan ke dalam akta yang ditanda tangani tidak memenuhi persyaratan dan tidak dikehendaki salah satu pihak. Notaris salah dalam menerapkan perbuatan hukum sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), kasus yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1070 K/Pdt/2020. Permasalahan dalam penelitian ini terkait akibat hukum akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa untuk Menjual sebagai jaminan atas ikatan utang piutang dan peran serta tanggung jawab Notaris terhadap akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan akta Kuasa untuk Menjual sebagai jaminan atas ikatan utang piutang. Penelitian menggunakan metode Yuridis Normatif dengan tipe penelitian menganalisis masalah melakukan studi dokumen untuk memperoleh data sekunder dan analisis kualitatif sehingga menghasilkan hasil penelitian analisis deskriptif. Berdasarkan hasil analisis data, Notaris salah dalam menentukan perbuatan hukum yang dituangkan ke dalam 3 (tiga) akta yaitu akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), akta Kuasa untuk Menjual dan akta Perjanjian Pengosongan sebagai pengikatan jaminan dalam perjanjian utang piutang tidak tepat, karena akta tersebut bukan lembaga untuk jaminan. Notaris tidak melakukan penyuluhan hukum dan tidak memenuhi syarat verleden. Akibatnya akta dapat dibatalkan di Pengadilan, karena Notaris tidak membacakan akta dan tidak hadir di hadapan para pihak serta akta tidak memenuhi syarat subjektif yaitu kata sepakat. Selain itu, ke 3 (tiga) akta tersebut tidak memenuhi syarat objektif yaitu sebab yang halal, adanya suatu larangan yang diperjanjikan kepemilikan jaminan oleh pemberi pinjaman.

This thesis examines the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB), the deed of Authorization to Sell and the deed of Employment Agreement which is poured into the deed which is signed does not meet the requirements and is not desired by either party. Notaries are wrong in implementing legal actions so that they do not meet the legal requirements of the agreement and do not fulfill the provisions of the Notary Position Act (UUJN), the case that occurred in the Supreme Court Decision Number 1070 K/Pdt/2020. The problem in this study is related to the legal consequences of the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB) and the deed of Power to Sell as collateral for the debt and receivable bonds and the role and responsibility of the Notary in the deed of the Binding Sale and Purchase Agreement (PPJB) and the deed of Power of Attorney to Sell as collateral for the bond. debts and receivables. The research uses the normative juridical method with the type of research analyzing the problem of conducting document studies to obtain secondary data and qualitative analysis so as to produce descriptive analysis research results. Based on the results of data analysis, the Notary made a mistake in determining the legal actions as outlined in 3 (three) deeds, namely the deed of the Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB), the deed of Power to Sell and the deed of Employment Agreement as binding collateral in the debt and receivable agreement, because the deed it is not an institution for guarantees. Notaries do not provide legal counseling and do not meet the verification requirements. As a result, the deed can be canceled in court, because the Notary does not read the deed and is not present before the parties and the deed does not meet the subjective requirement, namely an agreement. In addition, the 3 (three) deeds do not meet the objective requirements, namely because it is lawful, there is a prohibition on the ownership of the guarantee by the lender."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angel Fransisca Christy Manga
"Perjanjian hutang piutang dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Namun, yang kerap terjadi adalah para pihak mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian hutang piutang secara lisan membentuk suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas objek yang dijadikan jaminan perjanjian hutang piutang lisan yang bersangkutan, sebagaimana terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2288/K/PDT/2020. Permasalahan utama yang diangkat adalah terkait dengan kedudukan hukum perjanjian hutang piutang lisan berdasarkan hukum pembuktian dan akibat penyelundupan hukum perjanjian hutang piutang lisan yang dibuat sebagai pendahuluan Akta PPJB dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2288/K/PDT/2020. Guna menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian doktrinal, dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa perjanjian hutang piutang lisan in casu terbukti dengan alat bukti persangkaan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 173 HIR, yang ditarik dari alat bukti saksi, dan tertulis seperti Akta PPJB dengan klausul hak membeli kembali dan laporan appraiser atas objek sengketa yang menyatakan perbedaan nilai ril objek sengketa dengan harga yang diperjanjikan dalam Akta PPJB dan telah dibayar lunas 2,5 (dua setengah) bulan sebelum pembuatan Akta PPJB. Perjanjian hutang piutang lisan yang dibuat sebagai pendahuluan Akta PPJB yang memuat klausul hak membeli kembali adalah suatu penyelundupan hukum karena telah memenuhi unsur penyelundupan hukum dan telah melanggar syarat objektif sahnya perjanjian, yaitu kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berangkat dari itu, Akta PPJB in casu harusnya batal demi hukum.

Debt agreements can be made either in an unwritten or written format. However, what often happens is that parties that bind themselves into an unwritten debt agreement would then form a Sales and Purchase Agreement Deed on the object used as a collateral in the previous unwritten debt agreement, as happened in the Supreme Court Decision Number 2288/K/PDT/2020. The main issues raised are related to the legal position of an unwritten debt agreement based on the law of evidence, and the consequences of legal evasion in an unwritten debt agreement made as a preliminary agreement to a Sales and Purchase Agreement Deed in the Supreme Court Decision Number 2288/K/PDT/2020. To provide answers for the issues above, a doctrinal research method is used, with a qualitative analysis method. The results found that the unwritten debt agreement in this case is proven by the judge’s presumption as stipulated in Article 173 of the HIR, that is drawn from witness evidence and written evidence, such as the Sales and Purchase Deed with the right to repurchase clause, and the appraiser’s report on the disputed object, which states the obvious difference between the real value and the agreed value that had been fully paid 2,5 (two and a half) months prior to making the Sales and Purchase Agreement Deed. The unwritten debt agreement made as a preliminary agreement to the Sales and Purchase Agreement Deed containing the right to repurchase clause is a form of a legal evasion, because it has fulfilled the elements of legal evasion and has violated one of the objective requirements for the validity of an agreement which is regulated in Article 1320 of the Civil Code. Therefore, the Sales and Purchase Agreement Deed in this case should be null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tifonia Tionusa
"Perjanjian utang piutang seharusnya tidak dibuat dalam bentuk perjanjian jual beli. Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 94 K/Pdt/2022, notaris membuat akta perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual yang dilandasi hubungan utang piutang antara penggugat selaku debitur dengan tergugat I selaku kreditur. Selain itu, perjanjian tersebut dilakukan antara penggugat selaku debitur dengan tergugat II selaku pembeli yang mana mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi pihak pembeli. Berkaitan dengan hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis legalitas perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa mutlak ditinjau dari Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan menganalisis hal-hal yang sebaiknya ada dalam perjanjian pengikatan jual beli untuk melindungi hak pembeli dari perbuatan melawan hukum. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 38 merupakan jual beli lunas dan Kuasa Menjual Nomor 39 bukanlah kuasa mutlak, melainkan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Selain itu, notaris dalam putusan ini tidak tahu mengenai hubungan hukum yang sebenarnya di antara pihak dalam perjanjian serta tidak bertanggung jawab terhadap materiil akta kecuali formil akta, sehingga notaris tidak bersalah dan akta yang dibuat tetap sah. Namun, perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual dapat dibatalkan karena telah melanggar syarat sahnya perjanjian yang pertama atau subjektif yaitu kesepakatan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kemudian, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Nyonya OSD selaku penjual terhadap Nyonya LS selaku pembeli adalah melakukan pemblokiran sertipikat objek jual beli yang telah dilunasi. Dengan demikian, hal-hal yang sebaiknya ada dalam perjanjian pengikatan jual beli untuk melindungi hak pembeli adalah melalui pencatatan perjanjian pengikatan jual beli pada kantor pertanahan, pencantuman kuasa yang tidak dapat ditarik kembali, dan langsung dibuatkannya akta jual beli apabila harga telah dilunasi atau jika masih ada syarat yang belum terpenuhi, maka dapat membuat perjanjian pengikatan jual beli lunas.

Payables agreements should not be made in the form of a sale and purchase agreement. In the Supreme Court Decision Number 94 K/Pdt/2022, the notary made a deed of sale and purchase binding agreement and power of attorney based on the debt-receipt relationship between the plaintiff as the debtor and Defendant I as the creditor. In addition, the agreement was made between the plaintiff as the debtor and Defendant II as the buyer which resulted in legal uncertainty for the buyer. In this regard, the purpose of this study is to analyze the legality of binding sale and purchase agreements and absolute power of attorney in terms of Article 39 paragraph (1) letter d of Government Regulation Number 24 of 1997 and analyze the things that should be in the binding sale and purchase agreement for protect the buyer's rights from unlawful acts. The form of this research is normative juridical with qualitative data analysis methods. The results of this study are the Sale Purchase Agreement Number 38 is a sale and purchase in full and the Selling Authority Number 39 is not an absolute power, but a power that cannot be withdrawn. In addition, the notary in this decision does not know about the actual legal relationship between the parties to the agreement and is not responsible for the material of the deed except for the formal deed, so that the notary is not guilty and the deed made remains valid. However, the sale and purchase binding agreement and selling power can be canceled because it has violated the legal requirements of the first or subjective agreement, namely the agreement in Article 1320 of the Civil Code. Then, the unlawful act committed by Mrs. OSD as the seller against Mrs. LS as the buyer was to block the certificate of sale and purchase object that had been paid off. Thus, the things that should be included in the binding sale and purchase agreement to protect the rights of the buyer are through the recording of the binding sale and purchase agreement at the land office, the inclusion of an irrevocable power of attorney, and the deed of sale and purchase is made immediately if the price has been paid or if it is still If there are conditions that have not been met, then you can make a binding sale and purchase agreement in full."
Depok: 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risfan Nirwana Putra
"Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama dapat dijadikan alasan seseorang untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian perkawinan. Disahkannya perjanjian perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dapat ditafsirkan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian perkawinan. Metode penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif analitis. Perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tetap berlaku bagi para pihak (suami-istri) yang membuatnya. Tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan tidak dapat dijadikan alasan sebagai perbuatan tidak terpenuhinya syarat perjanjian perkawinan yang mengakibatkan perjanjian perkawinan tersebut batal demi hukum. Pengesahan perjanjian perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hanya merupakan tindakan Pencatatan/Pendaftaran saja guna memenuhi asas publisitas. Pendapat Mahkamah Agung mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris bukan syarat formil merupakan pendapat yang keliru. Perjanjian perkawinan yang dibuat dihadapan notaris merupakan syarat sahnya perjanjian perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Diperlukan peraturan pelaksana untuk mengatur perjanjian perkawinan itu sendiri, agar jelas dan tidak menimbulkan multitafsir.

A Prenuptial Agreement not registered at Civil Registry or religious Affairs Office may be the reason of a person to file a cancellation of the Prenuptial Agreement. The passing of the Prenuptial Agreement by the Marriage Officer may be interpreted as one of the conditions for the validity of the Prenuptial Agreement. The research method is normative juridical with qualitative approach is descriptive analytical. The Prenuptial Agreement not registered by the Marriage Officer shall apply to the parties (the spouses) who make it. The non-registration of the Prenuptial Agreement shall not be the reason for the non-fulfillment of the terms of the Prenuptial Agreement which resulted in the Prenuptial Agreement being void. The ratification of the Prenuptial Agreement by the marriage registrar as stipulated in Law Number 1 Year 1974 concerning Marriage, is only a Registration / Registration activity only to fulfill the publicity principle. The Supreme Court's opinion on the Prenuptial Agreement made by Notary is not a formal requirement is a false opinion. The Prenuptial Agreement made by notary is a requirement for the validity of a Prenuptial Agreement as described in the Civil Code. An implementing regulation is required to govern the Prenuptial agreement itself, in order to be clear and not to create multiple interpretations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asyura Triana Arimurti
"Skripsi ini membahas mengenai pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan, yakni karena wanprestasi atau dengan digunakannya hak untuk memutus perjanjian pemborongan pekerjaan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan Pasal 1611 KUHPerdata. Pokok permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana wanprestasi dapat terjadi beserta akibat hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pengaturan pemutusan perjanjian pada perjanjian pemborongan pekerjaan, serta pertimbangan hakim
terkait pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1157 K/PDT/2017. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal pihak yang memborongkan menuduh pemborong melakukan wanprestasi tetapi wanprestasi tidak terbukti,
pemutusan perjanjian pemborongan pekerjaan tidak dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata. Pemutusan perjanjian tetap dapat dilakukan melalui ketentuan Pasal 1611 KUHPerdata hanya apabila ganti rugi yang dimaksud pasal tersebut telah terpenuhi. Selama ganti rugi yang dimaksud oleh Pasal 1611 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka pemutusan perjanjian secara sepihak pada perjanjian pemborongan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak yang memborongkan tidak dapat didasari oleh Pasal 1611 KUHPerdata. Dengan demikian, sepatutnya
hakim lebih cermat dalam menggunakan Pasal 1611 KUHPerdata sebagai dasar pertimbangan.
This thesis discusses the termination of the contracting agreement, namely due to default or the use of the right to terminate the contracting agreement unilaterally by the party who is contracting based on Article 1611 of the Civil Code. The main problem in this research is how default can occur and the legal consequences based on the laws and regulations in force in Indonesia, the arrangement for termination of the agreement in the contract work agreement, as well as the judge's considerations.
regarding the unilateral termination of the agreement on the contract of work in the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 1157 K/PDT/2017. The research method used is juridical-normative using secondary data. The results of this study indicate that in the event that the party who bought the contract accused the contractor of default but the default was not proven, termination of the contract work agreement cannot be carried out based on Article 1266 of the Civil Code. Termination of the agreement can still be carried out through the provisions of Article 1611 of the Civil Code only if the compensation referred to in the article has been fulfilled. As long as the compensation referred to in Article 1611 of the Civil Code is not fulfilled, then the unilateral termination of the agreement on the contracting work agreement carried out by the party who is contracting cannot be based on Article 1611 of the Civil Code. Thus, it should be judges are more careful in using Article 1611 of the Civil Code as a basis for consideration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>