Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72870 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Salim
"ABSTRAK
Pegadaian sebagai lembaga keuangan yang memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan sistem gadai dan lembaga pegadaian banyak memberikan pinjaman kepada masyarakat menengah ke bawah dengan jumlah pinjaman kecil. Tugas dari pegadaian adalah agar masyarakat terhindar dari sistem rentenir. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme peminjaman dalam lembaga pegadaian menurut perundang-undangan? Apakah penentuan bunga pegadaian mendasarkan pada prinsip keadilan? Dan apakah bunga pegadaian sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan bagaimana kendala yang terjadi? Penelitian ini merupakan penelitian yang sifatnya sosio-legal yang metode pengumpulan datanya adalah dengan wawancara dan juga penyebaran kuesioner kepada nasabah pegadaian. Penelitian ini mencoba menganalisis besaran tingkat bunga di beberapa lembaga pegadaian Indonesia dengan membandingkan dengan peraturan pegadaian yang ada negara Cina dan India. Mekanisme peminjaman di pegadaian baik berupa kriteria barang jaminan, taksiran, penebusan harus memperhatikan SEOJK 52/SOJK.05/2017. Tingkat bunga pegadaian yang mencapai 10 persen untuk setiap bulannya dipandang belum memenuhi rasa keadilan. Meskipun demikian, penerapan tingkat bunga pegadaian di Indonesia sudah sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia. Dalam menentukan besaran bunga pegadaian yang ada sekarang bagi pegadaian tidak terdapat kendala, namun besaran bunga yang telalu tinggi menjadi kendala bagi nasabah karena sebagian besar ekonomi mereka adalah menengah ke bawah, namun mereka tetap menggunakan pegadaian karena untuk memenuhi kebutuhan mereka.

ABSTRACT
Pawnshops as a financial institution that provides loans to the community with a pawn system and pawnshop institutions provides loans to the middle and lower classes with small loans. The task of pawnshops is for the community to avoid the loan shark's system. The problem in this study is how is the mechanism of lending in a pawnshop institution according to legislation? Is the determination of pawnshops based on the principle of justice? And is the pawnshop interest in accordance with the applicable regulations and how do the obstacles occur? This research is a socio-legal nature of the data collection method by interviewing and distributing questionnaires to pawnshops customers. This study tried to analyze the interest rates in several Indonesian pawnshops by comparing the pawnshop regulations in China and India. The mechanism of lending in pawnshops in the form of criteria for collateral, estimated, redemption must pay attention to SEOJK 52/SOJK.05/2017. Mortgage rates which reach 10 percent for each month are seen as not fulfilling a sense of justice. Nevertheless, the application of pawnshops in Indonesia is in accordance with the regulations in Indonesia. In determining the amount of pawnshops that are currently available for pawnshops there are no obstacles, but the high amount of interest is an obstacle for customers because most of their economy is middle to lower, but they still use pawnshops because to meet their needs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuning M. Irsyam
"Awal dari perubahan yang mendasar dari sistem ekonomi Indonesia di masa penjajahan berkaitan erat dengan tiga faktor. Pertama, diberlakukannya mata uang gulden sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah Hindia Belanda. Hal ini menandai terciptanya kesatuan ekonomi dari Pax Neerlandica yang merupakan kebijakan pemerintah kerajaan Belanda di Hindia Belanda, yang berpusat di Batavia. Kedua, Undang-Undang Agraria yang mulai diberlakukan pada tahun 1870 telah mengubah sistem pemilikan tanah secara komunal menjadi pemilikan tanah secara individual.
Undang-Undang Agrania tersebut, di satu pihak membuka kemungkinan bagi penduduk untuk memperoleh uang tunai dengan cara menyewakan tanah mereka kepada pihak lain (antara lain pengusaha-pengusaha perkebunan) selama 75 tahun; namun di lain pihak undang-undang ini juga memberikan akses kepada para pengusaha untuk mendapatkan tanah bagi usaha mereka.
Ketiga, diberlakukannya beberapa jenis pajak yang harus dibayar dalam bentuk uang tunai, dan bukan lagi dalam bentuk in natura atau kerja fisik. Dengan demikian, rakyat dipacu untuk memperoleh uang tunai guna mencukupi bermacam-macam kebutuhan.
Ketiga faktor tersebut telah mendorong lahirnya proses monetisasi, yaitu melembaganya uang sebagai nilai tukar atau ukuran nilai terhadap barang, harta kekayaan dan upah kerja di dalam kehidupan masyarakat di wilayah Hindia Belanda. Secara sederhana, proses monetisasi adalah perubahan dari sistem ekonomi "tradisional" yang lebih bertumpu pada perdagangan barter menuju ke sistem ekonomi "modern" yang lebih menekankan kepada penggunaan uang di dalam lalu lintas perdagangan dan kehidupan perekonomian (Djojohadikusumo, 1989: 2). Dengan demikian salah satu proses peralihan dari perekonomian tanpa uang ke perekonomian uang terjadi dengan diberlakukannya mata uang gulden sebagai alat tukar resmi dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Namun demikian, kemampuan dari anggota-anggota masyarakat untuk memiliki mata uang gulden tidaklah sama. Agaknya kemampuan untuk memiliki uang gulden tersebut sedikit banyak tergantung kepada status sosial yang dimiliki oleh masing-masing anggota masyarakat. Secara garis besar, terdapat tiga kelas berdasarkan kemampuan ekonomi dan keuangan masyarakat. Ketiga kelas itu adalah kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah.
Kelas atas terdiri dari para orang kaya raya berdasarkan keturunan atau pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda (priyayi). Kaum priyayi ini memiliki hak-hak istimewa, baik yang mereka peroleh berdasarkan kedudukan mereka di dalam aparat pemerintah kolonial Belanda maupun berdasarkan tradisi seperti mendapatkan upeti dari bawahan. Tradisi ini masih tetap berlangsung meskipun pemerintah Hindia Belanda telah memberikan gaji kepada mereka. Upeti ini merupakan semacam pajak tradisional yang harus dibayar oleh rakyat di samping pajak resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Para penguasa Barat dan pribumi juga termasuk dalam golongan kelas atas ini.
Kelas menengah terdiri dari para pejabat tingkat lokal, para pedagang, saudagar, tuan tanah, rentenir (pemberi pinjaman uang dengan bunga yang tinggi), serta para lurah dan para pembantunya (aparat pamong-praja desa). Sedangkan kelas bawah terdiri dari para petani kecil, buruh, kuli pabrik dan perkebunan, para pekerja kasar dan tukane serta orangorang miskin. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosmala Dewi
"Lelang yang merupakan pembentuk jual beli, adalah upaya pengembalian pinjaman yang diberikan karena tidak dilunasinya pinjaman sampai batas waktu yang ditentukan telah lewat. Dengan kata lain, lelang terjadi karena adanya pinjaman (kredit) dengan barang jaminan berupa barang bergerak yang apabila kredit atau pinjaman itu tidak dilunasi sampai jatuh tempo, maka barang jaminan akan di lelang. Berkaitan dengan masalah lelang, terdapat suatu cara bagi nasabah yang belum dapat melunasi utangnya sampai batas waktu yang ditentukan agar barang jaminannya. yang berharga itu tidak dilelang yaitu dengan melakukan gadai ulang. Dengan melakukan gadai ulang ini, maka nasabah hanya membayar sewa modal dari pinjaman yang lama, dan barang jaminan menjadi barang jaminan yang baru untuk perjanjian kredit yang baru. Dapat juga disebut dengan memperpanjang. Dalam pelaksanaan lelang dan gadai ulang ini, belum banyak yang mengetahui tata cara yang sesungguhnya dalam praktek. Ini disebabkan karena banyaknya kendala, seperti faktor kurangnya informasi yang diberikan, sehingga masyarakat tidak sedikit yang belum mengetahui bagaimana sebenarnya penjualan lelang dan kapan pelaksanaannya. Dalam praktek, hambatan lain banyak yang dihadapi oleh Perum Pegadaian. Seperti faktor resiko bisnis yang dihadapi, juga faktor masih lemahnya ketentuan yang ada. Semua hambatan ini merupakan tantangan bagi Perum Pegadai agar dapat mengatasinya, menuju profesionalisme kerja yang lebih baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20584
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wahyuning M. Irsyam
"Sebagai suatu sistem Pegadaian memiliki seperangkat unsur-unsur seperti uang, pegawai, peraturan, administrasi dan pelelangan. Sedangkan sistem perekonomian golongan lemah unsur-unsur kekurangan modal, kebutuhan untuk mencukupi kebutunan rumah tangga dan usaha untuk memperoleh penghasilan serta barang-barang yang relatif tidak mempunyai harga tinggi.
Kebutuhan akan modal dari golongan lemah dapat dipenuhi melalui satu fungsi dari pegad aian yaitu meminjamkan uang golongan leman sebagai debitur. Dengan demikian maka terjalinlah interaksi antara sisem pegadaian dengan sistem ekonomi golongan lemah. Dengan kata lain interaksi antara sistem pegadaian dengan sistem ekonomi golongan lemah pada hakekatnya disebabkan karena esensi dari ekonomi golongan lemah adalah ekonomi subsistensi.
Dengan demikian maka makna pegadaian bagi masyarakat golongan lemah dapat dirumuskan sebagai berikut: pertama, meningkatkan kemampuan sistem perekonomian golongan lemah, kedua menurunkan kemampuan sistem perekonomian golongan lemah, ketiga menimbulkan keadaan tidak berubah (tidak mengalami penurunan maupun peningkatan kemampuan sistem perekonomian golongan lemah). Dapat dikatakan bahwa dengan dampak yang ketiga ini sistem pegadaian sebenarnya memperkuat ?status Quo? sistem perekonomian golongan lemah.
Dampak dari sistem pegadaian terhadap sistem perekonomian golongan lemah ditentukan oleh empat factor yaitu: (1) besar kecilnya demand dari golongan ekonomi lemah terhadap kebutuhan terhadap kebutuhan akan uang, (2) Penggunaan uang yang diperoleh golongan lemah dari pegadaian ke dalam jenis-jenis usaha yang dijalankan oleh peminjam uang, (3) Pengeloalan uang sebagai modal usaha, (4) Ada tidaknya orientasi terhadap achievement dalam menjalankan usaha-usaha yang dilakukan oleh peminjam."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1990
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tien Supartinah
"Krisis ekonomi yang terjadi sejak lull tahun 1997, berdampak pada memburuknya kinerja lembaga keuangan, khususnya perbankan. Hal tersebut telah menyebabkan dunia usaha mengalami kesulitan pendanaan. Namun dalam kondisi krisis tersebut, masih terdapat beberapa lembaga keuangan yang mampu bertahan, salah satunya adalah Perum Pegadaian. Dalam masa krisis ini, Perum Pegadaian justru mendapat peluang yang besar. Hal ini terjadi karena nasabah yang biasanya memanfaatkan perbankan sebagai sumber dana pembiayaan, sekarang beralih ke Perum Pegadaian. Nasabah Perum Pegadaian biasanya golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, tapi saat krisis ini terjadi justru semua lapisan masyarakat memanfaatkan jasa Pegadaian. Dengan meningkatnya nasabah Perum Pegadaian, menimbulkan permasalahan bagi Perum Pegadaian, yakni Perum Perum Pegadaian tidak mampu memberikan kredit (pinjaman) kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal ini disebabkan modal Perum Pegadaian yang terbatas dan kesulitan untuk mendapatkan tambahan modal dari luar.
Dengan keadaan tersebut di atas, maka Perum Pegadaian terpaksa menurunkan plafon pinjaman yang dibutuhkan masyarakat, yang semula pinjaman yang diberikan maksimal Rp. 20 juta, diturunkan menjadi Rp. 5 juta. Dengan penurunan plafon ini diharapkan ada pemerataan pinjaman kepada seluruh lapisan masyarakat. Tapi pada awal tahun 1999, Perum Pegadaian mampu lagi memberikan kredit pinjaman sesuai dengan plafon maksimal Rp. 20 juta.
Oleh sebab itu, penulis ingin mengetahui bagaimana keadaan kinerja keuangan dan kemampuan Perum Pegadaian melaksanakan fungsinya. Untuk mengukur kinerja keuangan digunakan Analisis Rasio Keuangan, Analisis EVA, dan Penilaian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 862 Tahun 1992. Sedangkan untuk mengukur kemampuan Perum Pegadaian dalam melaksanakan fungsinya, digunakan 9 (sembilan) tolak ukur sesuai dengan kegiatan Perum Pegadaian sebagai lembaga pembiayaan. Adapun tolak ukur tersebut adalah jumlah pinjaman yang diberikan, jumlah nasabah, jumlah barang jaminan, laba, jumlah aset, jumlah pendapatan (omset), jumlah kantor cabang dan jumlah karyawan.
Hasil dari penelitian menunjukkan, bahwa Perum Pegadaian termasuk perusahaan yang sehat sekali dan mempunyai nilai tambah ekonomi serta tetap mampu melaksanakan fungsinya dalam memberikan pinjaman atau kredit kepada masyarakat. Namun kelemahan Perum Pegadaian saat ini adalah besarnya hutang jangka panjang (obligasi) yang membebani biaya yang cukup besar untuk pembayaran bunga obligasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Kesumaningsih
"Saat ini penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 235 juta orang dimana 37,3 jiwa adalah penduduk miskin. Dalam mengatasi kesulitan hidupnya, penduduk miskin tersebut membutuhkan bantuan kredit secara cepat dan mudah. Sedangkan akses mereka yang terdekat dan tercepat adalah rentenir yang dapat memberikan tingkat bunga kredit sangat tinggi sekitar 60%-300% pertahun. Mereka tidak dapat memasuki akses perbankan maupun lembaga-lembaga keuangan lainnya dengan alasan yaitu prosedur yang rumit.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka Perum Pegadaian berusaha untuk memberantas rentenir melalui ekspansi dengan membuka kantor-kantor cabang terutama di daerah yang banyak terdapat rentenir. Hal inl sesuai motto Perum Pegadaian yaitu `Mengatasi Masalah Tanpa Masalah'. Diharapkan nasabah dapat dengan mudah dan cepat memperoleh kredit dengan menitipkan barang jaminan berupa barang bergerak sesuai ketentuan yang berlaku dengan tingkat sewa modal yang lebih rendah daripada rentenir.
Sejak 1 April 1990 status Pegadaian berubah dari Perusahaan Jawatan berubah menjadi Perusahaan Umum. Perum Pegadalan berusaha untuk membawa core bussiness nya menjadi profitable motive. Perum Pegadaiansalah satu BUMN yang memiliki hak monopoly by law tentunya menjadi monopolist yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan pasar atau Market Power. Kecenderungan market powerful tersebut sangat dirasakan terutama sejak masa krisis moneter. Dengan semakin besarnya market power ini Perum Pegadaian akan berusaha untuk mempertahankan hak monopolinya.
Sesuai dengan Misi Perum Pegadaian yaitu `Ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah, melalui kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha lain yang menguntungkan' maka Perum Pegadaian terikat pada Public Services Obligation. Jadi walaupun Perum Pegadaian memiliki hak monopoly by law dan market power yang semakin besar, Perum Pegadaian tidak meninggalkan Misi perusahaan. Hal ini terbukti dimana Perum Pegadaian tidak mengeksploitasi kemampuan nasabah dengan cara menetapkan tingkat sewa modal yang relatif stabil sejak 1990-2002 dan berusaha untuk menurunkan biaya-biaya operasional, salah satunya adalah spread margin.
Perum Pegadaian sebagai salah satu BUMN yang sehat dengan core business jasa kredit gadai menetapkan barang jaminan/collateral berupa emas/perhiasan akan sangat menarik dan mendorong para investor untuk berlomba-lomba menanamkan uangnya di Perum Pegadaian, sebagal salah satu sumber modal kerja Pegadaian.
Perum Pegadaian sebagai monopolist dalam industrinya, tidak dapat menjadi pemain tunggal dalam lembaga keuangan mikro. Perum Pegadaian akan menghadapi para pesaing yang sama-sarna memasuki masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Para pesaing yang terdekat adalah BRI Unit Desa dan BPR. Kedua pesaing ini memberikan tingkat bunga yang lebih murah daripada Perum Pegadaian dengan fasilltas yang lebih baik didukung dengan kemampuan teknologi yang tinggi. Agar keberadaan Perum Pegadaian tetap dirasakan di masyarakat sekaligus sebagai salah satu pesaing dalam lembaga keuangan mikro, Perum Pegadalan bisa bersaing dalam meningkatkan mutu pelayanan maupun memperbanyak jenis-jenis produknya agar menarik antara lain jasa kredit-gadai gabah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shamira Diandra
"Kebutuhan akan pinjaman luar negeri hingga kini masih dibutuhkan oleh bangsa ini, salah satunya adalah untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Mengingat pengalaman buruk Indonesia dalam manajerial dan pengawasan terhadap dilakukannya pinjaman luar negeri pada krisis moneter 1998, maka Bank Indonesia dan pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mengatur kewajibankewajiban yang harus dilakukan debitur dalam melakukan pinjaman luar negeri. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaturan-pengaturan terkait kewajiban
debitur pinjaman luar negeri dan bagaimana implementasi yang dilakukan debitur swasta di Indonesia. Maka dari itu, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar mengeluarkan PBI Nomor 12/24/PBI/2010 Tahun 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri, PBI Nomor 18/4/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi, dan PBI 21/2PBI/2019 Tahun 2019 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Hal ini telah diimplementasikan oleh 90% korporasi di Indonesia. Untuk menjawab hal-hal tersebut, tulisan ini dibuat dengan pendekatan penelitian yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penelitian akan diolah secara kualitatif berdasarkan studi kepustakaan
dengan alat pengumpulan data berupa data sekunder yang didukung oleh
wawancara dengan narasumber terkait.
The need of foreign debt for this nation is inevitable, which one of the need is to support development and construction. Considering Indonesia's bad experience in managerial of foreign debt during the 1998 monetary crisis, Bank Indonesia and the government have to make various regulations regarding the obligations that must be done by borrower in conducting foreign debt. This study aims to determine the arrangements related to the obligations of foreign borrowers and how the implementation of private debtors in Indonesia. Therefore, pursuant to the Foreign Exchange Act and Exchange Rate System, Bank Indonesia issued PBI Number 12/24/PBI/2010 concerning Obligations for Foreign Debt Reporting, PBI Number 18/4/PBI/2016 2016 concerning Application of Prudential Principles in Managing Corporate Foreign Debt, and PBI 21/2PBI/2019 2019 concerning Reporting on
Foreign Exchange Flows. This has been implemented by 90% of corporations in Indonesia. To answer these things, this writing is done yuridical-normative approach with descriptive research type. The research is processed qualitatively based on literature study with secondary data followed by topic-related interview as the data collection tools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debby Putri Christiani
"

Dewasa ini, kantong plastik mulai menjadi keresahan bagi lingkungan karena kebanyakan dari plastik akan berakhir menjadi sampah dan mengotori lingkungan. Bahan dasar pembuatan kantong plastik mengakibatkan kantong plastik menjadi tidak mudah terurai dan berakhir menumpuk di tempat pembuangan sampah. Tidak berhenti di situ, sampah kantong plastik tersebut berpindah tempat sampai ke laut dikarenakan oleh aktivitas angin atau aliran sungai. Dilansir dari data Bank Dunia, sampah kantong plastik sekali pakai mendominasi sampah plastik di Indonesia. Dengan besarnya volume timbulan sampah kantong plastik tersebut, upaya pengelolaan sampah di hilir sudah tidak cukup. Sehingga, perlu dilakukan upaya preventif berupa pengurangan sampah dari hulu. Oleh karena itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk membatasi timbulan sampah kantong plastik. Upaya tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui pendekatan command and control. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, skripsi ini berupaya memberikan solusi pengurangan sampah kantong plastik dengan melakukan perbandingan pada penerapan pendekatan command and control melalui Peraturan Walikota Banjarmasin Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Penerapan larangan penyediaan kantong plastik melalui peraturan walikota tersebut terbukti efektif dalam mengurangi sampah kantong plastik di Kota Banjarmasin walaupun tidak didukung oleh pengaturan sanksi. Keefektifan peraturan walikota tanpa pengaturan sanksi akan dijelaskan dengan menggunakan teori benign big gun. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan larangan penyediaan kantong plastik dapat diadaptasi di kota lain di Indonesia guna mengurangi sampah kantong plastik yang kian mencemari lingkungan.

 


These days, plastic bags have become a source of problem for the environment, since most of them will end up as waste and pollute the environment. The basic ingredients in plastic bags makes it hard for them to break down and caused them to end up piled up in landfills. Not only that, the plastic bag waste would also find its way to the sea due to wind or river flow. Data from the World Bank stated that disposable plastic bags waste makes up the majority of plastic waste in Indonesia. With such large volume of plastic bag waste, downstream waste management efforts are not enough. Therefore, it is necessary to take preventive measures in the form of reducing waste from the upstream. Hence, government intervention is needed to limit the insurgence of plastic bag waste. The effort can be made by the government through a command and control approach. By using a normative juridical research method, this thesis seeks to provide a solution to reduce plastic bag waste by comparing the application of the command and control approach through Banjarmasin Mayor Regulation No. 18 of 2016 concerning Reducing the Use of Plastic Bags. The implementation of the ban on supplying plastic bags through the mayor's regulation proved effective in reducing plastic bag waste in Banjarmasin City even though it was not supported by sanctions. The effectiveness of the mayor's regulations without the regulation of sanctions will be explained using the beningn big gun theory. Based on this, it is expected that the ban on supplying plastic bags can be adapted in other cities in Indonesia to reduce plastic bag waste which is increasingly polluting the environment.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosihan Arsyad
"Suatu kota mutlak memerlukan keteraturan dan ketertiban. Pemda DKI Jakarta misalnya, melakukan penertiban bahkan penggusuran dengan satu alasan yang pasti yaitu: "demi keteraturan dan ketertiban kota". Tetapi, mengapa tindakan ini mengundang kontroversi yang amat tajam?
Hal ini disebabkan karena "keteraturan sosial" sering didefinisikan secara sepihak oleh pemerintah. Misalnya, keteraturan sosial adalah "patuh pada Perda yang berlaku". Hal ini benar, apalagi bila kita menganut prinsip "supremasi hukum". Tetapi perlu kita ingat bahwa keteraturan secara sosiologis adalah suatu "patterned behavior atau patterned interaction" (perilaku atau interaksi sosial yang terpola karena dilakukan oleh orang banyak secara berulang-ulang atau terus menerus), sehingga warga masyarakat dapat meramalkan dan mengantisipasi perilaku orang lain dalam interaksi sehari-hari. Lama kelamaan pola ini menjadi suatu "norma" yang walaupun tidak formal (legal) tetapi disepakati di antara warga masyarakat. Masyarakat justru akan mengalami kekacauan atau kebingungan (disorder) kalau tiba-tiba kesepakatan itu berubah sehingga satu sama lain tidak dapat mengantisipasi apa yang akan dilakukan lawan interaksinya.
Jadi, secara sosiologis keliru bila kita katakan "keteraturan sosial di masyarakat kita sudah hancur, karena banyak orang yang melanggar hukum". Yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa di masyarakat kita masih ada "keteraturan sosial", tetapi cenderung bertentangan arah dengan undang-undang yang resmi berlaku. Dengan kata lain pola interaksi yang sudah disepakati antarwarga (keteraturan sosial) tidak sejalan dengan ketertiban hukum (legal order). Inilah masalah sosiologis yang paling mendasar di masyarakat kita saat ini. Titik pangkalnya ada pada pemahaman mengenai ketertiban hukum yang berlaku. Peraturan Daerah nomor 11 tahun 1988 yang menjadi landasan hukum pengaturan ketentraman dan ketertiban umum, seharusnya dapat dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat atau warga DKI Jakarta agar pola interaksi keteraturan sosial dan ketetapan hukum dapat tercipta sinergisnya. Namun, sampai saat ini setelah belasan tahun Perda ini diberlakukan, justru citra negatif malah tampak baik melekat pada Pemda DKI Jakarta maupun aparat Dinas Tramtib, sementara kesemerawutan kota Jakarta juga kian menjadi jadi.
Tesis ini secara khusus mengkaji dan mengevaluasi kebijakan ketertiban umum yang tertuang dalam Perda No. 11 tahun 1988 yang dipandang dari aspek kehumasan yang dilakukan oleh Dinas Tramtib Pemda Jakarta Utara. Adapun metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan mengadakan pengamatan lapangan selama 1 tahun dengan menggunakan metode penelitian Indeepth Interview (wawancara mendalam) dan Studi dokumentasi dan jenis data yang dihimpun adalah data primer dan data sekunder.
Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan berbagai program kerja Dinas Tramtib dan Linmas Pemda DKI Jakarta Utara telah sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya dari mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pendapat narasumber mengenai pelaksanaan Perda No 11 tahun 1988 banyak mengemuka dan berkembang lebih mengarah pada sektor-sektor kebijakan yang menyangkut realitas kehidupan yang dihadapi publik seperti masalah keamanan dan ketertiban, pengadaaan sarana dan prasarana umum, pengelolaan transportasi uinum, serta pelayanan dan kinerja aparat pemda."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana Ancelina K. Wimbit
"Peraturan Menteri menjadi salah satu peraturan perundang-undangan yang memiliki jumlah peraturan terbanyak dibandingkan peraturan perundang-undangan lainnya. Terhadap banyaknya Peraturan Menteri yang dibentuk, Presiden Jokowi dalam salah satu program kebijakannya menekankan reformasi regulasi di Indonesia. Pembentukan Peraturan Menteri hanya dapat dilakukan berdasarkan pendelegasian oleh peraturan perundang-undangan diatasnya dan selaras dengan visi misi dan kebijakan yang diberikan Presiden. Skripsi ini akan membahas mengenai dinamika pembentukan Peraturan Menteri pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, masih banyak Peraturan Menteri ditetapkan dengan keweangan atribusi dan bukan berasal dari kewenangan delegasi sehingga terdapat Kebijakan Presiden yang dikeluarkan guna membatasi kewenangan Menteri membentuk Peraturan Menteri. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Melihat pada keberadaan Peraturan Menteri dalam peraturan perundang-undangan sebelum dan sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945, serta pengaturan akan kedudukannya dan kewenangan pembentukannya menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pehamanan lebih terkait kejelasan posisi Peraturan Menteri sebagaimana seharusnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, memberikan rekomendasi penyelesaian atas disharmoni Peraturan Menteri serta rekomendasi pengaturan idealnya pembentukan Peraturan Menteri menurut peraturan perundang-undangan agar mengurangi hiper regulasi yang terjadi di Indonesia.

Ministerial Regulation is one of the regulations in Indonesia that has the most quantity regulation than others. Many Ministerial Regulations were formed, President Jokowi’s policy program required the regulatory reform, one against the formation is Ministerial Regulation. In principle, Ministerial Regulation is implementing regulations that only formed based on delegation authority which is can be formed if there is a delegation from the above laws and regulations in line with the vision, mission and policies of President. This thesis will explain about the dynamic of Ministerial Regulation establishment in Joko Widodo’s reign, there are still many Ministerial Regulations that are made by attribution and not from the authority of the delegation so there is policy of President to limiting the authority of minister to make Ministerial Regulation. The research method used is normative juridical, that is research using secondary data. The existence of Ministerial Regulations in Indonesian laws and regulations before and after amendment UUD NRI Tahun 1945, position in the hierarchy of Indonesian laws and regulations, the authority to form according to Indonesian constitutional system, and applicable laws and regulations. This research is expected to resolve the unclear position of the Ministerial Regulation, to provide recommendations resolving the disharmony of the Ministerial Regulations, ideal arrangement for the formation of Ministerial Regulation according to Indonesian laws and regulations in order to reduce hyper regulations that is currently happening in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>