Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zarqa Khalifa Hurin
"Enjo kosai adalah sebuah fenomena sosial yang berkembang di Jepang pada era 90-an. Enjo kosai merupakan praktik yang dilakukan oleh laki-laki yang lebih tua memberikan uang atau barang-barang mahal kepada remaja perempuan sebagai imbalan dari pertemanan mereka atau bahkan berhubungan seksual. Fenomena ini sangat populer di Jepang, kerap enjo kosai dijadikan sebagai tema dalam berbagai media seperti film, komik, bahkan karya sastra. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini akan membahas tentang fenomena enjo kosai di Jepang digambarkan dalam sebuah media film berjudul Bounce Ko Gals (1997) karya Masato Harada. Peneliti menggunakan teori representasi milik Stuart Hall dan mise en scene untuk menganalisa film Bounce Ko Gals (1997), dan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi kepustakaan. Melalui kedua pendekatan tersebut didapatkan hasil penelitian bahwa dalam film Bounce Ko Gals (1997) terdapat tanda-tanda yang menggambarkan ciri dari fenomena enjo kosai.

Enjo kosai is a social phenomenon which evolves in Japan in the era of 90s. The definition enjo kosai is a practice carried out by older men giving money or expensive items to young girl as a reward of their relationship or they can even move to sexual intercourse. This phenomenon is very popular in Japan, that they often made a theme on various media such as films, comics and even literature work. Based on these cases, this study will discuss how the phenomenon of enjo kosai in Japan portrayed on the film entitled Bounce Ko Gals (1997) by Masato Harada. The researcher used Stuart Halls representation theory and mise en scene to analyze the film Bounce Ko Gals (1997), and this research is a qualitative study using library research. Through these two approaches, the result of the study shows that in the film Bounce Ko Gals (1997) there are signs that describe the characteristics of the enjo kosai phenomenon."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Razio Rahmatdana Rizal
"Tenki no Ko adalah film animasi drama romantis Jepang yang dirilis pada tahun 2019 dan disutradarai oleh Makoto Shinkai. Film tersebut dipilih sebagai objek penelitian karena Makoto Shinkai banyak menggunakan folklor Jepang yang terkait dengan bencana alam dalam narasi film tersebut. Penelitian ini membahas bentuk penggambaran folklor Jepang serta kaitannya dengan bencana alam yang terjadi di Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan menganalisis teks dan visual dalam film yang mengandung unsur folklor. Dalam analisis tersebut, penulis menggunakan konsep folklor C. Scott Littleton, konsep intertekstualitas Gillian Rose, konsep bencana alam Satou dkk., dan mise-en-scène David Bordwell, dkk. Berdasararkan analisis yang telah dilakukan, Tenki no Ko banyak menggunakan folklor Jepang dalam narasinya. Folklor-folklor tersebut mengandung tema yang bervariasi, yaitu pengorbanan, hubungan timbal balik antara keputusan dan konsekuensi, serta tema iyashikei (memberikan rasa tentram ketika menontonnya). Selain sesuai dengan dua dari tiga fungsi folklor menurut Littleton (2002), ditemukan juga bahwa folklor dalam Tenki no Ko dapat berfungsi sebagai “pelarian” dalam bentuk pengalihan tanggung jawab dan optimisme.

Tenki no Ko is a Japanese animated romantic fantasy film that released in 2019 and directed by Makoto Shinkai. This film uses Japanese folklore a lot in its narrative. This research will discuss the form of depiction of Japanese folklore as well as the relationship between folklore and natural disasters that occurred in Japan. The research used analytical descriptive method by analyzing texts and visuals containing folklore elements using the folklore concept by C. Scott Littleton, intertextuality concept by Gillian Rose, the natural disaster concept by Satou, et al., and the mise-en-scène concept by David Bordwell, et al. Based on the analysis, Tenki no Ko uses many Japanese folklore in its narrative. These folklores contain various themes, namely sacrifice, hope, the reciprocal relationship between decisions and consequences; and iyashikei theme (gives a sense of peace when watching it). In addition to conforming to two of the three functions of folklore according to Littleton (2002), it is also found that folklore in Tenki no Ko can function as an "escape" in the form of shifting responsibility and optimism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Razio Rahmatdana Rizal
"Tenki no Ko adalah film animasi drama romantis Jepang yang dirilis pada tahun 2019 dan disutradarai oleh Makoto Shinkai. Film tersebut dipilih sebagai objek penelitian karena Makoto Shinkai banyak menggunakan folklor Jepang yang terkait dengan bencana alam dalam narasi film tersebut. Penelitian ini membahas bentuk penggambaran folklor Jepang serta kaitannya dengan bencana alam yang terjadi di Jepang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan menganalisis teks dan visual dalam film yang mengandung unsur folklor. Dalam analisis tersebut, penulis menggunakan konsep folklor C. Scott Littleton, konsep intertekstualitas Gillian Rose, konsep bencana alam Satou dkk., dan mise-en-scène David Bordwell, dkk. Berdasararkan analisis yang telah dilakukan, Tenki no Ko banyak menggunakan folklor Jepang dalam narasinya. Folklor-folklor tersebut mengandung tema yang bervariasi, yaitu pengorbanan, hubungan timbal balik antara keputusan dan konsekuensi, serta tema iyashikei (memberikan rasa tentram ketika menontonnya). Selain sesuai dengan dua dari tiga fungsi folklor menurut Littleton (2002), ditemukan juga bahwa folklor dalam Tenki no Ko dapat berfungsi sebagai “pelarian” dalam bentuk pengalihan tanggung jawab dan optimisme.

Tenki no Ko is a Japanese animated romantic fantasy film that released in 2019 and directed by Makoto Shinkai. This film uses Japanese folklore a lot in its narrative. This research will discuss the form of depiction of Japanese folklore as well as the relationship between folklore and natural disasters that occurred in Japan. The research used analytical descriptive method by analyzing texts and visuals containing folklore elements using the folklore concept by C. Scott Littleton, intertextuality concept by Gillian Rose, the natural disaster concept by Satou, et al., and the mise-en-scène concept by David Bordwell, et al. Based on the analysis, Tenki no Ko uses many Japanese folklore in its narrative. These folklores contain various themes, namely sacrifice, hope, the reciprocal relationship between decisions and consequences; and iyashikei theme (gives a sense of peace when watching it). In addition to conforming to two of the three functions of folklore according to Littleton (2002), it is also found that folklore in Tenki no Ko can function as an "escape" in the form of shifting responsibility and optimism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Ainiyyah
"Penelitian ini membahas mengenai representasi hubungan Jepang-Indonesia serta hegemoni Jepang dalam film kolaborasi kedua negara, Laut. Penulis menggunakan metode deskriptif analitis dan teori representasi Hall, mise-en-scéne, dan hegemoni Gramsci. Citra positif ditunjukkan kedua negara. Beberapa adegan lebih menunjukkan nilai-nilai positif Jepang sehingga terlihat bahwa pihak dominan dalam film ini adalah Jepang. Beberapa pemikiran seperti penyesalan Jepang akan kependudukan di Indonesia, penekanan bahwa Jepang membantu Indonesia melawan Belanda, kepedulian Jepang, dan dominasi Jepang terhadap Indonesia dalam hubungan Sachiko-Kris memenuhi deskripsi hegemoni yang disampaikan Gramsci berupa hasil pemikiran kelas dominan yang tidak bersifat memaksa. Karakteristik lainnya yaitu pemikiran tersebut disebarkan melalui lembaga swadaya masyarakat dimana dalam film LSM ini didirikan oleh Takako. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya populer yaitu film kolaborasi seperti Laut merupakan media penyebaran hegemoni Jepang yang bersifat tidak memaksa dan lebih diterima masyarakat Indonesia dibandingkan propaganda politik yang memaksa dan mengikat pada saat Perang Dunia II.

The focus of this study is the representation of Japan-Indonesia relation and Japanese hegemony in the collaboration film between the two countries, Laut. This study uses descriptive analytical methods and Hall`s representation theory, mise-en-scéne, and Gramsci`s hegemony theory. Positive image is shown by both countries. Some scenes show more positive values of Japan so that it appears that the dominant party in this film is Japan. Such thoughts as Japan`s regret for occupied Indonesia, the emphasis that Japan helped Indonesia against the Dutch, Japan`s concern, and Japan`s dominance of Indonesia in Sachiko-Kris relations fulfilled the Gramsci`s description of hegemony in the form of dominant class ideas that are not coercive. Another charactheristic is their thoughts spread through non-governmental organizations (NGO) where in the film was founded by Takako. So that it can be said that popular culture such as collaborative films, for example Laut, is a medium for spreading Japanese hegemony that is non-coercive and more accepted by Indonesian people than coercive and binding political propaganda during World War II.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ariana Ratnasari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang fenomena soushoku danshi sebagai representasi perlawanan terhadap konsep maskulinitas hegemonik di Jepang. Dalam penelitian ini penulis mengkaji fenomena soushoku danshi dari sudut pandang posfeminisme, khususnya melalui teori gender performativity Judith Butler. Masalah yang dibahas yaitu bentuk perlawanan soushoku danshi terhadap konsep maskulinitas hegemonik di Jepang. Tujuan penelitian ini untuk mewujudkan wacana yang berimbang mengenai fenomena soushoku danshi dan mengidentifikasi perlawanan soushoku danshi terhadap konsep maskulinitas hegemonik di Jepang. Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis dengan teknik pengambilan data studi kepustakaan. Melalui teori gender performativity Judith Butler dapat disimpulkan bahwa fenomena soushoku danshi merupakan representasi perlawanan terhadap konsep maskulinitas di Jepang.

ABSTRACT
This thesis discusses soushoku danshi phenomenon in Japan as resistance against hegemonic masculinity concept in Japan. This thesis examines soushoku danshi phenomenon from post feminism point of view, specifically through Judith Butler 39 s regarding gender performativity. Issue that explained is the soushoku danshi 39 s resistance forms against hegemonic masculinity concept in Japan. The purpose of this research is to make a balanced discourse regarding soushoku danshi and identifies soushoku danshi 39 s resistance forms. The method used in this research is analytic descriptive along with literature review. Through gender performativity theory, it can be concluded that soushoku danshi phenomenon is representation of resistance against hegemonic masculinity concept in Japan. "
2017
S68728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Furi Estining Ratri
"Film Till We Meet Again (月老 Yuè Lǎo) adalah film drama fantasi yang menceritakan mengenai perjalanan seorang pemuda bernama Ah Lun menjadi dewa cinta untuk menebus dosanya agar dapat bereinkarnasi menjadi manusia. Dalam perjalanan Ah Lun dihadapkan oleh dua pilihan, yaitu memilih antara bersama Xiao Mi atau menjalankan tugasnya sebagai dewa cinta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memaparkan konsep reinkarnasi yang ditunjukkan dalam film Till We Meet Again melalui aspek penokohan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan aspek penokohan mempengaruhi tindakan yang diambil oleh Ah Lun dalam menyikapi konflik yang dialami. Tindakannya dalam menyikapi konflik tersebut mempengaruhi hasil akhir yang diterima Ah Lun dalam bereinkarnasi.Film ini memberikan pemahaman bahwa kebahagiaan tidak selalu ditandai dengan pertemuan kembali, tetapi kebahagiaan juga dapat dicapai melalui perpisahan dan pesan bahwa untuk selalu bersikap baik dan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk hidup.

Till We Meet Again (Yuè Lǎo) is a fantasy drama film about a young man named Ah Lun's journey to become a god of love in order to atone for his sins and be reborn as a human. On his journey, Ah Lun is faced with two choices: being with Xiao Mi or carrying out his duties as a god of love. This research aims to analyze and explain the concept of reincarnation shown in the film Till We Meet Again through the aspect of characterization. The method used in this research is the qualitative method. The results showed that the characterization aspects influenced the actions taken by Ah Lun in responding to the conflict experienced. The film conveys the message that happiness is not always marked by reunion, but can also be attained through separation, as well as the need to always be kind and not waste the opportunity to live."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Dini Rizki
"Pada dasarnya, kejahatan memiliki batasan tersendiri di setiap disiplin ilmu, seperti halnya yang ditekankan dalam tulisan ini, yaitu suatu tindakan yang dapat memberikan kerugian fisik, psikologis, bahkan materi. Terlebih lagi ketika media telah mengambil peran, sehingga terbentuk pola yang dapat merepresentasikan suatu kejahatan, baik secara faktual maupun fiktif sebagai bagian dari landasan berpikir seorang individu mengenai sifat kejahatan, khususnya viktimisasi. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini secara khusus menyoroti film sebagai wadah penyampaian makna melalui audio dan visual menenai sebuah fenomena yang dikenal sebagai glass ceilling. Film Kim Ji-Young, Born 1982 merupakan salah satu film yang berusaha menunjukkan adanya bias gender di ranah privat maupun dunia kerja. Untuk mempermudah penulis dalam melihat fenomena tersebut, metode pengumpulan data yang dimanfaatkan oleh penulis merujuk pada level analisis wacana yang ditawarkan oleh Sara Mills, meliputi 1) cuplikan adegan karakter dan peran Kim Ji Young; 2) cuplikan adegan fokalisasi Kim Ji Young; 3) cuplikan adegan skemata Kim Ji Young; dan 4) cuplikan adegan penggambaran glass ceiling sebagai bentuk bias gender dalam film Kim Ji Young, Born 1982. Lebih lanjut, penulis mendalami fenomena tersebut menggunakan teori feminis sosialis, kriminologi konstitutif, pendekatan kriminologi visual, dan pendekatan kriminologi naratif. Berdasarkan teori feminis sosialis dan kriminologi konstitutif, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat pembatas yang dibuat secara nyata dalam lingkungan sosial. Secara khusus, dalam tulisan ini feminis sosialis berfungsi untuk melihat adanya sistem patriarki dan kapitalis sebagai landasan terjadinya bias gender. Kondisi ini kemudian dijelaskan sebagai sebuah kejahatan karena dilandasi oleh bias gender yang pada akhirnya membatasi ruang gerak perempuan, pada akhirnya juga bisa berdampak pada kesehatan mental seorang perempuan atau dikenal sebagai postpatrum depression.

Crime has limitations in each discipline, as emphasized in this paper, namely an action that can cause physical, psychological, and even material harm. When the media has taken a role, a pattern is formed that can represent a crime, both factually and victimization. As part of the foundation of an individual's thinking about the nature of the crime, especially victimization. Based on this, this paper explicitly highlights film as a vehicle for conveying meaning through audio and visuals regarding a phenomenon known as glass ceilings. Kim Ji-Young, Born in 1982, is one of the films that try to show the existence of gender bias in the private sphere and the world of work. To make it easier for the writer to see this phenomenon, the data collection method used by the writer refers to the level of discourse analysis offered by Sara Mills, including: 1) footage of Kim Ji Young's character and role; 2) footage of Kim Ji Young's vocalization scene; 3) stills of Kim Ji Young's schemata scene; and 4) Footage of the glass ceiling depiction as a form of gender bias in the film Kim Ji Young, Born 1982. Furthermore, the author explores this phenomenon using socialist feminist theory, constitutive criminology, visual criminology, and narrative criminology approaches. Based on socialist feminist theory and constitutive criminology, the writer can conclude that there are barriers that are actually made in the social environment. Specifically, in this paper, socialist feminists function to see the patriarchal and capitalist systems as the foundation for gender bias. This condition is then explained as a crime because it is based on gender bias which ultimately limits women's space for movement. In the end, it can also impact a woman's mental health, known as postpartum depression."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Flora Yuanita Marisi
"ABSTRAK
Homoseksual bukanlah sebuah tema yang baru dalam perfilman di Jerman. Dahulu film-film bertemakan homoseksual pernah mati akibat rezim Nazi, karena Nazi membenci homoseksualitas dan beranggapan bahwa homoseksualitas mengancam maskulinitas negara. Setelah tumbangnya Nazi film-film bertemakan homoseksual mulai kembali bermunculan, salah satunya adalah film bertajuk Jonathan. Penelitian ini membahas mengenai representasi homoseksual yang terdapat pada film Jonathan 2016 sebagai film debut karya Piotr. J. Lewandowski. Tidak seperti film bertemakan homoseksual lainnya, Jonathan menampilkan tokoh gay yang hidup dalam kesengsaraan. Kesengsaraan tokoh gay disebabkan keputusannya untuk mengingkari orientasi seksualnya yang kemudian menyebabkan efek domino kepada istri dan anaknya. Di akhir film orientasi seksual tokoh utama diterima oleh keluarganya sebelum ia mati dan hal ini melahirkan kebahagiaan serta penerimaan diri pada tokoh utama. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperlihatkan representasi homoseksual di pedesaan Jerman dalam film. Untuk meneliti bagaimana film merepresentasikan homoseksual, maka diperlukan teori semiotika dari John Fiske, yang lebih fokus pada tanda dalam film, sehingga dapat diketahui bagaimana tokoh homoseksual direpresentasikan melalui kostum, pencahayaan, dan musik dalam film. Penelitian menunjukkan bahwa pengingkaran diri tidak saja merugikan diri sendiri, tapi juga merugikan orang lain. Penerimaan diri amatlah penting, tidak saja untuk kebahagiaan diri sendiri, tapi juga untuk kebahagiaan orang lain, terutama keluarga.

ABSTRACT<>br>
Homosexuality is not a foreign film theme in German. Formerly homosexual themed films had died from the Nazi regime, because the Nazis hated homosexuality and thought that homosexuality threatened the state rsquo s masculinity. After the fall of the Nazi, homosexual themed films began to re emerge, one of which is a film titled Jonathan. This study discusses the homosexual representation found in Jonathan 2016 as Piotr. J. Lewandowski rsquo s debut film. Unlike other gay themed films, Jonathan features gay character who lives in a misery. The gay character rsquo s misery is due to his decision to deny his sexual orientation, which then causes a domino effect on his wife and son. At the end of the film, the main character rsquo s sexual orientation is accepted by his family before he dies and this give happiness and self acceptance for the main character. The purpose of this study is to show homosexual representation in rural Germany in the film. To examine how this film represents homosexuality, it takes the semiotic theory of John Fiske, which focuses more on the sign in the film, so it can be seen how the homosexual character is represented through costumes, lighting, and music in the film. This research shows that self denial is not only self defeating, it also harms others. Self acceptance is very important, not only for the happiness of oneself, but also for the happiness of others, especially the family."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Narestu Banie Prameswari
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai gambaran homoseksualitas di Tunisia yang direpresentasikan dalam film Le Fil sebagai homoseksual yang tertutup dan homoseksual yang terbuka. Selain itu, dibahas juga tentang stereotip yang dilatarbelakangi oleh agama dan masyarakat homofobia yang cenderung negatif. Analisis di dalam artikel ini menggunakan teori representasi dan kajian sinema. Hasil analisis menunjukkan bahwa representasi homoseksual tertutup lebih dominan dibandingkan dengan representasi homoseksual terbuka.

ABSTRACT
This article discusses the depiction of homosexuality in Tunisia which is represented in the film Le Fil as the closet and the open homosexuals. Moreover, this article also discusses about stereotype which is motivated by religion and homophobia society that tends to be negative. The analysis in this article based on the theory of representation and cinematographic approach. Results of the analysis showed that the representation of the closet homosexuals are more dominant than the representation of the open homosexuals."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Shadika Mega Puspita Sari
"Film dapat digunakan untuk membaca potret masyarakat tertentu pada suatu ruang
dan waktu tertentu. Wholetrain ? sebuah film mengenai dua kelompok pelaku
graffiti di Jerman yang beradu menulis graffiti di gerbong kereta api, sementara
itu graffiti yang ditulis pada fasilitas umum dianggap merusak dan dilarang oleh
pemerintah. Skripsi ini membahas tentang bagaimana identitas pelaku graffiti
direpresentasikan dalam film ini

Abstract
Film is handled as a potrait of a culture in a particular situation. Wholetrain ? a
film narrated two groups graffiti writers in Germany had a battle to burn graffiti in
a whole train, meanwhile graffiti bombed in a public service is perceived as an
unclean and disallowed by the government. The focus of this study is to
understand how the identity of the graffiti writers is represented in this film"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43739
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>