Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Mulyantari
"Latar Belakang: Gagal napas merupakan suatu sindrom pada sistem pernapasan yang gagal dalam fungsi pertukaran gas, sehingga menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas sangat memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan gagal napas. Terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dapat menjadi strategi terapi yang dapat mengurangi ketergantungan pada ventilator, mengurangi komplikasi, menurunkan lama rawat di ICU dan meningkatkan keluaran klinis pasien.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan gagal napas yang dirawat di ICU RSUPNCM. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada sakit kritis. Nutrisi enteral dini diberikan dalam 48 jam perawatan di ICU. Tiga pasien dapat mencapai target energi 25-30 kkal/kg BB, dan minimal protein 1,2 g/kg BB, sedangkan 1 pasien dengan obes I hanya dapat mencapai energi <70% dari kebutuhan energi total dan protein 0,6 g/kg BB. Mikronutrien diberikan dalam makanan cair. Volume makanan cair yang diberikan disesuaikan dengan imbang cairan pasien setiap hari.
Hasil: Pasien pada serial kasus ini berusia 44-67 tahun, semua adalah laki-laki. Satu pasien dengan status gizi malnutrisi ringan, 2 pasien berat badan normal dan 1 pasien dengan obes 1. Dua dari empat pasien termasuk gagal napas tipe I akibat gagal jantung kongestif dengan edema paru. Dua pasien lainnya termasuk gagal napas tipe II akibat fasitis nekrotikan. Seluruh pasien mendapatkan nutrisi enteral dalam 48 jam pertama perawatan. Satu pasien dengan malnutrisi ringan, dan hipoalbuminemia berat mengalami perawatan >21 hari karena sulit weaningventilator dan masuk sebagai chronically crtically ill sedangkan tiga lainnya dengan BB normal dan obes mengalami <21 hari perawatan.
Kesimpulan: Status gizi memengaruhi lama pemakaian ventilator mekanik. Terapi medik gizi dapat diterapkan pada semua pasien sesuai dengan komorbid dan dapat mendukung perbaikan keluaran klinis pasien.

Background: Respiratory failure is a respiratory system syndrome of inadequate gas exchange, resulting hypoxemia and/or hypercapnia. Respiratory failure patient needs mechanical ventilation as the main therapy. Malnutrition and respiratory failure are related. Early enteral nutrition is a therapeutic strategy that can reduce dependence on mechanical ventilation, complications, length of stay in ICU and improve clinical outcomes in critically ill respiratory failure patients.
Methode: This case series report four critically ill patients with respiratory failure from the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Medical nutrition therapy is implemented according to the ESPEN clinical nutrition guideline in critically ill. Early enteral nutrition is given in 48 hours of ICU care. Three patients can reach the energy target of 25-30 kcal/kg ABW, and a minimum of 1.2 g/kg ABW protein, whereas 1 obese patient can only achieved <70% of estimated TEE and protein needs of 0.6 g/kg IBW. Micronutrients given within enteral formula. The volume of enteral nutrition is adjusted to patient's fluid balance every day.
Result: Patients were 44-67 years old, all males. One patient was with mild malnutrition, 2 patients were in normal weight and 1 patient was obese I. Two of them were diagnosed as respiratory failure type I due to congestive heart failure with pulmonary edema. The two others were respiratory failure type II due to necrotizing fasciitis. All patients received early enteral nutrition within 48 hours. One patient with malnutrition and severe hypoalbuminemia stayed for >21 days in ICU for mechanical ventilation need, and become a chronically crtically ill while others are <21 days.
Conclusion: Nutritional status affects mechanical ventilation dependence. Medical nutrition therapy can be applied to all patients according to their comorbidities and can improve clinical outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55557
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Krisadelfa Sutanto
"Latar Belakang: Cedera tulang belakang dapat menyebabkan kelumpuhan kronis yang memengaruhi kebutuhan energi dan protein. Proses penyembuhan yang lama akibat trauma sistem saraf dan komplikasi akibat tirah baring lama berdampak pada penurunan angka harapan hidup dan kualitas hidup seseorang. Risiko malnutrisi akibat inaktivitas kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot yang juga berpengaruh pada status nutrisi. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons metabolik, mempertahankan massa bebas lemak, dan mencegah komplikasi. Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan cedera tulang belakang yang memiliki karakteristik usia 29-58 tahun. Status gizi pasien saat admisi adalah berat badan BB normal. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan sakit kritis. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna dengan target capaian 30 kkal/kg BB. Mikronutrien utama yang diberikan adalah vitamin B. Hasil: Dua pasien kasus pertama dan ketiga pulang dengan pemenuhan nutrisi sesuai rekomendasi dan dapat mengkonsumsi asupan melalui jalur oral. Dua pasien yang meninggal pasien kedua dan keempat, tata laksana nutrisi tidak mencapai target. Pasien kedua memiliki penyulit berupa atelektasis paru kanan, infeksi sekunder Pseudomonas aeroginosa dan Klebsiella pneumoniae, sedangkan pasien keempat memiliki penyulit berupa kontusio paru, infeksi Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae. Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien. Penyulit seperti infeksi sekunder atau komorbid lain dapat menjadi kendala keberhasilan tatalaksana nutrisi yang optimal.
Background: Spinal cord injury causes chronic paralysis that affects energy and protein requirement. The long-term healing process due to nervous system trauma and complications caused by prolonged bed rest impact on decreasing life expectancy and quality of life. The risk of malnutrition due to chronic inactivity can lead to loss of muscle mass, that also affects nutritional status. The aims of medical nutrition therapy are to decrease metabolic response, maintain fat-free mass, and prevent complications. Methods: This case series reported four critically ill patients with spinal cord injury aged 29-58 years. All patients had normoweight. Medical nutrition therapy was given based on nutrition guidelines for critically ill patients. Nutrition was given in accordance with clinical and gastrointestinal tolerance, increased gradually up to 30 kcal/kg body weight. Micronutrient given was vitamin B. Results: Two patients the first and the third discharged with optimal nutrient intake given orally. Other two patients the second and the fourth had right atelectasis, secondary infecton of Pseudomonas aeruginosa and Klebisella pneumoniae, the latter had pulmonary contusions and secondary infection as well. Conclusion: Adequate nutrition supports patient rsquo;s recovery. Comorbidty and infection can be obstacle to achieve optimal nutrition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
"Latar belakang
Jumlah pasien obesitas yang dirawat di unit perawatan intensif semakin meningkat. Pasien obesitas dalam kondisi sakit kritis berisiko mengalami acute kidney injury (AKI). Belum ada panduan pemberian energi dan protein yang optimal bagi pasien obesitas sakit kritis dengan AKI. Asupan energi dan protein yang tidak adekuat akan memperberat risiko malnutrisi dan sarkopenia sehingga meningkatkan komplikasi, lama rawat, dan mortalitas. Terapi medik gizi yang komprehensif diperlukan untuk mencegah progresivitas penyakit dan penurunan status gizi yang memengaruhi luaran klinis pasien.
Kasus:
Pasien pada serial kasus ini adalah tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan, berusia 58-64 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan menderita AKI saat perawatan. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak sakit kritis fase akut. Preskripsi energi berdasarkan rule of thumb sedangkan protein berdasarkan nilai imbang nitrogen. Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi klinis, hemodinamik, dan toleransi asupan pasien.
Hasil:
Selama perawatan, asupan energi pasien dapat mencapai 30 kkal/kgBB dengan protein 1-1,3 g/kgBB. Dua pasien mengalami imbang nitrogen negatif hingga akhir perawatan karena asupan protein tidak adekuat dan kondisi hiperkatabolisme berat. Dua pasien dengan asupan protein yang cukup (1,1–1,2 g/kgBB) memiliki imbang nitrogen yang normal. Tiga pasien mengalami komplikasi sepsis dan satu pasien menderita ulkus dekubitus. Satu pasien mengalami malnutrisi dan sarkopenia saat perawatan sakit kritis. Dua pasien dengan imbang nitrogen seimbang dapat melewati fase kritis dan pindah ke ruang rawat biasa. Dua pasien dengan imbang nitrogen negatif meninggal dunia saat perawatan di ICU.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi dan pemberian protein yang adekuat pada pasien obes sakit kritis dengan AKI dapat memperbaiki kondisi klinis, meningkatkan kesintasan, dan menurunkan mortalitas.

Background
The prevalence of obesity has increased and is reflected in the intensive care unit (ICU) population. Critically ill obese patients are at risk for acute kidney injury (AKI). There are no guidelines for optimal energy and protein delivery for critically ill obese patients with AKI. Inadequate energy and protein intake will exacerbate malnutrition and sarcopenia, thereby increasing complications, length of stay, and mortality. Comprehensive nutritional medical therapy is needed to prevent disease progression and derivation of nutritional status that affects the clinical outcome.
Case
The patients were three men and one woman, aged 58-64 years with obesity, critically ill, and AKI.
All patients received medical nutrition therapy since the acute phase of critical illness.
Energy prescription is based on the rule of thumb while protein is based on the nitrogen balance.
Nutritional administration is adjusted to the clinical condition, hemodynamic, and patient's tolerance.
Result
During treatment, the patient's energy intake reach 30 kcal/kgBW with protein of 1-1,3 g/kgBW.
Two patients experienced negative nitrogen balance at the end of treatment due to inadequate protein intake and severe hypercatabolism.
Two patients with adequate protein intake (1.1–1.2 g/kgBW) had normal nitrogen balance.
Three patients had complications of sepsis and one patient had a pressure ulcer. One patient developed malnutrition and sarcopenia during treatment.
Two patients with a normal nitrogen balance were able to pass the critical phase and step down to the ward.
Two patients with negative nitrogen balance died during intensive care treatment.
Conclusion
Medical nutrition therapy and adequate protein intake in critically ill obese patients with AKI can improve clinical conditions,increase survival, and reduce mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yohannessa Wulandari
"Latar Belakang: Sindroma Guillain-Barre merupakan kondisi kritis dengan kebutuhan energi meningkat sesuai dengan hiperkatabolisme sehingga meningkatkan risiko malnutrisi. Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot diafragma, dan meningkatkan risiko infeksi yang akan memperberat kondisi sakit kritis. Terapi medik gizi bertujuan menyediakan substrat energi, mengurangi responss metabolik terhadap stres, memicu responss imun, serta mempertahankan massa bebas lemak.
Metode: Serial kasus ini melaporkan empat pasien sakit kritis dengan sindroma Guillain-Barre berusia antara 21-58 tahun. Keempat pasien memiliki status gizi obes berdasarkan kriteria World Health Organization WHO Asia Pasifik. Terapi medik gizi diberikan sesuai pedoman pada keadaan sakit kritis dimulai dengan enteral dini dengan target 20-25 kkal/kg BB fase akut dan protein 1,2-2 g/kg BB. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai klinis dan toleransi saluran cerna. Mikronutrien diberikan vitamin D3, B, C, seng.
Hasil: Tiga pasien pulang dengan perbaikan kekuatan motorik dengan lama perawatan intensif yang bervariasi, sedangkan satu pasien masih dalam perawatan karena membutuhkan ventilasi mekanik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi adekuat menunjang proses penyembuhan penyakit dan memperbaiki kapasitas fungsional. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Kurnia Agustina
"Pembedahan obstetri dan ginekologi dapat disertai komplikasi berupa perdarahan yang mengakibatkan instabilitas hemodinamik serta menurunnya aliran oksigen dan perfusi jaringan. Penurunan perfusi juga terjadi pada saluran cerna, mengakibatkan perubahan struktur sawar mukosa, sehingga meningkatkan permeabilitas terhadap endotoksin bakteri. Proses tersebut akan meningkatkan risiko sepsis dan multiple organ dysfunction syndrome. Pemberian nutrisi enteral, termasuk nutrisi enteral dini, dapat memicu proliferasi enterosit, sehingga dapat menjaga integritas mukosa suluran cerna, mengurangi translokasi bakteri dan risiko infeksi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas pascabedah. Pada serial kasus ini dilakukan pemantauan terhadap empat pasien pascabedah obstetri dan ginekologi y~ng disertai komplikasi perdarahan dan relaparotomi. Semua pasien mcnunjukkun tanda hipoperfusi splanknik. Terapi medik gizi berdasarkan rekomendasi European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), yaitu pemberian nutrisi enteral dini <48 jam pada pasien sakit kritis target 20- 25 kkal/kg BB pada fase akut dan protein minimal 1,2 glkg BB/hari. Tiga pasien yang mendapatkan nutrisi enteral dini memiliki rentang penggunaan ventilator lebih singkat, lama rawat di Intensive Care Unit lebih pendek, dan skor Sequential Organ Failure Assessment lebih rendah. Terapi medik gizi dengan pelaksanaan nutrisi enteral dini memberikan efek menguntungkan pada pasien pascabedah obstetri dan ginekologi dengan komplikasi perdarahan.

Obstetrics and gynaecology surgery can be accompanied by haemorrhage complications that result in hemodynamic instability, decreased oxygen flow and tissue perfusion. Hypoperfusion also occurs in the gastrointestinal tract and changing mucosal barrier structure, thereby increasing permeability to bacterial endotoxins. These process will increase the risk of sepsis and multiple organ dysfunction syndromes. Providing early enteral nutrition, can induce the enterocyte proliferation by maintaining the integrity of the gastrointestinal mucosa, then reducing bacterial translocation and risk of infection, hence reducing postoperative morbidity and mortality. Four obstetric and gynaecologic post-operative patients who had been relaparotomy because haemorrhage have shown signs of splanchnic hypoperfusion. Medical nutrition therapy based on European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) recommendations, early enteral nuhition <48 hours, energy target of 20-25 kcal/kg in the acute phase and minimum protein 1.2 glkg BW/day, have given. Three patients who received early enteral nutrition had shorter durations of ventilators use, shorter Intensive Care Unit length of stay, and lower Sequential Organ Failure Assessment scores. Medical nutrition therapy by giving early enteral nutrition has beneficial effects on obstetric and gynaecological post-operative patients with bleeding complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T58356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada populasi dunia berusia di bawah 45 tahun. Cedera kepala sedang (CKS) dan berat (CKB) biasanya memerlukan perawatan intensif dan pendekatan medis-bedah. Pasien dengan cedera kepala mengalami peningkatan laju metabolisme sehingga memerlukan tatalaksana medik gizi yang sesuai. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas, risiko infeksi, dan komplikasi lainnya. Pemberian nutrisi enteral dini dalam kurun 24-48 jam setelah masuk Intensive Care Unit (ICU) dapat memperbaiki luaran klinis pasca cedera.
Serial kasus ini bertujuan untuk melaporkan peran tatalaksana medik gizi pada status gizi, lama pemakaian ventilator, tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien kritis dengan CKS dan CKB. Empat pasien laki-laki dengan rentang usia 25-46 tahun diobservasi selama perawatan di ICU RS Cipto Mangunkusumo, dua pasien dengan diagnosis CKS dan sisanya dengan diagnosis CKB. Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh, dua pasien memiliki berat badan (BB) normal, satu pasien BB lebih dan satu pasien obesitas II. Tingkat kesadaran berdasarkan skor Glascow Coma Scale (GCS) pasien pada saat masuk ICU adalah 6-11.
Selama perawatan keempat pasien mendapat nutrisi enteral dini dan pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap. Pada seluruh pasien, kebutuhan energi dapat dipenuhi sesuai target 25-30 kkal/kg BB. Kebutuhan makronutrien dapat dipenuhi sesuai target, yaitu protein 1,2-2 g/kg BB, lemak 20-30%, dan karbohidrat minimal 100 g/hari. Pada dua pasien dengan CKB, diberikan nutrien spesifik berupa glutamin sebesar 0,2 g/kgBB/hari dan mikronutrien berupa vitamin C, vitamin B kompleks, asam folat, dan seng.
Hingga akhir pemantauan status gizi pada dua pasien CKS dapat dipertahankan, sedangkan dua pasien dengan CKB mengalami penurunan berat badan. Dua pasien CKS hanya menggunakan ventilator selama 4-5 hari, sedangkan dua pasien dengan CKB menggunakan ventilator lebih lama yaitu 12 dan 31 hari dengan disertai komorbiditas pneumotoraks dan ventilator-associated pneumonia. Tingkat kesadaran seluruh pasien mengalami perbaikan. Skor GCS pasien pada akhir perawatan di ICU adalah 7-15. Kapasitas fungsional berdasarkan Indeks Barthel juga mengalami perbaikan pada tiga pasien, yaitu dari ketergantungan total menjadi ketergantungan sedang atau berat.
Dapat disimpulkan bahwa tatalaksana medik gizi dapat berperan dalam mempertahankan status gizi, menurunkan lamanya pemakaian ventilator, memperbaiki tingkat kesadaran dan kapasitas fungsional pada pasien sakit kritis dengan CKB dan CKS. Tingkat keparahan cedera kepala dan komorbiditas dapat memengaruhi luaran klinis dan harus dipertimbangkan dalam memberi tatalaksana medik gizi.

Traumatic brain injury (TBI) is a leading cause of death and disability in the global population under 45 years old. Moderate and severe TBI usually require intensive care and a medical-surgical approach. Patients with TBI experience an increase in metabolic rate and therefore require appropriate medical nutrition therapy. Inadequate energy intake can cause an increase in morbidity, risk of infection, and other complications. Early enteral nutrition within 24-48 hours after ICU admission has been shown to improve clinical outcome.
This case series aims to report the role of medical nutrition therapy on nutritional status and clinical outcomes of critically ill patients with moderate and severe TBI. Four male patients aged 25-46 years were observed during their stay at the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital. Based on body mass index, two patients were normoweight, one patient was overweight and one patient was class II obese. The Glascow Coma Scale (GCS) scores of the patients on ICU admission were ranged 6-11.
Two of the four patients were classified as moderate TBI and the other two patients were as classified as severe TBI. On monitoring four patients received early enteral nutrition and the nutrition was gradually increased to reach the target of 25-30 kcal/kg body weight (BW). Enteral formula were targeted to achieve protein intake of 1.2-2 g/kgBW, fat intake of 20-30% of energy intake, and carbohydrate intake of at least 100 g/day. Two patients with severe TBI were given specific nutrients in the form of glutamine as much as 0.2 g/kgBW/day and micronutrients in the form of vitamin C, vitamin B complex, folic acid, and zinc. Two patients with moderate TBI received mechanical ventilation for 4 and 5 days, while two patients with severe TBI received mechanical ventilation for 12 and 31 days. In two patients with severe TBI, prolonged use of mechanical ventilation may be associated with the comorbidities of pneumothorax and ventilator-associated pneumonia.
At the end of monitoring, the levels of consciousness were improved in all patients. The patients GCS score at the end of treatment in the ICU were ranged 7-15. Functional capacity based on the Barthel Index also improved in three patients, from total dependence to moderate or severe dependence. Weight loss was experienced in two patients with severe TBI, possibly due to severe and prolonged catabolism in severe TBI. Patients with severe TBI may have higher energy requirements to maintain their nutritional status.
It can be concluded that medical nutrition therapy may play a role in improving the level of consciousness and functional capacity in critically ill patients with moderate and severe traumatic brain injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Evi Verawati
"Latar Belakang: Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik yang dimediasi sistem imun, menyebabkan lesi kulit dan dapat mengenai sendi. Kondisi inflamasi sistemik meningkatkan risiko berbagai non-transmissible chronic disease dan menyebabkan kehilangan nutrien akibat hiperproliferasi dan deskuamasi epidermis, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. Terapi medik gizi dengan menjaga indeks massa tubuh dalam rentangan normal dan memenuhi kebutuhan vitamin A, E, C, D, dan asam folat, serta pemberian asam lemak omega-3 dapat menurunkan stres oksidatif dan inflamasi. Terapi diet, pengaturan aktivitas fisik, dan modulasi respons inflamasi sistemik menjadi tujuan terapi yang penting dan terintegrasi.
Kasus: Pasien psoriasis berbagai tipe dengan penyulit, terdiri atas 3 orang laki-laki dan seorang perempuan, rentangan usia 28–64 tahun. Pasien pertama dengan SIDA, artritis dan hipoalbuminemia, pasien ke-2 hipoalbuminemia, pasien ke-3 artritis, dan pasien ke-4 dengan obesitas. Terapi medik gizi yang diberikan meliputi diet cukup energi, protein tinggi, dan lemak sedang sesuai kodisi pasien, serta beberapa vitamin. Pemantauan dilakukan minimal selama 6 hari meliputi keluhan subjektif, keluaran klinis, hasil laboratorium, antropometri, kapasitas fungsional, dan analisis asupan 24 jam. Nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai keluaran klinis dan toleransi. Mikronutrien yang dapat diberikan adalah vitamin B kompleks, C, dan asam folat. Semua pasien mendapat edukasi gizi.
Hasil: Asupan energi keempat pasien dapat meningkat bertahap hingga mencapai KET saat pulang. Peningkatan kadar albumin tanpa koreksi infus albumin terjadi pada 2 pasien, penurunan albumin pada 1 pasien, dan pada 1 pasien tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Kapasitas fungsional semua pasien mengalami perbaikan saat pulang. Tidak terjadi perubahan berat badan pada 3 pasien, namun 1 pasien mengalami penurunan selama dirawat.
Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat menunjang proses penyembuhan, serta memperbaiki parameter laboratorium dan kapasitas fungsional.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory disease mediated by the immune system causing skin lesions and may also affect the joints. Systemic inflammatory conditions increase the risk of various non-transmissible chronic diseases, loss of nutrients through hyperproliferation and desquamation of the epidermis that may reduce quality of life. Medical therapy in nutrition by maintaining body mass index within normal range and fulfillment the requirement of vitamins A, E, C, D, and folic acid, and supplementation of omega-3 fatty acids can reduce oxidative stress and inflammation. Dietary therapy, management of physical activity, and modulation of systemic inflammatory responses are the important and integrated therapeutic goals.
Case: Psoriasis patients of various types and complications with the range of age 28–64-years-old, consist of 3 males and 1 female. The first patient with HIV-AIDS arthritis and hypoalbuminemia, the second with hypoalbuminemia, the third with arthritis, and the fourth with obesity. The medical therapy in nutrition include diet that sufficient in energy, high protein, and moderate fat corresponding to the patients’ condition with supplementation of some vitamins. Monitoring was carried out for at least 6 days that include subjective complaints, clinical outcomes, laboratory results, anthropometric, functional capacity and 24-hour dietary intake analysis. Nutritional intake was gradually increased according to the clinical outcomes and tolerance. Micronutrients that can be given were vitamins B complex, C, and folic acid. All patients received nutrition education.
Results: Nutritional intake of all patients increased gradually and achieved the total energy requirement before discharged from the hospital. There were increased of albumin levels without albumin infusion in 2 patients, decreased in 1 patient, and no albumin levels’ reexamination in 1 patient. Functional capacity improved in all patients before discharged from the hospital. There were no changes in the body weight of 3 patients. However, 1 patient experienced decreased of body weight during hospotalisation.
Conclusion: Adequate medical therapy in nutrition supports the healing process, and improves laboratory parameters and functional capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>