Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154448 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maretha Primariayu
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan penyakit kronis yang menjadi masalah kesehatan global. Hemodialisis (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal pada PGK stadium akhir yang bersifat katabolik. Pasien PGK dengan HD rutin rentan mengalami protein energy wasting (PEW) apabila tidak mendapatkan asupan energi dan protein yang adekuat. Terapi medik gizi yang komprehensif dan holistik diperlukan untuk mencegah terjadinya atau bertambahnya progresivitas PEW yang memengaruhi
kualitas hidup pasien.
Kasus: Empat orang perempuan berusia 24-52 tahun dengan diagnosis PGK stadium akhir yang rutin menjalani HD. Selama menjalani HD, seluruh pasien memiliki riwayat asupan energi total <25 kkal/kg BB dengan protein <1 g/kg BB. Kekuatan genggam tangan pada seluruh pasien <18 kg dan kadar albumin tiga pasien <3,8 g/dL. Tiga pasien telah mengalami PEW dan satu lainnya berisiko PEW. Terapi medik gizi diberikan sesuai kondisi klinis masing-masing pasien dengan target protein 1,2-1,4 g/kgBB/hari.
Hasil: Asupan energi dan protein pada seluruh pasien meningkat pada akhir pemantauan. Rerata pasien dapat mencapai 90% KET dengan protein mencapai 1,3 g/kg BB/hari selama pemantauan. Kekuatan genggam tangan, kadar albumin, hemoglobin, dan komposisi tubuh pasien PGK dengan HD rutin yang mendapatkan terapi medik gizi mengalami perbaikan.
Kesimpulan:
Terapi medik gizi yang adekuat mendukung perbaikan klinis serta parameter
laboratorium pada pasien PGK dengan HD rutin sehingga dapat mencegah terjadinya atau bertambahnya progesivitas PEW.

Background: Chronic kidney disease (CKD) is a chronic disease that has become global health problem. One of renal replacement therapy in end-stage CKD is hemodialysis (HD) which is a catabolic procedure. CKD patients on maintenance HD (MHD) is susceptible to develop protein energy wasting (PEW) if they get inadequate energy and protein intake. Comprehensive and holistic nutritional medical therapy is needed to prevent development or rapid progression of PEW which affects the quality of life of patients.
Case:
Four women aged 24-52 years with end-stage CKD on MHD. All patients had total energy intake <25 kcal / kg BW with protein intake <1 g / kg body weight. Handgrip strength in all patients were less than 18 kg and three of them have albumin levels less than 3.8 g/dL. Three patients experienced PEW and the other had risk of PEW. Nutritional medical therapy is given according to the clinical conditions of each patient with target of protein from 1.2-1.4 g / kg BW / day.
Results: All patient showed increment intake of energy and protein. The average of energy intake patient can reach 90% total energy requirement with protein intake reached 1.3 g / kg / day during monitoring. Handgrip strength, albumin, hemoglobin levels, and body composition in CKD patient on MHD who received nutritional medical therapy were improved.
Conclusion: Adequate nutritional medical therapy supports improvement of clinical condition and laboratory parameters in CKD patients on MHD with the purposes of preventing development or rapid progression of PEW.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kristina Joy Herlambang
"ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik PGK merupakan penyakit kronik progresif yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan bersifat irreversible. Pasien PGK stadium akhir membutuhkan terapi pengganti ginjal untuk memertahankan tubuh dari toksisitas uremia. Prosedur dialisis bersifat katabolik, sehingga pasien yang menjalani hemodialisis HD mengalami peningkatan kebutuhan energi dan protein yang penting untuk mencegah terjadinya protein-energy wasting PEW . Empat orang pasien dalam serial kasus ini mengalami PGK stadium akhir dan telah menjalani hemodialisis dengan rentang waktu yang berbeda, 2 orang dalam rawat inap dan dua orang lainnya rawat jalan. Pasien didiagnosis dengan PGK stadium 5 dengan HD, hipertensi, diabetes melitus, dan ensefalopati uremikum. Walaupun saat pemeriksaan status gizi pasien normoweight dan satu orang mengalami malnutrisi ringan, seluruh pasien memiliki riwayat asupan protein 10 dalam 6 bulan, sehingga dibutuhkan terapi medik gizi yang mencakup penentuan kebutuhan makro dan mikronutrien, nutrien spesifik, sesuai dengan toleransi dan kondisi klinis pasien. Hasil pemantauan menunjukkan pasien mengalami perbaikan klinis, toleransi asupan dan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien dapat dipertahankan. Terapi medik gizi berperan penting pada semua pasien PGK yang menjalani HD dengan mencegah PEW, memperbaiki kondisi klinis, serta meningkatkan kapasitas fungsional pasien.Kata kunci: terapi medik gizi, penyakit ginjal kronik, hemodialisis, hipertensi.

ABSTRACT
Chronic kidney disease is a irreversible progressive chronic process that causes worsening renal function. Patients with end stage renal disease needs renal replacement therapy to protect themselves from uremia toxicity. Patients who have to undergo dialysis are in high catabolism state and has an increased energy and protein expenditure. Adequate energy and protein for these patients are needed to prevent protein energy wasting PEW . Four cases from this serial case has ESRD and has been on hemodialysis with different time frames. Two outpatient and two inward patients who have CKD stage V with hypertension, diabetes mellitus, and uremic encephalopathy. Although only one patient I categorized as mildly malnourished, 3 of four patients experienced weigth loss 10 in 6 months. Thus, medical nutritional therapy is needed to determine energy and protein requirements in these patients. Evaluation and monitoring form these cases shows that all patients have better clinical outcome, better nutrition intake, and functional capacity were preserved. Medical nutrition therapy has an important role in all CKD patients with dialysis to prevent PEW, to improve their clinical outcome and to increasetheir functional capacity. Key words medical nutrition therapy, chronic kidney disease, hemodialysis, hipertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinontoan, Rosnah
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit ginjal kronis PGK merupakan penyakit yang perlu menjalani Hemodialisis HD . HD merupakan suatu prosedur yang bersifat katabolik, sehingga memerlukan asupan energi dan protein yang adekuat untuk menghindari risiko malnutrisi.Kasus: Total pasien PGK dalam serial kasus ini berjumlah empat orang, berusia 36 ndash;54 tahun, telah menjalani HD dalam rentang waktu yang berbeda. Seluruh pasien mempunyai riwayat asupan protein
ABSTRACT Introduction As one of primary treatment for end stage renal disease patients, hemodialysis HD is a catabolic procedure. Unless having adequate energy and protein intake, dialysis patients will be at risk for malnutrition. Cases Four dialysis patients in this case series, aged 36 54, have undergone HD at different timescales. All patients had high risk of malnutrition, due to protein intake "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leovinna
"Protein energy wasting (PEW) merupakan sindrom gangguan nutrisi yang sering terjadi
pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) dengan hemodialisis rutin sekitar 28-80%.
Proses hemodialisis dapat meyebabkan hilangnya nutrien seperti asama amino,
meningkatkan proses inflamasi yang kemudian dapat meningkatkan katabolisme protein,
dan dapat menghambat utilisasi asam amino dalam sintesis protein. Jika tidak ditangani,
PEW dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien PGK. Tujuan utama
penelitian adalah untuk mengetahui profil asam amino pasien PGK dengan hemodialisis
rutin. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 60 subjek pasien PGK usia >18
tahun dengan hemodialisis rutin di RS. Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangukusumo.
Sampel berupa dried blood spot (DBS) dan pemeriksaan asam amino menggunakan
metode Liquid Chromatography Tandem Mass Spectrometry (LC-MS/MS). Asam amino
yang diperiksa adalah asam amino nonesensial (alanin, arginin, asam aspartat, asam
glutamat, asparagin, glisin, glutamin, prolin, serin, tirosin), esensial (histidin, fenilalanin,
isoleusin, leusin, lisin, metionin, treonin, triptofan, valin), dan khusus (ornitin, sitrulin).
Hasil penelitian didapatkan hampir semua kadar asam amino pada subjek lebih rendah
terutama alanin, tirosin, histidin, dan valin; sebaliknya asam aspartat dan serin ditemukan
lebih tinggi kadarnya dibandingkan nilai rujukan Mayo dan data internal dewasa sehat.
Didapatkan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan fenilalanin,
isoleusin, leusin; hipoalbuminemia (albumin <4 g/dL) dengan glisin; hipoalbuminemia
(<3,5 g/dL) dengan arginin, asam aspartat, asparagin, histidin, lisin, metionin, dan
ornitin. Didapatkan korelasi yang bermakna antara usia dengan BCAA (isoleusin, leusin,
valin), dan metionin; dan hemoglobin dengan isoleusin. Penelitian ini merupakan
penilitian pertama tentang profil asam amino pada pasien PGK dengan hemodialisis di
Indonesia dan penelitian pertama kali yang menggunakan sampel DBS pada orang
dewasa. Dengan diketahuinya profil asam amino pada PGK dapat dimanfaatkan sebagai
dasar pemberian jenis suplementasi asam amino yang sesuai dengan populasi pasien PGK
dengan hemodialisis di Indonesia.

Protein energy wasting (PEW) is a nutritional disorder syndrome that often occurs in
patients with chronic kidney disease (CKD) on routine hemodialysis around 28-80%. The
process of hemodialysis can cause the loss of nutrients such as amino acids, increase the
inflammatory process which can increase protein catabolism, and be able to inhibit the
utilization of amino acids in protein synthesis. If untreated, PEW can increase the
morbidity and mortality of CKD patients. The main objective of the study was to
determine the amino acid profile of CKD patients on routine hemodialysis. The study
design was cross sectional with 60 subjects of CKD patients aged >18 years on routine
hemodialysis at Dr. Cipto Mangunkusumo National Public Hospital. Samples in the form
of dried blood spot (DBS) and amino acid examination using the Liquid Chromatography
Tandem Mass Spectrometry (LC-MS/MS) method. Amino acids examined were
nonessential amino acids (alanine, arginine, aspartic acid, glutamic acid, asparagine,
glycine, glutamine, proline, serine, tyrosine), essential (histidine, phenylalanine,
isoleucine, leucine, lysine, methionine, glycine, glutamine, proline, serine, tyrosine),
special (ornithine, citrulline). The results showed that almost all amino acid levels in the
subjects were lower especially alanine, tyrosine, histidine, and valine; in contrast, aspartic
acid and serine were found to be higher than Mayo reference value and internal data of
healthy adults. A significant relationship was found between gender and phenylalanine,
isoleucine, leucine; hypoalbuminemia (albumin <4g/dL) with glycine; hypoalbuminemia
(<3.5 g/dL) with arginine, aspartate acid, asparagine, histidine, lysine, methionine, and
ornithine. Significant correlation was obtained between age with BCAA (isoleucine,
leucine, valine), and methionine; and hemoglobin with isoleucine. This study is the first
study of the amino acid profile in CKD patients with hemodialysis in Indonesia and the
first study using DBS samples in adults. Knowing the amino acid profile in CKD can be
used as a basis for the of amino acid supplementation that is suitable for the population
of CKD patients with hemodialysis in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vikie Nouvrisia Anandaputri
"Latar Belakang. Pasien kanker laring dapat mengalami malnutrisi sebelum
menjalani radioterapi yang ditandai dengan penurunan berat badan yang tidak
disengaja akibat penurunan massa bebas lemak. Kasus serial ini bertujuan untuk
mengamati kaitan asupan protein dengan perbaikan fat free mass index (FFMI).
Metode. Empat pasien pada serial kasus ini didiagnosis karsinoma sel skuamosa
laring pascalaringektomi total dan diseksi leher stadium III dan IV dengan status
gizi malnutrisi berat dan sedang, berat badan normal, dan obes I, berusia 51-62
tahun yang dikonsulkan ke dokter Gizi Klinik pada bulan Agustus sampai
November 2019 sejak awal radioterapi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan
kondisi klinis melalui jalur oral. Pemantauan dilakukan pada minggu pertama
radiasi, selama radiasi, minggu terakhir radiasi, dan pascaradiasi.
Hasil. Kadar albumin serum keempat pasien dalam batas normal dan meningkat
saat akhir radiasi pada tiga orang pasien. Pasien malnutrisi sedang mengalami
penurunan FFMI dengan asupan protein <2 g/kg BB, pasien malnutrisi berat
mengalami peningkatan FFMI dengan asupan protein 1,1-1,4 g/kg BB. FFMI
pasien obes meningkat lalu menurun dengan asupan protein 0,8-1,7 g/kg BB.
FFMI pasien BB normal meningkat dengan asupan protein 2 g/kg BB. Rentang
asupan protein adalah 0,7-1,5 g/kg BB saat awal radiasi, selama radiasi 0,8-2 g/kg
BB, akhir radiasi 1,1-2 g/kg BB.
Kesimpulan. FFMI cenderung mengalami peningkatan sampai akhir radiasi pada
asupan protein yang mencapai 2 g/kg BB pada pasien BB normal. Perlu penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan asupan protein dan FFMI pada pasien KSS laring
yang menjalani radioterapi.

Bacground. Laryngeal cancer patients can experience malnutrition before
undergoing radiotherapy characterized by unintentional weight loss due to a
reduction in fat free mass. Aim of the case series to observe protein intake with fat
free mass index (FFMI) improvement.
Method. Four patients were diagnosed with laryngeal squamous cell carcinoma
post total laryngectomy and neck dissection with nutritional status of severe and
moderate malnutrition, normal weight, and obese grade I, aged 51-62 years who
were consulted to Clinical Nutrition physician in August to November 2019 which
underwent radiotherapy. Medical nutrition therapy is given according to the
clinical condition of each patient through oral. Monitoring was carried out in the
first week, during, the end, and after radiation.
Results. Serum albumin were within normal level and increased at the end of
radiation in 3 patients. FFMI of malnourished patients was decreased with
protein intake <2 g/kg BW. FFMI of severely malnourished patients increases
with protein intake from 1.1 to 1.4 g/kg body weight. FFMI of obese patients
increases then decreases with protein intake from 0.8 to 1.7 g/kg body weight.
FFMI of normoweight patients increases with a protein intake of 2 g/kg BW. The
range of protein intake is 0.7-1.5 g/kg BW at first week, 0.8-2 g/kg BW during,
and 1.1-2 g/kg BW at the end of radiation.
Conclusion. FFMI tends to increase on protein intake 2 g/kg BW in normoweight
patients. Further research is needed regarding the relationship of protein intake
and FFMI in laryngeal patients undergoing radiotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Mela Yunita Sari
"Latar Belakang: Penurunan kapasitas latihan dan kekuatan otot merupakan gambaran yang umum dijumpai pada pasien hemodialisis (HD) kronik. Perbaikan kadar hemoglobin (Hb) tidak memperbaiki secara optimal kapasitas latihan. Prevalensi kalsifikasi arteri tinggi pada pasien HD. Hal ini menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah sehingga meningkatkan kekakuan arteri. Terdapat bukti klinis bahwa kekakuan arteri sentral memengaruhi kapasitas latihan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK). Kapasitas latihan dapat diprediksi dengan menilai kekuatan otot perifer.
Tujuan: Mengetahui korelasi kekakuan arteri sentral dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek pasien HD kronik yang diambil dengan teknik consecutive sampling dengan rentang usia 18 – 59 tahun.  Analisis bivariat dilakukan untuk menilai korelasi kekakuan arteri sentral (dengan menilai central pulse wave velocity/cPWV) dengan kekuatan genggam tangan (KGT), kemudian dilakukan korelasi parsial terhadap variabel perancu (usia, dialysis vintage, Hb, dan aktivitas fisik).
Hasil: Terdapat 45 pria dan 40 wanita dengan median usia masing-masing 47 (19-59) dan 47 (18-59) tahun. Kedua kelompok mempunyai tingkat aktivitas fisik sedang. Tidak terdapat korelasi antara cPWV dengan KGT baik pada  pria (r = -0,046, p = 0,763) maupun wanita (r = -0,285, p = 0,113). Analisis stratifikasi pada wanita yang memiliki tinggi badan (TB) >150 cm menunjukkan korelasi negatif derajat sedang antara cPWV dengan KGT (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). Nilai cPWV berperan sebesar 21,7% terhadap KGT, dan 78,3% diduga dipengaruhi oleh faktor perancu. Kelompok KGT rendah memiliki nilai cPWV yang meningkat pada semua kategori usia.
Simpulan: Kekakuan arteri sentral tidak berhubungan dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik. Terdapat kecenderungan peningkatan nilai cPWV pada subjek yang memiliki KGT rendah.

Background: Exercise intolerance and muscle weakness are the common features in hemodialysis patients. However, correction of renal anemia by eritropoetin does not optimize the exercise capacity. The prevalence of arterial calcification among the hemodialysis patient is high. It thereby decreased the elasticity of the vessels and increased the arterial stiffness. Clinical evidence showed that central arterial stiffness affects the exercise capacity in chronic kidney disease (CKD). Exercise capacity can be predicted by assessing peripheral muscle strength.
Objective: To investigate the correlation between central arterial stiffness and handgrip strength in chronic hemodialysis patients.
Methods: This study use cross-sectional design which perform in chronic HD patients aged between 18 and 59 years old by consecutive sampling. Bivariate analysis was done to determine the correlation between central arterial stiffness (assessed using central pulse wave velocity /cPWV) and handgrip strength (HGS). Afterwards, partial correlation of confounding variables (age, dialysis vintage, Hb and physical activity) were also be analyzed.
Results: There were 45 men and 40 women with the median age of 47 (19-59) and 47 (18-59) years old, respectively. Both groups have moderate level of physical activity. There was no correlation between cPWV and HGS in men (r = -0.046, p = 0.763) and women (r = -0.285, p = 0.113). Stratified analysis in women with height over 150 cm showed a moderate negative correlation between cPWV and HGS (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). cPWV accounted for 21.7% of HGS, while 78.3% were suggested to be influenced by the confounding factors. The group with low HGS had an increased cPWV in all age categories.
Conclusion: Central artery stiffness was not associated with HGS in chronic HD patient. There was a tendency of increased central arterial stiffness in the group of subjects who had low HGS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Hardianti
"Kepatuhan manajemen terapi hemodialisis berpengaruh terhadap kejadian komplikasi yang mungkin dapat muncul, kualitas hidup dan angka mortalitas pada pasien. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan tersebut adalah persepsi penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi penyakit dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelatif dengan jumlah sampel 103 responden yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling pada pasien hemodialisis. Data dikumpulkan melalui Brief Illness Perception Questionnaire B-IPQ untuk persepsi penyakit dan modifikasi End-Stage Renal Disease Adherence Questionnaire ESRD-AQ untuk kepatuhan manajemen terapi hemodialisis. Data tersebut diolah dengan menggunakan SPSS versi 23. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara persepsi penyakit dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis r= -0.244; p value= 0.007 . Akan tetapi, jika ditinjau per-dimensi maka hanya kontrol personal r= 0.329; p value= 0.000 dan respon emosi r= -0.292; p value= 0.001 yang berhubungan dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis. Dengan sebab itu, tenaga kesehatan perlu memperhatikan persepsi penyakit pada pasien untuk meningkatkan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis pada pasien.

The adherence of hemodialysis therapy management influenced occurence rate of complication that might be appear, quality of life, and mortality rate in patient. One of the factors that affect adherence of hemodialysis therapy management is illness perception. This research aimed to identify the relation between illness perception and adherence of hemodialysis therapy management in patient with chronic kidney disease. Correlation analytic with purposive sampling technique was used for this research with 103 patients in hemodialysis as a sample. Data were collected by Brief Illness Perception Questionnaire B IPQ for illness perception and End Stage Renal Disease Adherence Questionnaire ESRD AQ for adherence of management hemodialysis therapy. Data were analyzed by SPSS ver. 23. Result shows that illness perception affect adherence to therapy management r 0.244 p value 0.007 . Yet, only control personal r 0.329 p value 0.000 and emotional response r 0.292 p value 0.001 that influence adherence to therapy management. Therefore, it is recommend to assess patient view of their illness to increase adherence rate to hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatia Sinta Murti
"ABSTRAK
Latar Belakang : Kekuatan genggam tangan (KGT) merupakan metode pemeriksaan yang mudah, murah, cepat dan dapat digunakan secara bedside pada pasien yang dirawat. Data mengenai hubungan KGT dengan parameter status nutrisi lain selama perawatan di rumah sakit di Indonesia belum tersedia
Tujuan : Mengetahui hubungan KGT dengan nilai subjective global assessment (SGA), antropometri, analisis bioimpedans dan biokimia pada awal dan akhir perawatan. Metode : Ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan penyakit dalam RS. Cipto Mangunkusumo. Status nutrisi dinilai berdasar SGA. Indeks masa tubuh (IMT), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) dihitung secara antropometri. Masa otot dan masa lemak tubuh didapat dari analisis bioimpedans. Analisis statistik menggunakan uji anova, pearson dan uji T.
Hasil : Terdapat 131 pasien terdiri dari 102 laki-laki dan 29 perempuan dengan rerata umur 45,6 ± 14.2 tahun. Pada awal dan akhir perawatan didapatkan perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang maupun malnutrisi berat tetapi tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat (p<0.001). Kekuatan genggam tangan berkorelasi dengan cAMA (r=0,47 dan 0,49), masa otot tubuh (r=0,67 dan 0,55) dan albumin (r=0,23 dan 0,28). Tidak ada hubungan antara KGT dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada perbedaan KGT antara pasien yang mencapai target nutrisi berdasar SGA dan yang tidak (p=0,81).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan KGT yang bermakna antara status nutrisi baik dan malnutrisi sedang dan antara nutrisi baik dan malnutrisi berat. Tidak ada perbedaan KGT antara malnutrisi sedang dan malnutrisi berat. Nilai KGT berkorelasi dengan cAMA, masa otot tubuh dan albumin tetapi tidak berkorelasi dengan AFA, masa lemak tubuh dan IMT. Tidak ada hubungan antara pencapaian target nutrisi berdasar SGA dengan nilai KGT

ABSTRACT
Background : Hand grip strength (HGS) is an easy, cheap and quick method and can be used bedside in hospitalized patient. Data about HGS correlation with other nutrition status parameters in hospital are not yet provided in Indonesia Objective : To find relation among HGS with the value of subjective global assessment (SGA), anthropometry, bioimpedance analysis and albumin at the beginning and end of hospitalization.
Methods : This is a cross-sectional study from hospitalized patients at medical ward Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional status assessed by SGA. Body mass index (BMI), corected arm muscle area (cAMA), arm fat area (AFA) were calculated by anthropometry. Muscle mass and a body fat obtained from the bioimpedance analysis. Data were analyzed using ANOVA, Pearson and T test. Results : There were 131 patients consisted of 102 men and 29 women with mean age of 45.6 ± 14.2 years. At the beginning and end of the hospitalization there is significant HGS differences between good nutritional status with moderately malnourished and severely malnourished, but no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished (p <0.001). Hand grip strength was correlated with CAMA (r=0.47 and 0.49), muscle mass (r=0.67 and 0.55) and albumin (r=0.23 and 0.28) and was not correlate with AFA, body fat and BMI. There was no HGS difference between patients who achieved nutrition targets based on SGA and who did not (p=0.81).
Conclusion : There are significant HGS differences between good nutritional status and moderate malnutrition and good nutritional status and severe malnutrition. There is no HGS differences between moderately malnourished and severely malnourished. Hand grip strength was correlated with cAMA, muscle mass and albumin but did not correlate with the AFA, body fat and BMI. There was no corelation between nutritional achievement based on SGA with HGS value"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusmirna Ulfa
"Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya dan biasanya mempunyai banyak komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu pasien PGK juga berisiko mengalami komplikasi jangka panjang seperti anemia, gangguan mineral dan tulang, sehingga memerlukan pengobatan dengan beberapa jenis obat (polifarmasi). Obat-obatan pada pasien PGK digunakan dalam waktu jangka panjang sehingga berpotensi terjadi interaksi antar obat. Semakin banyaknya interaksi obat maka akan meningkatkan risiko efek samping obat (ESO). Pasien PGK juga sangat rentan mengalami peningkatan risiko akumulasi obat dan efek samping karena adanya perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Selain itu pada pasien PGK stadium 5 dengan hemodialisis (HD) terdapat beberapa obat yang terdialisis dalam proses HD sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola peresepan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD rutin serta kaitannya dengan potensi interaksi obat (PIO) dan kemungkinan ESO yang dapat diakibatkan oleh interaksi antar obat tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien PGK stadium 5 dengan HD rutin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2020 sampai dengan Juli 2021. Data diambil dari rekam medis unit HD, rekam medis pusat, electronic health record (EHR) dan hospital information system (HIS). Untuk mengetahui PIO dilakukan penilaian berdasarkan perangkat lunak Lexicomp dan penilaian kausalitas ESO dengan menggunakan algoritma Naranjo.
Hasil: Didapatkan 147 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terdapat 101 jenis obat dengan 2767 kali peresepan dalam waktu 3 bulan. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi antar obat sebanyak 89% pasien. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi kategori mayor sebanyak 14% pasien, kategori moderat sebanyak 88% pasien, dan kategori minor sebanyak 37% pasien. Proporsi pasien yang dicurigai mengalami ESO akibat interaksi obat sebanyak 50% (66 pasien) dari 131 pasien yang mengalami PIO. Pada hasil multivariat, hanya komorbid DM yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.
Kesimpulan: Sebanyak 89% pasien PGK stadium 5 dengan HD mengalami potensi interaksi obat dan hipertensi merupakan efek samping terbanyak yang dicurigai akibat interaksi obat. Komorbid DM mempunyai peran yang cukup penting untuk terjadinya efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat pada pasien PGK stadium 5 dengan HD

Background: The prevalence of end-stage renal disease in Indonesia has increased every year and usually has many comorbidities such as hypertension, diabetes mellitus (DM) and cardiovascular disease. In addition, there is also a risk of long-term complications, thus requiring treatment with several types of drugs (polypharmacy). The higher the frequency of drug interactions, the higher the risk of adverse drug reaction (ADR). Chronic kidney disease (CKD) patients are also very susceptible to an increased risk of drug accumulation and ADR due to changes in pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. In addition, CKD stage 5 patients with hemodialysis (HD) have several drugs that are dialyzed in the HD process so that it can reduce the effectiveness of treatment. The purpose of this study was to determine the prescribing pattern in stage 5 CKD patients on routine HD and its relationship to DDI and the possibility of ADR that could be caused by interactions between these drugs.
Methods: This was an observational study with a cross-sectional design in CKD stage 5 patients on routine HD at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2020 to July 2021. Data were taken from HD unit medical records. To determine the DDI, an assessment was carried out based on the Lexicomp software and ADR causality assessment using the Naranjo algorithm.
Results: A total of 147 patients met the inclusion criteria and there were 101 types of drugs with 2767 prescriptions within 3 months. The proportion of patients who received treatment with potential DDI is 89% of patients. The proportion of patients who received DDI in the major category was 14%, the moderate category was 88%, and the minor category was 37%. From 131 patients with DDI, the proportion of patients suspected having ADR cause by DDI is 50% (66 patients). Multivariate analysis found that only DM had statistically significant relationship with ADR that are suspected due to DDI.
Conclusion: In this study, 89% of patients received treatment with potential DDI and hypertension is the most suspected ADR due to drug interactions. Comorbid DM has an important role in the occurrence of ADR due to DDI in stage 5 CKD patients on HD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>