Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Destia Nur Arafah
"Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terdapat pergeseran representasi maskulinitas dalam film perang, di mana citra tradisional prajurit “ideal” yang maskulin telah sedikit demi sedikit tergantikan oleh citra tentara yang lebih “feminin.” The Yellow Birds (2017) adalah sebuah film Hollywood kontemporer mengenai perang yang mengangkat isu maskulinitas dalam dunia militer dengan menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer. Makalah penelitian ini akan menganalisis konstruksi dan representasi maskulinitas yang diangkat oleh film tersebut dengan meneliti fitur-fitur eksplisit dan implisit, seperti simbol, penggunaan bahasa, dan aksi, yang muncul selama film berlangsung. Analisis dilakukan dengan menerapkan berbagai teori yang berkaitan dengan isu maskulinitas, seperti konsep maskulinitas militer, dan teori yang berhubungan dengan setiap fitur yang dianalisis, seperti simbolisme dan penggunaan bahasa oleh pihak atasan utuk menunjukkan kekuasan terhadap bawahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa film The Yellow Birds berusaha menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer dengan cara memanusiakan tokoh prajurit, mengkritik institusi militer, dan menampilkan tokoh prajurit sebagai korban dari maskulinitas hegemonik militer.

A number of research has found that there has been a shift in the representation of masculinity in war movies, in which the image of traditional masculine “ideal” soldier has gradually been replaced by the image of a more “feminine” soldier. The Yellow Birds (2017) is a contemporary Hollywood war movie which grapples with the issue of masculinity by challenging the notion of hegemonic military masculinity. This research paper will analyze the movie’s construction and representation of masculinity by examining the explicit and implicit elements, such as symbols, language use, and actions, which appear throughout the movie. To do so, it employs various theories and concepts related to the issue, such as the concept of military masculinity, and those related to each of the features of the movie, such as symbolism and the use of language as a means by the superior to demonstrate power over the subordinates. This research demonstrates that the movie attempts to contest hegemonic military masculinity by means of humanizing the characters, criticizing the military institution, and presenting characters as victims of hegemonic military masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dyah Wijayanti
"Laki-laki yang maskulin didefinisikan dengan kemachoan, berotot dan dekat dengan kekerasan, struktur membuat laki-laki yang dikatakan "ideal" ini memiliki posisi yang lebih tinggi dibanding yang "tidak ideal". Hal ini secara tidak langsung memberikan kekuasaan pada laki-laki. Laki-laki dan kekuasaan yang berelasi hadir dalam sebuah ranah politik yang sifatnya membuat kelahiran akan konsep dominasi itu sendiri, dengan begitu dapat dikatakan bahwa dominasi maskulinitas yang terjadi bukan disebabkan tanpa alasan. Persoalan Maskulinitas akan dibahas secara mendalam dengan menggunakan teori dari Pierre Bordieu.

Male masculine defined, muscular and close to violence, the structure makes men say "ideal" has a higher position than the "not ideal". This indirectly gives power to men. Man and power are related is present in a political sphere that are making the birth of the concept of domination itself, so it can be said that the dominance of masculinity that occurs is not caused without reason. Masculinity issues will be discussed in depth by using the theory of Pierre Bordieu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S62686
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Yuliana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui redefinisi maskulinitas yang dianalisis melalui masculine performativity yang dilihat pada praktik dan pemaknaan pemakaian produk perawatan kulit pada laki-laki. Studi-studi terdahulu menunjukkan laki-laki yang memakai produk perawatan kulit, berguna untuk menjaga penampilan serta menarik perhatian lawan jenis, akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk redefinisi dari maskulinitas, khususnya dalam konteks pemakaian produk perawatan kulit pada laki-laki. Dengan memakai konsep masculine performativity oleh Butler dan body practice dari Shilling sebagai pisau analisis, peneliti berargumen bahwa laki-laki memakai produk perawatan kulit sebagai praktik yang dilakukan secara berulang dan terus-menerus sebagai cara untuk menunjukkan identitas gender mereka. Temuan penelitian menunjukkan bahwa praktik tubuh pada laki-laki yang memakai produk perawatan kulit bertujuan untuk mencapai bentuk tubuh yang mereka inginkan. Sementara, pemaknaan maskulinitas yang terdapat dalam pemakaian produk perawatan kulit dilakukan secara berulang dan konsisten yang dianggap sebagai maskulinitas modern, yaitu laki-laki yang peduli dengan penampilan wajah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi, yaitu studi yang menggambarkan pengalaman beberapa individu dari suatu fenomena. Sumber data dari studi ini adalah wawancara mendalam dengan informan yang memiliki kriteria sebagai laki-laki yang memakai produk perawatan kulit dan content creator laki-laki di bidang beauty (skincare enthusiast).

This study aims to determine the redefinition of masculinity which is analyzed through masculine performativity which is seen in the practice and meaning of using skin care products for men. Previous studies have shown that men who use skin care products are useful for maintaining their appearance and attracting the attention of the opposite sex, however, not many studies have looked at this phenomenon as a form of redefinition of masculinity, especially in the context of using skin care products for men. man. Using Butler's concept of masculine performativity and Shilling's body practice as an analytical tool, the researcher argues that men use skin care products as a practice that is carried out repeatedly and continuously as a way to show their gender identity. Research findings show that men's body practices using skin care products aim to achieve the body shape they desire. Meanwhile, the meaning of masculinity contained in the use of skin care products is carried out repeatedly and consistently which is considered as modern masculinity, namely men who care about facial appearance. This study uses a qualitative approach with the type of phenomenological research, namely a study that describes the experiences of several individuals from a phenomenon. The data sources of this study are in-depth interviews with informants who have criteria as men who use skin care products and male content creators in the beauty field (skincare enthusiast).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quinta Binar Resista
"Skripsi ini membahas tokoh Bean dalam serial televisi Mr. Bean (1990) sebagai contoh parodi terhadap ide maskulinitas Britishman. Parodi terhadap maskulinitas Britishman akan dianalisis melalui cara tokoh Mr. Bean memperlakukan tubuh tanpa memandang konsep heteronormativitas yang hidup di lingkungan sekitarnya, berdasarkan beberapa adegan yang terdapat dalam episode Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, dan The Curse of Mr. Bean. Selain itu, parodi terhadap ide maskulinitas karakter Britishman pada teks penelitian akan ditinjau dengan kebiasaan para mahasiswa Oxford dan Cambridge University (Oxbridge Men) di awal abad 19, yang diketahui sebagai cikal bakal konsep Britishman di Inggris. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa Mr. Bean adalah seorang dengan identitas jender yang tidak dapat didefinisikan, namun ia telah menjadi subjek atas tubuhnya sendiri.

The purpose of this final thesis is to analyze the character of Bean in the Mr. Bean tv shows (1990) as a form of parody toward the concept of Britishman masculinity. The analysis is conducted by examining how Mr. Bean treats his own body without a regard to the concept of heteronomativity around him, based on several scenes from the episodes of Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, and The Curse of Mr. Bean. Furthermore, the parody toward the concept of Britishman masculinity in this paper will be examined in its connection with the habit of students from Oxford and Cambridge University (Oxbridge Men) in the beginning of 19th century, which has been known as the role model of an ideal Britishman in England. Through this study, the writer found that Mr. Bean is a gender entity who can't be easily defined, and instead mould his own identity as a subject based on his body."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43429
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shebby Kharisma Dewi
"Film merupakan salah satu temuan budaya inovatif yang merupakan bagian dari seni. Film dapat menggarap rangkaian subjek yang hampir tak terbatas. Éléonore Pourriat mengembangkan film dengan ide fiksi menggunakan inversi dalam dunia paralel melalui film Je ne suis pas un homme facile. Adaptasi dari film pendek Majorité Opprimée membawa tema di mana tokoh Damien, seorang seksis, membanggakan superioritasnya dengan menunjukkan seksismenya kepada kaum perempuan. Keberadaan Damien di dunia inversi menunjukkan adanya pergeseran karakter terhadap stigma gender yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa gender tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki dengan karakteristik maskulinitasnya, namun karakteristik ini dapat diperankan baik oleh tokoh laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang didukung menggunakan analisis film dengan struktur naratif dan sinematografi Boggs dan Petrie, teori gender oleh Giddens untuk menganalisis konsep identifikasi gender, dan teori stereotip gender oleh Hentschel, Heilman dan Peus untuk menganalisis konsep asosiasi maskulinitas dalam film. Hasil analisis menunjukan bahwa Pourriat membawa dunia inversi untuk menimbulkan kesadaran bahwa terdapat suatu keganjilan dalam sistem masyarakat yang meninggikan posisi kaum laki-laki sebagai kaum dominan, serta menunjukkan bahwa maskulinitas tidak bergantung pada jenis kelamin seseorang, tetapi peran sosial dalam masyarakat.

Film is an innovative culture that falls under the umbrella of art. Films work on a collection of almost infinite subjects. Éléonore Pourriat develops the film Je ne suis pas un homme facile with a fictional idea using inversion as a parallel world. The adaptation of the short film Majorité Opprimée brings up a theme in which Damien, a sexist, boasts his superiority by exhibiting sexism toward women. Damien’s existence in an inverted world shows a character shift regarding the stigma of gender that exists in society. This research aims to show that gender is not only dominated by men with their masculine characteristics, as these characteristics can be embodied by both male and female characters. This research uses a qualitative method supported by film analysis using Boggs and Petrie’s narrative and cinematographic structures, Giddens’ gender theory to analyse the concept of gender identification, and gender stereotype theory by Hentschel, Heilman, and Peus to analyse the concept of the association of masculinity in film. The analysis shows that the inverted world is used to raise awareness of an oddity in the system of society that uplifts the position of men as the dominating group. The analysis also shows that masculinity does not depend on one’s sex, but rather on the roles within society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Friska Adelia Savira
"Dalam beberapa tahun terakhir AXE, produk perlengkapan mandi untuk pria, telah diminta dari media untuk pergantian strategi mereka yang tiba-tiba yang merupakan citra diri AXE tentang 'garis perawatan halus yang dirancang untuk meningkatkan kepercayaan diri pria dengan membantu mereka melihat dan merasakan gaya hidup mereka. terbaik” yang berarti reputasi mereka sebagai produk yang akan selalu membantu pria mendapatkan wanita dengan lebih mudah dengan kampanye yang tidak jauh dari hasrat, kesuksesan, rayuan, maskulinitas, dan daya tarik seksual. Perubahan tersebut cukup signifikan dari reputasi dan strategi mereka sebelumnya tentang maskulinitas, maskulinitas hegemonik yang ternyata merugikan, yang banyak mendapat perhatian tidak hanya dari media tetapi juga dari audiensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan stereotip maskulinitas dalam iklan produk AXE. Analisis Wacana Multimodal akan digunakan untuk menjelaskan hubungan antara stereotip gender, bahasa, dan identitas. Kajian kualitatif ini mengkaji perkembangan iklan AXE dengan menggunakan empat versi iklan AXE sebagai contoh, yaitu dari tahun 2002, 2007, 2012, dan 2017 dalam kaitannya dengan maskulinitas dan stereotip gender. Hasilnya menunjukkan bahwa AXE membangun konsep maskulinitas mereka dalam iklan mereka pada maskulinitas hegemonik, tetapi untuk mempertahankan relevansi merek mereka, mereka mengubahnya menjadi kampanye maskulinitas anti-toksik, terlepas dari reputasi awal mereka.

In recent years AXE, a toiletries product for men, has been asked from the media for the sudden switch of their strategy which was AXE’s own self defined image of ‘a refined grooming line designed to boost guys’ confidence by helping them look and feel their finest” means their reputation has always been that of a product that would help men to get women more effortlessly with campaigns not far from desire, success, seduction, masculinity and sex-appeal. The change is quite significant from their prior reputation and strategy about masculinity, which was hegemonic masculinity that turned out to be harmful, that has gained a lot of attention not only from the media but also from the audience. The aim of the study is to explain the stereotypes of masculinity in advertisements for AXE products. Multimodal Discourse Analysis will be used to explain the relation between stereotype gender, language, and identity. This qualitative study examines the development of AXE advertisements using four versions of AXE advertisements as examples, which are from 2002, 2007, 2012, and 2017 in relation to masculinity and stereotype gender. The results demonstrate that AXE constructed their concept of masculinity in their commercial on hegemonic masculinity, but in order to maintain their brand relevant, they converted it into an anti-toxic masculinity campaign, despite their initial reputation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayah Kusuma Permatasari Tomagola
"Industri Hip-Hop identik dengan maskulinitas, selain karena kurangnya rapper wanita, lagu-lagunya juga menampilkan maskulinitas kulit hitam. Studi ini mengkaji album Mr. Morale & The Big Steppers (2022) milik Kendrick Lamar untuk melihat bagaimana Lamar mengkritik maskulinitas kulit hitam sekaligus menemukan akar pandangan toksik ini. Penelitian ini menggunakan analisis tekstual dengan menganalisis sembilan lagu untuk mengkaji tema maskulin dan menerapkan konsep interseksionalitas milik Crenshaw (1989) untuk mengetahui bagaimana persilangan ras, gender, dan kelas menghasilkan pandangan maskulinitas pria kulit hitam Amerika yang tidak sehat. Untuk menemukan ide ini, digunakan pandangan McDougal III tentang kejantanan dan maskulinitas kulit hitam. Album ini menantang maskulinitas kulit hitam dengan mempromosikan pentingnya vulnerability, memiliki coping mechanismsyang lebih sehat, dan mencari bantuan psikologis profesional. Album tersebut juga mengkritik gagasan consumer-orientedness yang lazim di komunitas kulit hitam. Namun, ada bagian yang menunjukkan album tersebut masih menegaskan kepercayaan toksik tentang pentingnya memiliki uang, mobil, dan wanita untuk menunjukkan kejantanan seseorang.

The Hip-Hop industry is highly masculinised not only due to the lack of female rappers but also the rap songs that showcase black masculinity. This study examines Kendrick Lamar’s music album Mr. Morale & The Big Steppers (2022) to see how Lamar uses his music to criticise black masculinity as well as to find the root of the toxic view of black masculinity. To achieve this aim, the study uses textual analysis to analyse Lamar’s nine songs to examine the masculine theme in the album. The study also applies Kimberlé Crenshaw’s (1989) concept of intersectionality to see how the intersections of race, gender, and class result in black American men’s toxic views of masculinity. To decode the ideas of black masculinity, the study uses Serie McDougal III’s views of black manhood and masculinity. The album primarily challenges black masculinity by promoting the importance of letting oneself be vulnerable, having a healthier coping mechanism, and seeking professional psychological help. The album also criticises the idea of consumer-orientedness that is prevalent in the black community. However, there are parts which show that the album still affirms the toxic belief of the importance of having money, cars, and women to display one’s masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pritha Ayunita
"Penggunaan sosok metroseksual dalam eksekusi iklan Men's Biore Black White digunakan sebagai suatu konstruksi dari mitos yang telah secara mendalam tertanam dalam masyarakat. Iklan televisi yang digunakan sebagai medium utama dalam mengiklankan produk karena dinilai sebagai medium yang paling luas jangkuan dan efeknya dirasa paling besar. Dalam iklan televisi yang berdurasi 15 dan 30 detik, beserta shelftalker dengan eksekusi yang kental dengan pendekatan sepak bola, bertujuan untuk membangun kembali awareness khalayak yang menjadi target market karena dirasa banyaknya gempuran merek lain yang merupakan kompetitor dari Men's Biore itu sendiri. Untuk mengetahui bagaimana pengiklan melakukan sebuah konstruksi sosial akan gaya hidup metroseksual terhadap pria yang menjadi target market, maka peneliti menggunakan analisis semiotika dari Roland Barthes untuk membedah iklan dan mengetahui mitos yang dikonstruksikan dalam eksekusi iklan tersebut. Data sekunder yang digunakan adalah wawancara dengan pekerja kreatif yang berada di balik eksekusi iklan tersebut. Dari kedua metode tersebut ditemukan ternyata banyak faktor yang mempengaruhi konstruksi sosial yang berada di dalam eksekusi iklan tersebut, seperti ideologi dari Jepang sebagai negara asal atau cikal bakal terbentuknya PT Kao Indonesia selaku pihak produk dan Dentsu Indonesia selaku agensi iklan, dengan dilakukan adaptasi budaya khalayak Indonesia itu sendiri dengan melakukan FGD (Focus Group Discussion).

Uses of the ideal man or nowadays has becoming more popular with the name metrosexual, in Men's Biore Black White television commercial has becoming a greater issue. It is belief that the television commercial constructed myths which most of people have already known. The agency uses television because it is the most powerful advertising tools that can change men's behavior. Advertising objectives for this 15 and 30 seconds and also the using of shelftalker of the television commercial execution which contains football as the main object, is to rebuild the product awareness to their market. It is because they feel threatened by their competitors. To know how they constructed the metrosexual life style by placing myths, writer used semiotic method of Roland Barthes in order to dig the television commercial. The writer also interviewed with one of the member of the team who handled the product itself to keep the validity of the research. From both methods, the writer found out that many factors which influenced the making and the television commercial itself. The point is that Japan has transferred their ideology to both companies, Dentsu Indonesia and PT Kao Indonesia, by the guideline they purposed to both companies. But the ideology comes in separated ways and they have it adapted with the Indonesian culture by having a Focus Group Discussion."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalina
"ABSTRAK
Iklan adalah salah satu cara untuk mempromosikan produk. Diantara iklan yang
muncul di media massa, terdapat iklan yang menggunakan ilustrasi imaji
maskulinitas. Media secara teoritis dapat mengembangkan imaji tersebut menjadi
konsep yang sering tidak disadari oleh khalayak. Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap representasi dan konsep maskulinitas dalam iklan-iklan produk
minuman berenergi, produk rokok, serta pelembap wajah khusus pria serta untuk
menggali ideologi apa yang ada di balik penggambaran maskulinitas pada ketiga
iklan tersebut. Analisis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis
semiotik dan menggunakan paradigma critical constructionism. Dengan
perbandingan karakteristik maskulinitas pada tiga iklan, yaitu minuman berenergi
Extra Joss, rokok Surya Pro Mild dan Vaseline Men Face Moisturiser. Penelitian
ini menemukan iklan dibuat oleh produsen dengan melanggengkan ideologi
patriarki di Indonesia supaya industri tetap berjalan sesuai dengan kepentingan
para elit kapitalis. Sehingga iklan bukan sekedar mengemas produk, tetapi juga
bagaimana para produsen menggunakan imaji maskulinitas sebagai komoditas
bagi produk mereka. Para produsen berusaha memberi masukkan ideologi kepada
khalayak, yang akhirnya memperlihatkan sebuah kesadaran palsu.

ABSTRACT
Advertising is one way to promote products. Among the ads that appear in the
mass media, there are ads that use illustration images of masculinity. Media
theoretically can develop that image become the concept that is often not aware of
it by audience. This research aims to uncover the representation and the concept
of masculinity in the advertisements of products, namely energy drinks, cigarettes
and face moisturizer for men products as well as to explore what ideology what is
behind depiction masculinity in third those ads. Analysis of this research was
conducted by using semiotic analysis and using the paradigm of critical
constructionism. By comparing the characteristics of masculinity in three ads, i.e.
energy drink Extra Joss, cigarettes Surya Pro Mild and Vaseline Men Face
Moisturiser. This research found ads created by the producer with a patriarchal
ideology in Indonesia perpetuate that industry continue to run according to the
interests of capitalist elites. So the ads not just pack the products, but also how the
producers use images of masculinity as a commodity for their products. The
producer tried to put in ideology to public, that eventually show a false
consciousness."
2012
T30777
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>