Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vincent Kamajaya
"Sebab atau alasan halal adalah salah satu persyaratan hukum perjanjian dan merupakan kondisi obyektif di mana jika ini tidak terpenuhi akan menghasilkan perjanjian nol dan batal. Penyebab atau alasan halal (Sebab yang Diizinkan) perlu dikaitkan dengan pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ketika suatu sebab dilarang, salah, dan tidak ada, sehingga perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum di negara lain kata-kata tidak mengikat. Artikel 1337 KUH Perdata menjelaskan tentang yang dilarang sebab, yaitu sebab yang bertentangan dengan aturan pemerintahan, kesopanan dan publik memesan. Mengenai kata sebab, hukum, kesopanan, dan ketertiban umum, itu tidak lebih jauh diuraikan, oleh karena itu adalah tugas yurisprudensi untuk mengklarifikasi, tetapi bisa saja terlihat bahwa ada perbedaan pendapat di antara para sarjana hukum. Selain itu, kata-kata aturan pemerintahan, kesopanan dan ketertiban umum tidak banyak dibahas oleh ahli hukum. Makalah ini akan menganalisis elemen-elemen ini berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia Indonesia. Metode penelitian ini adalah yuridis-normatif dan deskriptif

Halal reason or reason is one of the legal requirements of the agreement and constitutes objective conditions where if this is not met it will produce zero agreement and cancel. Halal causes or reasons (Permitted Causes) need to be linked article 1335 of the Civil Code which states that when a cause is prohibited, wrong, and no, so the agreement does not have legal force in another country words are not binding. Article 1337 of the Civil Code explains what is prohibited cause, which is a cause that is contrary to government rules, politeness and the public order. Regarding the words of cause, law, politeness, and public order, it is not further outlined, therefore it is the duty of jurisprudence to clarify, but it is possible There seems to be differences of opinion among legal scholars. Other than that, the words of government, politeness and public order are not much discussed bylawyer. This paper will analyze these elements based on court decisions in Indonesia Indonesia. This research method is juridical-normative and descriptive."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhi Ilham Permana
"Tesis ini membahas tentang Sifat Kerahasiaan sebuah nasihat dan pertimbangan (nastim) yang merupakan produk dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang dikaitkan dengan asas good governance. Tesis ini bermaksud menjawab pertanyaan mengenai sifat kerahasiaan nastim Wantimpres yang timbul dari tugas, fungsi dan kedudukannya apabila dilihat dari good governance, mengetahui sifat kerahasiaan nastim lembaga penasihat di beberapa negara dan bagaimanakah sifat dari nastim yang ideal dengan mengacu pada good governance. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan mengggunakan data sekunder. Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) UU Wantimpres terkait kerahasiaan, memberi makna bahwa sifat pekerjaan Wantimpres itu selesai setelah memberi pertimbangan dan nasihat kepada Presiden. Dengan kata lain, selesailah kewajiban Wantimpres karena sifatnya yang rahasia. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang demokratis yang berasaskan good governance, yaitu adanya transparansi, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas. Idealnya sebuah nastim Wantimpres sejatinya bersifat rahasia, namun apabila nastim tersebut telah disampaikan kepada Presiden dan telah dilaksanakan menjadi sebuah kebijakan, maka dapat disampaikan kepada publik bahwa lahirnya/adanya kebijakan tersebut berasal dari nastim dari Wantimpres. Perwujudan good governance Wantimpres dapat tercermin dengan adanya pemberitaan berbagai kegiatan Wantimpres di Website Wantimpres dan Sosial Media Wantimpres. Selain itu, adanya mekanisme liputan media pada awal kegiatan seminar. Sebagai lembaga yang merupakan amanah Pasal 16 UUD 1945 yang memiliki tugas dan fungsi memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, maka Presiden dapat lebih memberdayakan Wantimpres dalam pengambilan kebijakan. Sifat kerahasiaan nastim Wantimpres tetap dijaga dengan pembatasan apabila dalam beberapa hal terdapat kesepakatan dengan Presiden maka nastim Wantimpres dapat dibuka kepada publik.

This thesis discusses the confidential nature of advice and considerations which is the product of the Presidential Advisory Council that is associated with the principle of good governance. This thesis aims to answer questions regarding the confidential nature of the advice and considerations of the Presidential Advisory Council arising from its duties, functions and positions when viewed from a good governance perspective, to find out the confidential nature of the advice and considerations of advisory bodies in several countries and understand the nature of the ideal advice and considerations with reference to good governance. The research method used is a normative juridical method using secondary data. Based on Article 6 Paragraph (1) of the Law on the Presidential Advisory Council regarding confidentiality, it means that the nature of the work of the Presidential Advisory Council is completed after giving consideration and advice to the President. In other words, the obligations of the Presidential Advisory Council have been completed because of their secret nature. On the other hand, Indonesia is a democratic country based on good governance, namely transparency, community participation and accountability. Ideally, the advice and considerations of the Presidential Advisory Council are confidential, however if the advice and considerations have been conveyed to the President and have been implemented into a policy, then it can be conveyed to the public that the existence of the policy comes from the advice and considerations of the Presidential Advisory Council. The realization of good governance of the Presidential Advisory Council can be reflected in the news of various activities of the Presidential Advisory Council on the official Website and social media of the Presidential Advisory Council. In addition, there is a media coverage mechanism at the beginning of the seminar. As an institution that is mandated by Article 16 of the 1945 Constitution which has the task and function of providing advice and considerations to the President, the President can further empower the Presidential Advisory Council in making policy. The confidential nature of the advice and considerations of the Presidential Advisory Council is maintained with restrictions whether in some cases there is an agreement with the President, the advice and considerations of the Presidential Advisory Council may be disclosed to the public."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasanah Saniyya Kesuma Wardhana
"

Ketentuan dalam Pasal 1175 KUH Perdata telah membatasi objek jaminan hipotek, yakni hanya diperuntukkan atas benda-benda yang sudah ada sehingga menjadi permasalahan apabila debitur memberikan jaminan berupa kapal sedang dibangun. Kreditur selaku penerima hipotek merupakan pihak yang semestinya memperoleh perlindungan hukum jika sewaktu-waktu debitur cidera janji, terlebih jaminan hipotek atas kapal yang diberikan sedang dibangun. Oleh karena penelitian ini membutuhkan bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan, maka Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan dilengkapi dengan wawancara kepada pihak terkait. Berdasarkan metode penelitian yang digunakan oleh Penulis, diperoleh hasil bahwa dalam hukum positif telah memperbolehkan pembebanan hipotek atas kapal yang sedang dibangun, mengacu pada Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang yang merupakan konsideran dari Pasal 14 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 39 Tahun 2017. Kapal yang sedang dibangun dikatergorikan sebagai benda yang sudah ada apabila kapal tersebut sudah terdaftar dan pembangunan kapal paling sedikit secara fisik telah mencapai tahap penyelesaian bangunan lambung, geladak utama, dan seluruh bangunan atas. Meskipun telah diatur dalam hukum positif, dalam prakteknya kurang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur jika mengharuskan eksekusi benda jaminan mengingat kapal bukan merupakan benda yang likuid sehingga tidak mudah untuk dicairkan. Rendahnya nilai jaminan berupa kapal yang sedang dibangun dan adanya hak retensi yang dimiliki oleh galangan kapal juga merupakan hal yang harus dipertimbangkan kreditur ketika akan memberikan fasilitas kredit kepada debitur. 


Article 1175 of the Civil Code limits the object of collateral mortgage, that is only for existing objects therefore it becomes a problem if the debtor provides collateral in the form of an under-construction vessel. The creditor as the recipient of the mortgage is the party that should get legal protection if at any time the debtor breaches the contract, especially when the collateral mortgage is on an under-construction vessel. Because this research requires written legal materials that refer to legal norms in legislation, the author uses normative juridical research method equipped with interviews with related parties. Based on the research method used by the author, the results show that positive laws have allowed the imposition of mortgages on under-construction vessel, referring to Article 314 paragraph (3) of the Commercial Code which is a consideration of Article 14 of the Regulation of The Minister of Transportation Number 39 of 2017. Under-construction vessel is categorized as an existing object if the ship has been registered and construction of the ship has at least physically reached the completion stage of the hull, main deck, and the entire upper structure. Although it has been regulated in positive law, in practice it doesn’t provide enough legal protection to creditors if it requires the execution of collateral objects considering the ship is not a liquid object so it’s not easy to be disbursed. The low value of collateral in the form of an under-construction vessel and the existence of retention rights owned by shipyards is also a matter that must be considered by creditors when providing credit facilities to debtors.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2000
R 347.07 IND h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldine Ghea Dermawan
"

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak mengikat apabila mengandung kausa yang terlarang, palsu, atau tidak mengandung kausa. Namun, pasal ini tidak mengatur penjelasan lebih lanjut terhadap kata kausa atau sebab. Selain itu, terhadap kausa yang palsu, kerancuan juga rawan timbul karena persetujuan dengan kausa/sebab yang palsu merupakan persetujuan yang secara kasat mata merupakan persetujuan yang sah, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi kausanya tersebut. Apalagi kausa merupakan salah satu syarat sah sahnya perjanjian yang objektif, yang mana apabila tidak terpenuhi akan mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, hukum harus dapat memperjelas ketentuan tersebut terutama untuk kepastian hukum dalam praktiknya. Tulisan ini akan menganalisa lebih mendalam terhadap masalah-masalah tersebut berdasarkan doktrin dan putusan-putusan pengadilan di Indonesia dengan metode penelitian yuridis-normatif dan bersifat deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, menurut doktrin, dan putusan-putusan pengadilan, meskipun telah terdapat kesamaan pendapat akan perbedaan antara kausa dan motif, sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat mengenai penafsiran kausa itu sendiri. Perbedaan pendapat ini pun juga mempengaruhi disparitas penafsiran kausa dalam putusan-putusan pengadilan, sehingga seringkali menyebabkan penerapan huknumya menjadi kurang tepat.

 


As stipulated in Article 1335 of the Indonesian Civil Code, an agreement shall not be enforceable or binding when its cause is forbidden, false, or does not exist. However, the provision does not further elaborate the meaning of the word cause. In addition to that, for fraudulent causes, it is prone to arise confusion since agreements with fraudulent causes in plain sight are often seen as valid agreements, so it is not as easy to identify the causes. Moreover, cause is one of the legal requirements an agreement and is an objective condition, where if this is not fulfilled it will result an agreement as null and void. Therefore, to avoid that, the law itself must clarify the provisions, especially for legal certainty in practice. This paper will analyse further on this matter based on doctrine and court decisions in Indonesia with a research method of juridical-normative and descriptive. According to the research, based on doctrine and court decisions, although there has been a common opinion about the distinction between causes and motives, there has been no consensus for the exact meaning of cause itself. This difference of opinion also affects to the disparity of “cause” interpretation in court decisions, which often results an improper application of law.

 

Key Words: Causa, Cause, Fraudulent Cause, Simulation Agreement, Pretense Agreement, Obligation, Null and Void.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardheva Khalish Adiwena
"Dalam penyelesaian suatu sengketa diperlukan suatu perjanjian yang dapat mengikat antara kedua belah pihak sehingga menimbulkan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Maka perjanjian diperlukan sebagai identitas adanya suatu kesepakatan dalam jual beli. Untuk itu dimata hukum perjanjian sangat lah penting sebagai identitas dari suatu kontrak sehingga beberapa orang membuat perjanjian Proforma (pura-pura) dengan tujuan bahwa adanya suatu kesepakatan yang mengikat antara penjual dan pembeli serta sebagai syarat terhadap perjanjian jual beli agar perjanjian jual beli tersebut terlihat sah dimata hukum. Walaupun dengan adanya perjanjian yang dibuat agar terdapat adanya suatu bukti kesepakatan tetapi perjanjian tersebut hanyalah formalitas sehingga dengan adanya perjanjian proforma (pura-pura) itu dapat mengakibatkan batalnya perjanjian demi hukum. Oleh sebab itu, dengan perlu adanya perjanjian yang sebenarnya dalam kesepakatan jual beli serta perjanjian tersebut dibuat di hadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Notaris/PPAT.

In resolving a dispute, an agreement is needed that can bind between the two parties so as to create an agreement between the seller and the buyer. So, Agreement is needed as as an identity of an agreement in buying and selling. For this reason, in the eyes of law, the agreement is very important as the identity of a contact so that some people make a Proforma Agreement (pretend) with the aim that there is a binding agreement between the seller and the buyer as a condition for the sale and purchase agreement so that the sale and purchase agreement looks valid in the eyes of law. Even though the agreement is made so that there is evidence of an agreement, there is only a formality so that the existence if a Proforma Agreement (pretend) can be resukt in the cancellation of the agreement by law. Therefore, with the need for an actual agreement in the sale and purchase agreement and the agreement is made before an authorized official in this case Notary/PPAT."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pertimbangan moral yang dapat menyeimbangkan kecerdasan intelek, emosi, dan rohani akan meningkatkan potensi kepimpinan individu. Kecerdasan individu yang didorong oleh pertimbangan moral merupakan fitrah kejadian manusia. Pertimbangan moral yang mempengaruhi ketiga-tiga kecerdasan menjadi asas terbina kerangka konsep kepemimpinan Islam iaitu kepemimpinan Rabbani melalui pertimbangan pembangunan professional, keinsanan, dan ketuhanan. Kepemimpinan Rabbani merupakan gambaran kepemimpinan ulamak yang memiliki keilmuan dan kepakaran bidang tertentu dalam berorganisasi. Kemampuan pemimpin menyeimbangkan ketiga-tiga kecerdasan tersebut berasaskan kepada pertimbangan ketuhanan akan dapat menyalurkan tiap amalan kepemimpinannya untuk member sumbangan kepada keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Pemimpin akan sentiasa mempengaruhi pengikutnya bekerja di atas kerangka kebaikan dengan menyeimbangkan hak Allah dengan hak manusia, dan kehidupan persekitarannya. Proses mengembangkan pertimbangan moral yang seiring dengan tuntutan fitrah kejadian manusia akan dapat melahirkan kepimpinan yang akan menjadi tunjang pembangunan sosial mapan menurut cita rasa Al-Qur’an dan As-Sunnah."
JBSD 1:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elysia Elliora
"Penelitian ini menganalisis konsep kausa sebagai syarat sah perjanjian dalam sistem hukum Indonesia, Belanda, Prancis, dan Jerman. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan membandingkan konsep kausa sebagai syarat sah perjanjian dalam sistem hukum Indonesia, Belanda, Prancis, dan Jerman. Alasan utama dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahami perbedaan penafsiran dan penerapan kausa dalam hukum perjanjian di keempat negara tersebut, serta memberikan saran bagi pembaruan hukum perdata di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan komparatif, menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep kausa di Indonesia perlu diadopsi dalam aturan lain untuk menghindari ketidakpastian hukum, sebagaimana telah dilakukan oleh Belanda dan Prancis setelah reformasi hukum perdata mereka.

This study analyzes the concept of causa as a valid condition for contracts in the legal systems of Indonesia, the Netherlands, France, and Germany. This study aims to analyze and compare the concept of causa as a valid condition for contracts in the legal systems of Indonesia, the Netherlands, France, and Germany. The primary reason for conducting this research is to understand the differences in interpretation and application of causa in contract law among these four countries, and to provide suggestions for the reform of civil law in Indonesia. The research method used is doctrinal research with a comparative approach, utilizing secondary data obtained through literature review. The findings indicate that the concept of causa in Indonesia needs to be adopted into other regulations to avoid legal uncertainty, as has been done by the Netherlands and France after their civil law reforms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Dep. Kehakiman-PTUN, 2004
347.01 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>