Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164316 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eddline Kusuma Andani
"

Pemberdayaan perempuan sering digunakan dalam film untuk mengedepankan tokoh perempuan yang suara dan tindakannya sering tidak terlihat. Agensi, suara, dan kekuasaan adalah elemen yang saling terkait dalam membantu membentuk sosok perempuan yang berdaya. Film adaptasi The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) memakai pendekatan yang berbeda dalam menyampaikan cerita sehingga terdapat perbedaan yang siginifikan pada alur dan tokoh Susan Pevensie yang digambarkan lebih berdaya dalam film daripada di buku. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan, bahwa meskipun di dalam film Susan ditampilkan lebih berdaya, film ini tidak sepenuhnya memberdayakan Susan. Masih ada penggambaran yang memosisikan Susan sebagai tokoh yang inferior. Dengan menggunakan teori agensi oleh Trites (1997), teori representasi oleh Hall (1997), dan unsur-unsur analisis film oleh Bordwell dan Thompson (2013), penelitian ini akan mengidentifikasi perbedaan penggambaran Susan dibandingkan tokoh laki-laki dan memeriksa agensi, suara, dan kekuatannya dalam buku dan film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemosisian Susan di dalam film tidak terlalu jauh berbeda dari pemosisian Susan di dalam buku. Ia tetap diposisikan sebagai tokoh yang lebih rendah daripada tokoh laki-laki. Dengan demikian, meskipun film menggambarkan Susan sebagai tokoh perempuan yang berdaya melalui perubahan alur dan representasi visualnya, film masih jatuh ke dalam perangkap stereotip gender. Beberapa mise-en-scène dalam film masih mewakili sistem patriarki dalam penggambaran stereotip gendernya yang kontraproduktif dengan upaya film tersebut untuk memberdayakan Susan.

 

 


Women empowerment is often used in films to bring forward female characters whose voices and actions are often put in the background. Agency, voice, and power are inter-connected elements in helping to shape an empowered female figure. The film adaptation of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian (2008) takes a different approach in delivering the story which results in significant differences in the plot and Susan Pevensie’s character who is portrayed to be more empowering in the film than in the novel. This research aims to show that although in the film Susan is portrayed to be more empowering, it still does not fully empower Susan. There are several depictions that position Susan as an inferior character. By using agency theory by Trites (1997), representation theory by Hall (1997), and elements of film analysis by Bordwell and Thompson (2013), this research aims to identify the differences in Susan’s depictions compared to the male characters and analyze her agency, voice, and power in the novel and film of The Chronicles of Narnia: Prince Caspian. The result shows that Susan’s positioning in the film is not so much different from her positioning in the novel. She is still positioned as a character who is inferior to the male characters. Although Susan is portrayed as an empowered female character through the changes of the plot and her visual representation, the film still falls into the trap of gender stereotyping. Some mise-en-scène in the film still represent the patriarchal system in its gender stereotyped portrayal which is counterproductive to the effort of the film to empower Susan.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, C.S.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
808.3 LEW pt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rezkita Rasyid
"Utopia hadir sebagai bagian dari ruang imajinasi yang mensimulasikan ruang ideal dengan latar belakang ketidaksempurnaan dalam realita.  Kehadiran utopia dilengkapi dengan heterotopia, sebuah bentuk aktualisasi tempat dengan karakter ideal.  Heterotopia digambarkan sebagai sebuah konsep ruang merujuk pada simulasi utopia dapat termanifestasi sebagai representasi sehingga kehadirannya terlihat nyata. Media film mampu menangkap konsep utopia dan heterotopia, lalu mentranslasikannya dalam bentuk gambar bergerak yang menggambarkan realitas yang beriringan dengan ruang dan waktu.  Kemampuan pada film tersebut kemudian memunculkan simulacra, sebuah situasi saat realitas yang dilihat di media adalah realitas semu.  Akibatnya, perbedaan antara bagian original (asli) dan copy (imitasi) menjadi samar dan batasnya memudar.  Implementasi yang hadir pada film adalah penonton dapat melihat ruang sebagai sebuah realita.  Tujuan studi ini adalah melihat konsep utopia dan heterotopia melalui melalui simulasi dan hubungan original dan copy dalam film The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe.  Film tersebut menghadirkan pada penonton sebuah ruang untuk masuk dan melarikan diri ke dalamnya sebagai sebuah ruang bersifat utopia.  Sehingga dari potensi tersebut, dapat terlihat bahwa peran media sangat besar dalam mencerminkan ide ruang utopia dalam simulacara.

 


Utopia exist as a part of imagination realm that simulated an ideal space with imperfect reality background.  The idea of utopia as an ideal space is also related to heterotopia, a space used to describe the idea of utopia.  Heterotopia can be seen as the physical form of utopia condition.  Utopia can be visualized through film as a media and can manifest the idea of utopia and heterotopia then translate it into a sequence of images that picture reality in different time and space.  The ability of film as a media to present utopia in a space is connected simulacra.  In media, simulacra often showed as a duplication of the reality and people believe what they see instead of the existing facts, or what it’s called as a fake reality.  As a result, the distinction between the original and the copy starts to blur.  The implementation that came with the result is, the viewer could see the space in film as a reality.  Because of the implementation, the purpose of this study is to capture the concept of utopia and heterotopia through the simulation and its relation to the original and the copy.  This study also shows how the media could reflect the idea of utopia in space and heterotopia inside simulacra.  This research leads to how The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe could reflect the idea of utopia within it spaces and how it copies the reality in real world and turns it into a simulation.

 

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, C.S.
Jakarta: Gramedia, 2006
808.3 LEW k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lewis, C.S.
New York: Harpercollins Publishers, 1994
813 LEW l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Qissera el Thirfiarani
"Skripsi ini membahas novel dan film Crazy. Tujuan penelitian adalah membandingkan kedua karya untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam novel dan film sehingga dapat terlihat perubahan yang timbul akibat ekranisasi. Metode penelitian yang digunakan adalah struktural, dengan pendekatan intrinsik. Pertama-tama, yang dianalisis adalah novel, kemudian fiimnya. Setelah itu, kedua analisis tersebut dibandingkan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan antara novel dan film. Selain itu terdapat pula beberapa perbedaan, yang timbul baik akibat tuntutan media yang digunakan maupun interpretasi sutradara. Salah satu contoh perbedaan yang timbul akibat tuntutan media yang digunakan adalah penokohan Benjamin Lebert. Dalam novel, cacat tubuh Benjamin, digambarkan melalui kegiatan-kegiatan yang tidak bisa dilakukan olehnya. Sedangkan dalam film, cacat tubuh Benjamin dapat dilihat melalui penampilan fisik pemeran tokoh tersebut. Perbedaan yang timbul akibat interpretasi sutradara dapat dilihat pada bagian alur. Dalam film terdapat peristiwa yang tidak terdapat dalam novel, yaitu saat terjadi pertengkaran antara Benjamin dan Janosch. Sebaliknya, ada pula peristiwa yang terdapat dalam novel tapi tidak dalam filmnya, yaitu pertemuan dengan Sambraus Marek.

This thesis discusses the novel and film _Crazy_. The purpose of my research is to compare the novel and the film, in order to find out the similarities and differences that occur as a result of adaptation. The structural method and intrinsically approach are used in this thesis. First of all, the novel is analysed and then the film. Afterward those both analysises are compared. My research proved that there are some similarities as well as differences that occur as a consequence of adaptation. The differences ensue because of the requirements of the medium and also the film director_s interpretation. An example of the difference that occurs caused by the medium requirement is characterization of Benjamin Lebert. In the novel, Benjamin_s physical handicap described with some activities, which are not able to be done by him, while in the film this can be seen by the physical appearance of the actor. The difference which occurs caused by the film director_s interpretation can be seen from the film_s plot. In the film there is occurrence, which doesn_t exist in the novel, that is the quarrel between Benjamin and Janosch. On the other hand, there is also occurrence in the novel, which doesn_t exist in the film, for example is the meeting with Sambraus Marek."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S14977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haidar Faisal
"Kerja perfilman merupakan kerja tim, bukan kerja perorangan, termasuk di dalamnya penggarapan pemindahan latar dari novel ke film. Karena proses transformasi itu melalui dua tahap, yakni dari novel ke skenario dan kemudian dari skenario ke film, maka pemindahan latar bukan hanya menjadi tanggung jawab Sutradara dan Art Director, melainkan juga penulis skenario, tim teknik, bagian laboratorium, penata suara, penata musik, dan seluruh tim artistik yang rnempersiapkan kostum, desain selling, property, dan detail perlengkapan lainnya. Kasus pemindahan latar novel Serpihan Mutiara Retak karya Nina Pane Budianto ke dalam film dengan judul yang sama oleh sutradara Wim Umboh dan penulis skenario Satmowi Atmowiloto memperlihatkan penggarapan yang tidak baik jika dibandingkan dengan pemindahan latar dan novel Saat-Saat karya Arswendo Atmowiloto ke dalam film yang berjudul Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku yang disutradarai Jun Sapto Hadi dan penulis skenario Arswendo Atmowiloto.
Kegagalan penggarapan latar dalam film Serpihan Mutiara Retak dikarenakan pekerja film lebih berkonsentrasi pada pengadeganan peristiwa, dan bukan pada latar yang menyelimuti peristiwa tersebut. Sebaliknya, Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku justru menempatkan latar sebagai salah satu unsur terpentmg dalam proses produksinya. Ini terlihat dari keseriusannya memberi peran cahaya, pewamaan, dan penataan kostum. Dan perbandingan kedua novel dan film di atas, dapat diketahui bahwa penggarapan latar yang baik pada film akan muncul karena dorongan novel itu sendiri. Dalam arti, keherhasilannya sangat ditentukan olch bagaimana penulis novel menggarap latarnya. Selain itu, tugas penting yang harus dilakukan penata artistik dalam pemindahan latar novel ke film adalah menganalisis waktu cerita (fiksi) dan waktu peristiwa (Takla). Analisis rersebut sangat membantu dalam penggarapan selling, khususnya dalam pemilihan perangkat fisik yang akan digunakan dalam pembuatan film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S10957
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Reis Nahrisya
"ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis apresiasi netizen terhadap film Spijt! dan Pijnstillers dari
novel karya Carry Slee. Delapan resensi menjadi korpus dimuat dalam media
elektronik khusus film dan umum Belanda. Penilaian Boonstra (1979) dan De
Moor (2003) dipadukan untuk memperlihatkan aspek penilaian yang paling
disorot oleh peresensi. Penilaian yang mendominasi di kedua jenis media adalah
penilaian objektif. Dalam media umum, pencermatan terhadap penokohan
menjadi sorotan sedangkan media khusus film tidak memusatkan penilaian atas
aspek tertentu yang menjadi bagian komposisi film.

ABSTRACT
This thesis analyzes the appreciation that is given by netizen towards Spijt! and
Pijnstillers which are the result of adaptation in Carry Slee?s novels. Eight reviews
are published in special electronic media for films and general media in the
Netherlands. Boonstra?s (1979) and De Moor?s arguments (2003) are combined to
show the most highlighted aspect of the judgement. It is found that the objective
assessment dominate both media. Reviews in the general media put more focus on
characterization while reviews in exclusive films media are not focusing on any
particular aspect.;"
2016
S65346
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Hasna Khalishah
"Dalam masyarakat patriarki, pria diharapkan untuk menekan kesedihan mereka guna terhindar dari terlihat rentan. Penggambaran laki-laki yang kuat muncul dalam berbagai film, dan salah satunya adalah Manchester by the Sea (2016). Film ini menggambarkan perjuangan Lee Chandler, tokoh utama pria, dalam menghadapi kematian anak-anaknya. Tulisan ini berpendapat bahwa, pertama, ketidakmampuan Lee Chandler untuk mengatasi kesedihannya menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mengekspresikan kesedihan dengan cara maskulin seperti yang diteliti oleh Kenneth dan Doka. Kedua, ekspresi kesedihan Lee Chandler menantang stereotip cara berduka laki-laki, dan, terakhir, kesedihannya, pada kenyataannya, berakar dari harapan masyarakat Barat. Dengan menganalisis perilaku karakter, dialog, dan unsur-unsur sinematik film, artikel ini bertujuan untuk menunjukkan hubungan antara kesedihan dan gender yang digambarkan dalam film ini. Temuan ini menunjukkan bahwa kesedihan pria yang digambarkan dalam film ini adalah ambigu, di mana ia memanifestasikan kesedihannya baik secara stereotip tetapi juga tidak stereotip.

In a patriarchal society, men are expected to suppress their sadness to avoid showing vulnerability. This depiction of strong men appears in different movies, and one of those
movies is Manchester by the Sea (2016). It portrays the struggle of Lee Chandler, the main male protagonist, in dealing with the death of his children. This paper argues that, firstly, Lee Chandlers inability to overcome grief shows that men are likely to express grief in masculine way as investigated by Kenneth and Doka. Secondly, Lee Chandlers grief expressions
challenge the stereotype of male grief, and, lastly, his grief is, in fact, rooted from Western society expectations. By analyzing the characters behavior, dialogue, and the movies cinematic elements, this article aims to show the correlation between grief and gender represented in this movie. The findings show that the male grief as depicted in this movie are ambiguous, in which it manifests in both stereotypical but also non- stereotypical ways.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Irawanto
Yogyakarta: Media Pressindo, 1999
791.43 Ira f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>