Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156767 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meinita Rizky Syahputri
"Rasisme telah menjadi salah satu masalah utama yang ditelisik dalam banyak budaya  populer, tak terkecuali dalam novel Mudbound baru-baru ini oleh Hillary Jordan (2008). Makalah ini menganalisis lapisan rasisme dan menyelidiki peran interaksi pribadi dalam mendekonstruksi prasangka rasial. Dengan menggunakan metode analisis tekstual yang berfokus pada tokoh utama kulit putih dalam novel, makalah ini berpendapat bahwa lapisan rasisme dari setiap tokoh utama kulit putih bervariasi karena latar belakang sosial-historis mereka. Makalah ini selanjutnya meneliti interaksi antara tokoh kulit putih dan kulit hitam dalam novel ini dengan menggunakan teori hipotesis kontak oleh Gordon Allport (1954) yang dimotivasi oleh konsep Kelley & Thibaut tentang saling ketergantungan rasial (1959). Hasil dari makalah ini menunjukkan bahwa tokoh utama kulit putih dalam novel menjadi berkurang tingkah laku rasisnya karena mereka memiliki lebih banyak interaksi pribadi dan tujuan bersama dengan tokoh kulit hitam.

Racism has been one of prominent issues explored in many popular cultures, not least in the recent novel Mudbound by Hillary Jordan (2008). This paper analyses the layers of racism  and investigates the role of personal interactions in deconstructing racial prejudice. Using the method of textual analysis focusing on the white characters in the novel, the paper argues that layers of racism of each white character vary due to their socio-historical background. The paper further examines the interactions between white and black characters in this novel by using the contact hypothesis theory by Gordon Allport (1954) motivated by Kelley & Thibaut’s concept of racial interdependence (1959). The findings suggest that the white characters in the novel become ‘less’ racist as they have more personal interactions and common goals with the black characters."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Widyawati
"Media merupakan institusi yang ikut bertanggung jawab terhadap kerusuhan Mei 1998. Karena media merupakan institusi yang bertanggung jawab mentransformasikan simbol-simbol rasis kecinaan. Simbol rasis tersebut antara lain dalam bentuk wacana peminggiran etnis Cina yang dibentuk melalui bahasa bersifat meminggirkan. Selain itu penggambaran tentang etnis Cina sering kali dihubungkan dengan persoalan ideologi pemerataan dimana Cina yang sebenarnya merupakan kelompok subordinat justru memiliki kekuasaan ekonomi yang tinggi. Representasi yang menggambarkan etnis Cina sebagai kelompok yang senang kolusi dan tidak jujur dalam berusaha telah membawa kebencian pribumi terhadap etnis Cina. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat bagaimana Kompas, Media Indonesia dan Republika mengartikulasikan jalannya kerusuhan Mei 1998 serta memetakan penyebab kerusuhan. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat bagaimana media memproduksi dan mereproduksi simbol-simbol rasisme baru dan bagaimanakah hubungan dominasi--subordinasi antara pribumi dan etnis Cina. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 3 surat kabar yang dijadikan sampel memaknai kerusuhan dengan cara yang berbeda. Kompas memaknai kerusuhan ini sebagai kerusuhan antara rakyat dan penguasa ekonomi, oleh karena itu yang dijadikan sasaran adalah simbol kekuasaan ekonomi. Media Indonesia melihat kerusuhan Mei sebagai kerusuhan antara rakyat dengan penguasa, oleh karena itu sasaran kerusuhan adalah kekuasaan negara dan kekuasaan ekonomi. Republika membaca kerusuhan Mei sebagai perseteruan antara rakyat dan penguasa sebagai kelanjutan dari tragedi Trisakti. Penyebab kerusuhan juga dibaca secara berbeda oleh 3 surat kabar yang dijadikan sampel. Kompas menilai penyebab kerusuhan adalah masalah ekonomi, etnis dan agama. Media Indonesia lebih menitik beratkan pada keadilan ekonomi dan masalah etnis. Sedangkan Republika hampir sama dengan Kompas yaitu masalah keadilan ekonomi, etnis dan agama. Mekanisme produksi dan reproduksi simbol rasis pada Kompas, Media Indonesia dan Republika memiliki pola yang hampir sama. Media melakukan konstruksi sosial yang menampilkan imaji bahwa etnis Cina merupakan kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan kultural dengan pribumi. Dalam konstruksi tersebut nilai-nilai yang dianut pribumi selain dianggap baik sebaliknya nilai yana dianut etnis Cina dianggap kurang baik. Konstruksi yang dilakukan media disini adalah bahwa Cina adalah etnis yang memiliki nilai menyimpang atau dengan kata lain tidak waras. Selain itu etnis Cina bersifat tamak. Citra lain yang dibangun media kelompok masyarakat yang bersikap eksklusif, tidak mau berbaur dengan kelompok lain. Etnis Cina juga digambarkan memiliki nilai yang senang berkolusi, tidak jujur. Etnis Cina jarang ditampilkan sebagai narasumber. Dalam kasus perkosaan narasumber saksi dari etnis Cina dari masalah perkosaan hanya ada di Media Indonesia, teknik rasis dalam pemberitaan media juga dilakukan melalui lambatnya pemberitaan. Dalam kasus perkosaan pemberitaan media sangat terlambat. Sebutan yang diberikan oleh media merupakan sebutan-sebutan yang bermakna meminggirkan.. Sebutan non-piribumi atau warga keturunan memiliki makna bahwa etnis Cina merupakan "the others''. Hubungan dominasi-sub ordinasi yang digambarkan Kompas, Media Indonesia dan Republika juga memiliki pola yang hampir sama. Pribumi merupakan kelompok dominan (karena dari segi jumlah memang dominan) yang mampu memproduksi wacana rasis dalam konteks kultural. Wacana bahwa etnis Cina memiliki nilai yang kurang jujur, kolutif lebih banyak diproduksi oieh kelompok pribumi. Dilain pihak, etnis Cina walaupun jumlahnya minoritas, tetapi penguasaan asetnya bersifat mayoritas. Karena kemampuannya dibidang perdagangan lebih tinggi etnis Cina merasa superior dalam bidang perdagangan dan menganggap rendah kemampian pribumi. Wacana ini muncul dalam sebutan ?mampukan pribumi menggantikan peran etnis Cina dalam jalur distribusi'. Aplikasi teori yang disumbangkan dari penelitian ini adalah bahwa penggambaran yang berbeda tentang kerusuhan Mei tersebut diatas berbeda dengan teori yang dibangun oieh penganut strukturalis tentang proses pembentukan makna. Penganut strukturalis percaya bahwa makna yang menang adalah makna yang diproduksi oleh kelompok dominan. Dalam potret kerusuhan Mei 1998, 3 surat kabar sampeI ada dibawah sistem dominasi yang sama, tetapi kenyataannya makna yang ditampilkan oleh 3 surat kabar sampel tentang kerusuhan Mei 1998 berbeda. Oleh karena itu peneliti ingin mengajukan asumsi yang berbeda dengan pengikut strukturalis, bahwa dalam memproduksi makna terdapat hal lain yang mempengaruhi pembentukan makna selain ideologi dari kelompok dominan yang menguasai wacana. Ideologi yang dianut oleh organisasi media (yang tentunya berpengaruh pada pekerja media) memberi peran dalam pembentukan makna."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Nurmaya Oktarina
"ABSTRAK
Dongeng putri yang diproduksi oleh Disney telah menjadi salah satu jenis cerita yang membuat perusahaan Disney sangat terkenal. Stereotip putri-putri yang diproduksi oleh Disney pada awalnya berkulit putih. Seiringnya waktu, Disney mulai memfilmkan sebuah film animasi dengan putri yang lebih berwarna. Pada tahun 2009, Disney mengeluarkan putri ras Afrika-Amerika bernama Tiana melalui film The Princess and the Frog (2009). Namun ada ambiguitas yang tercermin dalam penggambaran karakter black dalam film ini. Untuk membantu menganalisis film ini, teori semiotikanya Barthes akan digunakan. Dengan teori tersebut penulis akan melihat bahwa di satu sisi Disney ingin menunjukan Amerika sudah “buta warna”. Film ini terlihat seperti sebuah cerminan yang dipercaya Disney benar dan ideal tentang masyarakat Amerika. Disisi lain, dalam cerminan masyarakat yang ideal ini, black masih tergambarkan dalam strata sosial bawah. Dari sini kita dapat melihat bahwa gagasan “semua manusia diciptakan sederajat” yang tertuliskan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika, tidak sepenuhnya diterapkan dalam masyarakatnya.

ABSTRACT
Disney princess fairytales have been one of the genres that made the Disney company so famous. At first, Disney princesses were stereotyped as white skinned. As time goes by, Disney started filming animated movies with more colored princesses. In 2009, Disney released a movie based on an African-American princess named Tiana through the movie „The Princess and the Frog‟ (2009). Ambiguities that tends to be racist are still deplicted in the film. To help analyzing this movie, Barthes‟ semiotics theory will be used. By using that theory, the writer will see that in one hand Disney is trying to convey that America has become “color blind”. This movie tends to picturize a reflection what Disney believe is true and ideal about the American society. On the other hand, inside that ideal society, blacks are still pictured as lower class. Here we see that the notion “all men are created equal” which is written in the declaration of Independence, is not fully implemented in the American society."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Garner, Steve
Los Angeles: Sage, 2017
305.8 GAR r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Rana Hanifa
"Cuplikan atau unggahan mengenai 'Karen' dapat ditemukan di berbagai platform media sosial oleh pengguna Internet. Melalui video TikTok 'Karen' yang diambil dari akun bernama @CalvinLee, artikel ini mengkaji reaksi penonton terhadap rasisme oleh 'Karen' dan bagaimana reaksi tersebut meredefinisi label 'Karen' itu sendiri serta identitas dari orang Amerika dalam keseluruhan narasi. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan etnografi virtual, hasil penelitian secara lebih lanjut dijelaskan menggunakan Emotional Broadcast Theory (EBT) of Social Sharing oleh Harber & Cohen (2005) dan Reader’s Reception Theory oleh Hall (1973). Penelitian ini menyimpulkan bahwa mengekspos identitas/informasi pribadi (doxing) 'Karen' di Internet berfungsi sebagai pengawasan sosial terhadap perilaku masyarakat serta menjadi salah satu cara untuk melawan rasisme melalui perilaku penonton dalam bereaksi terhadap unggahan tersebut.

Many footages or posts of ‘Karen’ can be found all across social media, shared by different Internet users. Through a TikTok video of ‘Karen’ taken from @CalvinLee’s TikTok account, this article examines the audience’s reactions to racism by ‘Karen’ and how those reactions redefine the label ‘Karen’ itself as well as finding the significance in the questioning of who can be considered as Americans toward the whole narrative. Using the qualitative research method with a virtual ethnography approach, the research findings will be elaborated through the Emotional Broadcast Theory (EBT) of Social Sharing by Harber & Cohen (2005) and the Reader’s Reception Theory by Hall (1973). This paper concludes that exposing ‘Karen’ on the Internet functioned as social surveillance of society’s behavior. It is also a way of resisting racism, which is the main issue behind the image of ‘Karen’ through the audience’s behaviors in reacting to the event."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Kristanty
"Penelitian ini mengetengahkan rasisme yang terdapat dalam film "Crash" berdasarkan sudut pandang khalayak film, yakni melihat pemaknaan khalayak, khususnya masyarakat kalangan menegah atas atau lebih tepatnya di lihat berdasarkan Reception Studies. Di mana dalam penelitian ini berusaha menunjukkan bahwa khalayak tidak mudah didominasi pesan media massa klmsusnya dalam hal ini adalah pesan dalam film yang dibuat oleh kreator film, karena setiap khalayak memiliki kemampuan untuk memproduksi makna. Dalam hal ini khalayak dianggap sebagai khalayak aktif dan bukan khalayak pasif.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, pendekatan kualitatif, yakni dengan metode penelitian etnografi serta sifat penelitian deskriptif. Dengan menggunakan metode pengumpulan data wawancara mendalam terhadap para informan., diketahui bahwa para informan tidak mengintemalisasi rasisme ke dalam kehidupan sehari - hari mereka, berkaitan dengan pemaknaan., maka pemaknaan inforrnan selaku khalayak film "Crash" terbagi atas pemaknaan dominan, negosiasi dan oposisi. Hasil yang diperoleh berdasarkan wawancara mendalam adalah bahwa para informan memaknai film "Crash" berhasil merepresentasikan rasis yang terjadi di Amerika, namun beberapa adegan film tersebut ada yang dilebih - lebihkan sehingga film "Crash" dimaknai berupaya menyebarluaskan ideologi Amerika yai!u E Pluribus Unum selaigus membentuk image Amerika sebagai savior of all man kind.
Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya bidang kajian pemaknaan dan media massa, di mana khalayak memiliki kemampuan untuk memaknai pesan dengan menggunakan batas idealisme mereka masing masing dan agar penelitian ini menjadi edukasi bagi para khalayak film khususnya, bahwa f.tlm terkadang bermuatan ideologi yang dikemas begitu apik sehingga membentuk kesadaran palsu khalayaknya.

The purpose of this research is to describe audience reception s about racism which there are in film "Crash", specially in the upper class society or more precisely seeing pursuant to Reception Studies. This research try to indicate that audience do not easy to predominated by message of mass media specially in this case is message in made by film creator's, because every audiences has different ability to produce meaning. In this case the audiences considered to be active audiences and non passive audiences.
In this case, the audience is considered as the active audience and not passive audience. Research using this paradigm constructivism, a qualitative approach, namely with the ethnographic research methods and descriptive nature of the research. By using the method of data-depth interviews of the informants, it is known that the informant does not deepens racism in everyday life - their day, associated with meaning, the informants as the audience perceptive film "Crash" divided up perceptive dominant, negotiation and opposition. Results are based on depth interviews is that the informant perceptive film "Crash" represents racism successfully going on in America, but some scenes the film is tall - so thick film "Crash" mean attempt disseminate American ideology that is E Pluralists Unum at once form the image United States as the savior of all man kind.
Hopefully this research can enrich study area of reception studies and mass media, where the audiences have ability to mean message by using their idealism boundary and this research can be educated all audiences, because sometimes the film can make the audiences have false consciousness, this is because the film is potentially to share the ideology where is tydi with the plot and acting an actress and an actor, and also the visual effect in the film.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T29164
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diva Azahro Rahmani
"Rasisme terhadap orang Cina di Prancis bukanlah hal yang baru. Namun, dengan disinyalir penemuan kasus Covid-19 pertama di Cina yang menjalar dan melanda pandemi di seluruh dunia, rasisme terhadap orang Cina di Prancis bertambah dalam bentuk ujaran kebencian secara daring. Hal ini seiring dengan adanya peningkatan tinggi dalam penggunaan media sosial Twitter selama pandemi di Prancis. Artikel ini bertujuan untuk meneliti siapa, mengapa dan bagaimana ujaran kebencian terhadap orang Cina di Prancis berlangsung dalam media sosial Twitter. Dengan metodologi kualitatif, teori Analisis Wacana Kritis dan konsep us versus them oleh Van Dijk, korpus yang diteliti adalah tiga cuitan dari tiga akun yang berbeda dan dipilih atas dasar kandungan kata kunci serta jumlah retweets atau pengulangan dan likes terbanyak. Hasil dari penelitian menemukan bahwa walaupun dilanda krisis kesehatan, ujaran kebencian anti-Cina tahun 2020 tidak didasari oleh masalah kesehatan, melainkan efek samping dari pandemi. Mereka yang menyebar ujaran kebencian adalah akun-akun anonim yang didorong oleh xenophobia dan terganggunya kegiatan yang mereka gemari, khususnya sepak bola. Selain itu, ujaran kebencian juga dilakukan untuk mempertahankan keaslian, keberlangsungan dan hak asasi ingroup masing-masing. Ujaran kebencian tersebut diekspresikan dalam bentuk majas hiperbola, sarkasme, ancaman, serta penggunaan foto reaction meme.

Anti-Chinese racism in France is not a new phenomenon. However, with the emergence of Covid-19 in China, which eventually spread and caused a worldwide pandemic, racism against Chinese people in France has increased rapidly in the form of online hate speech. Such an increase is simultaneous with the spurge in the use of social media Twitter during the 2020 pandemic in France. This article aims to examine who, why and how hate speech against Chinese people in France takes place on Twitter. Using a qualitative research methodology, the theory of Critical Discourse Analysis and the Us versus Them concept by Van Dijk, the corpus used in this paper are three different tweets from three different accounts, and were selected based on keywords and highest number of retweets and likes. The results of the study found that despite the health crisis, hate speech was never really rooted from health-related issues, but rather from the side-effects of the pandemic. Those who spread hate speech were all anonymous accounts, and were driven by xenophobia and the pause of activities which users are passionate about, such as football. Moreover, hate speech is also expressed to maintain the authenticity, continuity and rights of attackers’ respective ingroups. Hate speech online is expressed through the use of hyperboles, sarcasm, threats and the use of reaction meme pictures.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Thara Nadhifa Zakirah
"Perkembangan eksponensial gim video dalam budaya populer telah menarik perhatian cendekiawan selama bertahun-tahun. Dibanding media lain, gim video unik karena mereka memberikan pengalaman interaktif untuk para pemain dengan cara memberi pemain kekuasaan untuk memilih. Keberadaan mitologi dan sistem kepercayaan dalam gim video telah diperdebatkan sebagai peran yang penting, di mana mitologi dan sistem kepercayaan bertindak sebagai referensi yang menjadi dasar gim itu sendiri.Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana sistem kepercayaan utama di Dragon Age: Origins (2009) saling berhubungan dengan hirarki ras dalam game. Narasi dan mekanik dalam him dipelajari guna menunjukkan dengan tepat hubungan lembaga agama dengan rasisme. Hasil temuan menunjukkan bahwa ada hubungan yang kompleks antara rasisme dan lembaga agama. Dari waktu ke waktu, studi soal rasisme berlandaskan agama dan pemahaman kita akan religiusitas berkembang. Meskipun tidak ada korelasi eksplisit yang menyatakan bahwa lembaga agama dan rasisme itu berkaitan, bukan berarti keduanya sepenuhnya tidak terkait. Kita harus berhati-hati untuk tidak menentang agama itu sendiri, tetapi mengkritik dinamika lain yang ikut bermain seperti kekuasaan dan harta.

The exponential growth of video games in popular culture has been piquing scholars' attention for years. Video games are unique compared to other media as they provide interactive experience for the users by giving them the power to choose. It has been argued that mythologies and belief systems play an important role in video games, wherein they act as referents to which video games are based on. This study aims to research how the major belief system in Dragon Age: Origins (2009) is interconnected with the in-game racial hierarchy. Using textual analysis as the method, the game narrative and mechanics are studied in order to pinpoint the connection between institutionalized religion and racism. The findings show that there are complex relations between racism and institutionalized religion. Through time, the study of religious racism and our understanding of religosity evolved. Although there are no explicit positive corelation between the two, it is not entirely unrelated either. We must be careful to not to oppose religion itself, but to criticize the other dynamics that come into play such as power and money."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Verina
"Sebuah iklan memainkan peran penting dalam bisnis untuk mencapai pasar targetnya dan membuat pembeli potensial membeli produknya. Namun, dibutuhkan berbagai pendekatan untuk menyampaikan pesan di balik suatu produk. Procter & Gamble (P&G) mengambil pendekatan yang berbeda dalam membuat iklan yang membahas isu rasisme terhadap orang kulit hitam. Iklan yang dirilis pada tahun 2017 dengan judul "The Talk" merupakan iklan advokasi yang menunjukkan sikap perusahaan terhadap isu-isu tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana P&G menggambarkan diskriminasi rasial dan kekerasan terhadap orang kulit hitam dengan mengungkapkan strategi yang disebut "the talk". Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan tindakan ilokusi oleh Searle (1979) untuk menemukan tindakan ilokusi dominan yang diucapkan oleh ibu-ibu kulit hitam di dalam iklan. Penelitian ini juga menganalisis komponen visual dengan menggunakan analisis wacana multimodal dari Kress dan van Leeuwen (2006), dengan tujuan memahami bagaimana mereka menggambarkan perjuangan orang kulit hitam dari satu era ke era lainnya. Penelitian ini menemukan bahwa tindakan ilokusi yang dominan adalah ketegasan karena dalam percakapannya, para ibu berusaha mengingatkan anak-anak mereka tentang apa yang benar dan salah dalam hidup. Penggunaan analisis wacana multimodal dalam penelitian ini, terutama analisis visual, mengkonfirmasi bahwa isu-isu diskriminasi rasial dan kekerasan memiliki dampak besar pada para ibu karena mereka merasa cemas tentang keselamatan dan kesejahteraan emosional anak-anak mereka.

An advertisement plays a significant role in the business in order to reach its target market and make their potential buyers purchase the products. However, it needs various approaches to communicate the message behind a product. Procter & Gamble (P&G) takes a different approach to making an advert that speaks out on the issues of racism against black people. The ad released in 2017 called The Talk is an advocacy advertisement, showing the company's stance toward the issues. This study aims to examine how P&G portrays the racial discrimination and violence against black people by revealing the strategy called “the talk.” To achieve the aim, this study uses illocutionary acts by Searle (1979) to find the dominant illocutionary act uttered by black mothers. This research additionally analyzes the visual components employing Kress and van Leeuwen’s (2006) multimodal discourse analysis, aiming to understand how they depict the struggles of black people from one era to another. This study finds that assertiveness is the dominant illocutionary act since in their talk, the mothers try to remind their children about what is right and wrong in life. The use of multimodal discourse analysis in this study, especially the visual analysis, confirms that the issues of racial discrimination and violence have huge impacts on the mothers as they feel anxious about their children’s safety and emotional well-being. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fredrickson, George
Yogyakarta: Bentang, 2005
305.89 Fre r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>