Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171689 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shaogi Syam
"Latar belakang: Panduan Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 memisahkan derajat spirometrik (GOLD 1234) dari grup ABCD untuk mempertajam diagnosis, prognosis dan pengobatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Hipereaktivitas bronkus (HBR) merupakan tanda khas penyakit asma yang juga ditemukan pada PPOK. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi HBR pada pasien PPOK stabil menurut pengelompokkan GOLD 2017.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada 80 subjek PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik asma PPOK RS Persahabatan sejak bulan Mei 2018 hingga Maret 2019. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan pemeriksaan spirometri (VEP1/KVP <0.7) pasca uji bronkodilator. Hipereaktivitas bronkus dikonfirmasi menggunakan PC20 (Provocative Concentration 20) pada uji provokasi bronkus menggunakan zat metakolin <4 mg/ml (VEP1 ≥ 20%) yang dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Prevalens HBR pada PPOK dalam penelitian ini sebesar 73,7% (59/80) dengan proporsi 69,7% (46/66) subjek laki-laki dan 92,9% (13/14) subjek perempuan. Hipereaktivitas bronkus ditemukan paling banyak pada grup PPOK B dan D (27,1% dan 33,9%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan paling banyak di grup A dan D (11,25% dan 17,5%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan pada grup B (11,25%). Derajat keterbatasan aliran udara ditemukan paling banyak pada GOLD 2 dan 3 (40,7% dan 44,1%). Hipereaktivitas bronkus derajat ringan ditemukan pada GOLD 2 (20%) sementara HBR derajat sedang hingga berat ditemukan sama pada GOLD 2 dan 3 (16,25%).

Background: The Global Initiative of Chronic Lung Disease (GOLD) 2017 has separated spirometric grades (GOLD 1234) from the symptom groups (ABCD) to improve diagnosis, outcome and therapy for chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patients. Bronchial hyperreactivity (BHR) is thought to be a hallmark of asthma, yet it has been observed to occur in COPD.This study was to identify BHR in stable COPD patients according to GOLD 2017 grouping.
Methods: This cross-sectional study observed 80 stable COPD patients treated at asthma-COPD clinics in Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between May 2018 and March 2019. Diagnosis of COPD was done by spirometry (post-bronchodilator test FEV1/FVC<0.7). Bronchial hyperreactivity was confirmed by PC20 (Provocative Concentration 20), a bronchial challenge test using methacoline <4 mg/mL (FEV1 drop ≥20%). These were performed in all subjects within the inclusion criteria.
Results: Prevalence of BHR in COPD was 73.7% (59/80), wherein 69.7% (46/66) males and 92.9% (13/14) females were BHR in COPD. Bronchial hyperreactivity was found mostly in Group B and D (27.1% and 33.9, respectively). Mild BHR was found mostly in Group A and D (11.25% and 17.5%, respectively) while moderate to severe BHR were found in Group B (11.25%). Airflow limitation was found mostly in GOLD 2 and 3 (40.7% and 44.1%, respectively). Mild BHR was mostly found in GOLD 2 (20.0%) while moderate to severe BHR were equally found in GOLD 2 and 3 (16.25%, both).
Conclusion: Prevalence of BHR in stable COPD patients was 73.7% and mild BHR was common in stable COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafiz
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) merupakan salah satu penyebab terbanyak batuk kronik dan menjadi faktor risiko terjadinya eksaserbasi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), menurunkan kualitas hidup dan memperparah gejala respirasi dan pencernaan. Total 40 pasien diikutkan pada penelitian ini. Pasien diambil secara konsekutif dari poliklinik asma PPOK di RSUP Persahabatan dimulai dari bulan Mei 2017. Diagnosis PPOK berdasarkan GOLD 2017 yaitu nilai spirometri VEP1/KVP pasca bronkodilator < 0.7. Diagnosis PRGE menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas apabila ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Kriteria eksklusi yaitu eksaserbasi dan kelainan esofagus yang sudah diderita sebelumnya.
Metode: Penelitian ini adalah potong lintang pada pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan mulai bulan Juli sampai Nopember 2017. Sebanyak 40 pasien dipilih secara konsekutif sejak bulan Mei 2017. Pemeriksaan berupa wawancara, spirometri dan endoskopi dilakukan pada semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mengikuti penelitian sebanyak 40. Prevalens PRGE pada PPOK adalah 40% (16/40). Tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua grup berdasarkan usia, jenis kelamin, Indeks Brinkman (IB) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keterbatasan aliran udara yang lebih berat dan nilai spirometri pascabronkodilator yang lebih rendah memiliki kecenderungan terjadinya PRGE lebih besar walaupun secara statistik tidak bermakna. Rerata pasien berusia lanjut dan mempunyai riwayat merokok. Eksaserbasi dan skor CAT berhubungan secara bermakna (p < 0.05) dengan kejadian PRGE. Penggunaan obat-obatan PPOK seperti LABA, LAMA dan SABA tidak berubungan bermakna dengan PRGE. Gejala dada terbakar (heartburn) bermakna secara statistik (p < 0.05) sebagai tanda PRGE.
Kesimpulan: Prevalens PRGE cukup tinggi pada pasien PPOK dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pasien bukan PPOK dengan gejala dispepsia di Jakarta. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan PRGE sebagai salah satu komorbid yang penting pada PPOK. Penelitian kohort dan strategi pencegahan disarankan untuk dilakukan selanjutnya.

Background/Aim: Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the most common causes of chronic cough and is a potential risk factor for exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD), decreasing quality of life in COPD patients, aggravating symptoms both respiratory and gastro-intestinal. Total 40 patients were recruited consecutively from the outpatient of Asthma and COPD clinic at Persahabatan hospital Jakarta started from May 2017. The diagnosis of gastroesophageal reflux disease (GERD) was based on the mucosal break on the esophageal lining through endoscopic examination. Exclusion criteria were COPD exacerbation and known esophageal disease.
Methods: This is a cross sectional study among stable COPD patients who visited asthma-COPD clinics at Persahabatan Hospital from July to November 2017. 40 patients were recruited consecutively started from May 2017. Interview, spirometry and endoscopy performed to all subjects who meet the inclusion criteria.
Results: A total 40 subjects were enrolled in our study. Prevalence of GERD in COPD was 40%. There was no significant difference between the two groups regarding age, sex, Index Brinkman (IB) and Body Mass Index (BMI), although in the RE group has a slightly higher BMI. More severe airflow obstruction tends to increase in GERD group although no significant statistical difference Most patients were elderly and smoker/ex. Exacerbation and CAT score were significantly associated with GERD (p<0.05). Post BD spirometry showed greater airway and severe COPD tends to also had GERD similar to results of other studies. Respiratory medication such as ICS + LABA, LAMA and SABA statistically insignificant with GERD. Heartburn as a symptom showed statistically significant to predict GERD (p < 0.05).
Conclusion: Prevalence of GERD was high in COPD patient and even higher than previously reported in general patient with dyspepsia syndrome in Jakarta. Physician should consider GERD as one of the most important comorbidities in COPD. Cohort study and preventive strategy are warranted in the future.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iris Rengganis
"Pada pengobatan asma bronkial diperlukan penilaian derajat berat asma. Hal tersebut
biasanya dilakukan dengan mengukur hiperreakfrfitas bronkus. Tetapi oleh karena sarana tersebut di rumah sakit tipe C belum tersedia, maka salah satu cara yang digunakan adalah menghitung jumlah eosinofil total darah tepi. Hal ini dilakukan atas dasar adanya hubungan antara eosinofil dan hiperreaktifitas bronkus. Arus Puncak Ekspirasi berhubungan dengan derajat berat asma. Oleh karena itu diteliti apakah eosinofil total darah tepi berhubungan dengan Arus Puncak Ekspirasi. Sebagai langkah pendahuluan
dilakukan penelitian pada 60 penderita asma bronkial untuk melihat apakah eosinofil total darah tepi dapat menjadi tolok ukur derajat berat asma. Penelitian ini bersifat cross-sectional, dilakukan pada 30 penderita asma daiam serangan
yang datang ke Instalasi Gawat Darurat Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo dan 30 penderita asma yang tidak dalam serangan yang berobat
jalan ke Poliklinik Alergi-lmunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, untuk melihat hubungan antara eosinofil total darah tepi dan Arus
Puncak Ekspirasi. Pada kelompok penderita asma tidak dalam serangan dilakukan
pengamatan selama empat minggu dan pada kelompok penderita asma dalam serangan
hanya dilakukan satu kali pemeriksaan mengingat tingginya angka drop-out. Setiap
penderita diperiksa eosinofil total darah tepi dan Arus Puncak Ekspirasi. Jumlah eosinofil pada penderita asma dalam serangan berkisar antara 290-382/pl
(335,67+127,31) dan pada penderita asma tidak dalam serangan antara 162-182/pl
(172,65+27,79). Nilai Arus Puncak Ekspirasi pada penderita asma dalam serangan
berkisar antara 22-32% (27,35±13,18) dan pada penderita asma tidak dalam serangan
antara 68-71% (69,73±4,52). Terdapat hubungan terbalik antara eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi, tetapi korelasinya lemah (r=-0,53 , R2=0,28 dan p<0,001). Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meyakinkan hubungan eosinofil total darah tepi dengan Arus Puncak Ekspirasi pada asma bronkial dengan sampel yang lebih besar dan diikuti secara longitudinal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Yusrika
"ABSTRAK
Latar belakang: Kapasitas difusi paru berdasarkan karbon ke sirkulasi pulmoner. Nilai DLCO prediksi pada asma cenderung normal atau sedikit monoksida (DLCO) didesain untuk mengukur laju perpindahan gas CO dari alveolus meningkat sedangkan pada PPOK kapasitas difusi cenderung menurun akibat emfisema. Sindrom tumpang-tindih asma-PPOK dinyatakan sebagai entitas yang unik dengan kombinasi karakteristik asma dan PPOK. Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui nilai DLCO pada pasien tumpang tindih asma- PPOK (TAP) di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Uji DLCO dengan metode napas tunggal dan beberapa pemeriksaan penunjang lainnya telah dilakukan pada 40 pasien yang terdiagnosis sebagai TAP. Diagnosis TAP pada subjek penelitian ditegakkan menggunakan kriteria pedoman GINA/GOLD 2017. Kriteria akseptabilitas dan reprodusibilitas DLCO napas tunggal dinilai menggunakan kriteria dari ATS/ERS 2017. Hasil uji DLCO disajikan dalam nilai mutlak dan nilai persen prediksi.
Hasil: Rerata nilai DLCO mutlak dan %DLCO prediksi yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 17.98 ± 5.37 mL/menit/mmHg dan 84.16 ± 18.29%. Jika menggunakan persamaan penyesuaian DLCO berdasarkan kadar hemoglobin didapatkan nilai %DLCO prediksi sedikit meningkat dibanding sebelumnya, 85.17 ± 18.04%. Terdapat 10 subjek (25.0%) yang mengalami penurunan nilai DLCO. Enam diantaranya mengalami penurunan ringan dan empat lainnya mengalami penurunan sedang.
Kesimpulan : Rerata nilai DLCO pada subjek TAP di RSUP Persahabatan Jakarta dapat diinterpretasikan normal, lebih menyerupai asma dibandingkan PPOK. Hasil ini juga mengindikasikan kebanyakan pasien TAP dalam penelitian ini tidak mengalami penurunan luas permukaan alveolar yang mengganggu proses difusi.

ABSTRACT
Background: Diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) was designed to measure transfer rate of carbon monoxide from alveoli to pulmonary circulation. As we know, DLCO predicted value in asthma proved to be normal or slightly elevated. On contrary it decreased in COPD with emphysematous pattern. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap (ACO) declared as a unique entity with combined characteristics between asthma and COPD. The aim of the research is to find out DLCO value of ACO patient in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Method: We have conducted single-breath DLCO and other required test to 40 patients diagnosed with ACO using GINA/GOLD 2017 guidelines. The acceptability and reproducibility of single-breath DLCO was done according to ATS/ERS 2017 criteria. The result then presented as absolute value and percent predicted value.
Results: The mean DLCO of our patient is 17.98 ± 5.37 mL/minute/mmHg with percent predicted value is 84.16 ± 18.29%. Using adjusted DLCO equation for hemoglobin, we found that the value is slightly increased, 85.17 ± 18.04%. However, we found 10 patient (25.0%) with DLCO decrease. Six of them have DLCO predicted value <75% (mild-decrease) and four of them have DLCO predicted value <60% (moderate-decrease).
Conclusion: The mean DLCO value of patient with ACO in our hospital can be interpreted as normal, similar with asthma, rather than COPD. It also indicate most of our patient did not have alveolar loss that altering diffusion process."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vebiyanti Tentua
"Latar belakang : Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit kronik yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif, yang dapat digunakan untuk menilai kadar sitokin-sitokin proinflamasi pada pasien PPOK berdasarkan GOLD 2017.
Metode penelitian : studi potong lintang dengan melibatkan 77 subjek pasien
PPOK stabil yang tidak eksaserbasi dalam 4 minggu terakhir dan berobat di poli asma-PPOK serta menyetujui informed consent. Pasien ini dilakukan wawancara dengan skoring CAT dan mMRC dan dilakukan pemeriksaan fisis serta mengambil data foto toraks atau CT Scan toraks pasien kemudian data spirometri terakhir diambil untuk mendiagnosis pasien tersebut PPOK. Pasien lalu digolongkan derajat PPOK stabilnya berdasarkan kriteria GOLD 2017, dan diambil sampel uji kondensasi udara napas untuk diperiksakan kadar sitokin interleukin (IL) -6, 8, 13 dan tumor necrosis factor (TNF)-α di laboratorium IMERI dengan pemeriksaan ELISA untuk masing-masing sitokin.
Hasil: Interleukin 8 dapat terdeteksi pada 8 (10,4 %) pasien dari jumlah 77 pasien
dengan nilai rata-rata 2,4 pg/mL, sedangkan kadar IL-13 dan TNF-α hanya terdeteksi pada 1 (1,3 %) pasien dengan nilai IL-13 6,912 pg/mL dan TNF-α 8,766 pg/mL. Kadar IL-6 terdeteksi pada 71 (92,2 %) pasien PPOK stabil dengan nilai rata-rata 0,7 pg/mL. Tidak ada hubungan antara kadar IL-8, IL-6, IL-13 dan TNF- α dengan derajat PPOK (p > 0,05), meskipun kadar IL-8 dan IL-6 ditemukan mengalami peningkatan pada masing-masing kelompok PPOK. Hanya satu pasien ditemukan semua kadar sitokinnya terdeteksi yang setelah ditelusuri, pasien
tersebut memiliki jumlah eosinofil darah 1120 /ÅμL dan nilai CRP darah 5,8 mg/L.
Kadar TNF-α dan IL-13 pada penelitian ini memiliki hubungan bermakna dengan
status merokok pasien (p = 0,00).
Kesimpulan: Uji kondensasi udara napas merupakan metode non invasif yang dapat digunakan pada pasien PPOK stabil untuk menilai kadar sitokin proinflamasi pada pasien PPOK stabil.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a chronic systemic inflammatory disease which is associated with high morbidity and mortality rates. The exhaled breath condensation (EBC) test is a non-invasive test method to assess pro-inflammatory cytokines levels in COPD patients based on GOLD 2017.
Methods: We performed a cross-sectional study involving 77 subjects with stable COPD who had not exacerbated in the past 4 weeks and treated at asthma-COPD outward clinic in Persahabatan National Respiratory Referral Hospital. Subjects were interviewed with CAT and mMRC scoring system and were examined for their radiographic imaging by chest x-ray or CT. Patients were classified as stable COPD levels based on the GOLD 2017, and EBC were examined for levels of interleukin (IL) -6, 8, 13, and tumor necrosis factor (TNF)-α using ELISA methods.
Results: Interleukin 8 was detected in 8 (10.4%) patients out of 77 patients with an average value of 2.4 pg/mL, whereas IL-13 and TNF-α levels were only detected in 1 (1.3%) patient at 6.912 pg/mL and TNF-α 8.766 pg/mL, respectively. IL-6 levels were detected in 71 (92.2%) with average value of 0.7 pg/mL. There were no relationship between IL-8, IL-6, IL-13 and TNF-α levels with COPD degrees (p> 0.05), although IL-8 and IL-6 levels were found to be increased in each COPD group. Only one patient presented with all cytokine detected whose had a blood
eosinophil count of 1120 /ÅμL and a blood CRP level of 5.8 mg/L. TNF-α and IL-
13 levels in this study were correlated with the subject's smoking status (p = 0.00).
Conclusion: The EBC test is a non-invasive method that can be used in stable COPD patients to assess pro-inflammatory cytokines levels in stable COPD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Pranindya Sari
"Pendahuluan: Neutrofil merupakan sel inflamasi yang diyakini berperan pada patogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Telah terdapat bukti korelasi antara hambatan aliran udara pada pasien PPOK dengan kadar neutrofil sputum. Penelitian beberapa tahun terakhir membuktikan nilai rasio neutrofillimfosit (RNL) dan protein C-reaktif (CRP) dari darah perifer berpotensi menjadi petanda inflamasi sistemik, tidak terkecuali PPOK. Beberapa penelitian membuktikan nilai RNL dan CRP lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding orang normal. Begitu pula saat kondisi eksaserbasi, nilai RNL dan CRP lebih tinggi daripada kondisi stabil. Selain itu terdapat bukti korelasi antara hasil spirometri dengan nilai RNL dan CRP. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa nilai RNL dan CRP dapat menjadi suatu penilaian yang layak diperhatikan dalam PPOK.
Tujuan: Memperoleh data mengenai nilai RNL dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi dan stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Metode: Analisis observasional kohort prospektif di RS Persahabatan, Jakarta Indonesia sebanyak 31 sampel dari Juli 2018 hingga Desember 2018. Kami mengikutsertakan 31 pasien PPOK eksaserbasi untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan darah dan membandingkan hasil pemeriksaan pasien yang sama pada kondisi stabil.
Hasil: Petanda inflamasi yang diperiksa pada penelitian ini RNL dan CRP keduanya menunjukkan penurunan kadar pada kondisi stabil, bertutut-turut dari 7,95 ± 6,8 menjadi 4,6 ± 5,5 dan 43,4 ± 71 menjadi 12,2 ± 18,5 dengan nilai p < 0,01. Didapatkan pula korelasi negatif yang bermakna antara RNL dan nilai VEP1/KVP pada kondisi eksaserbasi. Nilai CRP menunjukkan korelasi negatif hanya dengan VEP1 pada saat eksaserbasi. Di samping itu, terdapat pula subjek penelitian dengan nilai CRP yang sangat tinggi pada saat eksaserbasi, meninggal dunia dalam kurun waktu dua bulan setelah eksaserbasi.
Kesimpulan: Nilai RNL dan CRP pada subjek dengan PPOK lebih tinggi pada kondisi eksaserbasi dan mungkin dapat menggambarkan status eksaserbasi pada pasien PPOK.

Introductions: Although COPD has been believed to be characterized by respiratory disease, currently limited study conducted to evaluate inflammation markers and exacerbation rate in COPD by noninvasive method. We observed the COPD severity, future exacerbation by using peripheral blood test. We did a prospective cohort study to observe the alteration of Neutrophyl-Lymphocyte Ratio (NLR) and C-reactive protein (CRP) in COPD patients to find any possible correlation with COPD exacerbation status.
Aims: To study the value of NLR and CRP of COPD patients during exacerbation and stable in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Starting from July to December 2019, a prospective cohort study was performed with blood and pulmonary function test in 31 COPD patients in two different conditions: during exacerbation and stable. The mean of both inflammation markers was compared and correlated them with pulmonary function test.
Results: Both inflammation markers NLR and CRP value decreased during stable condition (from 7,95 ± 6,8 to 4,6 ± 5,5 and 43,4 ± 71 to 12,2 ± 18,5) with p < 0,01 respectively. In addition, we also found a significant inverse correlation between NLR and FEV1/FVC during exacerbation but not during the stable condition, and CRP showed inverse correlation only with FEV1 during exacerbation. Another interesting finding was subject with very high CRP whose value remained above nomal limit during stable, died within 2 month after exacerbation.
Conclusions: NLR and CRP in COPD patients increased during exacerbation and may reflect lung function and exacerbation status in COPD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erry Prasetyo
"Latar belakang: Inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dominan disebabkan oleh neutrofil namun inflamasi dikarenakan eosinofil juga dapat terjadi pada PPOK. PPOK eosinofilik jika ditemukan eosinofil di sputum ≥3%. Peningkatan eosinofil dapat dideteksi di darah dan sputum.
Metode: penelitian ini menggunakan potong lintang dengan menggunakan data primer di poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional dari Juni 2019 sampai September 2019. Pemilihan subjek dilakukkan secara consecutive sampling dan dilakukan wawancara, pemeriksaan uji faal paru, pemeriksaan sputum dan darah eosinofil.
Hasil: total 74 sampel yang datang ke poli asma dan PPOK RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan terdapat 7 sampel sputum yang tidak terdapat leukosit dan hanya epitel sehingga didapatkan 67 sampel yang dianalisis (61 laki-laki dan 6 perempuan). Pasien dalam penelitian ini memiliki  rata-rata  usia 66,7±8,6 tahun. Pasien didominasi oleh pasien perokok dan bekas perokok sebesar 62 pasien (92,5%). Indeks Brinkman terbanyak adalah IB sedang dan berat sebanyak 48 pasien (71,6%). Derajat hambatan aliran jalan napas paling banyak pada GOLD III dan IV (68,7%). Median eosinofil darah pasien pada penelitian ini sebesar 280 sel/μL dengan rentang 0-1300 dan median eosinofil sputum 4% dengan rentang 0-47. Korelasi darah dan sputum pada penelitian ini sebesar 0,43
Kesimpulan: penelitian ini menggambarkan korelasi positif dengan kekuatan lemah antara eosinofil darah dan sputum pada pasien PPOK stabil

Background: Dominant Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) inflamation is neutrofil but eosinofilic inflammation for COPD can be occurred. Eosinopilic COPD is defined by increament of eosinophils in sputum ≥3%. Increament of eoshinophils can be shown in blood and sputum
Method: this study use cross sectional method from primary data at asma and PPOK clinic in National Referal Rspuratory Persahabatan Hospital. Subject were taken to participate in study in consecutive sampling basis and all patients were interviewed, lung function test and blood and sputum eoshinophils
Results: Total 74 patient have been recruited who came to asma and PPOK klinik in National Referal Respiratory Persahabatan Hospital. Seven sputum sample is not have the leukocyt but ephitel only. Total patients are 67 (61 male dan 6 female). The mean of age from this study is 66,7±8,6 years old. Most of pasien is smokers and former smoker about 62 patients (92,5%). Brinkman index from this study dominating moderate and severe about 48 patients (71,6%). Airflow limitations from this study are GOLD III and IV (68,7%). Median of blood eoshinophils of this study is 280 cells/μL (0-1300). Median of sputum eoshinophils in this study is 4% (0-47). Correlations of blood and sputum eoshinophils from this study is 0,43
Conclusion: this study shown positive correlations with weak power between blood and sputum eoshinophils.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Belia Fathana
"Latar Belakang : Merokok masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Merokok menjadi faktor risiko bagi penyakit kanker paru dan PPOK. Hubungan antara kanker paru dan PPOK masih terus dikaji. Komorbiditas PPOK pada kanker paru dapat mempengaruhi proses diagnostik, tatalaksana serta managemen akhir kehidupan pasien kanker paru.
Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang analitik yang dilakukan di poliklinik onkologi paru RSUP Persahabatan selama periode Agustus 2018 sampai dengan April 2019 terhadap pasien kanker paru kasus baru yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : terdapat 52 subjek yang diteliti dan didapatkan 76,9% adalah laki-laki dan perokok (71,2%), jenis kanker paru yang paling banyak ditemukan ialah kanker paru karsinoma bukan sel kecil (98,1%), sebagian besar stage 4 (88%) dan tampilan klinis 1 (50%). Prevalens PPOK berdasarkan pemeriksaan spirometri menurut kriteria PNEUMOMOBILE ialah 46,2% dan prevalens emfisema berdasarkan pemeriksaan CT-scan toraks ialah 30,8%.. Subjek kanker paru yang menderita PPOK 91,7% termasuk kedalam obstruksi derajat sedang (GOLD 2) serta memiliki kelainan faal paru campuran obstruksi dan restriksi ( 70,8%). Subjek yang menderita emfisema terbanyak menderita emfisema jenis sentrilobular (43,7%). Terdapat hubungan antara letak lesi sentral terhadap beratnya obstruksi yang diukur melalalui nilai VEP1 pada subjek PPOK dan emfisema.
Kesimpulan : PPOK pada kanker paru terutama ditemukan pada laki-laki, perokok serta jenis kanker yang paling banyak diderita ialah adenokarsinoma. Emfisema yang paling banyak diderita ialah jenis sentrilobular yang secara umum banyak didapatkan pada perokok.

Background: Smoking is one of risk factors in both of lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Comorbidity of COPD among lung cancer patients generally influenced outcome of their quality of life, diagnostic procedures, treatments, and end of life managements.
Methods:This analytical cross-sectional study involved newly diagnosed lung cancer cases admitted to the oncology clinics of Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia between August 2018 and April 2019. Patients who met the study criteria were consecutively included. Spirometric evaluation of airway obstruction and COPD was based on PNEUMOBILE and GOLD criteria. Radiological evaluation of emphysema was based on thorax CT-scan.
Results:Subjects were 52 lung cancer patients and most of them were males (76.9%) and smokers (71.2%). Most of them were diagnosed as non-small cell lung cancer (NSCLC) (98.1%), were in end-stage of the disease (88.0%) and were in performance status of 1 (50.0%). The prevalence of COPD and emphysema was 46.2% and 30.8%, respectively. Most of the COPD subjects (91.7%) experienced moderate airway obstruction (GOLD 2), along with mixed obstruction-restriction spirometric results (70.8%). Centrilobular emphysema was common (43.7%) radiological finding in this study. Degree of obstruction by spirometry (VEP1)and detection of central tumor lesion by thorax CT-scan in COPD and emphysema subjects was found to be correlated.
Conclusion:COPD in lung cancer was found in males, smokers, and NSCLC patients. Centrilobular emphysema was commonly found in this study, particularly in smoker sub-group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57647
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evelsha Azzahra
"Latar belakang dan tujuan: Sindrom metabolik merupakan penyakit komorbid yang sering ditemui pada pasien PPOK. Keadaan inflamasi sistemik diperkirakan mempengaruhi keadaan PPOK dan sindrom metabolik. Keterbatasan aktivitas, disfungsi otot rangka, dan penggunaan steroid juga merupakan penyebab penting sindrom metabolik pada PPOK. Sindrom metabolik pada PPOK dapat meningkatkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens sindrom metabolik pada PPOK stabil.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di poliklinik asma ndash; PPOK Rumah sakit umum pusat Persahabatan pada bulan Mei - November 2017 untuk melihat kejadian sindrom metabolik pada pasien PPOK. Enam puluh empat pasien PPOK di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan wawancara, pemeriksaan antopometri, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil : Sebanyak 64 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,3 . Usia rerata subjek adalah 65,81 9,38. Prevalens sindrom metabolik pada pasien PPOK sebesar 15,6 dengan GOLD 1 sebesar 20 , GOLD 2 sebesar 30 , GOLD 3 sebesar 40 dan GOLD 4 sebesar 10 . Ditemukan hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian sindrom metabolik pada PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin, usia, status merokok, hambatan aliran udara dan penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan kejadian sindrom metabolik pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan : Prevalens sindrom metabolik pada pasien PPOK dalam penelitian ini adalah sebesar 15,6 terutama ditemukan pada GOLD 3.

Background: Metabolic syndrome is a common comorbid disease in COPD patients. Systemic inflammatory conditions can affect the condition of COPD and metabolic syndrome. Activity limitations, skeletal muscle dysfunction, and steroid use are also important causes of metabolic syndrome in COPD. The metabolic syndrome in COPD can increase mortality and morbidity caused by cardiovascular disease. The aim of this study is to reveal the prevalence of metabolic syndrome in stable COPD patients.
Methods: This study is a cross sectional study among stable COPD who visit asthma - PPOK clinic in Persahabatan Hospital from May to November 2017 to get the incidence rate of metabolic syndrome in stable COPD patients. Sixty-four COPD patients were taken to participate in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, antropometric, physical and laboratory examination were done.
Results: A total of 64 patients participated in this study Males = 61, Female = 3 with mean age of the subjects was 65.81 9.38. Prevalence of metabolic syndrome in COPD patients was 15.6 with GOLD 1 by 20 , GOLD 2 by 30 , GOLD 3 by 40 and GOLD 4 by 10 . There was a significant association between nutritional status and the incidence of metabolic syndrome in stable COPD. There was no significant association between sex, age, smoking status, airflow resistance and the use of inhaled corticosteroid with the incidence of metabolic syndrome in stable COPD patients.
Conclusion: The prevalence of metabolic syndrome in COPD patients in this study is 15.6 especially in GOLD 3."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>