Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Arbi
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan >20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik.
Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p<0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p<0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD.
Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka.

Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2,and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested forcognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb,PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline >20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were comparedusing SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were includedin logistic regression.
Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs10,61±1,10 mg/dL, p value<0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value<0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between twogroups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery.
Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oryza Eureka
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah adalah salah satu komplikasi pembedahan jantung yang telah diketahui. Hipoperfusi jaringan otak diduga sebagai penyebabnya, terutama dihubungkan dengan penggunaan mesin pintas jantung-paru. Near-infrared spectroscopy muncul sebagai alat pemantauan saturasi oksigen otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai NIRS dan kandungan oksigen intrabedah dengan kejadian disfungsi kognitif pascabedah jantung terbuka.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort prospektif yang dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 60 pasien elektif yang akan menjalani bedah jantung terbuka dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Disfungsi kognitif pascabedah dinyatakan jika terdapat penurunan >20% dari nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 ranah kognisi. Pemantauan saturasi oksigen regional (rSO2¬) menggunakan probe NIRS yang ditempel pada dahi subjek penelitian. Nilai rSO2¬ secara kontinu direkam sepanjang pembedahan. Desaturasi rSO2 adalah penurunan rSO2>20% nilai baseline, nilai terendah, durasi desaturasi rSO2, luas area under the curve rSO2 yang dihitung oleh INVOS 5100 dalam satuan min% dicatat pada berbagai fase pembedahan. Analisis bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel-variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan dalam regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 31 dari 60 pasien (51,6%) mengalami POCD. Durasi desaturasi rSO2>20% secara signifikan lebih lama pada kelompok POCD dibandingkan non-POCD, terutama pada fase intraCPB dan pascaCPB. Didapatkan desaturasi total rSO2 dan nilai AUC rSO2 yang lebih panjang pada kelompok POCD dibandingkan kelompok non-POCD (median 55 [0-245] vs 0 (0-140) menit, p= 0.007) dan (412 [0-4875] vs 0 [0-472], p= 0,003). Hasil analisis multivariat menunjukkan AUC rSO2 sebagai variabel yang paling berpengaruh terhadap POCD. Kualitas persamaan regresi logistik baik dengan AUC 83,5% (CI 95%; 72,8%-94,2%).

Introduction. Cardiac surgery has been known to cause postoperative cognitive dysfunction (POCD). Cerebral hypoperfusion is suspected as the cause, mainly related to the use of cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Near infrared spectroscopy had been introduced as a method to monitor cerebral oxygen saturation. This study aims to investigate the role of near infrared spectroscopy (NIRS) monitoring in preventing POCD after cardiac surgery.
Purpose: To evaluate association between intraoperative Near-Infrared Spectroscopy value and arterial oxygen content with POCD in open heart surgery
Methods. This prospective cohort study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included sixty adult patients scheduled for elective open-heart surgery and assessed their cognitive function 1 day before surgery and postoperative day 5. To measure regional oxygen saturation (rSO¬¬2), NIRS probe was placed on the subjects forehead, the values were recorded until the end of surgery. A decrease in rSO2 >20% of baseline value was considered as rSO2 desaturation. The lowest rSO2 value and duration of desaturation were recorded before, during, after CPB. Another variable of NIRS value was Area under the curve of rSO2; an output measured by INVOS 5100 labelled as AUC rSO2 in min%. Data were compared using Students t test or the Mann-Whitney U test with SPSS 20.0 software. Logistic regression was applied to variables with p-value above 0.25 on bivariate analysis.
Results: In this study 31 out of 60 patients (51.6%) developed POCD. Duration of rSO2 desaturation 20% baseline was significantly higher in POCD group, espescially during and after CPB phase. We observed a median of 55 (0-245) minutes of total desaturation time in POCD group, compared to the non-POCD group, who experienced a median desaturation time of 0 (0-140) minutes (p = 0.007). Quality of regression equity based on good discrimination with AUC was 83.5% (CI 95%; 72.8%-94.2%). From multivariate analysis, it was found that variables of NIRS AUC could affect logistic regression equity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reby Kusumajaya
"Latar belakang. Penyakit jantung bawaan PJB merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi pada anak dibandingkan dengan kelainan kongenital lainnya. Upaya memperbaiki struktur anatomi PJB mengharuskan dilakukannya bedah jantung korektif. Di balik perkembangan pintas jantung paru dan tata laksana pasca-bedah, sindrom curah jantung rendah low cardiac output syndrome, LCOS masih menjadi komplikasi mayor, sehingga diperlukan parameter untuk membantu diagnosis LCOS secara dini. Kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 dilaporkan berkorelasi terhadap penurunan curah jantung, morbiditas dan mortalitas pasca-bedah jantung.
Tujuan. Mengetahui peran kadar laktat, gap pCO2 arteri-vena dan SvO2 dalam deteksi dini sindrom curah jantung rendah pasca-bedah jantung terbuka pada anak.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dilaksanakan dari 1 Agustus hingga 30 Oktober 2017 di ICU Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Subyek adalah pasien anak yang menjalani bedah jantung terbuka. Pasca-bedah saat perawatan di ICU pasien dimonitor waktu terjadinya tanda-tanda klinis sindrom curah jantung rendah, serta dilakukan pemeriksaan kadar laktat, gap pCO2 dan SvO2 pada 15 menit, 4 jam dan 8 jam pasca-bedah. Analisis perbedaaan dilakukan menggunakan uji indepent T-test dan alternatifnya Mann-Whitney dengan nilai kemaknaan P

Background. Congenital heart disease CHD is the most common congenital disorder in children compared with other congenital abnormalities. To fix CHD requires corrective cardiac surgery. Behind the development of cardiopulmonary bypass surgery and post surgical intensive care, low cardiac output syndrome LCOS still become a major complication that require parameter to diagnose LCOS early lactate level, pCO2 gap and SvO2 were reported have correlation with decreasing of cardiac output, morbidity and post cardiac surgery mortality.
Objective. To find out the role of lactate levels, pCO2 gap arterial vein and SvO2 in early detection of low cardiac output syndrome in post open heart surgery in children.
Method. This study used a prospective cohort design. From 1 August until 30 October 2017 in ICU of Integrated Cardiac Centre Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Subjects were pediatric patients who underwent cardiac surgery. Post surgery procedure the patient's was monitored in ICU for clinical signs of low cardiac output syndrome and examined for lactate levels, gap pCO2 and SvO2 at 15 minutes, 4 hours and 8 hours. The difference analysis was performed using indepent T test and Mann Whitney as alternative with significance value P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Fitriany
"Latar belakang: Sepsis pascabedah jantung terbuka merupakan kondisi yang jarang terjadi tetapi memiliki mortalitas yang cukup tinggi. Gejala sepsis yang muncul pascabedah seringkali sulit dibedakan dengan kondisi inflamasi sistemik sehingga menimbulkan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis maupun overtreatment pada pasien. Presepsin merupakan salah satu penanda sepsis yang mulai banyak digunakan terutama pada populasi dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran presepsin dalam menegakkan diagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak.
Tujuan: Untuk menguji performa diagnostik presepsin sebagai penanda sepsis pada anak pascabedahjantung terbuka dibandingkan dengan prokalsitonin (PCT).
Metode: Studi potong lintang terhadap 49 pasien anak pascabedah jantung terbuka yang dirawat di RSCM. Penelitian ini mencari nilai batas optimal presepsin untuk mendiagnosis sepsis pascabedah jantung terbuka pada anak yaitu pada hari pertama dan ketiga pascabedah, kemudian membandingkannya dengan prokalsitonin. Analisis kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batas optimal presepsin.
Hasil: Kadar presepsin hari pertama (T1) dan ketiga (T3) lebih tinggi pada subyek dengan sepsis daripada subyek yang tidak sepsis (median 415 pg/mL vs. 141,5 pg/mL pada hari pertama dan 624 pg/mL vs. 75,9 pg/mL pada hari ke tiga). Titik potong presepsin pada T1 dengan nilai 404 pg/mL memiliki performa untuk mendiagnosis sepsis dengan AUC 0,752 sedangkan presepsin T3 dengan nilai 203,5 pg/mL dengan AUC 0,945 yang lebih baik dibandingkan T1.
Simpulan: Presepsin dapat dijadikan suatu modalitas untuk memberikan nilai tambah dan pertimbangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosis sepsis pada pasien anak pascabedah jantung terbuka.

Background: Postoperative open-heart sepsis is a rare condition but has a fairly high mortality. Symptoms of sepsis that appear postoperatively are often difficult to distinguish from systemic inflammatory conditions, causing delays in establishing diagnosis and overtreatment in patients. Presepsin is one of the markers of sepsis that is starting to be widely used, especially in the adult population. This study is to identify the role of presepsin for diagnosing sepsis in post open-heart surgery in pediatric population.
Aim: To perform diagnostic test of presepsin as sepsis screening markers compares to procalcitonin (PCT) in post open-heart surgery.
Methods: Cross-sectional study of 49 postoperative open-heart pediatric patients treated at RSCM. This study looked for optimal cut-off values of presepsin for diagnosing open-heart postoperative sepsis in children on the first and third postoperative days, then compared it with procalcitonin. ROC curve analysis is performed to determine the optimal limit value of presepsin.
Result: First (T1) and third day (T3) PSP levels were higher in subjects with sepsis than non- sepsis (median 415 pg/mL vs. 141.5 pg/mL on first day and 624 pg/mL vs. 75.9 pg/mL on third day). ). T1 presepsin cut off 404 pg/ml had AUC of 0.772, while T3 presepsin cut off 203.5 og/ml had better AUC of 0.945. T3 is better for diagnosing sepsis.
Conclusion: Presepsin can be used as a modality to provide added value and consideration for clinicians to establish the diagnosis of sepsis in pediatric patients after open-heart surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Wulan Nurhasty
"Penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien pasca-bedah jantung yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Prediksi lama penggunaan ventilasi mekanik merupakan hal penting dalam penatalaksanaan pasien operasi jantung. Skor ACEF (Age, Creatinine, Ejection Fraction) merupakan sistem prediksi sederhana dengan menggunakan tiga variabel pra-bedah yang diukur secara objektif, memiliki performa yang baik dalam memprediksi morbiditas dan mortalitas pada pasien pasca-bedah jantung. Penggunaan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung belum ada, namun variabel yang dipakai pada sistem skor ini merupakan prediktor terkuat kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pasca-bedah jantung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan skor ACEF dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang pada pasien pasca-bedah jantung dewasa di PJT RSCM. Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif yang melibatkan 206 subjek penelitian yang menjalani operasi jantung terbuka di Pelayanan Jantung Terpadu RSCM. Hasil penelitian ini didapatkan hasil AUC = 0,6336 (95% CI : 0,55-0,71), nilai sensitivitas sebesar 35,8%, spesivisitas 88%, dan akurasi 67,48%. Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan Skor ACEF memiliki kemampuan prediksi yang kurang dalam memprediksi kejadian penggunaan ventilasi mekanik memanjang pada pasien pasca-bedah jantung.

Prolonged mechanical ventilation is one of the main complications in post-cardiac surgery patients that can cause morbidity and mortality. Prediction of the duration mechanical ventilation is important in the management of cardiac surgery patients. The ACEF score (Age, Creatinine, Ejection Fraction) is a simple prediction system using three measured pre-operative variables objectively, which performs well in predicting post-operative morbidity and mortality in cardiac surgery patients. The use of the ACEF score in predicting prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery does not yet exist, but the variables used in this scoring system are the strongest predictors of prolonged mechanical ventilation after cardiac surgery. This study aims to determine the ability of the ACEF score to predict the incidence of prolonged of mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients at RSCM PJT. This study is a retrospective cohort study involving 206 subjects who underwent open heart surgery at PJT RSCM. The results of this study showed that AUC = 0.6336 (95% CI: 0.55-0.71), the sensitivity is 35,8%; specificity is 88%, and accuracy is 67,48%. From the results obtained, it can be concluded that the ACEF score has poor predictive ability in predicting the incidence of prolonged mechanical ventilation in post-cardiac surgery patients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pudjo Rahasto
"ABSTRAK
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa akibat gangguan regulasi pejamu sebagai respons terhadap infeksi. Renjatan sepsis adalah subset sepsis dengan abnormalitas sirkulasi, selular, dan metabolisme yang berkaitan dengan risiko kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran ekokardiografi, biomarker kardiovaskular, fungsi ginjal dan saturasi oksigen vena sebagai prediktor kematian pasien renjatan sepsis. Pada pemeriksaan ekokardiografi dinilai fungsi diastolik E/e rsquo;, Fraksi Ejeksi Bilik Kiri, Indeks Kardiak, TAPSE, sedangkan biomarker kardiovaskular dinilai Troponin I dan NT Pro BNP, dengan disain penelitian kohort prospektif. Tempat penelitian di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang, Banten. Selama periode 2 tahun penelitian ada 111 pasien masuk dalam kriteria renjatan sepsis yaitu adanya infeksi, hipotensi MAP < 65 mmHg dan Laktat darah > 2 mmol/L. Pada hari pertama dan kelima dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dan laboratorium darah pada semua pasien renjatan sepsis. Pada pengamatan selama 10 hari diperoleh pasien yang meninggal 64 58 dan yang hidup 47 42 . Rerata umur pasien 48 18 tahun. Analisis bivariat ditemukan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri abnormal memiliki risiko kematian 1,6 kali dibanding normal RR 1,6; p = 0,034 . Biomarker Troponin I abnormal menunjukkan risiko kematian 1,6 kali dibanding normal RR 1,6; p = 0,004 . Pasien dengan gangguan fungsi ginjal memiliki risiko kematian 1,5 kali RR 1,5; p = 0,024 . Pasien dengan Troponin I abnormal dengan atau tanpa gangguan fungsi ginjal menunjukkan peningkatan risiko kematian, demikian pula pada pasien dengan Troponin I normal yang disertai gangguan fungsi ginjal. Hasil analisis multivariat menunjukkan prediktor kematian pasien renjatan sepsis adalah kadar Troponin I dan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri RR 1,83; IK95 1,049 ? 3,215; p = 0,043 dan RR 1,99; IK95 1,009 ? 3,956; p = 0,047 Simpulan: Troponin I dan Fraksi Ejeksi Bilik Kiri merupakan prediktor kematian pasien renjatan sepsis. Kata kunci :Ekokardiografi, Kematian, NT Pro BNP, Renjatan Sepsis, Troponin I.

ABSTRACT
Sepsis is a life threatening organ dysfunction caused by host regulation disorder in response to infections. Septic shock is a subset of sepsis with circulatory, cellular, and metabolic abnormalities associated with the risk of mortality. The aim of this study is to assess the role of echocardiography, cardiovascular biomarker, renal function and oxygen vein saturation as predictors of mortality in patients with septic shock. In this study, echocardiography examination including diastolic function E e 39 , Left Ventricle Ejection Fraction LVEF , Cardiac Index CI , and TAPSE, whereas cardiovascular biomarker Troponin I and NT Pro BNP were assessed. Research design of this study is cohort perspective. The study took place in Tangerang Regional General Hospital, Banten Province. During two years of research, there were 111 patients included in septic shock category, which indicated by the presence of infections, hypotension MAP 65 mmHg and serum lactate 2 mmol L. On the first and the fifth day, examinations on echocardiography and laboratory blood test were conducted on each patient of septic shock. During ten days of observation, 64 patients died 54 and 47 patients were survived 42 . The mean age of the patients was 48 18 years old. Bivariate analysis showed abnormal LVEF had 1.6 times higher mortality risk than normal RR 1.6 p 0.034 . Abnormal Troponin I biomarker showed 1.6 higher mortality risk, compared to normal RR 1.6 p 0.004 . The patients with kidney function disorder had 1.5 times higher mortality risk RR 1.5 p 0.024 . Patients with abnormal Troponin I with or without kidney function disorder showed increase in mortality risk. Normal Troponin I with kidney function disorder also increase in mortality risk. Multivariate analysis showed Troponin I and Left Ventricular Ejection Fraction as predictors of mortality in patients with septic shock RR 1.83 CI95 1.049 3.215 p 0.043 dan RR 1.99 CI95 1.009 3.956 p 0.047 In conclusion, Troponin I biomaker and Left Ventricular Ejection Fraction are predictors of mortality in patients with septic shock. Keyword Echocardiography, Death, NT Pro BNP, Septic Shock, Troponin I "
2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Ita Susanti Pramono Widjojo
"Latar belakang: Operasi jantung membutuhkan larutan kardioplegia untuk menghentikan jantung. Saat ini sebagian besar larutan kardioplegia menggunakan mekanisme depolarisasi membran yang berisiko menyebabkan gangguan keseimbangan ion transmembran, aritmia, vasokonstriksi koroner, gangguan kontraktilitas, dan sindrom curah jantung rendah. Menunjukkan proteksi miokardium masih belum optimal. Henti jantung melalui polarisasi membran secara teori dapat memberikan proteksi miokardium yang lebih baik.
Tujuan: Diketahui kualitas proteksi miokardium henti jantung terpolarisasi dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.
Metode: Tinjauan sistematik dengan menerapkan protokol PRISMA-P. Data didapatkan melalui pencarian dalam basis data Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Embase.
Hasil: Dari penelusuran diperoleh empat studi yang memenuhi kriteria. Tiga studi dengan desain uji acak terkontrol, satu studi dengan desain kohort retrospektif. Jumlah sampel bervariasi dari 60 sampai 1000 subjek. Kualitas proteksi miokardium dinilai dari kejadian aritmia pascaoperasi, infark miokardium pascaoperasi, dan sindrom curah jantung rendah pascaoperasi. Satu studi melaporkan angka kejadian aritmia pascaoperasi yang lebih rendah secara bermakna pada kelompok henti jantung terpolarisasi (p 0,010). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian infark miokardium pascaoperasi. Tiga studi melaporkan angka kejadian sindrom curah jantung rendah pascaoperasi yang lebih rendah pada kelompok henti jantung terpolarisasi namun tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Henti jantung terpolarisasi berpotensi memberikan kualitas proteksi miokardium yang lebih baik dibandingkan dengan henti jantung terdepolarisasi.

Background: Cardioplegia is needed in cardiac surgery to arrest the heart to achieve a quiet and bloodless field. Depolarized cardiac arrest is widely used despite the risk of ionic imbalances, arrhythmias, coronary vasoconstriction, contractility dysfunction, and low cardiac output syndrome leading to suboptimal myocardial protection. Polarized cardiac arrest has a more physiological mechanism to arrest the heart, thus giving better cardioprotection qualities.
Objective: To assess the myocardial protection quality of polarized cardiac arrest compared with depolarized cardiac arrest.
Method: Systematic review with PRISMA-P protocol. The literature search was performed using Cochrane Library, PubMed, Scopus, ScienceDirect, and Embase databases.
Result: Three randomized controlled trials and one retrospective cohort study were identified, with sample sizes varied between 60 to 1000 subjects. The quality of myocardial protection was assessed from postoperative arrhythmias, postoperative myocardial infarction, and postoperative low cardiac output syndrome. One study reported significantly lower postoperative arrhythmias in the polarized arrest group (p 0.010). There were no differences in postoperative myocardial infarction between the two intervention groups. Three studies reported lower postoperative low cardiac output syndrome in the polarized arrest group although not statistically significant.
Conclusion: Polarized cardiac arrest may give better myocardial protection than depolarized cardiac arrest.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoshua Baktiar
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah (postoperative cognitive
dysfunction/POCD) merupakan komplikasi pascabedah yang sering ditemui pada
pasien yang menjalani bedah jantung terbuka yang mengganggu fungsi sosial dan
ekonomi serta berkaitan dengan peningkatan mortalitas. Patofisiologi POCD belum
diketahui secara jelas, namun diperkirakan melibatkan hipoksia serebral.
Penurunan kandungan oksigen dan penurunan ekstraksi oksigen perioperatif
diperkirakan berkontribusi terhadap POCD. Penggunaan pemantauan nearinfrared
spectroscopy (NIRS) memungkinkan pengukuran status oksigenasi pada
jaringan otak. Protein S100B adalah penanda biologis kerusakan jaringan otak.
Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh kandungan oksigen dan ekstraksi
oksigen intra dan pascabedah, desaturasi serebral dan peningkatan kadar protein
S100B terhadap kejadian POCD.
Metode: Rancangan penelitian ini adalah kohort prospektif di unit Pelayanan Jantung
Terpadu RS dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian dimulai setelah mendapatkan persetujuan
komite etik dan ijin lokasi. Kriteria penerimaan adalah pasien berusia ≥18 tahun yang
dijadwalkan menjalani bedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin
cardiopulmonary bypass (CPB), sehat secara mental, dapat membaca dan berbahasa
Indonesia. Pasien akan menjalani evaluasi kognitif menggunakan 6 tes psikometrik pada 1
hari prabedah dan diulang pada 5 hari pascabedah. POCD didefinisikan sebagai penurunan
>20% skor kognitif pascabedah dibandingkan prabedah pada 2 atau lebih tes. Sampel darah
arteri dan vena diambil untuk menilai kandungan dan ekstraksi oksigen pada 5 waktu: (1)
sebelum induksi, (2) intra-CPB, (3) pasca-CPB, (4) enam jam pascabedah, dan (5) 24 jam
pascabedah. Pemantauan saturasi serebral menggunakan NIRS dilakukan sepanjang pembedahan. Kadar protein S100B diukur pada 2 waktu: sebelum induksi dan 6 jam
pascabedah. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan piranti lunak SPSS
versi 20.
Hasil:Lima puluh lima subyek mengikuti penelitian ini. POCDditemukan pada 31 (56,4%)
subyek. Kandungan oksigen dan ekstraksi oksigen ditemukan tidak berbeda bermakna di
antara kedua kelompok pada seluruh waktu. Desaturasi serebral ditemukan lebih lama (55
[0-324] vs. 6 [0-210], p=0,03) dan nilai AUC rScO2 lebih tinggi (228 [0-4875] vs. 33 [0-
1100], p <0,01) pada pasien yang mengalami POCD dibandingkan yang tidak. Dengan
analisis ROC ditemukan nilai AUC rScO2 >80 menit% berpengaruh terhadap kejadian
POCD (RR 3,38, IK 95%: 1,68-6,79, p <0,01). Kadar protein S100Bmeningkat 1,5x lebih
tinggi pada pasien POCD, namun tidak mencapai kemaknaan statistik.
Simpulan:Desaturasi serebral yang diukur menggunakan NIRS berpengaruh pada kejadian
POCD.

Background: Postoperative cognitive dysfunction/POCD is commonly found
postoperative complication after cardiac surgery with profound social and
economic effect and also known correlated with mortality. The pathophysiology
remains unclear and multifactorial, but hipoxia have been postulated as one of the
mechanisms. Reduced arterial oxygen content (CaO2) and reduced oxygen
extraction perioperatively may contribute to POCD. Use of near-infrared
spectroscopy (NIRS) monitoring may provide oxygenation status on brain tissue.
S100B protein is known brain injury biological marker. This trial aims to
investigate effects of perioperative oxygen content and extraction, cerebral
oxygenation status and S100B protein level changes to POCD.
Methods: This prospective cohort study was conducted at Integrated Heart Service unit of
RS dr. Cipto Mangunkusumo, a tertiary teaching hospital in Jakarta, Indonesia. This study
was started after ethical approval obtained. Inclusion criteria was 18 years old or above
patients scheduled for open-heart surgery using cardiopulmonary bypass machine, healthy
mental status, and can speak/read Indonesian language. Subjects were undergone 6
psychometric evaluation on day prior to surgery and 5 days after surgery. POCDdefined as
decrease of >20% score from baseline on 2 or more tests. Arterial and venous blood samples
were taken on 5 moments: (1) before induction of anesthesia, (2) during CPB, (3) After
separation of CPB, (4) six hours after surgery, and (5) 24 hours after surgery. NIRS
monitoring was applied continously during surgery. S100B protein level was measured on
before induction of anesthesia and 6 hours after surgery.Data was analyzed with appropriate
statistical tests using SPSS 20 software.
Results: Fifty-five subjects were included in this study. POCD was found in 31 (56.4%)
subjects. Oxygen contents and extractions were found not differ in both groups at all times.
Cerebral desaturation was found more longer (55 [0-324] vs. 6 [0-210]mins, p = 0.03) and
severe (AUC rScO2 228 [0-4875] vs. 33 [0-1100] min%, p <0,01) in subjects with POCD
compared to non-POCD. Using ROC analysis, it is determined subjects with AUC rScO2
>80 min% were exposed with higher risk of POCD(RR3.38x, 95%CI: 1.68-6.79, p <0.01).
S100B protein level increased higher in subjects with POCDbut no statistical significant was
found.
Conclusion: Cerebral desaturation measured by NIRSmonitoring contributes to POCD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2019
616.12 ARI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Deborah Theresia
"Sepsis didefinisikan sebagai suatu systemic inflammatory response syndrome SIRS disertai infeksi, terbukti ataupun tidak, dengan perkembangan penyakit hingga sepsis berat dan syok sepsis. Sepsis merupakan masalah kesehatan yang penting dengan angka mortalitas yang tinggi, mencapai 50 pada sepsis berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran saturasi oksigen vena sentral ScvO2. perbedaan tekanan parsial karbondioksida vena sentral dan arteri pCO2 gap. dan kadar laktat saat baseline dan pasca resusitasi, serta bersihan laktat sebagai penanda prognostik pada pasien sepsis berat. Desain penelitian adalah kohort retrospektif dengan 54 pasien sepsis berat, terdiri dari 27 pasien meninggal dalam 14 hari perawatan dan 27 pasien hidup. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna pada kadar laktat pasca resusitasi dan bersihan laktat antara kedua kelompok, sedangkan pada ScvO2 baseline, ScvO2 pasca resusitasi, dan kadar laktat baseline tidak didapatkan perbedaan bermakna. Pada kadar laktat pasca resusitasi didapatkan besar area under the curve AUC untuk memprediksi mortalitas sebesar 84,4. dengan cutoff 1,45 mmol/L, sensitivitas 74,1 dan spesifisitas 85,2. Pada bersihan laktat didapatkan besar AUC untuk memprediksi pasien sepsis berat yang hidup sebesar 99,5. dengan cutoff 1,5. sensitivitas 100 dan spesifisitas 92,6. Angka mortalitas pada kelompok pCO2 gap baseline. 6 mmHg sebesar 59,5 dan ge;. mmHg sebesar 29,4. serta pada kelompok pCO2 gap pasca resusitasi. 6 mmHg sebesar 50,0 dan ge;. mmHg sebesar 50,0. Parameter kadar laktat pasca resusitasi dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas dengan cutoff 1,45 mmol/L, dan bersihan laktat untuk memprediksi pasien yang hidup dengan cutoff 1,5.

Sepsis is defined as systemic inflammatory response syndrome SIRS accompanied with infection, proven or not, that can progress to severe sepsis or septic shock. Sepsis is an important health problem with high mortality rate, reaching 50 in severe sepsis. This study aims to find out the role of central venous oxygen saturation ScvO2. carbondioxide partial pressure gap of central venous and arterial pCO2 gap. and lactate at baseline and post resuscitation, and lactate clearance as prognostic markers in severe sepsis. The study design is retrospective cohort with 54 severe sepsis patients, consists of 27 patients that died within 14 days of stay and 27 patients that survived. This study found significant difference in post resuscitation lactate and lactate clearance between both groups, while baseline ScvO2, post resuscitation ScvO2, and baseline lactate was not significantly different. The size of area under the curve AUC for post resuscitation lactate to predict mortality is 84,4. with cutoff 1,45 mmol L, sensitivity 74,1 and specificity 85,2. The size of AUC for lactate clearance to predict severe sepsis patients that survived is 99,5. with cutoff 1,5. sensitivity 100 and specificity 92,6. Mortality rate in baseline pCO2 gap group. mmHg is 59,5 and ge. mmHg is 29,4. and in post resuscitation pCO2 gap group. mmHg is 50,0 and ge. mmHg is 50,0. Post resuscitation lactate can be used to predict mortality with cutoff 1,45 mmol L, and lactate clearance to predict survivor with cutoff 1,5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>