Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Davrina Rianda
"

LATAR BELAKANG: Berbagai studi telah menunjukkan efek potensial probiotik terhadap luaran neuropsikologis melalui aksis usus-otak. Akan tetapi, studi yang menilai efek suplementasi probiotik terhadap fungsi kognitif pada populasi anak dan remaja masih terbatas.

METODE: Peneliti melakukan studi tindak lanjut tahun ke-10 dari uji klinis teracak samar suplementasi probiotik Lactobacillus reuteri DSM 17938 atau Lactobacillus casei CRL 431 pada anak terhadap fungsi kognitif. Dari 494 anak yang mengikuti uji klinis pada 2007–2008, sebanyak 160 anak yang telah berusia 11–17 tahun mengikuti studi tindak lanjut. Pada uji klinis terdahulu, subjek diberikan susu dengan kalsium regular sebanyak 440 mg/hari (kelompok KR; = 58), kalsium regular dengan L. reuteri DSM 17938 5x10colony-forming units (CFU) (reuteri; n= 50), atau kalsium regular dengan L. casei CRL 431 5x10CFU (casei; n= 52) selama 6 bulan pada usia 1–6 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek suplementasi probiotik masa kanak-kanak tersebut terhadap tingkat intelegensi berdasarkan Standard Progressive Matricesdan kadar brain-derived neurotrophic factor(BDNF) serum pada masa remaja. Berbagai faktor biomedis (kualitas diet, antropometri, kadar hemoglobin, dan lain-lain) dan faktor lingkungan sosial (status pendidikan orangtua, dukungan lingkungan rumah, depresi, dll) terkait fungsi kognitif turut dinilai sebagai variabel perancu.

HASIL:Kadar BDNF serum masa remaja pada kelompok suplementasi probiotik L. reuteri DSM 17938 lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol yang secara statistik signifikan (p = 0,036), setelah disesuaikan dengan perancu. Tidak terdapat perbedaan proporsi tingkat intelegensi masa remaja yang bermakna berdasarkan riwayat suplementasi probiotik L. reuteri DSM 17938 maupun L. casei CRL 431 masa kanak-kanak. Pada regresi multipel, dukungan lingkungan rumah memiliki hubungan yang signifikan dan konsisten dengan tingkat intelegensi. Kadar BDNF serum berhubungan dengan status gizi dan kualitas diet.

 

KESIMPULAN: Anak yang mendapat suplementasi L. reuteri DSM 17938 memiliki kadar BDNF serum yang lebih rendah pada masa remaja. Hubungan yang konsisten antara faktor lingkungan sosial dengan fungsi kognitif menunjukkan pentingnya mengintegrasikan intervensi biomedis dengan lingkungan sosial untuk mencapai populasi berdaya.


BACKGROUND: Available evidence have shown potential effects of probiotics on neurobehavioral outcomes through ‘gut-brain axis’ mechanism. However, studies on cognitive function in children and adolescents are lacking.

METHODS: We conducted a 10-year follow-up study of randomised controlled trial of 6-month probiotic supplementation of Lactobacillus reuteri DSM 17938 or Lactobacillus casei CRL 431 in children on cognitive function. Of 494 children enrolled in 2007–2008, we re-enrolled 160 subjects at age 11–17 years. Subjects were given regular calcium milk containing 440 mg/d (RC group; n= 58), regular calcium with L. reuteriDSM 17938 5x10colony-forming units (CFU) (reuteri; n= 50), or regular calcium with L. casei CRL 431 5x10CFU (casei; n = 52) for 6 months at the age of 1–6 years. This study aimed to investigate the effect of probiotic supplementation during childhood on cognitive function based on grade of Standard Progressive Matrices and serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) levels in adolescents. We assessed various biomedical factors (ie. diet quality, anthropometry, and hemoglobin level) socio-environmental factors (ie. parental educations, home environment, and depression) related to cognitive outcomes as cofounding variables.

RESULTS: Compared with the RC group, the reuteri group had a significantly lower mean serum BDNF level [adj. difference 3127.5 pg/ml (95% CI: 213,5–6041,6)]. There was no difference in grade of SPM between groups nor difference on serum BDNF level between RC and casei group. In multiple regression models, the home environment had a significant and consistent association with grade of SPM. Serum BDNF level was associated with overweight/obesity and diet quality.

CONCLUSION: L. reuteri DSM 17938 supplementation during childhood was associated with lower serum BDNF level at the age of 11–17 years compared to control. The consistent association between socio-environmental factor and grade of SPM suggests that intervention of biomedical determinants should be integrated with the improvement of socioenvironmental factors to achieve thriving populations.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
"BELAKANG: aterosklerosis adalah proses yang mendasarinya penyakit kardiovaskular dan telah terbentuk sejak usia dini. Obesitas dan dislipidemia pada usia anak dan remaja merupakan faktor risiko perkembangan aterosklerosis. Modulasi mikrobiota usus dengan pemberian probiotik pada awal kehidupan diharapkan dapat mencegah obesitas dan dislipidemia. TUJUAN: mengevaluasi efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap indeks massa tubuh (IMT) dan profil lipid, setelah 10 tahun pemberian. METODE: Sebanyak 494 anak telah berpartisipasi pada studi baseline(studi Probiocal) di tahun 2007-2008. Saat ini, sebanyak 151 remaja yang berusia 11-18 tahun ikut serta pada penelitian tindak lanjut, yaitu: 42 remaja pada kelompok casei, 43 remaja pada kelompok reuteri, dan 66 remaja pada kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan di dua kelurahan di Jakarta Timur. Kepada seluruh subjek dilakukan pemeriksaan fisik serta wawancara sosio-demografi, aktivitas fisik, dan asupan makanan. Pengukuran antropometri berupa pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang. Pemeriksaan profil lipid berupa kadar trigliserida, kolesterol LDL, dan HDL dilakukan setelah subjek berpuasa. HASIL: rerata kadar kolesterol HDL pada remaja di kelompok probiotik reuteri cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sebelum penyesuaian (p = 0.093). Pemberian probiotik L. casei atau L. reuteri pada masa kanak-kanak tidak memberikan efek jangka panjang terhadap IMT serta kadar trigliserida, kolesterol LDL, dan HDL pada remaja, setelah dilakukan penyesuaian dengan faktor perancu (p > 0.05). KESIMPULAN: Kadar kolesterol HDL yang cenderung lebih tinggi pada kelompok probiotik reuteri dapat disebabkan oleh efek pemberian probiotik pada masa kanak-kanak. Jumlah subjek follow-up yang terbatas membuat sulit untuk menyimpulkan efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap IMT dan profil lipid pada saat remaja.

Purpose: Recent studies have discovered the role of probiotic in the prevention of obesity and dyslipidemia. The purpose of the study was to evaluate the effect of probiotic supplementation during childhood on body mass index (BMI) and lipid profile in the adolescence period. Methods: Of 494 children included in baseline study (Probiocal study), 151 entered the follow-up at 11-18 years of age, n = 42 in the casei, n = 43 in the reuteri, and n = 66 in the regular calcium group. This study was conducted in 20 communities in East Jakarta. Subjects underwent physical examination and interviewed of socio-demography, smoking behaviour, physical activity, and dietary intake. Anthropometrics (weight, height, and waist circumference) were assessed. Triglyceride, low-density lipoprotein (LDL), and high-density lipoprotein (HDL) level were determined after overnight fasting. 

Results: The effect of probiotic supplementation was shown as a tendency to increase the HDL level before adjusted (p = 0.093). The evaluation of lipid profile adjusted for age, sex, and waist circumference showed no differences in the mean of triglyceride, LDL, and HDL level between casei or reuteri groups and control. Lactobacillus casei or reuteri did not affect BMI in adolescent after adjusted for age, sex, and BMI at the end of baseline study (p > 0.05). Conclusion: The higher level of HDL cholesterol in reuteri group might have been a response to probiotic supplementation during childhood. As a relatively small sample was entered in this follow-up study, our research needs to be replicated in different settings to produce comparable findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang. Bayi kurang bulan (BKB) memiliki risiko tinggi mengalami gangguan neurobehavioral. Gangguan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor prenatal, natal, dan perinatal. Perlu dilakukan deteksi dini gangguan agar dapat dilakukan intervensi dini. Penilaian neurobehavioral metode Dubowitz dapat digunakan untuk deteksi dini gangguan neurobehavioral pada BKB.
Tujuan. Mengetahui proporsi dan faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan neurobehavioral BKB. Mengetahui hubungan antara kelompok bayi risiko tinggi dengan kejadian gangguan neurobehavioral.
Disain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian dengan studi potong lintang analitik untuk mengetahui karakteristik penilaian neurobehavioral BKB dengan metode Dubowitz dan faktor risiko yang berhubungan. Subjek penelitian adalah BKB yang pernah dirawat di Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dilakukan analisis bivariat dengan uji kai kuadarat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil Penelitian. Didapatkan 106 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Proporsi BKB yang mendapat nilai suboptimal pada pemeriksaan neurobehavioral metode Dubowitz adalah 57,5%. Faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan neurobehavioral adalah sepsis (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73); p=0,001), perdarahan intraventrikular (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73) p=0,007); dan berat lahir ≤1500 gram (OR 3,46 (IK 95% 1,15-10,37), p=0,027). Didapatkan 37 subjek (34,9%) masuk ke dalam kelompok risiko tinggi dan 69 subjek (65,1%) risiko rendah. Terdapat 86,5% bayi di kelompok risiko tinggi mendapatkan penilaian neurobehavioral suboptimal. Terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok bayi risiko tinggi dengan penilaian suboptimal metode Dubowitz, dengan p<0,001.
Simpulan. Faktor risiko yang berhubungan dengan penilaian suboptimal pada pemeriksaan neurobehavioral adalah sepsis, perdarahan intraventrikular, dan berat lahir ≤1500 gram. Bayi kelompok risiko tinggi berhubungan dengan besarnya penilaian suboptimal pada pemeriksaan neurobehavioral metode Dubowitz., Background. Preterm baby tend to be at risk for having neurobehavioral impairment. The risk factors included prenatal, natal, and perinatal factors. Early recognition of infants at risk for development disability is important. The Dubowitz Neurological Assessment can be used to evaluate infants at risk for developmental disabilitiesis.
Objective. To determine proportion and factors that related to Dubowitz Neurobehavioral assesment in preterm baby.
Methods. Cross-sectional study involving preterm baby in Cipto Mangunkusumo Hospital. The Dubowitz Neurobehavioral Assesment was performed to asses the neurobehavioral pattern at 37-40 weeks post menstrual age. The risk factors data was collected retrospectively from the medical record. Statistical analysis was done using bivariate (Chi-square test) and multivariate analysis (logistic regression) analysis.
Results. One hundred and six infants fullfilled the eligibility criteria. Based on The Dubowitz Neurological Assesment, 57,5% subjects got suboptimal score. Logistic regression analysis showed significant association between sepsis (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73); p=0,001), intraventricular haemorrhage (OR 6,23 (IK 95% 2,18-17,73) p=0,007); and birth weight ≤1500 gram (OR 3,46 (IK 95% 1,15-10,37), p=0,027) and neurobehavioral impairment. There was 86,5% from all high risk babies that got suboptimal score with signifficant association, p<0,001.
Conclusion. In preterm infants, sepsis, intraventricular haemorrhage, and low birth weight can become factors that related to the neurobehavioral impairment. High risk babies potential to have neurobehavioral impairment.]
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny
"Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap indeks resistensi insulin pada masa remaja. Studi ini merupakan studi tindak lanjut tahun ke-10 dari uji klinis pemberian probiotik dan kalsium pada anak-anak yang tinggal di daerah sosioekonomi rendah di Jakarta Timur, yang diadakan pada bulan Januari hingga Maret 2019. Studi ini melibatkan 154 remaja berusia 11-17 tahun, yang terbagi menjadi 3 kelompok berdasarkan intervensi terdahulu (kalsium regular (KR) sebagai kelompok kontrol, kelompok reuteri, dan kelompok casei). Luaran utama berupa perbedaan resistensi insulin yang dinilai dengan homeostatic model assessment for insulin resistance (indeks HOMA-IR) diantara ketiga kelompok sesudah dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu, seperti usia, jenis kelamin, status pubertas, status nutrisi, aktivtas fisik, dan pola asupan makanan. Studi ini memperoleh karakteristik subjek tidak berbeda bermakna diantara kelompok KR, casei, dan reuteri. Pola asupan makanan subjek juga tidak berbeda bermakna diantara kelompok RC, casei, dan reuteri. Rerata indeks HOMA-IR pada kelompok casei, reuteri, dan KR berturut-turut adalah 3,5 ± 1,9; 3,2 ± 1,7; 3,2 ± 1,6. Rerata indeks HOMA-IR tidak berbeda bermakna diantara kelompok casei dan RC (mean differences (MD): 1,10 [95% CI: 0.9-1.33]), diantara kelompok reuteri dan RC (MD:0.99 [95% CI: 0.82-1.22]) sesudah penyesuaian terhadap usia, jenis kelamin, status gizi, asupan serat, dana asupan lemak. Suplementasi probiotik selama 6 bulan pada masa kanak-kanak diduga tidak memengaruhi indeks resistensi insulin pada masa remaja.

Objective: To investigate the effect of probiotic supplementation in the childhood toward insulin resistance index in adolescence.
Methods: This study was a 10-year follow-up study on probiotic and calcium trial in children living in low-socioeconomic urban area of East Jakarta between January and March 2019. This study involved 154 adolescents aged 11-17 years, divided into 3 groups based on previous intervention (regular calcium as a control group, reuteri group, and casei group). Primary outcome was differences in insulin resistance that measured by homeostatic model assessment for insulin resistance (HOMA-IR index) between the three groups after adjustment of the confounding factor, such as age, gender, pubertal status, nutritional status, physical activity, and dietary intake patterns.
Results: Subjects' characteristics were not significantly different among casei, reuteri, and RC. Subjects' dietary intake patterns also were not significantly different among casei, reuteri, and RC. The mean HOMA-IR in casei, reuteri, and RC were 3.5 ± 1.9, 3.2 ± 1.7, 3.2 ± 1.6, irrespectively. The mean HOMA-IR index were no significantly different between casei and RC (mean differences (MD): 1,10 [95% CI: 0.9-1.33]), between reuteri and RC (MD:0.99 [95% CI: 0.82-1.22]) after adjusted with age, gender, nutritional status, fiber intake, and fat intake.
Conclusion: Probiotic supplementation for 6 months in childhood may not affect insulin resistance index in adolescence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar Belakang: Beberapa probiotik menunjukkan manfaat dalam mempersingkat durasi dan mengurangi kejadian diare dan dapat meningkatkan status gizi. Namun, informasi mengenai efek jangka panjang pada integritas usus dan pertumbuhan masih terbatas.
Metode: Studi tindak lanjut tahun ke-10 ini dilakukan pada 155 remaja usia 11-18 tahun yang pernah mengikuti studi intervensi pemberian susu rendah laktosa yang mengandung kalsium dosis regular (440 mg/hari) sebagai kelompok kontrol, kalsium dosis regular + probiotik Lactobacillus reuteri DSM 17938 (Kelompok Reuteri), dan kalslium dosis regular + probiotik Lactobacillus casei CRL 431 (Kelompok Casei). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi integritas usus, pertumbuhan, dan morbiditas setelah jangka waktu 10 tahun dari subjek penelitian sebelumnya. Integritas usus dinilai dengan memeriksa rasio laktulosa/manitol, dengan nilai cut off untuk integritas usus yang baik adalah ≤ 0,1. Sedangkan status pertumbuhan dinilai menggunakan nilai Z-score TB/U dan IMT/U.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 15.3 tahun, dengan nilai median rasio laktulosa manitol adalah 0,23, dengan proporsi untuk status integritas usus buruk sebesar 87,1 %. Rerata nilai Z-score TB/U adalah -1,11, dan rerata nilai Z-score IMT/U adalah -0,15. Terdapat perbedaan yang signifikan nilai Z-score TB/U antara kelompok Casei dibandingkan dengan kontrol (p = 0,045) dan juga antara kelompok Reuterii dibandingkan dengan kontrol (p = 0,034). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam status integritas usus, BMIZ, dan morbiditas antara 3 kelompok perlakuan (p = 0,454; p = 0,565; p = 0,086 masing-masing).
Kesimpulan: Probiotik pada anak dapat ditoleransi dengan baik dan mendukung pertumbuhan normal hingga remaja. Efek signifikan dari suplementasi probiotik masa kanak-kanak terlihat pada nilai Z-score TB/U, sementara tidak ada efek signifikan pada integritas usus, nilai Z-score IMT/U, dan morbiditas pada remaja.

Background: Some probiotics showed benefits in shortening the duration and reducing the incidence of diarrhea and may improve nutritional status. However, information on its long-term effects on intestinal integrity and growth is still limited.
Method: This 10th year follow-up study was conducted in 155 adolescents aged 11-18 years who had participated in an intervention study given low-lactose milk containing regular-dose calcium (440 mg/day) as a control group, regular calcium dose + probiotic Lactobacillus reuteri DSM 17938 (Reuteri group), and regular doses of calcium + probiotics Lactobacillus casei CRL 431 (Casei group). The objective of the current study was to evaluate gut integrity, growth, and morbidity through 10 years of age in participants from the previous trial study. Gut integrity was assessed by examining the ratio of lactulose/mannitol, with the cut off value for good intestinal integrity is ≤ 0.1. While growth status was assessed using the value of height-for-age Z-score (HAZ) and BMI-for-age Z-score (BMIZ).
Results: The average age of the study subjects was 15.3 years, with the median lactulose mannitol ratio was 0.23. Of the 155 adolescents who participated the study, 135 (87.1 %) had poor intestinal integrity. Mean value for HAZ was -1.11, and the mean value for BMIZ was -0.15. There was significant difference in HAZ between Casei group compared to control (p = 0.045) and also between Reuterii group compared to control (p = 0.034). There was no significant difference in intestinal integrity status, BMIZ, and morbidity among 3 treatment groups (p = 0.454; p = 0.565; p = 0,086 respectively).
Conclusion: Childhood probiotics are well tolerated and support normal growth until adolescence. Significant effect of childhood probiotic supplementation was seen on HAZ, while no significant effect on intestinal integrity, BMIZ, and morbidity in adolescence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aini Rahmi
"Salah satu masalah kesehatan lansia yang disebabkan oleh perubahan fisiologis yaitu penurunan fungsi kognitif yang merupakan bagian dari demensia. Demensia merupakan hilangnya kognitif secara progresif ditandai dengan penurunan kemampuan mengingat, memahami, menilai, membuat keputusan, dan perubahan perilaku. Masalah keperawatan yang menggambarkan penurunan kognitif yaitu kerusakan memori. Tujuan dari penulisan yaitu menjelaskan asuhan keperawatan kerusakan memori pada lansia di Sasana Tresna Werdha Ria Pembangunan Cibubur dengan instrumen evaluasi berupa Mini Mental State Examination, dan Clinical Dementia Rating. Kerusakan memori merupakan ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau keterampilan perilaku yang ditandai dengan disorientasi waktu dan tempat, ketidakmampuan mempelajari dan mengingat informasi lama dan baru, serta mudah lupa. Salah satu intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah kerusakan memori pada lansia yaitu Cognitive stimulation therapy. CST dilakukan selama dua minggu dengan frekuensi tujuh kali pertemuan dengan 14 sesi. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa klien mengalami peningkatan skor MMSE dari 18 menjadi 23 dan CDR terjadi peningkatan skor pada komponen memori dari 1 menjadi 0,5, orientasi dari gangguan sedang (2) ke ringan (1), serta pengambilan keputusan berubah dari gangguan berat (3) ke gangguan sedang (2).

One of the most common health problems in older adult caused by physiological changes is the decline in cognitive function which is part of dementia. Dementia is a progressive cognitive los characterized by the decrease of ability to remember, understand, judge, make decisions, and change behavior. Nursing problems that explains cognitive decline is impaired memory. The purpose of this case study is to describe the result of nursing care for older adult at Sasana Tresna Werdha Ria Pembangunan Cibubur, using instruments such of Mini Mental State Examination, and Clinical Dementia Rating to evaluate cognitive status. Impaired memory is inability to remember or recall bits of information or behavioral skills characterized by disorientation of time and place, inability to learn and remember old and new information, and forgetfulness. One of the nursing interventions to solve impaired memory is with cognitive stimulation therapy stimulation. CST has been done for two weeks with frequency seven times and 14 sessions. The result obtained indicate that the client experiencing an increase in MMSE score from 18 to 23 and CDR increased score on the memory component from 1 to 0.5, the orientation of moderate (2) to mild (1), and decision making changed from severe( 3) to moderate (2)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tri Wahyu Retno Ningsih
"ABSTRAK
Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan spektrum yang dihubungkan dengan gangguan pada aspek sosial dan aspek kognitif. Gangguan autisme tersebut berdampak terhadap gangguan kebahasaan, yaitu abnormalitas prosodi. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan karakteristik prosodi pada penutur ASD. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan eksperimental atau model IPO Instituut voor Perceptie Onderzoek yang meliputi produksi ujaran, analisis akustik, dan uji persepsi serta analisis statistik non parameterik. Penelitian ini menitikberatkan pada persepsi. Subjek penelitian adalah penutur ASD yang berusia 7 sampai dengan 12 tahun. Subjek kontrol penelitian adalah penutur yang tidak mempunyai gangguan autisme dengan rentang usia yang sama. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan antara prosodi pada penutur ASD dan subjek kontrol. Perbedaan tersebut meliputi ekspresi prosodi, modus kalimat, dan kontras tuturan. Karakteristik prosodi pada penutur ASD ditandai oleh intonasi cenderung datar dan monoton, tidak mempunyai batas-batas tuturan, dan tidak ada kontras ujaran. Sementara itu, aspek segmental pada tuturan ASD menunjukkan produksi tuturan yang cenderung pendek, kurang ekspresif, dan tidak mampu memproduksi tuturan pertanyaan, serta merespon pertanyaan. Karakteristik ini berlaku secara personal pada penutur ASD dari tingkat ringan hingga tingkat parah atau abnormalitas.

ABSTRACT
Autism or Autism Spectrum Disorder ASD is a spectrum disorder which is connected to social and cognitive aspects. The autism spectrum disorder has an impact to language disorder, that is prosodic abnormality. The aim of this research is to formulate prosodic characteristics for ASD speakers. The research method applied is experimental approach or IPO Instituut voor Perceptie Onderzoek model that covers speech production, acoustic analysis, and perception test also nonparametric statistic analysis. This research focused on perception. The research subjects were ASD speakers whose ages were 7 12 years old. The controlling subjects of this research were speakers who did not suffer autism or typical development with the same age ranges. The findings of the research demonstrated significant differences between prosody of ASD speakers and the controlling subjects. The differences covered prosodic expressions, sentence modes, and contras utterances. The prosodic characteristics of ASD speakers were marked by the flat and monotone intonations, having no utterances border, and there was no utterance contrast. On the other hand, segmental aspects of ASD speakers showed utterance production that tended to be shorter, less expressive, and have no ability to produce question utterances, including responding questions. These characteristics applied personally to ASD speakers from the low level to the very serious level or abnormality. "
2017
D2347
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Febiastuti
"Disfagia adalah kondisi medis yang berkaitan dengan kesulitan menelan. Pasien dengan disfagia tidak bisa minum cairan normal dikarenakan cairan biasa dapat masuk ke paru paru dan menyebabkan pneumonia aspirasi. Penggunaan cairan kental adalah pengobatan yang paling umum. Di bawah pedoman Australia cairan kental dibagi menjadi tiga tingkatan tingkat 150 agak tebal tingkat 400 cukup tebal dan tingkat 900 sangat tebal. Cairan mengental tersedia dalam dua bentuk sias dikonsumsi pre thickened minuman atau sebagai bubuk pengental yang dapat ditambahkan ke dalam minuman apapun hand thickened. Masalah utama dengan cairan kental adalah inkonsistensi dalam viskositas mereka antara cairan dan jenis pengental yang berbeda Juga pedoman untuk pengukuran viskositas fluida menebal sangat subjektif. Oleh karena itu tujuan pengukuran rheologi dilakukan untuk menentukan viskositas air dan susu pre thickened air dan susu menebal menggunakan bubuk pengental membandingkan viskositas thickened water dan thickened milk baik dalam bentuk pre thickened dan hand thickened Selain itu perbandingan viskositas antara bentuk juga diselidiki. Reologi dari seluruh sampel dianalisis menggunakan Rheoscope. Ditemukan bahwa thickened milk memiliki viskositas lebih tinggi dari pada thickened water yang menunjukkan bahwa kandungan cairan memiliki efek pada viskositas. Selanjutnya cairan pre thickened ditemukan memiliki viskositas lebih tinggi dari hand thickened.
Dysphagia is a medical condition related to difficulties with swallowing. Patients with dysphagia cannot drink normal fluids because thin fluids could enters their lungs and cause aspiration pneumonia. Use of thickened fluids are the most common treatment for dysphagia. Under Australian guidelines thickened fluids are divided into three levels level 150 mildly thick level 400 moderately thick and level 900 extremely thick. Thickened fluids are available in two forms ready to serve pre thickened drinks or as powder thickener that can be added into any drink hand thickened. The main issue with thickened fluids is the inconsistency in their viscosity between different fluids and type of thickener. Also the guidelines for measurement of thickened fluid viscosity is very subjective. Therefore objective rheological measurement is performed to determine the viscosity of pre thickened water and milk and water and milk thickened using powder thickener compare the viscosity of thickened water and thickened milk in both pre thickened and hand thickened forms Moreover the comparison of viscosity between forms was also investigated. Rheology of all samples were analysed using Rheoscope. It was found that thickened milk had a higher viscosity than thickened water which indicates that the content of a fluid have an effect on viscosity. Furthermore pre thickened fluids were found to have a higher viscosity than hand thickened fluids. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S62539
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turiman
"Ventilasi mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan pada pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan gagal napas untuk oksigenasi dan mengurangi beban kerja pernafasan. Penggunaan ventilasi mekanik yang lama akan menyebabkan komplikasi cedera paru, pneumonia terkait ventilator, dan kelemahan otot pernafasan. Penyapihan ventilasi mekanik harus segera dilakukan agar pasien tidak tergantung dengan ventilator dan mencegah terjadinya berbagai komplikasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi proses penyapihan ventilasi mekanik. Metode penelitian menggunakan desain deskripsi korelasi / cross sectionaldengan 80 responden pasien yang terpasang ventilasi mekanik pada 4 Rumah Sakit di Jakarta. Analisis data menggunakan uji statistik rank spearman, C square dan regresi logistik ordinal. Hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status nutrisi, Rapid Shallow Breathing Indeks (RSBI) terhadap penyapihan ventilasi mekanik. Terdapat hubungan yang signifikan antara komorbid (p 0.001 < α, r 0.378), lama rawat (p 0.001 < α, r 0.671) dan kecemasan (p 0.001< α, r 0.751) terhadap penyapihan tenaga mekanik. Hasil uji multivariat menunjukkan tidak ada yang lebih berpengaruh terhadap penyapihanventilasi mekanik (komorbdi p value 0,812 > α 0,05 lama rawat p value 0,709 > α 0,05 dan kecemasan p value 0,828 > α 0,05. Kesimpulan: komorbid, lama rawat dan kecemasan memiliki hubungan yang kuat dan dominan pengaruh yang tidak Jauh berbeda dengan penyapihan Perawat memiliki peran penting dalam keberhasilan penyapihan ventilasi mekanik dengan membedakan komorbid, lama perawatan dan tingkat kecemasan pasien Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya menggunakan satu tempat penelitian dengan populasi dan prosedur standar penyapihan yang sama

Mechanical ventilation is a device used to assist respiratory function in patients with hypoxemia, severe hypercapnia and respiratory failure to oxygenate and reduce the workload of breathing. Prolonged use of mechanical ventilation can lead to complications of lung injury, ventilator-associated pneumonia, and respiratory muscle weakness. Mechanical ventilation weaning must be done immediately so that the patient is not dependent on the ventilator and prevents various complications. The purpose of this study was to analyze the factors that influence the mechanical ventilation weaning process. The research method uses a cross-sectional/correlation description design with 80 patient respondents who are mechanically ventilated at 4 hospitals in Jakarta. Data analysis used Spearman's rank statistical test, C square and ordinal logistic regression. The results showed that there was no relationship between age, gender, educational level, nutritional status, Rapid Shallow Breathing Index (RSBI) and mechanical ventilation weaning. There was a significant relationship between comorbid (p 0.001 < α, r 0.378), length of stay (p 0.001 < α, r 0.671) and anxiety (p 0.001 < α, r 0.751) on mechanical ventilation weaning. Multivariate test results showed that none had a more dominant effect on mechanical ventilation weaning (comorbidity p value 0.812 > α 0.05 length of stay p value 0.709 > α 0.05 and anxiety p value 0.828 > α 0.05. Conclusion: comorbid, duration hospitalization and anxiety have a strong and dominant relationship that is not much different on weaning.Nurses have an important role in the success of mechanical ventilation weaning by paying attention to comorbidities, length of stay and patient's level of anxiety.Recommendations for further research using one research location with a population and standard procedures the same weaning."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>