Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119068 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Giraldin Sarah Margaretha
"ABSTRAK
Salah satu upaya Indonesia untuk mencapai konsep negara kesejahteraan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk melaksanakan sosial kesejahteraan, salah satunya ditujukan untuk para penyandang cacat penglihatan. Itu pemerintah berkewajiban untuk memastikan ketersediaan informasi yang dapat diakses sebagai satu tentang hak untuk mengekspresikan, mengomunikasikan dan memperoleh informasi untuk orang-orang dengan visual penurunan nilai. Itu sesuai dengan ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan UNCRPD. Perjanjian Marrakesh memfasilitasi kontraknya pihak untuk memenuhi kewajiban mereka dalam mengimplementasikan ketentuan UNCRPD oleh mengatur bahwa menyalin, mendistribusikan dan membuat karya tersedia untuk umum di format yang dapat diakses dikecualikan dari pelanggaran hak cipta. Indonesia telah menjadi menandatangani Perjanjian Marrakesh sejak 24 September 2013. Itikad baik sebagai a konsekuensi dari negara penandatangan dimanifestasikan dengan mengadopsi Marrakesh Ketentuan perjanjian untuk Pasal 44 ayat (2) UU Hak Cipta dan PP 27/2019. PP 27/2019 menetapkan beberapa ketentuan sehingga fasilitasi akses tidak melanggar hak cipta.

ABSTRACT
One of Indonesias efforts to achieve the concept of a welfare state as mandated by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is to implement social welfare, one of which is aimed at people with visual impairments. The government is obliged to ensure the availability of accessible information as one about the right to express, communicate and obtain information for people with visual impairment. That is in accordance with the provisions of the Universal Declaration Human Rights and UNCRPD. The Marrakesh Agreement facilitates parties contracts to fulfill their obligations in implementing UNCRPD provisions by regulating that copying, distributing and making publicly available works in an accessible format excluded from copyright infringement. Indonesia has been signed to the Marrakesh Agreement since 24 September 2013. Good faith as a the consequences of the signatory state are manifested by adopting Marrakesh Conditions of agreement for Article 44 paragraph (2) of the Copyright Act and PP 27/2019. PP 27/2019 stipulates several provisions so that facilitation of access does not violate copyrights."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephen Hanjaya
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S25950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Drias Rachmatirtani
"Skripsi ini membahas mengenai doktrin fiksasi, khususnya terkait dengan interpretasinya dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. UUHC Doktrin fiksasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebuah karya agar dapat memperoleh perlindungan hak cipta, hal tersebut dinyatakan pertama kali dalam The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works The Berne Convention sebagai konvensi internasional pertama terkait dengan hak cipta. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan The Berne Convention turut menerapkan syarat tersebut. UUHC dalam Pasal 1 ayat 13 memberikan definisi mengenai fiksasi sebagai "Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun";. Namun definisi fiksasi dalam UUHC diterjemahkan dari WIPO Performance and Phonograms Treaty yaitu perjanjian internasional yang hanya mencangkup pertunjukan dan fonogram. Dengan seluruh jenis karya yang dilindungi sebagaimana yang dicantumkan Pasal 40 ayat 1 UUHC, penerapan definisi fiksasi tersebut tidak tepat. Walaupun hal tersebut tidak menimbulkan permasalahan hukum yang serius, tetapi hasil penelitian menyarankan bahwa suatu revisi terhadap Pasal 1 ayat 13 UUHC perlu dilakukan.

This thesis emphasize on the fixation doctrine, especially with regards to its interpretation under the Law No. 28 of 2014 on Copyright Copyright Law . Fixation doctrine is one of the requirements in which necessary to be satisfied in order to obtain the protection by copyrights, such action was initiated since the enactment of The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works The Berne Convention as the first international convention on copyrights. Indonesia as one of the member states The Berne Convention too apply the requirement in its law. In Article 1 point 13 of the Copyright Law, fixation is defined as "Fixation is an audible sound recording, recording images or both, the which can be seen, heard, Reproduced, or otherwise communicated through any device". However, the definition of fixation as set forth in the Copyright Law was translated from Article 2 point c of WIPO Performance and Phonograms Treaty, namely an international treaty in which only covers performance and phonograms. With all of the protected works set forth in Article 40 point 1 of the Copyright Law, the interpretation of the aforementioned definition of fixation seemed to be incorrect. Although it does not create serious legal consequences, the research resulted to a recommendation that a revision on Article 1 point 13 of the Copyright Law is necessary.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S67223
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Takasdo
"UU Hak Cipta memberikan hak eksklusif kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, namun ternyata hak eksklusif tersebut tidak sepenuhnya mutlak karena adanya konsep atau doktrin fair use yang memperkenankan tindakan-tindakan penggunaan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang lain tanpa meminta persetujuan dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Namun, ternyata pengaturan serta praktik doktrin fair use berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia sendiri belum ada praktik pengadilan mengenai doktrin fair use ini, hanya ada pengaturannya saja di Pasal 15 UU Hak Cipta sehingga perlu penafsiran perbandingan untk menafsirkan penerapannya. Dalam Pasal 15 UU Hak Cipta diatur tujuh butir penggunaan yang diperbolehkan terhadap suatu Ciptaan, namun belum jelas apakah doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta berlaku untuk semua ciptaan atau tidak.
Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan doktrin fair use yang ada di Indonesia dengan pengaturan fair use di Amerika Serikat dan menasfirkan penerapan Pasal 15 UU Hak Cipta melalui perkara-perkara yang ada di Amerika Serikat untuk melihat kemungkinan penerapan Pasal 15 menggunakan pendekatan case law. Di akhir penelitian, Penulis berkesimpulan bahwa doktrin fair use hanya berlaku kepada ciptaan yang mendapatkan perlindungan hak cipta dan penerapan doktrin fair use dalam Pasal 15 UU Hak Cipta dimungkinkan menggunakan pendekatan case law seperti di Amerika Serikat sehingga memerlukan penafsiran hakim untuk menentukan adanya suatu penggunaan yang wajar.

Indonesian Copyright Law provides an Exclusive Rights to Authors or Copyright Owners to announce and reproduce the works, however the exclusive rights are not absolute because there is a concept or a doctrine of Fair Use which allow certain uses made by others without consent from the Authors or Copyright Owners. In fact, regulation and practices of the fair use are vary in every nation. In Indonesia, there are no judicial practices involving fair use doctrine, but there is regulation that provide fair use doctrine in Article 15 Copyright Law. Thus, to interpret Article 15 Copyright Law, a comparative study is required. In Article 15 Copyright Law, it is not clear whether fair use doctrine apply to all works or only to certain works.
This thesis discusses the comparison between fair use regulation in Indonesian Copyright Law and fair use regulation in USA Copyright Law and interpretation of Article 15 Indonesian Copyright Law implementation by using case law in USA. At the end of this thesis, the author concludes that fair use doctrine only apply to copyrighted works and it is possible to use case law approach and, thus, judges interpretation is required to decide a fair use.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danadhyaksa Zulu Savano
"Disrupsi teknologi telah mendorong perkembangan konten digital, terutama video pendek modifikasi di platform User-Generated Content (UGC) seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Jenis konten ini sering memanfaatkan elemen ciptaan orang lain yang diolah menjadi karya kreatif, menimbulkan isu hukum terkait pelanggaran dan perlindungan hak cipta. Indonesia mengadopsi konsep fair dealing, seperti Inggris dan Kanada, berbeda dengan fair use di Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif untuk menganalisis perlindungan hukum atas video pendek modifikasi di kedua negara. Analisis dilakukan terhadap UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) di Indonesia dan Copyright Act of 1976 di Amerika Serikat, termasuk studi kasus Campbell v. Acuff-Rose Music (1994) yang memperjelas konsep fair use. Hasil penelitian menunjukkan bahwa doktrin fair use di Amerika Serikat lebih fleksibel, mendukung karya modifikasi (transformative work), sementara fair dealing di Indonesia lebih kaku dan kurang mendorong kreativitas di ruang digital. Hal ini menjadi tantangan bagi content creator Indonesia yang terlibat dalam pembuatan video pendek modifikasi.

Technological disruption has accelerated the creation and distribution of digital content, particularly modified short videos popular on platforms like TikTok, Instagram, and YouTube. These videos often transform copyrighted materials into creative works, raising legal concerns about copyright infringement and protection. Indonesia adopts the concept of fair dealing, similar to the UK and Canada, while the United States follows fair use. This research uses a normative juridical method to analyze and compare copyright protection in both systems, focusing on Indonesia’s Law No. 28 of 2014 on Copyright (UUHC) and the United States Copyright Act of 1976. It also examines cases like Campbell v. Acuff-Rose Music (1994) to elucidate the fair use doctrine. Findings show that fair use in the U.S. provides more flexibility for content creators to produce transformative works, supporting creativity and innovation. In contrast, Indonesia’s fair dealing framework is more rigid, restricting creativity in the digital space. This poses challenges for Indonesian content creators in adapting to global content trends, as the regulatory environment limits their ability to engage in transformative practices, which are more widely supported under the fair use doctrine in the U.S. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Serevina, Harvardine Priscilla
"Perlindungan hukum terhadap pencipta masih terlihat sangat lemah. Pencipta, atau secara lebih spesifik di dalam industry music dikenal sebagai Penulis Lagu adalah salah satu pihak yang terlihat sangat dirugikan hak-haknya pada jaman sekarang ini, terutama dengan adanya perkembagan teknologi yang sangat pesat dan semakin memudahkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan perbuatan-perbuatan illegal atas suatu karya cipta salah staunya melalui aktifitas pembajakan. Perlindungan terhadap hak seorang pencipta, terutama untuk hak ekonominya harus menjadi focus dan dilindungi dengan maksimal agar pencipta dapat menikmati keuntungan dalam bentuk finansial sebagai apresiasi dari karya yang sudah diciptakan.
Skripsi ini membahas mengenai kesesuaian penambahan jangka waktu perlindungan atas hak ekonomi seorang cipta yang dilakukan dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, yang menambahkan jangka waktu perlindungan menjadi hingga 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dari pengaturan sebelumnya yang hanya hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dengan melihat keadaan dan penerapan hak cipta di Indonesia.
Setelah melakukan analisis dapat disimpulkan bahwa dalam penerapan Undang-Undang hak cipta kesalahan terletak pada pelaksanaan dan penerapannya. Sebaiknya focus bukan diletakkan pada lamanya jangka waktu perlindungan, melainkan pelaksanaan dan penerapan peraturan yang sudah ada terlebih dahulu dan dipastikan agar berjalan dengan baik. Tidak akan ada gunanya penambahan jangka waktu perlindungan dilakukan jika dari awal tidak ada sinergi yang baik dari pemerintah, pihak dalam industry music, dan para pengguna (user) dalam melaksanakan dan menerapkan hal-hal yang sudah diatur secara sangat jelas di dalam Undang-Undang tersebut secara keseluruhan.

Legal protection towards author is still weak. Authors, or more specifically in the music industry popularly known as songwriters, are one of the parties that suffered so much loss and their rights are and have been so much and very much violated in so many ways, especially with the existence of the vast development of technology which made irresponsible people have easier access to do illegal activities over a certain creation, including through piracy activities. Protection towards the right of author, especially on the economic right, has to be the main focus and protected to the maximum extent so that the author can enjoy their rightful compensation, which they certainly deserve, in the financial form as a form of appreciation towards the creation.
This thesis further analyzes the compatibility of the extension of copyright protection duration in the new Indonesian Copyright Law No.28 Year 2014, that extended the duration to up to 70 (seventy) years after the author passed away from previously 50 (fifty) years, while simultaneously observing the condition and implementation of Indonesian Copyright Law.
After having done with the analysis, it can be concluded that in the implementation of Indonesian Copyright Law the error is on the enforcement of the law itself. The focus should not be done on the duration of the protection, but rather on the application and enforcement of the law and make sure that everything can be implemented and enforced properly. The extension of duration will be of no use if from the beginning there is no synergy between the government, parties in the music industry, and public as the user in implementing and enforcing things that are already crystal clearly regulated in the law itself.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahel Saulina
"Tesis ini membahas mengenai analisis pengaturan hak cipta terhadap aransemen musik menurut UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (UUHC 2002) sudah diatur mengenai karya musik atau lagu. Namun hanya sebatas pemberian definisi atas karya musik atau lagu tersebut. Aransemen musik sendiri tidak diatur dalam batang tubuh UUHC 2002. Aransemen musik diatur dalam Penjelasan Resmi Pasal 12 butir (1) huruf d UUHC 2002 yang menyebutkan bahwa aransemen musik merupakan satu kesatuan yang utuh dengan karya musik atau lagu. Padahal karya musik atau lagu merupakan Ciptaan si Pencipta. Sehingga perlindungan yang diberikan adalah hak cipta. Arasemen musik sendiri merupakan pengembangan lebih lanjut dari karya musik yang dilakukan pada proses perekaman. Oleh sebab itu, aransemen musik merupakan bagian dari karya rekaman. Karya rekaman sendiri dilakukan oleh Pelaku (artis, musisi, dan perusahaan rekaman), maka perlindungan yang diberikan adalah hak reproduksi dan performing rights. Dari sini tampak kesalahan konsepsi pengaturan karya musik dalam UUHC 2002 dan kerancuan dalam Penjelasan Resmi Pasal 12 butir (1) huruf d UUHC 2002. Penelitian ini juga menyarankan perlunya revisi UUHC 2002, khususnya untuk bagian karya musik dan revisi pada bagian Penjelasan Resmi Pasal12 butir (1) hurufd UUHC 2002.

This thesis discusses the analysis of copyright regulation over musical arrangement prevailing The Law No. 19 Year of 2002 concerning Copyright. This research is doctrinal research. This research indicates that under the Law No. 19 year of 2002 on Copyright (UUCH 2002) regulates musical works or song. However merely on the definition of the musical works or song itself Musical arrangement itself is not regulated in the corpus of UUHC 2002. Musical arrangement is regulated in the Official Elucidation of Article 12 point (1) (d) UUHC 2002 stated that the musical arrangement is a unified whole with the musical works or song. However musical works is created by the Author. Thus, the protection granted to musical works is copyright. Musical arrangement is the enhancement of musical works that is created in the recording process. Therefore, musical arrangement is part of recording works. Recording works itself is performed by the Performers (artist, musician, and recording label), therefore, the protection for musical arrangement is reproduction rights and performing rights. This research suggests to revise the UUHC 2002, especially the part of musical works and revised section on the Official Elucidation of Article 12 par.1 (d) UUHC 2002."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Immanuel Parulian Setiadi
"Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan mengenai aspek hak cipta terkait Undang-Undang Hak Cipta yang terdapat dalam karya lagu yang diciptakan dengan menggunakan metode digital song sampling. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif normatif. Aspek hak cipta yang diteliti adalah mengenai bentuk ciptaan, orisinalitas serta kepemilikan dari hak cipta itu sendiri. Metode digital song sampling merupakan sebuah metode yang beberapa waktu kebelakang umum digunakan para produser lagu dalam menciptakan lagu, pada dasarnya dalam metode ini diambil sebagian hal dari lagu yang sudah ada dan terhadap bagian tersebut dilakukan pengolahan untuk kemudian diletakan ke dalam lagu yang baru. Dalam hal karya lagu yang diciptakan melalui metode digital song sampling diketahui bahwa bentuk yang dimiliki merupakan bentuk ciptaan turunan atau karya derivatif, hal ini dikarenakan lagu tersebut memenuhi unsur dari bentuk karya derivatif yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Karya ini bersifat orisinal namun hal orisinalitas tersebut terbatas pada elemen baru yang ditambahkan dalam karya tersebut sehingga tidak meliputi elemen lagu lain yang digunakan dalam karya tersebut meskipun terhadap elemen tersebut telah dilakukan modifikasi sedemikian rupa terhadapnya. Sementara itu mengenai kepemilikan hak cipta karya ini khususnya pada hak ekonomi dimiliki Pencipta sesuai dengan kesepakatan dari pemilik hak ekonomi dari lagu yang dilakukan sampling.

This writing is the result of research on the aspects of copyright related to the Copyright Law found in a song created using the digital song sampling method. The study employs a descriptive normative method, focusing on the form of creation, originality, and ownership of the copyright itself. Digital song sampling is a method commonly used by music producers to create songs by taking portions from existing songs and processing them into a new composition. In the case of songs created through digital song sampling, it is known that the form it takes is a derivative creation, meeting the criteria outlined in the Copyright Law for derivative works. While the work is original, this originality is limited to the new elements added, excluding elements from other songs used in the work, even though modifications have been made to those elements. Regarding copyright ownership, particularly economic rights, the Creator holds them according to the agreement with the owner of the economic rights of the sampled song."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurusyifa, authot
"Tulisan ini menganalisis doktrin freedom of panorama (Kebebasan Panorama) dalam konteks perlindungan hak cipta atas karya fotografi. Doktrin ini berkaitan dengan limitasi (limitations) dan pengecualian (exception) dalam peraturan terkait hak cipta. Hak cipta menimbulkan hak eksklusif Pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Karya fotografi merupakan salah satu jenis karya cipta yang dilindungi namun sejauh mana perlindungannya jika terdapat unsur ciptaan lain di dalamnya.  Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum bersifat normatif, yang menitik beratkan pada norma atau aturan hukum dengan pendekatan Inter-Disiplin, dan analisis data kualitatif untuk menjawab pokok permasalahan berikut: bagaimana hak cipta atas karya fotografi dapat lahir, apakah Pencipta karya fotografi harus meminta izin kepada pemilik setiap objek yang difotonya, dan apakah doktrin Freedom of Panorama diakui dalam hukum hak cipta di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah Hak cipta atas karya fotografi lahir saat Ide telah diwujudkan dalam bentuk nyata, dideklarasikan, dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun, dan merupakan karya yang orisinal atau berasal dari kreasi, imajinasi, dan ekspresi pribadi penciptanya, tanpa meniru atau menjiplak karya orang lain. Perlindungan atas karya fotografi bersifat terbatas, Hak ekonomi berlaku selama periode tertentu, yaitu 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Status ciptaan menjadi public domain setelah waktu perlindungannya habis. Pencipta karya fotografi harus berhati-hati dalam memilih objek foto. Kebutuhan atas izin tergantung objek dan tujuan pemanfaatan karya fotografinya, mengingat relasi objek dan subjek hukum bervariasi. Tedapat objek foto yang memerlukan izin contohnya apabila patut diduga karya tersebut masih dilindungi hak cipta berdasarkan UUHC 2014. UUHC 2014 tidak mengatur mengenai pemanfaatan karya cipta yang berlokasi secara permanen di tempat umum secara khusus dalam aturan pembatasannya, khususnya yang berhubungan dengan karya fotografi. Selama UUHC 2014 masih berlaku dan perlindungan hak cipta atas ciptaan juga masih berlaku, hak eksklusif Pencipta dan/atau pemegang hak juga berlaku.

This thesis analyses the freedom of panorama doctrine in the context of copyright protection for photographic works. Freedom of Panorama is related to limitations and exceptions in regulations related to copyright. Copyright gives rise to the exclusive rights of the Author and/or copyright holder. Photographic works are a type of copyrighted work that is protected, but to what extent is the protection if there are other works in it. This thesis was prepared using normative legal research methods, which focus on legal norms or rules with an inter-disciplinary approach, and qualitative data analysis to answer the following main issues: how can copyright for photographic works arise, whether the Author of a photographic work must ask permission from the owner of each the objects they photographed, and whether the Freedom of Panorama doctrine is recognized in copyright law in Indonesia. The result of this research is Copyright for photographic works is born when the idea is embodied in a tangible form, declared, can be seen, heard, reproduced, or communicated through any device, and is an original work or derived from the creation, imagination, and personal expression of its author, without imitating or plagiarizing the work of others. Protection of photographic works is limited, Economic rights are valid for a certain period, which is 50 (fifty) years from the date of Publication. The status of the works becomes public domain after the protection time expires. Author of photographic works must be careful in choosing photo objects. The need for permission depends on the object and purpose of using the photographic work, considering that the relationship between object and legal subject varies. There are photo objects that require permission, for example if it is reasonable to suspect that the work is still protected by copyright under UUHC 2014. The UUHC 2014 does not regulate freedom of panorama or the use of copyrighted works that are permanently located in public places specifically in its limitations, especially those relating to photographic works. As long as the 2014 UUHC is still in effect and copyright protection of the work is still in effect, the exclusive rights of the Author and/or rights holder also apply."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Soponyono, Author
"Latar Belakang
Secara kodrati, manusia lahir ke dunia senantiasa berjuang agar dapat melangsungkan eksistensi kehidupannya. Perjuangan demi kelangsungan kehidupannya mendorong manusia untuk melakukan suatu upaya. Karena keanekaragaman corak dari upaya manusia, maka beraneka ragam pula hasil upaya manusia tersebut.
Hasil upaya manusia dapat dinikmati sendiri, orang lain, masyarakat dan dan bahkan seluruh umat manusia. Seorang penemu bola lampu bernama Edison merupakan salah sebuah contoh yang hasil upayanya berupa karya cipta yang dapat dinikmati oleh setiap orang. Karya cipta seperti tersebut di atas, dapat terjadi dalam bidang-bidang tertentu. Karya cipta yang ternyata bermanfaat bagi kehidupan setiap orang, maka sepatutnyalah apabila mendapatkan penghargaan. Penghargaan atas karya cipta seseorang dapat menjadikan timbulnya hak bagi penemunya.
Hak yang diperoleh seseorang karena karya ciptanya dapat diberi sebutan hak cipta. Hak cipta merupakan kepentingan hukum. Adalah wajar kiranya kalau dia memperoleh perlindungan. Sedang bidang-bidang tertentu yang memberi kemungkinan seseorang untuk melakukan karya cipta, meliputi Ilmu Pengetahuan, Seni dan Kesusasteraan. Karya cipta seseorang dalam bidang-bidang tersebut senantiasa berkembang seirama dengan lajunya Pembangunan Nasional. Dampak positif bagi Pembangunan Nasional atas suatu karya cipta dapat diketahui dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR Nomer II Tahun 1988). Di dalam Tap. MPR Nomer II Tahun 1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Huruf D tentang arah dan kebijaksanaan Pembangunan Umum Nomer 24 ditegaskan ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting serta mempengaruhi perkembangan disegala bidang kehidupan dan pembangunan. Oleh karena itu perkembangan dan penguasaannya perlu dilanjutkan dan diarahkan untuk memajukan kecerdasan dan kemampuan bangsa serta kesejahteraan seluruh masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Pengembangan dan penerapan teknologi disesuaikan dengan prioritas pembangunan dan diarahkan pada pemilihan teknologi tepat yang dapat meningkatkan kemampuan dan produktifitas nasional, nilai tambah, pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan penggunaan alat-alat produksi dalam negeri. Penerapan teknologi canggih ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas serta daya saing ditingkat internasional dan mempersiapkan landasan yang lebih kokoh bagi tahap-tahap pembangunan selanjutnya. Pemilihan, penerapan dan pengembangan teknologi memperhatikan nilai-nilai budaya bangsa dan kondisi sosial budaya yang mendukungnya serta kelestarian lingkungan hidup.
Dengan demikian perlindungan hukum terhadap Hak Cipta seseorang pada bidang-bidang Ilmu Pengetahuan, Seni dan Kesusasteraan berarti menunjang tercapainya tingkat kecerdasan, kemampuan serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian pula, terjadinya usaha pelanggaran terhadap Hak Cipta seseorang dapat mengakibatkan terjadinya hambatan dalam pencapaian tujuan tersebut diatas.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>