Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136324 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulansari
"TNI sebagai komponen utama sistem pertahanan negara bertugas menegakkan dan mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menjalankan tugas pokoknya mereka berisiko tehadap peristiwa sakit, kecacatan bahkan kematian sebagai risiko yang berhubungan dengan pekerjaan. Bentuk perlindungan sosial ekonomi yang disediakan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah manfaat santunan cacat selain perawatan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis manajemen klaim santunan cacat pada program JKK bagi prajurit TNI Peserta Rehabilitasi Terpadu Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan Gelombang I tahun 2019. Penelitian menggunakan metode kualitatif deskriptif melalui observasi, wawancara mendalam dan telaah dokumen. Lokasi penelitian di Pusrehab Kemhan dan PT. ASABRI (Persero).
Hasil penelitian terdapat 60 berkas close/layak bayar dan 2 berkas reject. Peserta telah mendapatkan manfaat dengan tepat jumlah, tepat orang/sasaran, dalam waktu sekitar 2 minggu, belum semua peserta menerima manfaat santunan sesuai dengan jaminan yang diajukan. Kesimpulan manfaat santunan cacat belum dimanfaatkan secara maksimal, dikarenakan kurangnya sosialisasi, persyaratan belum sesuai standar, beberapa aktivitas dalam manajemen klaim belum diatur oleh kebijakan tertulis. Perlu disempurnakan kebijakan tertulis yang mengatur aktivitas manajemen klaim dan sosialisasi secara intens kepada pemangku kebijakan dan peserta secara berjenjang.

TNI as the main component of national defense system has duty to uphold and maintain the territorial integrity of the Unitary State of Indonesia Republic. In carrying out their main tasks they risk facing illness, disability and even death as work-related risks. The form of socio-economic protection provided in the Work Accident Guarantee (JKK) is disability benefits in addition care benefits. The study aims to determine and analyze the management of claims for disability benefits in the JKK program for TNI soldiers in the Integrated Rehabilitation Center of the Defense Ministry in Phase I of 2019. The study used a qualitative descriptive method through observation, in-depth interviews and document review. The research location in the Pusrehab Kemhan and PT. ASABRI (Persero).
The results were 60 close claim/feasible pay and 2 reject claim. Participants have benefited from the exact number, number of people / targets, in about 2 weeks, not all participants have received compensation benefits in accordance with the collateral submitted. The conclusion of disability compensation benefits has not been fully utilized, due to lack of socialization, requirements not yet in line with standards, some activities in claim management have not been regulated by written policies. It is necessary to improve written policies that regulate claims management activities and intensify socialization to stakeholders and participants in stages.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sumarsinah
"Penulisan Tugas Akhir ini ingin mengetahui : ?Model program pelatihan apa yang sesuai bagi peserta P.P.D.S di perusahaan "X". Sebagaimana diketahui, pemsahaan X di Jakarta merupakan salah satu cabang dari pemsahaan X yang berpusat di Amerika. Sehohrmgan dengan perubahan kebijakan bisnisnya yang berlaku di perusahaan X di seluruh dunia, maka pimpinan puncak perusahaan X tersebut bermaksud melakukan PHK terhadap sebagian karyawannya.
Langkah yang dilakukan tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi mereka juga turut memikirkan masa depan peserta P.P.D.S. Ide mendirikan program "0utplacement" (suatu tempat yang rnenyediakan program pelatihan dan konseling untuk pesena P.P.D.S) ditujukan untuk membantu mereka untuk mengatasi masalah yang dihadapi dan mempersiapkan mereka, baik secara fisik maupun psikologis, untuk hidup mandiri. Pada kenyataannya program ?outplacement' di perusahaan X ini tidak sepenuhnya memenuhi keinginan perusahaan karena tidak semua peserta P.P.D.S. memanfaatkan jasa-jasa yang disediakan disini. Disisi lain, berdasarkan identifikasi kebutuhan pelatihan, diperoleh hasil bahwa peserta P.P.D.S membutuhkan program pelatihan yang bisa mengembangkan diri dan mengembangkan keterampilan wira usahanya.
Sesuai dengan judul dari Tugas Akhir ini, penulis mengusulkan : Program pelatihan 'Tangguh' bagi peserta P.P.D.S di perusahaan ?X?. Dalam penyusunan program pelatihannya sendiri harus mempertimbangkan :
1. Ciri khas perusahaan.
2. Ciri khas budaya setempat dimana perusahaan ini berada
3. Situasi lingkungan yang berpengaruh terhadap karyawan.
4. Kebutuhan peserta P.P.D.S dalam rangka menunjang keinginannya untuk bisa mandiri.
Dalam membahas masalah ini digunakan beberapa teori mengenai program pensiun dini, program 'outplacement' dan penyusunan program pelatihan berikut mengenai hal-hal apa yang harus diketahui dan dikuasai oleh seorang pemandu.
Melalui kajian yang dilakukan terhadap pelaksanaan P.P.D.S di perusahaan X, diketahui bahwa adanya kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan tersebut bukan hanya pada pemilihan topik pelatihan yang akan diberikan kepada peserta, tetapi juga pada perencanaan pemberlakuan P.P.D.S secara keseluruhan. Selain itu komitmen dari pihak manajemen juga sangat penting dalam menunjang keberhasilan program ini."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahayu Lin Astuti
"Pelaksanaan transformasi dibidang organisasi dengan melikuidasi dan menggabungkan cabang-cabang yang merugi di PT. X berakibat ada beberapa posisi tertentu yang tidak dibutuhkan lagi dan hal tersebut akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Pelaksanaan likuidasi dan penggabungan cabang tersebut mendorong PT. X untuk melakukan antisipasi yaitu dengan melakukan downsizing.
Downsizing menumt Sirico (1996) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi biaya sehingga membantu perusahaan untuk tetap kompetitif dan tetap dapat benahan. Namun dilain sisi, akan menimbulkan akibat bagi karyawan yang terkena yaitu timbul shock, kemarahan dan rasa malu (Illes, 1996). Downsizing dalam pelaksanaannya menurut Knodwell, Branstead dan Moraveo (1994) ada beberapa pilihan, salah satunya adalah dengan pensiun dini. Pensiun dini sebagai salah satu bentuk pemutusan hubungan kerja rnenurut Gomez, Balkin dan Cardy (1998) memiliki 2 (dua) sifat, yaitu : Voluntary (sukarela) dan Mandatory (keharusan).
Pada saat ini PT. X memiliki rencana untuk melaksanakan downsizing dengan program pensiun dini bersifat mandatory pada karyawan-karyawannya. Untuk itu, penulisan ini merupakan kajian pendahuluan mengenai persiapan PT. X dalam rencana pelaksanaan downsizing dengan program pensiun dini bersifat mandatory dan penanganan dampak dari program tersebut.
Dari data yang ada apabila PT. X melaksanakan downsizing dengan program pensiun dini yang bersifat mandarory maka ada 170 (seratus tujuh puluh) orang yang akan terkena program tersebun Dimana diantaranya 25 (dua puluh lima) orang masih menduduki jabatan struktural dan 53 (lima puluh tiga) orang perwira kapal. Dengan demikian dengan program tersebut akan menimbulkan permasalahan baru bagi PT. ?X? yaitu penyiapan pengganti untuk mengisi jabatan yang kosong akibat program tersebut dan apabila PT. X tetap akan menjalankan program tersebut secara umum dapat dikatakan PT. X belum siap.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk mengisi kekosongan karyawan yang menduduki jabatan maka direkomendasikan untuk menata ulang sumber daya manusianya, melakukan upaya kaderisasi untuk karyawan darat dan laut dengan rnelakukan upgrading bagi karyawan laut dan pelatihan manajerial bagi karyawan darat. Dengan solusi ini, diharapkan dapat diketahui kekurangan ataupun kelebihan jumlah karyawan, dan untuk persiapan pengisian kekosongan jabatan dengan kaderisasi karyawan darat maupun laut melalui program uprading ataupun pelatihan.
Apabila prioritas di atas sudah dilaksanakan oleh PT. X maka program selanjumya adalah pelaksanaan survey mengenai sikap karyawan terhadap downsizing dengan program pensiun dini bersifat mandatory, Pembentukan Tim Kelayakan, serta Pelatihan-pelatihan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Graaff, Ant. P. de
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997
355.099 GRA n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Budi Rusmana
"

Penelitian ini mengkaji hambatan yang dihadapi Itjenad dalam mengimplementasikan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sesuai Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 19 Tahun 2020. Analisis mendalam mengungkap berbagai factual problem, seperti keterbatasan sumber daya, infrastruktur, dan teknologi. Penelitian ini juga menemukan adanya resistensi dari pihak internal maupun eksternal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan post-positivisme. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pejabat di Itjenad, serta pihak-pihak eksternal yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun terdapat berbagai tantangan, seperti keterbatasan sumber daya manusia, resistensi terhadap perubahan, dan kurangnya pemahaman tentang pengawasan intern, namun beberapa kemajuan telah dicapai. Hal ini terlihat dari meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengawasan dan dilakukannya perbaikan dalam proses pengawasan intern di lingkungan Itjenad. Penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah untuk meningkatkan efektivitas SPIP di Itjenad, antara lain pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Kemudian, sosialisasi intensif tentang pentingnya pengawasan internal dan peran SPIP dalam mewujudkan tata kelola yang baik. Serta, peningkatan koordinasi dan komunikasi antar pihak terkait dalam proses pengawasan di lingkungan TNI AD. Dengan upaya perbaikan ini, diharapkan kebijakan pengawasan internal dapat diterapkan dengan lebih optimal, sehingga tujuan utama dari kebijakan ini, yaitu mewujudkan tata kelola yang baik dan akuntabel di lingkungan Itjenad, dapat tercapai.


This research examines the obstacles faced by Itjenad in implementing the Government Internal Control System (SPIP) by the Minister of Defense Regulation Number 19 of 2020. In-depth analysis reveals various factual problems, such as limited resources, infrastructure, and technology. This research also found resistance from internal and external parties. This research uses a qualitative method with a post-positivism approach. Data was collected through in-depth interviews with officials at Itjenad and relevant external parties. The results show that some progress has been made despite challenges such as limited human resources, resistance to change, and a lack of understanding of internal control. This can be seen from the increased awareness of the importance of supervision and the improvements made in the internal control process within Itjenad. This study recommends several steps to improve the effectiveness of SPIP in Itjenad, including training and development to increase the capacity of human resources. Then, intensive socialization of the importance of internal control and the role of SPIP in realizing good governance. As well as increasing coordination and communication between related parties in the supervision process within the Army. With this improvement effort, it is hoped that the internal control policy can be implemented more optimally."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatit Prihandoyo
"Salah satu unsur penunjang Good Pension Fund Governance yang cukup pentingperanannya adalah Dewan Pengawas. Dewan Pengawas merupakan organ yang dimaksudkan untuk mengawasi pengelolaan dana pensiun secara langsung. Unsur Dewan Pengawas terdiri dari wakil Pendiri, peserta aktif dan juga peserta pasif (apabila jumlah pensiunan minimal 50 orang). Kewajiban utama Dewan Pengawas adalah melakukan pengawasan pengelolaan dana pensiun oleh Pengurus, termasuk juga mengevaluasi kinerja investasi dana pensiun dan menyetujui rencana investasi tahunan yang disusun Pengurus.
Hasil pengawasan Dewan Pengawas disampaikan kepada Pendiri dan salinannya juga disampaikan kepada Peserta. Selain memiliki kewajiban, Dewan Pengawas juga memiliki wewenang seperti menunjuk Akuntan Publik dan Aktuaris. Efektivitas Dewan Pengawas dalam mengawasi pengelolaan dana pensiun sangat penting untuk menjamin pengelolaan investasi dan pembayaran manfaat pensiun sesuai peraturan dan arahan Pendiri. Dana Pensiun Perum Peruri (Dapetri) adalah subjek dari pelaksanaan peraturan GPFG yang dirumuskan oleh Bapepam-LK nomor KEP- 136/BL/2006 tentang Pedoman Penerapan Tata Kelola Dana Pensiun. Sebagai akibatnya, praktek Dewan Pengawas yang baik juga merupakan salah satu subjek dari peraturan tersebut. Penelitian yang dilakukan penulis berusaha untuk mempelajari peranan Dewan Pengawas dalam pencapaian GPFG pada Dapetri.
Penelitian atas peranan Dewan Pengawas dilakukan melalui observasi terhadap praktek sehari-hari yang dijalankan Dewan Pengawas dan wawancara secara langsung dengan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dana pensiun. Penelitian ini bersifat studi kasus deskriptif dan eksploratif yang bertujuan mendapatkan gambaran mengenai peranan Dewan Pengawas dalam pencapaian Good Pension Fund Government (GPFG) yang merupakan suatu hal baru dalam konteks dana pensiun.
Analisa mengenai peranan Dewan Pengawas dalam menegakkan praktek GPFG pada Dapetri dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1.Membandingkan kesesuaian antara Praktek-praktek Dewan Pengawas dengan berbagai standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia maupun benchmarking dengan best practices Komisaris bank umum.
2. Membandingkan kesesuaian antara berbagai standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia dengan best practices dana pensiun internasional yang diterbitkan OECD Guidelines For Pension Fund Governance yang diterbitkan oleh OECD Council (Organisation for Economic Cooperation and Development) dan CAPSA Pension Governance Guideline yang diterbitkan oleh Canadian Association of Pension Supervisory Authorities (CAPSA).
3. Menganalisa kesenjangan antara praktek yang telah dilakukan dengan berbagai standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia yang juga telah dianalisa kesesuaiannya dengan best practices dana pensiun internasional.
Hasil penelaahan yang dilakukan penulis terhadap praktek Dewan Pengawas adalah bahwa aktivitas yang dilakukan Dewan Pengawas dalam rangka menjalankan fungsi pengawasannya secara garis besar telah memenuhi standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu hanya terdapat sedikit ketidaksesuaian yang terutama, disebabkan oleh beberapa praktek baru yang belum dilaksanakan oleh Dewan Pengawas walaupun sudah diatur dalam peraturan dan Panduan Tata Kelola Dapetri. Kondisi ini terjadi karena kewajiban penerapan tata kelola dana pensiun baru dimulai pada awal tahun 2008 dan terdapat masa tenggang 1 tahun sehingga masih dalam tahap adaptasi dan peralihan. Di sisi lain dapat diketahui bahwa standar dan peraturan yang berlaku di Indonesia ternyata sudah sesuai dengan pada best practices dana pensiun internasional.
Untuk menunjukkan komitmen Dapetri dalam pencapaian GPFG, saat ini Dapetri telah memiliki Panduan Tata Kelola yang disusun dengan bantuan konsultan eksternal. Sebagai penjabarannya, telah disusun beberapa prosedur operasional yang akan menjadi dasar pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Dewan Pengawas Dapetri demi mencapai praktek GPFG yang lebih baik di masa mendatang."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T25296
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Julianto Fernandes
"Ancaman merupakan segala usaha, tindakan, dan kegiatan yang datang dari dalam maupun luar negeri serta dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa. Bentuk ancaman dapat berubah-ubah mulai dari ancaman militer dan nonmiliter hingga gabungan keduanya yang disebut dengan ancaman hibrida. Menghadapi kondisi tersebut, Indonesia perlu memiliki strategi kebijakan pertahanan yang adaptif guna menghadapi berbagai bentuk ancaman, salah satunya dengan penetapan Komponen Cadangan (Komcad) sebagai salah satu bentuk implementasi dari Undang-Undang No 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Tulisan ini membahas tentang perubahan ancaman dan implikasinya terhadap Komponen Cadangan pertahanan yang dimiliki Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif pada lingkup Komcad matra Darat. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dan penelusuran literatur berupa undang-undang, dokumen, artikel, jurnal, dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan Komcad. Hasil penelitian didapatkan bahwa spektrum ancaman mempengaruhi bentuk Komcad sehingga perlu dibangun postur Komcad yang adaptif seperti pembentukan Batalyon Komcad yang disertai dengan pembinaan yang optimal dibawah komando TNI serta perlu adanya keterlibatan Komcad pada tugas OMSP yang dilakukan oleh TNI AD.

Threats involve all efforts, actions, and activities that come from within the country and can harm the country's security, territorial protection, and security. The form of threats can change from military and non-military threats to a combination of both, called hybrid threats. With these conditions, Indonesia needs to have an adaptive defense policy strategy to deal with various threats, one of which is the establishment of the Reserve Component (Comcad) as one of the implementations of Law No. 23 of 2019 concerning the Management of National Resources for National Defense. This paper discusses threat changes and their implications for Indonesia's defense Reserve Component. The research method used is qualitative with a descriptive analysis approach to the scope of the Land Matra Komcad. Data were collected by conducting in-depth interviews and literature searches in laws, documents, articles, journals, and policies related to Komcad. The results of the study found that the threat spectrum affects the state of Komcad so that it is necessary to build an adaptive Komcad posture, such as the formation of a Komcad Battalion accompanied by optimal guidance under the TNI command and the need for Komcad involvement in OMSP tasks carried out by the Army."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kavin Rizqy Mubarok
"Penyediaan akses kerja bagi penyandang disabilitas di sektor publik merupakan salah satu kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi inklusif bagi penyandang disabilitas. Kebijakan tersebut mengatur bahwa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan formasi dan mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses implementasi kebijakan penyediaan akses kerja bagi penyandang disabilitas di sektor publik dengan menggunakan teori Strategic Action Field Framework for Policy Implementation (SAFs) yang dikemukakan oleh Moulton & Sandfort (2017). Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan sebagai data sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan sudah sesuai dengan teori Strategic Action Field Framework for Policy Implementation (SAFs), walaupun belum mencapai target 2%. Hasil penelitian juga menemukan beberapa hambatan yang memengaruhi proses implementasi kebijakan, antara lain keterbatasan formasi ASN yang dapat diisi oleh penyandang disabilitas, masih adanya instansi pemerintah yang enggan membuka formasi disabilitas dengan target 2%, kurangnya partisipasi dan kolaborasi dengan penyandang disabilitas, paradigma ableisme, tidak adanya sistem reward and punishment bagi instansi pemerintah terkait, belum adanya modul rekrutmen khusus penyandang disabilitas, hingga kurangnya koordinasi mengenai urgensi dan pemahaman akan pentingnya pembangunan inklusif bagi penyandang disabilitas diantara masing-masing instansi.

Providing access to work for persons with disabilities in the public sector is one of the policies and efforts made by the government to realize inclusive economic development for persons with disabilities. The policy regulates Ministries/Agencies and Local Governments to allocate formations and employ persons with disabilities at least 2%. Therefore, this study aims to analyze the policy implementation process for providing access to work for persons with disabilities in the public sector using the Strategic Action Field Framework for Policy Implementation (SAFs) theory proposed by Moulton & Sandfort (2017). This study uses a post-positivist approach, with data collection techniques through in-depth interviews as the primary data source and literature study as secondary data. The results of this study indicate that the policy implementation process is in accordance with the Strategic Action Field Framework for Policy Implementation (SAFs) theory, although it has not yet reached the 2% target. The results of the study also found several obstacles that influenced the policy implementation process, including the limited number of ASN formations that could be filled by persons with disabilities, government agencies still reluctant to open disability formations with a target of 2%, lack of participation and collaboration with persons with disabilities, ableism paradigm, not the existence of a reward and punishment system for relevant government agencies, the absence of a special recruitment module for persons with disabilities, to the lack of coordination regarding the urgency and understanding of the importance of inclusive development for persons with disabilities among each agency."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achir Yani S. Hamid
1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Ma`arif
"Penelitian (disertasi) ini menelaah pergeseran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di era reformasi, khususnya setelah terbitnya UU No. 34/2004 tentang TNI. Fokus kajian disertasi ini dirumuskan dalam tiga research question berikut. Pertama, bagaimana pandangan masyarakat sipil dan para perwira TNI mengenai eksistensi lembaga teritorial bisnis TNI, serta hubungan TNI dengan Departemen Pertahanan (Dephan) dalam era demokratisasi dan arus perubahan masyarakat? Kedua, prasyarat macam apakah yang dibutuhkan TNI baik secara internal sebagai key factor maupun eksternal (driving force) dalam upaya menuju militer profesional? Ketiga, skenario macam apakah yang dapat dibentangkan bagi berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh dalam melakukan reformasi lembaga teritorial, bisnis TNI, serta hubungan TNI dengan Departemen Pertahanan dalam rangka menuju militer profesional di masa depan?
Ada pun tujuan penelitian adalah rnemahami secara tuntas dan mendalam pandangan atau gagasan masyarakat sipil serta perwira TNI tentang eksistensi lembaga teritorial, bisnis TNI, Serta hubungan TNI dengan DepartemenPertahanan dalam rangka membangun tentara profesional di masa mendatang.
Penelitian ini dirancang dan dilaksanakan dalam pola metode kualitatif (qualitative method). Fenomena yang diangkat mengisyaratkan pernbacaan terhadap apa yang ada di balik fakta sehingga dipandang lebih relevan menggunakan pendekatan kualitatif dalam ilmu sosial, Pendekatan kualitatif memiliki akses dan perangkat metodologis memadai dan relevan yang dapat digunakan untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi di balik fakta seperti dikatakan Strauss dan Corbin (l997:13), metode-metode kualitatif dapat perangkat metodologis memadai dan relevan yang dapat digunakan untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi di balik fakta. Seperti dikatakan Strauss dan Corbin (l997:l3), metode-metode kualitatif dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena (symtom, gejala) yang seringkali merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Selain itu, penelitian ini juga mencoba menggunakan teknik skenario (scenario technique), khusus untuk konteks penawaran alternatif atau mendesain pilihan-pilihan kemungkinan bagi upaya reformasi internal TNI menuju militer profesional sesuai semangat UU TNI dan tuntutan perubahan dalam masyarakat. Teknik skenario, manumt Schwartz (199125) merupakan "a toolfor ordering one ?s perception about alternative future environments in which one 's decision might be played about. Alternatively: a set of organized woysfor ns to dream ejectively about our own fixture. Concretebr, the resemble a set of stories, either written out or often spoken". Selanjutnya dikatakan, however, these stories are built around carefully constructed plots that make the significant elements of the world scene stand out bolaju. This appoarch is more a diciplined way of thinking than a formal metodology.
Guna mendapatkan data yang dibutuhkan, beberapa teknik koleksi data telah berusaha digunakan yakni penyebaran kuesioner, focused group discussion (FGD), dan wawancara mendalam (in depth interview). Informan penelitian tersebar di dua belas kota sesuai wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) yang ada di Indonesia. Sandaran teoretik yang digunakan dalam penelitian (disertasi) ini adalah teori Huntington tentang militer profesional. Menurutnya, militer profesional adalah militer yang memiliki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesatuan (corporateness) Dia menulis, ?the first step in analyzing the professional character of modern o_[ยข'icer corps is to define professionalism. T716 distinguishing characteristics of profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility, and corporateness.
Bagi Huntington, intinya adalah berubahnya korps perwira militer dari bentuk ?penakluk? (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini ditandai oleh perubahan dari ?tentara pencari keuntungan materi? menjadi ?tentara karena panggilan suci memberikan pelayanan kepada masyarakat- Huntington melihat profesi militer merupakan produk terbaru masyarakat modern.
Huntington menggolongkan secara dikotomik kaum militer ke dalam dua kategori, yakni ?militer profesional? dan ?militer pretorian?. Militer profesional umumnya dijumpai di negara-negara Barat, di mana militer merupakan kelompok profesional untuk menjaga negara. Mereka juga memiliki ketertundukan kepada pemerintahan sipil. Ia berada di bawah supremasi sipil. Sedangkan prajurit pretorian adalah tentara yang turut terlibat dan melakukan intervensi dalam kehidupan poIitik.
Dalam kerangka peran militer dalam masyarakat (the role of the military in society), Huntington mengajukan terminologi civilian control (kontrol sipil) yang dibedakan antara "subjective civilian control " (kontrol sipil subyektif) dan ?objective civilian control ? (kontrol sipil objektif). Kontrol sipil subyektif, di mana kekuatan sipil berusaha memaksimalkan kekuasaan serta berusaha menarik tentara ke dalam dan untuk kepentingannya, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Sedangkan kontrol sipil objektif, yakni memaksimalkan profesionalisme militer itu sendiri. Secara lebih tegas, kontrol sipil objektif adalah pembagian kekuasaan politik di antara militer dan kelompok-kelompok sipil untuk menciptakan situasi kondusif bagi munculnya sikap dan perilaku profesional di antara para anggota korps perwira. Kontrol sipil objektif, dengan demikian, menentang secara Iangsung kontrol sipil subyektif. Kontrol sipil subyektif mencapai tujuan akhirnya dengan men-sipilkan pihak militer. Sementara kontrol sipil objektif mencapai tujuan akhimya dengan memiliterkan pihak militer, menjadikan mereka alat negara Inti kontrol sipil objektif adalah pengenalan akan profesionalisme militer yang mandiri, sedangkan inti dari kontrol sipil subyektif adalah penyangkalan terhadap kemandirian militer.
Teori militer profesional yang dikembangkan Huntington seringkali dikenal sebagai the old professionalism, Di seberang pemikiran itu, muncul teori the new professionaIism yang diajukan oleh Alfred Stepan, yang diangkat dari fenomena militer di negara-negara sedang berkembang. Dalam the new professionalism, militer turut terlibat dalam kehidupan politik dan turut terlibat dalam menangani masalah ancaman yang muncul dari kalangan masyarakat di dalam negeri suatu negara.
Terhadap pertanyaan penelitian yang disebutkan di atas, temuan penelitian (disertasi) ini menunjukkan ada tiga pembelahan pandangan baik tentang lembaga Koter maupun bisnis TNI serta hubungan TNI dengan Dephan, yakni pandangan konservatif, progresit; dan moderat.
Menyangkut eksistensi Komando Tedtorial (Koter), kelompok pandangan konsenratif berpendirian, bahwa lernbaga tersebut, secara struktural, tetap dipertahankan seperti yang ada saat ini, tetapi secara fimgsional ia harus dikembalikan seperti semula yang semata-mata diorientasikan untuk menangani bidang pertahanan serta fungsi-fungsi teritorial lainnya jika diminta oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan pandangan progresif mengisyaratkan pembubaran total lembaga teritorial, karena ketika TNI hanya melakukan peran dan fungsi semata-mata di bidang pertahanan maka Koter pun menjadi tidak relevan. Kemudian pandangan moderat mengajukan tesis refungsionalisasi lembaga tritorial. Artinya, Koter tetap dipertahankan tetapi peran dan fungsi yang dijalankan hanya dalam lingkup pertahanan dari sisi matra darat dan menutup seluruh peluang bagi keterlibatan TNI dalam politik praktis dan bisnis. Di samping itu, kelompok moderat juga berpandangan bahwa TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara dapat membentangkan struktur organisasinya sesuai kebutuhan pertahanan dalam perspektif matra laut dan matra udara, dengan melaksanakan pmberdayaan wilayah pertahanan sesuai matra masing-masing.
Mengenai bisnis TNL kalangan konservatif memandang bisnis TNI mampu memberikan dan meningkatkan kesejahteraan prajurit. Kalau kemudian bisnis TNI itu dialihkan ke negara, hal itu tidak dilakukan secara total. Artinya masih ada bentuk bisnis tertentu yang harus tetap dipertahankan untuk dikelola TNI yakni koperasi dan yayasan-yayasan nonproit, terutama yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Sementara kalangan progresif memandang bahwa tentara profesional mensyaratkan untuk tidak terlibat sedikit pun dalam segala bentuk kegiatan bisnis. Hak dan akses bagi TNI berbisnis harus dicabut dan ditutup secara total. Bisnis dapat mengganggu dan mengacaukan profesionalisme TNI- Segala wujud bisnis yang ada selama ini harus diambil alih total oleh pemerintah, dan pemerintahlah yang kemudian bertanggung jawab untuk membiayai kebutuhan TNI dan kesejahteraan prajurit. Kemudian, kalangan moderat berpendirian bahwa bisnis TNI yang bersifat legal dan institusional hams diaudit dan dipilah-pilah terlebih dahulu sehingga dapat diketahui mana yang sehat dan yang tidak sehat. Bisnis yang sehat harus segera diambil alih oleh negara, sedangkan yang tidak sehat dibubarkan. Tetapi pengambil alihan oleh pemerintah itu harus diikuti dengan kompensasi yang jelas kepada TNI bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Mengenai hubungan struktural antara TNI dengan Dephan. Dalam pandangan konservatif TNI harus tetap berada langsung di bawah Presiden karena Presiden merupakan Panglima Tertinggi TNI. Dalam konteks demikian, antara institusi TNI dengan Dephan berada pada posisi sejajar. Sementara itu, pandangan progresif seeara tegas menempatkan TNI di bawah Dephan, sebagai salah satu wujud dari pengakuan terhadap supremasi sipil. Sedangkan pandangan moderat berpendirian, sesungguhnya letak persoalannya tidaklah pada apakah TNI di bawah Presiden atau di bawah Dephan, tetapi lebih pada bagaimana TNI dapat melaksanakan peran kemiliterannya dengan baik yang didasarkan pada level fungsi yang tegas dan konsisten.
Hal itu semua terkait dengan upaya rnembangun TNI sebagai militer profesional. Profesionalisme TNI dapat dicapai jika melepaskan diri atau dilepaskan dari keterlibatannya dalam politik praktis, tidak berbisnis, dan tidak menjadikan lembaga teritorial sebagai sarana ke arena sospol. Pengakuan dan kedudukan pada supremasi sipil di mana Salah satu wujudnya adalah kesediaan TNI diposisikan di dalam Dephan. Kritenia militer profesional sepeni diisyaratkan Huntington tersebut juga harus melekat pada did TNI.
Saat ini TNI sesungguhnya sudah cukup jauh meninggalkan citra diri dan perilaku pretonan Semakin jauh dari pretorian semakin jauh pula dari tekanan subjective civilian control, dan ini sekaligus bermakna bahwa TNI semakin mendekati arena objective civilian control. Hal ini tentu saja berdampak positif bagi perkembangan civii society serta konsolidasi demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejak awal reformasi hingga saat ini TNI masih dalam proses transisi menuju militer profesional. Dalam hubungan ini, TNI cenderung bergerak dari new professionalism (ala Stepan) ke old professionalism (ala Huntington), tetapi tidak murni seperti yang dipahami dalam teori, karena aspek-aspek tertentu dari new professionalism tidak bisa dilepaskan dalam peran dan fungsi TNI. Pada kenyataannya antara objective civilian cintrol dengan subjective civilian control tidak dapat dipisahkan secara hitam putih.
Dengan demikian, profesionalisme dalam konteks TNI, Iebih merupakan pemaduan antara new professionalism (Stepan) dengan old professionalism dan memiliki komitmen kuat untuk terlibat secara tulus -berdasarkan perintah pemerintah sipil- dalam tugas-tugas nonpertahanan demi kemanusiaan, solidaritas sosial, kebaikan bersama, dan keterhormatan bangsa.
Tentara profesional dalam konteks Indonesia adalah tentara yang memiliki prinsip-prinsip profesionalisme kemiliteran dalam pengertian old professionalism, memenuhi kriteria yang diamanatkan UU TNI, memiliki aspek-aspek new profesionalism, konsisten terhadap objective civilian control, berikut memegang teguh etika militer, Sumpah Prajurit, dan Etika Perwira. Sosok TNI yang demikianlah yang menjadi role expectation masyarakat. Pada giliran di tingkat role taking masyarakat akan mengakuinya ke depan ada optimisme TNI mampu membangun dan membuat peran (role making) secara lebih baik.
Membentuk TNI sebagai militer profesional membutuhkan sejumlah prasyarat tertentu seperti prasyarat ekonomi, prasyarat sosial, prasyarat politik, prasyarai teknologi, dan prasyarat kurikulum pendidikan militer. Tetapi untuk semua itu membutuhkan political will negara dan dukungan civil society untuk menopangnya.
Untuk kepentingan reformasi TNI berkait dengan eksistensi Koter, biasis TNI, dan hubungan TNI-Dephan, serta upaya rnendorongnya menuju profesionalisme militer, penelitian ini merekomendasikan tiga skenario. Pertama, melakukan refungsionalisasi Iembaga Koter. Kedua, mengalihkan bisnis TNI kepada pemerintah disertai kompensasi yang jelas. Ketiga, memososikan TNI berada di dalam Dephan, yakni tipe koordinasi, model Amerika.

This research (thesis) examines the shift of the Indonesian Armed Forces (TNI) in the reform era, particularly after the issuance of the Law No. 34/2004 concerning TNI. Focus of the review of this thesis is formulated in the following three research question: First, what is the opinion of civil society and the TNI officers regarding the existence of territorial institutions, TNI?s business, and the relationship of TNI and the ministry of Defense (Dephan) in the democratization era and the community?s changing trend? Second what type of prerequisite is needed by TNI, both intemally as key factors, or externally (driving fame) in its effort toward professional military? Third what type of scenario could be prepared for various possibilities that are possible to conduct the reformation of territorial institutions, TNI's business, as well as the relationship of TNI and the Ministry of Defense toward professional military in the future?
The objective of this research is to completely and thoroughly understand the civil society?s and TNI ofticer's idws regarding the existence of territorial institutions TNI?s business and the relationship of TNI and the Minisuy of Defense in building professional army in he future.
This research is designed and carried out in a qualitative method pattern. The phenomenon highlighted gives a signal to the reader regarding what exist behind the facts so that it is considered more relevant to using qualitative approach. In social science, the qualitative approach has adequate and relevant access and methodology tools that could be used to reveal any issues exist behind the fact. As quoted by Strauss and Corbin (l997:l3), the qualitative methods could be used to find out and understand what exist behind any phenomenon (symptom) that is often difficult to understand.
Additionally, this research tries also to use special scenario technique for alternative offering context or to design possible choices for the TNI?s internal reformation effort toward professional military according to the spirit of the Law of TNI, and change demand in the society. The scenario technique, according to Schwartz (1991:5) is... "a tool for ordering one is perception about alternative future environments in which one 's decision might be played about. Alternatively, a set of organized ways for us to dream efectively about our own fitture. Concretely, this resembles a set of stories either written out or often spoken ". Furthermore, it is stated that, however, these stories are built around carejitlly constructed plots ? that make the significant element of the world scene stand out boldly. This approach is more a disciplined way of thinking than a formal methodology.
In order to obtain data required, several data collection techniques have been used, namely dissemination of questionnaires, Focused Group Discussion (FGD), and in depth interview, Research informant spreads in twelve cities, pursuant to the Regional Military Command (Kodam) exist in Indonesia.
Theoretical base used in this resmrch (thesis) is the Huntington theory of professional military. According to hitn, a professional military is a military that has the expertise, responsibility, and corporateness He wrote, ?the first step in analysing the professional character of modern officer corps is to define professionalism". The distinguishing characteristics of profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility, and corporateness.
For Huntington, the essence is the change of the military officer corps liorn conqueror type (warrior) into professional group. The professionalism of this officer corps is marked by the change nom ?army that looks for material advantages? into ?army by sacred call to serve the community". Huntington viewed that the military profession is the most recent products of modern society. Huntington classified in dichotomy manner, the military groups into two categories, namely ?professional military? and ?praetorian military?. The professional military is generally found in West countries, where military is a professional group to safeguard the country. They subject to the civil society. They are under the civil supremacy. Meanwhile, practorian troops are those involved and conduct intervention in political life.
In the frame of the role of military in society, Huntington proposes the terminology civilian control, which differs from the ?subjective civilian control? and "objective civilian control ?. The subjective civilian control is the civil power trying to maximize their power while trying to draw the military inside and for its interest either political or economic interest, wherms, the objective civilian control, namely to maximize the military professionalism itself in a stricter manner, objective civilian control is the distribution of political power between military and civil groups to create conducive circumstance for the awakening of professional attitude and behavior among the officer corps member. The objective civilian control therefore, directly is in opposition to the subjective civilian control. The subjective civilian control achieves its ultimate goal by civilizing the military groups. Meanwhile, the objective civilian control achieves its ultimate goals by militarizing the military groups and putting them as a state apparatus. The essence of the objective civilian control is the identification of independent military professionalism, whereas the essence of subjective civilian control is the denial of military independence.
The professional military theory developed by Huntington oiten referred to as the old professionaifsm. Opposing the thought, the new professionalism theory raised, which was proposed by Alfred Stepan highlighted from military phenomena in developing countries. In the new professionalism theory, the military is involved in political life and involved in handling any threat issues occur from the domestic community in a particular country.
Toward the research questioned raised above, findings of this research (thesis) show that there are three different views of Territorial Command institutions and the TNI?s business as well as the relationship of TNI and the Ministry of Defense, namely conservative, pro gr'essive, and moderate view.
Related to the existence ofthe Territorial Command (Koter), the conservation-view groups made an opinion that the institution, structurally, shall be maintained as current situation but functionally, it shall be restored to its original condition that is merely oriented to handle defense sector as well as other territorial functions upon request by Regional Govemment. Whereas, the progressive view signaled total dismiss of territorial institution, since TNI has errried out only their sheer roles and functions, the Territorial Command is no longer relevant. Furthennore, the moderate view proposes the territorial institution refunctionalization thesis which means that the Territorial Command shall be maintained but the role and function perforrned shall only in defense and land-dimension scope, and close the entire opportunities for TNI in practical politics and business. Additionally, the moderate group has an opinion also that the Navy and Air Force of TNI may expand its organizational structure according to defense requirement in sm-dimension and air-dimension perspective by empowering the defense territories according to respective dimension.
Regarding TNI's business, conservative group view that TNI's business is able to provide and improve officer?s welhre. Should the TNI?s business handed over to the State, such thing shall not be totally done, It means that there are certain types of business that shall be maintained to be handled by TNI, namely cooperatives and not-for-profit fotmclations particularly those run in education and health sector. Meanwhile, progressive group views that professional military requires not to get involved in any types of business activities. It means that the access for TNI to run business shall be totally revoked and closed since the business may distort and ruin the TNI?s professionalis.m Any types of busineses that are operated up to now shall be totally handed over by the government, and it is the government that shall be responsible for financing the TNI's needs and the military?s welfare. Furthermore, moderate group have an opinion that TNI?s legal and institutional business shall be audited and sorted first so that it will be able to identify which businesses are healthy and unhealthy. The healthy businesses shall be taken over by the State, whereas the unhealthy ones shall be dismissed. However, the government?s taking over shall be followed by clear compensation for TNI, for the interest of military?s welfare enhancement.
Concerning th structural relationship between TNI and the Ministry of Defense. In conservation?s opinion, TNI shall be put directly under the President since the President is the Ultimate Commander of TNI. In such context, the position of TNI and the Ministry of Defense is parallel Wherms, the progressive view strictly places TNI under the Ministry of Defense as a realization and recognition of civil supremacy. Whereas, moderate view has an opinion that the problems indeed not regarding whether TNI shall be placed under the President or under the Ministry of Defense but rather on how TNI will carry out its military role in good manner based on a strict and consistent function level.
These all related to the effort of building TNI as a professional military, The professionalism of TNI could be achieved if it releases itself or is released from any practical politic, not conduct any businesses nor make any territorial institutions as a means for social and political world Recognition and compliance with civil supremacy, where one of its realizations, is the willingness of TNI to be positioned under the Minntry of Defeme. Professional military criteria as required by Huntington shall also inherit in TNI.
At this time, TNI has quite tar left its practorian image and behavior. The further from practorian, the further from the pressure of subjective civilian control and this simultaneously means that TNI is getting closer to the objective civilian control sphere. This certainly gives positive impact on the development of civil society and the democracy consolidation in societal and national life.
Since the early reform up to now, TNI remains in a transition process toward professional military. In this regard, TNI tends to move fiom new professionalism (ala Stepan) to old professionalism (ala Huntington) but not in pure sense as understood in theory since particular aspects of the new professionalism could not be released hom tl1e TNl?s roles and functions. In fact, it is impossible to strictly separate the objective civilron control and subjective civilian control.
Thus, professionalism in TNI context is rather becoming the combination of new professionalism (Stepan) and the old professionalism (Huntington). Such professional miitary in this research is called ?The Patriot Professional The patriot professional military is a military that in addition to its presence in professionalism-character posture is also called and strongly committed to be sincerely involved based on the civil government?s command in non-defense duties for the sake of humanity, social solidarity, mutual benefit, and nation?s dignity.
Professional troops in Indonesian context are the troops that have military professionalism principles in term of old professionalism, satisfy the criteria set out in the Law of TNI, have new profasionalism aspect, consistent to the Objective civilian control, and strictly stick to the military ethics, 0fficer?s Oath, and officer?s Ethics. Such TNI?s image becomes the society?s role expectation. In turn, at the role raking level, the society will recognize it. In the future, optimism occurs that TNI will be able to build and make a better role.
Establish TNI as a professional military requires various certain prerequisites such as economic, social political, technological prerequisite and military education curriculum prerequisite. However, the entire things require the State's political will and support by civil society to support them.
For the interest of TNI reform related to the existence of TNI's Territorial Command and the relationship of TNI - Ministry of Defense, as well as the effort to encourage it toward military professionalism, this research recommends three scenarios. Firstly, carry out the refunctionalization of Territorial Command institution. Secondly hand over the TNl?s business to the government, accompanied with clear compensation. Thirdly. position between the TNI and the Ministry of Defense, using' the coordination type (American model), where there shall be coordinating of duties and authorities between TNI and the Ministry of Defense.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D801
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>