Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137934 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizal Librek Saukoly
"ABSTRAK
Di awal tahapan Pilpres 2019, muncullah satu gerakan yang bertagar #2019gantipresiden. Gerakan ini merupakan respon dari dukungan kepada Jokowi untuk Dua Periode. Kedua gerakan ini dimainkan hingga sampai ke dunia maya dengan adanya sosial media. Gerakan ini menghasilkan hate spin (pelintiran kebencian) yang marak menjelang Pilpres 2019. Hate speech yang dimainkan sehingga menimbulkan hate spin pada masa kampanye bertujuan menciptakan gerakan untuk menolak kandidat paslon tertentu dan meruntuhkan demokrasi yang sudah ada. Selama ini Polri sudah melakukan penanggulangan hate speech (ujaran kebencian), namun dengan berkembangnya geopolitik Indonesia, hate spin menjadi tantangan baru yang dihadapi oleh Polri.
Penelitian ini menggunakan metode analisis konten untuk menganalisa hate speech dan hate spin yang terjadi di Twitter menjelang Pilpres 2019. Metode deskriptif analisis digunakan untuk menganalisa pola penanggulangan Polri terhadap hate spin dengan menggunakan pendekatan Sun Tzu. Konten hate spin di Twitter memiliki ciri antara lain yaitu berupa hashtag yang bermakna negatif (menghina, menyinggung, menghasut). Jika melihat dari data penyebaran hate spin selama masa kampanye hingga mendekati Pilpres 2019 yaitu dari tanggal 15 Februari hingga 15 April 2019, hate spin yang tersebar di media sosial Twitter terbagi menjadi dua, yaitu yang menyerang kandidat paslon 01 dan juga kandidat paslon 02. Terdapat 36 (tiga puluh enam) hate spin yang menyerang kandidat paslon 01 dan 12 (dua belas) hate spin yang menyerang kandidat paslon 02. Pola hate spin yang menjadi trending topic di Twitter selama masa kampanye muncul karena adanya kejadian di dunia nyata yang menjadi trigger kemunculan hate spin. Strategi Polri dalam upaya menanggulangi hate spin dengan menggunakan 5 (lima) dari 36 (tiga puluh enam) pedekatan strategi Sun Tzu. Hambatan yang ditemui Polri dalam penanggulangan hate spin menjelang Pilpres 2019 antara lain jumlah penyebaran hate spin semakin meningkat, jumlah personil Polri yang masih sedikit serta adanya diskresi kepolisian menyebabkan penyebar hate speech yang menjadi awal penyebaran hate spin tidak dapat langsung di tangkap.

ABSTRACT
At the beginning of the stages of the 2019 Presidential Election, a movement that was #2019gantipresiden emerged. This movement was a response from support for Jokowi for the Two Periods. Both of these movements were played to reach the virtual world with social media. This movement produces hate spin which is rife ahead of the 2019 Presidential Election. Hate speech which is played to cause hate spin during the campaign period aims to create a movement to reject certain candidate candidates and undermine existing democracies. So far, the National Police has tackled hate speech, but with the development of Indonesian geopolitics, hate spin has become a new challenge faced by the National Police.
This study uses content analysis methods to analyze hate speech and hate spin that occur on Twitter ahead of the 2019 Presidential Election. Descriptive analysis method is used to analyze the pattern of police response to hate spin using the Sun Tzu approach. Hate spin content on Twitter has the characteristics, among others, in the form of hashtags that are negative (insulting, offensive, inciting). If you look at hate spin dissemination data during the campaign period to approach the 2019 Presidential Election, which is from February 15 to April 15 2019, hate spin spread on Twitter social media is divided into two, namely those attacking candidate candidate 01 and candidate candidate candidate 02. There are 36 ( thirty six) hate spins that attack candidate candidate 01 and 12 (twelve) hate spins attack candidate candidate pair 02. The pattern of hate spin which is a trending topic on Twitter during the campaign period arises due to real-world events that trigger the emergence of hate spin . The strategy of the National Police in an effort to combat hate spin by using 5 (five) of 36 (thirty six) approaches to Sun Tzu's strategy. The obstacles encountered by the National Police in overcoming hate spin ahead of the 2019 Presidential Election include the increasing number of spreads of hate spin, the relatively small number of Indonesian National Police personnel and the existence of police discretion that can cause the spread of hate spin to be captured immediately."
2019
T52978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairuddin
"Kebebasan pengguna internet di dunia maya menjadi cikal bakal munculya Ujaran Kebencian, hoax dan sejenisnya. Diperlukan adanya mekanisme kontrol yang baku. Kehadiran UU ITE yang dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus Ujaran Kebencian di dunia maya. Disamping itu UU ITE diharapkan dapat membatasi penyebar Ujaran Kebencian, hoax dan sejenisnya. Tujuan dari Tesis ini adalah untuk memperoleh gambaran atau deskripsi tentang kasus Ujaran Kebencian di dunia maya sebagai salah satu kasus tindak pidana di dunia maya yang dibuat oleh pengguna internet dalam rangka membina keamanan dan ketertiban Masyarakat. Undang-undang ITE yang semestinya dapat mengurangi tingginya angka tindak pidana di dunia maya, khususnya Ujaran Kebencian dalam memberikan efek jera, ternyata tidak berpengaruh sama sekali. Hal ini diindikasikan oleh data yang diperoleh dari Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Ada tiga masalah yang diungkap dalam penelitian ini; pertama, adanya modus operandi Ujaran Kebencian yang dilakukan pada Pilpres tahun 2019; kedua, model penanganan Ujaran Kebencian pada Pilpres 2019 di Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya; ketiga faktor pendukung penanganan Ujaran Kebencian yang dilakukan oleh Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif dimana data dan fakta dikumpulkan berdasarkan temuan di lapangan yang kemudian dideskripsikan. Pada penelitian ini, sumber data ditentukan secara purposive dengan metode pengumpulan data melalui cara observasi wawancara dengan informan penelitian, dan telaah dokumentasi. Sedangkan analisa data dilakukan dengan cara reduksi data (data reduction), sajian data (data display) dan penarikan kesimpulan dan verifikasinya (conclusion and verification). Adapun temuan dari penelitian ini adalah bahwa pertama adanya modus operandi Ujaran Kebencian pada Pilpres 2019, adanya model khusus penanganan Ujaran Kebencian pada Pilpres 2019 di Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, dan, ketiga adanya faktor pendukung penanganan Ujaran Kebencian yang dilakukan oleh Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya

The freedom of the internet users in cyber has become a root cause of the emergence of hate speech, hoax, and the like. It is compulsory to have standard controlling mechanism. The launching of Information and Electronic Transaction Law is expected to be able to reduce the number of cases of Hate Speech in cyber. Besides, the Information, Electronic Transaction regulation is expected to limit hate speech creators of Hate Speech, hoax and the like. The purpose of this thesis is to gain a decription about Hate Speech cases created by the internet users as one of criminal action cases in the internet in order to maintain law and order in the society. Information and Electronic Transaction Law (ITE) which is expected to be reducing the high rate of criminal actions in the internet, particularly Hate Speech in order to give sanctions, does not affect at all. This is indicted by the factual data gained from Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, for certain years period, experience an increase. Three problems are exposed in this research; first, there is modus operandi of Hate Speech, particularly during the Presidential Election 2019; second, handling model of Hate Speech cases during the Presidential Election 2019 in Subdit Tipid IV Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya; and supporting factors of Hate Speech handling in Subdit Tipid IV Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. This research is conducted by qualitative-descriptive where data and facts are gathered based on the findings in the field that are described later. In this research, data sources are determined in a purposive way with data gathering methodology in observation and interview with the research informan, coupled with document analysis. Meanwhile, data analysis are are conducted by data reduction, data display and conclusion and verification. The research finding is the fact that there is a modus operandi of Hate Speech during the Presidential Election 2019, special model of handling Hate Speech during the Presidential Election 2019 in Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, and supporting factors of handling Hate Speech, in Subdit IV Tipid Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Reno Prakoso
"Di Indonesia, khususnya DKI Jakarta sebagai pusatnya, ujaran kebencian khususnya dalam bentuk berita bohong menjadi sangat massif dan merebak. Polda Metro Jaya khususnya Direktorat Intelkam memiliki kewajiban melakukan deteksi dini terhadap ancaman harus berperan aktif melakukan upaya-upaya pencegahan dan antisipasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian yaitu: (1) Momentum politik saat pilkada dan menjelang pemilihan presiden seakan menjadi momentum menyebarnya berita hoaks. Pada tahun 2018, sedikitnya ada kurang lebih 997 kasus hoaks di DKI Jakarta yang dipantau, dicegah dan ditanggulangi oleh Ditintelkam Polda Metro Jaya, melonjak drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sekian banyak jenis ujaran kebencian, yang paling banyak terjadi khususnya di DKI Jakarta sebagai “penjuru” nya Indonesia adalah berita bohong (hoaks). (2) Ditinjau dari sudut pandang Foreign policy dan Program strategy development, pemerintah telah berupaya meminimalisir terjadinya berita bohong dengan berbagai peraturan dan Undang-Undang, misalnya melalui Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian. Dari sudut pandang Economic Analysis, menjadi produsen maupun penyebar berita bohong (hoaks) kemudian mengambil keuntungan dari pro kontra yang ditimbulkan menjadi pilihan “pekerjaan” bagi sebagian orang saat ini. Dari sudut pandang political analysis, dimana justru banyak aktor-aktor politik yang memanfaatkan berita bohong dan sengaja diproduksi untuk menyingkirkan dan menjatuhkan lawan politiknya. Ditinjau dari sudut pandang Compliance monitoring bahwa dengan banyaknya fenomena berita bohong di tengah masyarakat akan berpotensi pada terjadinya konflik-konflik di dalam masyarakat yang berbahaya bagi ketahanan nasional, sehingga dari sudut Defence and security threat terlihat jika fenomena ujaran kebencian ini tidak diantisipasi sejak dini, berpotensi pada terpecah belahnya NKRI. Oleh karena itu, Law enforcement planning yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan dan mensinergikan berbagai pemangku kepentingan di DKI Jakarta termasuk masyarakat itu sendiri dalam upaya antisipasi sejak dini terhadap berita bohong (hoaks) yang meresahkan masyarakat demi keutuhan NKRI.

In Indonesia, especially DKI Jakarta as the center, hate speech, especially in the form of fake news, has become massive and widespread. Polda Metro Jaya, especially the Directorate of Intelligence and Security, has an obligation to carry out early detection of threats and must play an active role in making prevention and anticipation efforts. This research uses a qualitative approach. The results of the research are: (1) Political momentum during the regional elections and before the presidential election seems to be a momentum for hoax news to spread. In 2018, there were at least 997 hoax cases in DKI Jakarta that were monitored, prevented and overcome by the Directorate of Information and Technology of the Polda Metro Jaya, a drastic increase from previous years. Of the many types of hate speech, the most common especially in DKI Jakarta as the “corner” of Indonesia is hoax. (2) From the point of view of the foreign policy and strategy development program, the government has tried to minimize the occurrence of fake news with various regulations and laws, for example through the Chief of Police Circular Number: SE / 6 / X / 2015 dated 8 October 2015 concerning handling of speech. Hatred. From the point of view of the Economic Analysis, being a producer or spreading hoax then taking advantage of the pros and cons that has resulted in becoming a "job" choice for some people today. From the point of view of political analysis, there are many political actors who take advantage of fake news and are deliberately produced to get rid of and overthrow their political opponents. From the point of view of Compliance monitoring, with the many phenomena of fake news in the community, there will be potential for conflicts in society that are dangerous to national security, so that from the point of view of Defense and security threat, it can be seen that if the phenomenon of hate speech is not anticipated early, it will the potential for the fragmentation of the Republic of Indonesia. Therefore, law enforcement planning that needs to be done is to maximize and synergize various stakeholders in DKI Jakarta including the community itself in an effort to anticipate from an early age fake news (hoax) that disturbs the community for the integrity of the Republic of Indonesia"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Thomas
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui konsep ujaran kebencian yang berkaitan erat dengan hak asasi manusia dalam kebebasan berpendapat. Ujaran kebencian adalah kegiatan kriminal yang ditargetkan, biasanya dimotivasi oleh prasangka berdasarkan pada karakteristik pribadi yang dirasakan para korban. Ujaran kebencian ini adalah masalah HAM yang dilematis, dimana di satu sisi menyampaikan pendapat merupakan suatu HAM yang patut dilindungi, dan di sisi lain kebebasan tersebut berpotensi menyebabkan ujaran kebencian. Kemajuan teknologi kemudian memberi kontribusi besar dalam terjadinya ujaran kebencian yang dilakukan melalui media sosial. Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan perolehan data secara khusus dari peraturan perundang-undangan nasional, perjanjian-perjanjian internasional, putusan pengadilan, literatur-literatur hukum terkait, dan data-data dari wawancara terhadap para praktisi yang sudah pernah berurusan dengan perbuatan ujaran kebencian ini. Data-data yang diperoleh akan dideskripsikan dan dianalisis secara mendalam dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada masih bersifat karet dimana para penegak hukum masih mengalami kendala yang berarti dalam penanggulangan ujaran kebencian. Ujaran kebencian memiliki unsur yang berhubungan erat dengan hasutan kebencian kepada para pendengarnya dan kerentanan seseorang atau suatu kelompok minoritas yang dijadikan target dari kebencian itu. Tesis ini juga merekomendasikan pemerintah agar dapat mempertimbangkan untuk melakukan regulasi khusus terhadap perbuatan ujaran kebencian. Dengan demikian, kriminalisasi terhadap ujaran kebencian dapat membantu para penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum yang efektif dan sesuai dengan koridor hukum.

This thesis aims to know the concept of hate speech that is closely related to human rights in freedom of expression. Hate speech is a targeted criminal activity, usually motivated by prejudice based on the personal characteristics felt by victims. This hate speech is a dilemmatic human rights issue, which on the one hand conveys opinion as a human right to be protected, and on the other hand it has the potential to cause hate speech. Technological advances then contribute greatly to the occurrence of hate speech through social media. The research in this thesis uses qualitative research methods with the acquisition of data specifically from national legislation, international agreements, court decisions, related legal literature, and data from interviews of practitioners who have previously dealt with this hate speech. The data obtained will be described and analyzed in depth and described systematically. The results of the research in this thesis indicate that the existing legislation is still uncertain where law enforcers still experience significant obstacles in overcoming hate speech. Hate speech has elements that are closely related to incitement of hatred to the audience and the vulnerability of a person or a minority group targeted by that hatred. This thesis also recommends the government to consider doing special regulation on hate speech. Thus, criminalization of hate speech can assist law enforcement to enforce effective laws and in accordance with legal corridors."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T52207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Ester Josephin Pratiwi
"Ujaran kebencian merupakan perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan, diskriminasi, permusuhan atas dasar suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap fenomena ujaran kebencian yaitu terletak pada pengaturan mengenai ujaran kebencian itu sendiri, dimana terdapat
ketidakjelasan parameter dalam pengaturannya. Akibat dari ketidakjelasan parameter tersebut, maka kepastian hukum terkait ujaran kebencian akan sulit dicapai selain itu akan semakin besar kemungkinan terjadinya kesewenangwenangan. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah sejarah peraturan tentang ujaran kebencian di Indonesia, apa yang menjadi parameter suatu perbuatan termasuk sebagai ujaran kebencian (hate speech) serta praktik penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia. Melalui penelitian Yuridis-Normatif dengan
pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual, maka penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan yaitu: 1. Sejarah peraturan tindak pidana ujaran kebencian (hate speech) di Indonesia sesungguhnya berasal dari British Indian Penal Code yang saat itu berlaku di India yang dijajah oleh Inggris. Berdasarkan Traktat London, semua jajahan Perancis diserahkan ke tangan Inggris. Belanda
yang merupakan jajahan Perancis kemudian jatuh ke tangan Inggris, maka Inggrislah yang membawa pasal tersebut ke Belanda, kemudian Belanda menerapkan pasal tersebut ke Indonesia karena dianggap memiliki kesamaan dengan India yang memiliki ragam kultur dan agama. 2. Parameter ujaran
kebencian yaitu perbuatan yang dilakukan di muka umum; bersifat permusuhan, penghinaan atau merendahkan, dan kebencian; dilakukan dengan sengaja baik langsung maupun tidak langsung; menimbulkan terjadinya kerusuhan yang
menyebabkan terjadinya kerugian materiil, immateriil dan jiwa. 3. Penegakan hukum terhadap tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan analisis dari tujuh putusan ialah bahwa hakim kurang memberikan tafsiran dan argumen terhadap unsur pasal yang tidak jelas tersebut dan ada hakim yang memperluas makna golongan menjadi tidak sesempit pada suku, agama dan ras saja.

Hate speech is a word, behavior, writing, or show that is prohibited because it can trigger acts of violence, discrimination, animosity on the basis of ethnicity,
religion, race and intergroup (SARA). One factor that is weak law enforcement against the phenomenon of hate speech is located in the regulation of the hate speech itself, where there are unclear parameters in the regulation. As a result of the unclear parameters, the legal certainty related to hate speech will be difficult to achieve other than that the greater the possibility of arbitrariness. This research is intended to find out and understand how the history of regulations regarding hate speech in Indonesia, what is the parameter of an act including hate speech and law enforcement practices against hate speech in Indonesia. Through juridical-normative research with historical, legal and conceptual approaches, this research resulted in three conclusions, namely: 1. The history of
hate speech regulations in Indonesia actually originated from the British Indian Penal Code which was then in force in India which was colonized by the British. Based on the London Treaty, all French colonies were handed over to the British. The Netherlands which was a French colony then fell into the hands of the British, then it was England who brought the article to the Netherlands, then the Dutch
applied the article to Indonesia because it was considered to have similarities with India which had a variety of cultures and religions. 2. Parameters of hate speech, namely acts committed in public; hostility, humiliation or humiliation, and hatred; done intentionally both directly and indirectly; lead to riots that cause material, immaterial and life losses. 3. law enforcement against hate speech based on an analysis of the seven decisions is that the judge does not provide interpretations and arguments about the unclear elements of the article and there are judges who expand the meaning of groups to be not as narrow as ethnic, religious and racial only.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arassi Alfandi
"ABSTRAK
Pada penelitian ini penulis melakukan analalisis hate spin di media sosial twitter terhadap proses Pilkada di Provinsi Jawa Barat. Pencarian data penelitian dilakukan pada media sosial Twitter, informasi tentang hate spin menjadi objek utama penelitian yang akan dikaji lebih dalam. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan akun-akun bermuatan negatif yang berusaha menyentuh sisi emosi pengguna media sosial Twitter daripada sisi rasionalnya. Akun-akun tersebut diberi nama sama dengan pasangan calon Pilkada Jabar Tahun 2018 diantaranya adalah akun Ridwan Kamil-Uu Rhuzanul Ulum rlm; @rinduTPbenci, akun Sudrajat Ahmad Syaikhu @SudrajatAhmadS1 dan akun Deddy Mizwar Dedi Mulyadi @2dm4jabar. Dalam proses pencarian data tidak ditemukan akun yang secara khusus melabeli citra negatif pada pasangan calon nomer urut dua yaitu Tubagus Hasanudin dan Anton Charliyan. Dari hasil observasi peneliti dapat diketahui bahwa akun-akun tersebut tidak dibuat oleh kandidat untuk berkampanye melainkan akun-akun tersebut dibuat oleh propagandis untuk menyebarkan Hate Spin. Tweet propaganda yang disampaikan pada akun-akun diatas menggunakan metode gambar dan tulisan, hal ini bertujuan untuk menarik perhatian dan memudahkan dalam memberikan pengaruh kepada pengguna media sosial twitter khususnya di Jawa Barat. Terdapat 5 wacana yang dibahas dari keempat pasangan calon yaitu Agama, Dinasti Politik, Korupsi, Pelanggaran kampanye dan Kualitas Pasangan Calon Kepala daerah yang mana pada masing-masing isu ini ditemukan propaganda, partial truth dan Hate Spin. Kasus Hate Spin menjadi ancaman bagi kedaulatan rakyat Indonesia. Karena dengan adanya Hate Spin sistem pemilihan umum akan menjadi sarana bagi mereka-mereka orang yang tidak pro demokrasi untuk memenangkan salah satu kandidat pasangan calon dengan berbagai cara yang mereka kehendaki. Hal ini melunturkan marwah dari sistem demokrasi Indonesia yang mana seharusnya rakyat bebas memilih pemimpinnya melalui pemilu tanpa intervensi dari pihak manapun.

ABSTRACT
In this research, outhor did hate spin analysis on twitter towards the process of the Regional Elections in West Java Province. The searching for data conducted on twitter, the information about hate spin was being the main object of the research that would be observed deeply. Based on the results of the research found that accounts with the negative content try to touch the emosional side of Twitter rsquo s users than the rational side. Those accounts were named with the same name of the candidates of the Regional Elections Jabar in 2018 such as Ridwan Kamil Uu Rhuzanul Ulum rsquo s account rinduTPbenci, Sudrajat Ahmad Syaikhu rsquo s account SudrajatAhmadS1, and Deddy Mizwar Dedi Mulyadi rsquo s account 2dm4jabar. In the process of searching data did not find account that specially give negative image to the candidate number 2, Tubagus Hasanudin dan Anton Charliyan. From the observation of the outhor can be seen that those accounts are not made by the candidates to campaign but the accounts are made by propagandis to spread Hate Spin. The propaganda tweet delivered by those accounts using of drawing and writing method, it aims to attract attention and giving influence easily to users of Twitter, especially in West Java. There are 5 discourses that discussed from four pairs of the candidates, Religion, Political Dinasty, Coruption, Campaign Violations and the quality of the pairs of the candidates that from each of the issues found propaganda, partial truth and Hate Spin. The case of Hate Spin becomes a threat to the sovereignty of the people of Indonesian. Because of the existence of Hate Spin, the electoral system would be tools for those who are not pro democracy to win one of the pairs of the candidates in various ways that they want. This will fade the dignity of the Indonesian democratic system that the people should be free to elect their leaders through elections without any intervention from any party. Key Words Twitter, Propaganda, Partial Truth, Hate Spin, The threat of Indonesia 39 s democratic system "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Abdillah Wirataru
"Skripsi ini membahas peraturan hukum mengenai ketentuan dari tindak pidana syiar kebencian di Indonesia. Pembahasan berdasarkan pada contoh ketentuan pidana perbuatan syiar kebencian di Jerman dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah peneltian kualitatif. Hasil penelitian menyarankan agar pembuat undangundang merevisi ketentuan Pasal 286 dan 287 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agar lebih sesuai dengan konsep syiar kebencian. Selain itu, disarankan agar jenis delik syiar kebencian di Indonesia berbentuk delik formil dan menjadikan bentuk ketentuan pidana syiar kebencian di Jerman sebagai rujukan.
The focus of this thesis is on the legislation of hate speech as a criminal act in Indonesia. Using the existed criminal law of hate speech in Germany and USA as examples, the qualitative analysis of this thesis sums up with two suggestions. First is to revise the Article 286 and 287 of Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana to be more appropriate with the concept of hate speech. Second is to categorize the hate speech in Indonesia as a formal crime with the German Criminal Law of hate speech as a reference."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54545
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Pasca terbitnya UU ITE, kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia semakin marak dan identik dengan penerapan pasal-pasal dalam UU ITE. Ketidakjelasan definisi dari perbuatan ujaran kebencian mengakibatkan terlalu luasnya perbuatan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian sehingga kriminalisasi ujaran kebencian menjadi sangat sumir dan tidak jelas kelompok sasaran apa yang akan dilindungi dengan kriminalisasi tersebut. Hal ini membuat ujaran kebencian menjadi “keranjang sampah”, tidak jelas batasan antara kriminalisasi ujaran kebencian yang dijalankan oleh aparat penegak hukum dengan bentuk kewajiban negara dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya (dalam hal ini adalah kebebasan mengemukakan pendapat). Penelitian ini menganalisis apakah landasan pikir dilakukannya kriminalisasi ujaran kebencian di Indonesia dan bagaimana implementasinya dalam putusan-putusan pengadilan baik dilihat dari teori pemidanaan dan perspektif kebebasan mengemukakan pendapat. Penelitian ini juga mencari tahu cara untuk menentukan batasan kapan suatu perbuatan pernyataan ekspresi berupa ide, gagasan, pendapat atau hasil pemikiran seseorang termasuk ke dalam koridor kebebasan mengemukakan pendapat dan kapan perbuatan pernyataan ekspresi tersebut termasuk ke dalam kualifikasi delik ujaran kebencian. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen yaitu menganalisis ujaran kebencian dari segi aturan hukum dan implementasinya dalam putusan pengadilan, kemudian dikaitkan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia khususnya kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.

After the publication of the ITE Law, the criminalization of hate speech in Indonesia has become increasingly widespread and is synonymous with the implementation of the articles in the ITE Law. The lack of clarity in the definition of acts of hate speech results in too broad an act of what is meant by hate speech so that the criminalization of hate speech becomes very vague and it is not clear what target groups will be protected by this criminalization. This makes hate speech a "waste basket", the boundaries between the criminalization of hate speech carried out by law enforcement officials and the state's obligation to protect the human rights of its citizens (in this case, freedom of expression) are unclear. This research analyzes the rationale for the criminalization of hate speech in Indonesia and how it is implemented in court decisions both from a criminal theory and a freedom of expression perspective. This research also seeks to find out how to determine the boundaries of when an act of expression in the form of an idea, thought, opinion or result of a person's thinking falls within the corridor of freedom of expression and when an act of expressing expression falls within the qualifications of a hate speech offense. The research method used is document study, namely analyzing hate speech in terms of legal rules and their implementation in court decisions, then linking it to the principles of protecting human rights, especially freedom of expression and expression of opinion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tansa Trisna Astono Putri
"ABSTRAK
Kebebasan berpendapat melalui media sosial untuk mengungkapkan pikiran, pendapat dan tanggapan terhadap suatu topik tertentu menimbulkan dampak negatif berupa konten yang menebarkan kebencian. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan deteksi sebuah informasi yang merupakan ujaran kebencian di media sosial Twitter. Data yang digunakan berjumlah 4.002 data sentimen terkait topik politik, agama, suku dan ras di Indonesia. Pada pembangunan model, penelitian ini menggunakan metode klasifikasi sentimen dengan algoritma machine learning seperti Na ve Bayes, Multi Level Perceptron, AdaBoost Classifier, Random Forest Decision Tree dan Support Vector Machine SVM . Di samping itu, penelitian ini juga melakukan perbandingan performa model dengan menggunakan unigram, bigram dan unigram-bigram dalam proses fitur ekstraksi dan penggunaan SMOTE untuk mengatasi imbalanced data. Evaluasi dari percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa algoritma AdaBoost menghasilkan model terbaik dengan nilai recall tertinggi yaitu 99.5 yang memiliki nilai akurasi sebesar 70.0 dan nilai F1-score sebesar 82.2 untuk klasifikasi ujaran kebencian apabila menggunakan bigram.

ABSTRACT
Freedom of expression through social media to express idea, opinion and view about current topic causes negative impact as the rise of hateful content. This study aims to detect a hate speech information through Twitter. Dataset of this study consists of 4.002 sentiment data related to politic, race, religion and clan topic. The model development of this study conducted by sentiment classification method with machine learning algorithm such as Na ve Bayes, Multi Level Perceptron, AdaBoost Classifier, Random Forest Decision Tree and Support Vector Machine SVM . We also conduct a comparison of model performance that used unigram, bigram, unigram bigram feature and SMOTE to handle imbalanced data. Evaluation of this study showed that AdaBoost algorithm resulted the best classification model with the highest recall model which was 99.5 , accuracy score as much as 70.0 and F1 score 82.2 to classify hate speech when using bigram features."
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melia Fahira Fazrine
"Untuk membantu proses pembelajaran, memperoleh informasi, dan berkomunikasi, mahasiswa membutuhkan sarana yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, salah satunya adalah media sosial. Namun, penggunaan media sosial memiliki dampak negatif, salah satunya yaitu munculnya ujaran kebencian. Ujaran kebencian dapat berdampak negatif bagi kondisi psikologis mahasiswa dan menurunkan kesejahteraan subjektif. Maka, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara ujaran kebencian di media sosial dengan kesejahteraan subjektif dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang pelaku ujaran kebencian dan sudut pandang yang mengungkap ujaran kebencian. Sebanyak 200 mahasiswa (M=21.39, SD=1.021) berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional untuk melihat hubungan kedua variabel. Alat ukur The PERMA-Profiler untuk mengukur kesejahteraan subjektif dan alat ukur kecenderungan melakukan ujaran kebencian untuk mengukur perilaku ujaran kebencian yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan teknik analisis Pearson Correlation, ditemukan bahwa tidak ada hubungan positif dan signifikan antara ujaran kebencian dengan kesejahteraan subjektif dari sudut pandang pelaku (r = -0.078, p > 0.05) dan tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kebencian berbicara dengan kesejahteraan subjektif dari sudut pandang yang terpapar (r = 0.073, p > 0.05). Artinya, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara ujaran kebencian dengan kesejahteraan subjektif pada mahasiswa.

To help the learning process, obtain information, and communicate, students need tools that can meet these needs, one of which is social media. However, the use of social media has a negative impact, one of which is the emergence of hate speech. Hate speech can negatively affect a student's psychological condition and degrade subjective well-being. Thus, this study aims to see the relationship between hate speech on social media and subjective welfare from two points of view, namely the point of view of the perpetrator of hate speech and the point of view that reveals hate speech. A total of 200 students (M= 21.39, SD= 1,021) participated in this study. This study used a correlational research method to see the relationship between the two variables. The PERMA-Profiler measuring instrument for measuring subjective well-being and the tendency to measure hate speech to measure hate speech behavior were used in this study. Based on the correlation test conducted using the Pearson Correlation analysis technique, it was found that there was no positive and significant relationship between hate speech and subjective well-being from the perpetrator's point of view (r = -0.078, p > 0.05) and there was no positive and significant relationship between hate speech and subjective well-being from the exposed point of view (r = 0.073, p > 0.05). Which means, it was found that there is no relationship between hate speech and subjective well-being in students."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>