Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116370 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Aswan Zanynu
"Peristiwa 1965 merupakan salah satu garis batas dalam sejarah Indonesi, keadaan dan orientasi Indonesia berbeda sebelum dan setelah tahun tersebut. Dalam dua dekade terakhir setelah Orde Baru tidak berkuasa lagi, narasi tentang tentang Gerakan 30 September (G30S) 1965 bukan menjadi alat propaganda negara lagi. Peran pewarisan memori dapat dengan leluasa dilakukan oleh media. Di tahun 2015 sejumlah media berita online mengisahkan kembali Peristiwa 1965 (G30S dan pasca-G30S). Memori atas Soeharto sebagai tokoh yang memainkan sejumlah langkah strategis di tahun 1965 menjadi penting untuk menjadi objek kajian mengingat peristiwa tersebut yang membawanya berada di tampuk kekuasaan Indonesia selama tiga dekade. Studi ini berangkat dari premis bahwa besarnya kapasitas ruang di internet dan dukungan pranala (hypertext) pada web, memungkinkan situs berita menyajikan memori yang beragam dan lebih lengkap. Oleh karena itu, penelitian ini mempertanyakan: Bagaimana situssitus berita daring Indonesia menarasikan memori atas Soeharto dan Peristiwa 1965 setelah setengah abad berlalu? Penelitian ini menggunakan cara pandang memori kolektif Maurice Halbwachs, konsep memori media dari Motti Neiger dkk, serta teori Paradigma Naratif Fisher. Dengan menggunakan metode framing dari Pan dan Kosicki, studi ini menganalisis 27 artikel artikel pelengkap yang dikaji dan tersebar di enam situs di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Soeharto ditampilkan dalam dua wajah. Pertama, sebagai tokoh militer ‘penyelamat’ yang berhasil menghentikan rencana makar. Kedua, sebagai ‘avonturir’ yang mengetahui rencana makar tersebut sambil mempersipkan diri untuk menggagalkan dan mengambil keuntungan atasnya. Keterlibatan Soeharto dalam persekusi pasca-G30S juga dilihat dari dua cara pandang atas dirinya tersebut. Namun demikian, tidak ditemukan ketepatan narasi antarteks yang kuat saat studi ini mengkonfirmasi satu narasi dengan narasi lain dari keseluruhan artikel. Satu teks dengan teks lain tidak cukup saling mendukung atau menguatkan. Studi ini juga menemukan bahwa internet dengan ruang yang nyaris tak terbatas, bukanlah jaminan bagi munculnya narasi memori alternatif. Implikasi teoritis yang ditawarkan dari studi ini adalah lima premis memori media yang dalam studi-studi terdahulu cenderung mengadopsi premis memori kolektif. Premis yang pertama, memori media merupakan memorabilia yang bersesuaian dengan nilai berita. Kedua, media berperan sebagai agen seleksi utama di antara agen-agen memori lain. Ketiga, memori media merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kepentingan media. Keempat, media lebih cenderung mewariskan memori yang telah menjadi konsensus atau pengetahuan bersama dalam masyarakat. Kelima, memori media bersifat fragmen dan banal.

The 1965 event was one of the watershed in Indonesian history, the circumstances and orientation of Indonesia was different before and after that year. In the last two decades after the New Order was no longer in power, the narrative about the September 30th Movement (G30S) was not a state propaganda tool anymore. Media can offer the memory unimpeded. In 2015 a number of online news media retold the events of 1965 (G30S and post-G30S). The memory of Suharto as a figure who played a number of strategic steps in 1965 became important be the object of study which the event that brought him to control Indonesia for three decades. The premise of this study is the amount of space capacity on the internet and the support of links (hypertext) on the web, allows news sites to serve more complete and diverse memory. Therefore, this study questions: How do Indonesian online news sites narrate the memory of Soeharto and the events of 1965 after half a century has passed? This study uses the collective memory perspective of Maurice Halbwachs, the concept of media memory from Motti Neiger et al, and the theory of Fisher's Narrative Paradigm. Using the framing method from Pan and Kosicki, this study analyzed 27 supplementary article articles reviewed and spread across six sites in Indonesia.
As results, the study show that Suharto was narrated on two faces. First, as a military figure ‘savior’ who succeeded in stopping the plot of treason. Second, as 'avonturir' who knows the plot of the plan while preparing himself to overcome and take advantage of it. Suharto's involvement in the post-G30S persecution was also seen from the two perspectives on him. However, it was not found the accuracy in the texts when this study confirmed one narration with another narration of the entire article. One text with another text does not support or strengthen each other enough. The study also found that the internet with almost unlimited space is no guarantee for present the alternative memory narratives. The theoretical implications offered by this study are the five media memory premises which in any studies before tended to adopt the premise of collective memory. The first premise, media memory is memorabilia that corresponds to news value. Second, media acts as the main selection agent among other memory agents. Third, media memory is one of the instruments to safeguard the interests of the media. Fourth, the media are more likely to present memory that has become consensus or shared knowledge in society. Fifth, media memory is fragmental and banal.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
D2643
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edo Juvano
"Saat ini, banyak sekali media baik cetak mau pun daring yang memberitakan tentang olahraga, namun sangat sedikit yang menulis berita olahraga tingkat kampus. Biasanya, beritaberita seputar event olahraga tingkat kampus hanya disajikan sebagai selingan dari berita olahraga internasional maupun nasional yang levelnya sudah professional. Belum ada media olahraga yang khusus memberitakan tentang olahraga kampus khususnya sepakbola dan futsal secara utuh. Sebagai salah satu olahraga yang paling banyak diminati masyarakat, tentu dibutuhkan info terkait sepakbola maupun futsal walaupun hanya setingkat kampus, seperti info event sepakbola atau futsal, info pemain (dari lingkungan kampus), prestasi mahasiswa di bidang olahraga sepak bola dan futsal, perlengkapan sepak bola dan futsal, dan tim sepakbola dan futsal (dari lingkungan kampus). Terlebih lagi remaja sekarang merupakan generasi millenial yang sangat tergantung dengan internet, semakin mudah mereka untuk mengakses informasi yang mereka butuhkan. Bagian.

At present, there are a lot of good print and online media that preach about sports, but very few write campus-level sports news. Usually, news about campus-level sports events is only presented as a distraction from international and national sports news whose levels are professional. There is no sports media that specifically reports on campus sports, especially football and futsal as a whole. As one of the most popular sports of the community, of course, it requires information related to football and futsal, even though it is only at the campus level, such as info on football or futsal events, player info (from the campus environment), student achievements in soccer and futsal, soccer equipment and futsal, and football and futsal teams (from the campus environment). Moreover teenagers are now a millennial generation that is very dependent on the internet, the easier it is for them to access the information they need."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
D.P. Henny Puspawati
"Framing menekankan diri pada dua dimensi besar yakni, seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek realitas. Dalam prakteknya, framing dijalankan media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan atau badan belakang), pengurangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan.
Kekuatan media antara lain melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto dan gambar dan lain-lain, berpeluang untuk jadi peredam atau pendorong. Di sinilah media kerap dituduh sebagai conflict intensifier (memperuncing konflik). Di sisi lain, media dihadapkan pada tuntutan berbagai pihak untuk turut menciptakan kondisi yang kondusif untuk menyelesaikan konflik (conflict diminisher). Memenuhi harapan ini mengandung resiko media harus menyeleksi --bahkan menutupi--fakta-fakta yang dianggap sensitif bagi kelompok-kelompok tertentu. Dengan gaya penyajian yang hiperbolis, media dianggap memprovokasi pihak yang bertikai untuk segera memulai peperangan. Media juga dituduh mengondisikan publik untuk menerima perang sebagai satu-satunya opsi yang realitas.
Terlepas dari tuduhan tersebut, banyak aspek yang harus dikaji dari pemberitaan media tentang konflik Aceh. Media bagaimanapun adalah variabel determinan dalam sebuah konflik. Pihak-pihak yang bertikai sangat berambisi untuk menggunakan media sebagai alat propaganda. Di sisi lain, publik sangat tergantung pada ekspos media untuk mengetahui perkembangan konflik. Dengan kata lain, wacana media tentang kasus Aceh menunjukkan bahwa keterlibatan media dalam sebuah konflik menjadi suatu keniscayaan jurnalistik konflik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kritis, dengan pendekatan ini ingin melihat dan memahami bagaimana praktik pembingkaian (framing) jurnalisme damai dan jurnalisme perang dalam berita mengenai konflik Aceh antara TNI dan GAM di harian Kompas dan Republika selama pemberlakuan Darurat Militer pertama di Aceh selama periode 18 Mei sampai 16 Nopember 2003. Alasan utama pemilihan periode pertama pemberlakuan darurat militer itu adalah meningkatnya frekuensi pemberitaan media terhadap konflik (perang) di Aceh.
Hasil penelitian ini menunjukkan, penggambaran dan penonjolan berita yang cenderung lebih berpihak kepada TNI daripada GAM cukup banyak ditemui selama periode penelitian ini dilakukan. Umumnya, kedua media justru lebih menonjolkan aspek-aspek berita yang bernilai jurnalisme perang ketimbang jurnalisme damai.
Bagaimana prasangka itu diwujudkan dalam presentasi jumalisme perang oleh media? Kita dapat merunutnya dari evaluasi-evaluasi yang diberikan media terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perang yang menjadi obyek liputan. Juga dari penggunaan istilah-istilah kunci yang bersifat konotatif, metafor dan hiperbola, serta simbol-simbol visual (foto) yang digunakan untuk merekonstruksi fakta perang. Prasangka itu juga terpancar dari prioritas yang diberikan media kepada sumber-sumber berita tertentu dan bagaimana pernyataan sumber berita ditonjolkan atau sebaiknya ditenggelamkan (proses-proses framing).
Secara singkat, kajian ini berimplikasi kepada pengembangan praktik jurnalisme damai yang seharusnya dikedepankan oleh media. Dari masa diberlakukannya darurat militer di Aceh yang berdampak pada derasnya arus pemberitaan media bernuansa peperangan, terdapat implikasi konseptual atas praktik jurnalisme yang tidak kondusif dan kompatibel dalam proses demokratisasi informasi. Terdapat 2 (dua) implikasi teoretis yang sekaligus dapat dibaca sebagai kelemahan mendasar implementasi jumalisme perang dalam proses demokratisasi.
Pertama, dari konteks interaksi antara struktur-struktur sosial dan pelaku-pelaku sosial dalam mengkonstruksi realitas perang di satu pihak dipandang sebagai kemajuan mendasar dalam mengedepankan jumalisme patriotik atau jumalisme nasionalisme tanpa legitimasi dan kontrol sosial yang jelas, menjadi lebih maju. Di lain pihak, mengakui keberadaan media sebagai agen perubahan sekaligus kontrol sosial yang menjadi momentum bagi kembalinya hak-hak dasar warga negara dalam konteks memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka untuk menikmati jumalisme damai. Implikasinya adalah bahwa praktik jumalisme perang tidak kondusif bagi hak publik itu sendiri.
Implikasi teoretis kedua yang ditawarkan secara sederhana dalam penelitian ini adalah sebuah upaya memberanikan diri mengatakan "tidak" pada praktik jumalisme perang, terutama yang berkaitan dengan hak publik yang terbebas dari kekerasan oleh media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Octaviana
"Persaingan antara berbagai stasiun televisi melahirkan praktek marketdriven journalism, yaitu praktek jurnalistik yang menjadikan pesan sebagai komoditas, sehingga dibuat untuk dapat memenuhi keinginan pasar. Persaingan terjadi antara stasiun televisi Metro TV dan TV One, sebagai stasiun televisi swasta nasional yang memfokuskan siarannya pada program berita. Persaingan mengarahkan berita menjadi lebih sensasional, sehingga dapat menarik perhatian khalayak.
Oleh karenanya, penelitian ini hendak membandingkan tingkat sensasionalisme dalam program berita di Metro TV dan TVOne, lewat program Metro Siang dan Kabar Siang. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bagaimana strategi pengemasan berita yang dilakukan oleh masing-masing program dalam menghadapi persaingan pasar. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah 'sensasionalisme', yang pernah digunakan dalam penelitian terhadap berita televisi di Amerika oleh Shuhua Zhou (2001). Ia menekankan pentingnya dimensi format (pengemasan audio visual), selain dimensi isi.
Penelitian dengan paradigma positivis ini bersifat deskriptif. Penelitian ini hendak membuktikan teori atau konsep dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah analisis isi, yaitu dengan membandingkan pesan dari dua sumber yang berbeda (Metro TV dan TVOne).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat sensasionalisme pada program berita Kabar Siang lebih tinggi dibandingkan program berita Metro Siang. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa dimensi format memang terbukti penting untuk mengukur sensasionalisme berita televisi. Hal ini disimpulkan dari penemuan yang menyatakan bahwa pengemasan audio visual untuk berita dengan topik sensasional belum tentu lebih sensasional dibandingkan berita dengan topik non sensasional.

The competition amongst various television stations has lead to a marketdriven journalism practice, where messages as used as commodities that could be sold to fulfill market demand. Such competition also happened between Metro TV and TVOne, two national private television stations, which focuses their programs on newscast. The competition has transformed news to be more sensational in order to attract the audience's attention.
For that reason, this research was conducted to compare the level of sensationalism in the news programs of Metro TV (Metro Siang) and TVOne (Kabar Siang). The research aims to compare the news packaging strategy used by each program to face market competition and strengthen their positioning in the market. The concept used in this research is 'sensasionalisme', which once was tested by Shuhua Zhou (2001) in a previous research on television news in USA. He emphasized the importance of format dimension (audio-visual packaging), in addition to content dimension.
This descriptive research paper uses positive paradigm. The research aims to prove the concepts or theories by using quantitative approach. The methodology used in this research is content analysis, which compares messages from two different sources (Metro TV and TVOne).
The research findings revealed that the level of sensationalism of Kabar Siang of TVOne is higher than Metro Siang of Metro TV. In addition, the researcher also discovered that besides content dimension, format dimension is also an important aspect in measuring the sensationalism of news programs. This is concluded from the research findings which reveal that the audio visual packaging of sensational news is not necessarily more sensational than the packaging for non sensational news.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S5096
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Garnis Geani
"Jurnalis dan media organisasinya bekerja untuk kepentingan khalayak. Kode Etik Jurnalistik, pasal 1 menyatakan, Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad butuk. Sedangkan jurnalis dan media kerap beralih fungsi menjadi partisan. Penelitian ini hendak melihat bagaimana pemaknaan reporter Metro TV mengenai profesionalisme jurnalis dan independensi Metro TV, dalam peliputan berita politik tahun 2014.
Penelitian kualitatif ini menggunakan Teori Resepsi dari Stuart Hall dan konsep profesionalisme jurnalis. Analisis dilakukan dengan paradigma kritis dengan metode wawancara mendalam terhadap reporter Metro TV. Wawancara dilakukan terhadap empat informan yang dipilih secara acak menggunakan metode snowball. Temuan menunjukkan, tidak semua reporter dapat memaknai arti profesionalisme dan independensi jurnalisme.

Journalists and their media organization working for the interest of their audiences. Cannon of Journalism, article one, said, Indonesian journalists have to be independent, producing the news that is accurate, balanced, and did not act in bad faith. This research will see how Metro TV's reporter in understanding about professionalism and independence of journalist, in political news gathering in 2014.
This qualitative research is using the reception theory by Stuart Hall and the concept of professionalism journalist. The researcher uses the critical paradigm. The interview were conducted to four sources person who were selected by snowball method. The results show that not all reporters can interpret the meaning of professionalism and independence of journalism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S58797
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Healza Kurnia Hendiastutjik
"Jika pada akhirnya seluruh media menerapkan platform UGC atau platform kolaboratif sebagai sarana interaksi antara pembaca dan para jurnalis di media tersebut, peran jurnalis tidak mudah untuk saat ini. Inilah yang kemudian menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini di mana menurut tulisan Bruns (2018) bahwa dengan adanya praktik jurnalisme kolaboratif maka akan ada satu aspek penting yang harus ikut diulas lebih mendalam yakni kurasi berita. Menggunakan paradigma post-positivistik dan pendekatan kualitatif, penelitian ini memiliki kebaharuan dalam fenomena rekonstruksi berita dan proses kurasi yang dilakukan oleh jurnalis sekaligus content writer di sebuah media daring Indonesia. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara hingga studi dokumentasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan teknik coding dan mencocokkan dengan teori dan konsep dari kurasi berita dan jurnalisme kolaboratif. Hasil penelitian menunjukkan media positioning, pengalaman kerja, hingga gaya bahasa menjadi temuan penting dalam penelitian ini. Selain itu, berdasarkan temuan di lapangan proses kerja kurasi berita dalam platform kolaboratif Urbanasia.com, Urban ID membuat pola kurasi berita konvensional berubah menjadi pola yang lebih kompleks dan interaksi yang lebih intens antara pembaca dan jurnalis profesional.

If in the end all media implement the UGC platform or collaborative platform as a means of interaction between readers and journalists in the media, the role of journalists is not easy at this time. This then became the focus of researchers in this study where according to the writing of Bruns (2018) that with the practice of collaborative journalism, there will be one important aspect that must be discussed more deeply, namely news. Using a post-positivistic paradigm and a qualitative approach, this research updates the renewal in the news reconstruction phenomenon and the curation process carried out by journalists as well as content writers in a media that is brave in Indonesia. Researchers used observation, interviews and documentation studies to collect the data. The analysis was carried out using coding techniques and matching the theories and concepts of collaborative news and journalism. The results show that the position of the media, work experience, and language style are important findings in this study. In addition, based on findings in the news curation work process in the collaborative platform Urbanasia.com, Urban ID has made conventional curated news patterns change into more complex patterns and more intense interactions between readers and professional journalists."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soewardi Idris
Jakarta: Rora Karya, 1999
070.4 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Safar Hasim
Kuala Lumpur: Jabatan Komunikasi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989
070.43 MOH a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Sedia Willing
Jakarta: Erlangga, 2010
070.44 BAR j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dana Iswara
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2007
070.4 DAN m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>