Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179051 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yolanda Handayani
"Seribu hari pertama kehidupan merupakan momentum kritis yang akan menentukan kualitas generasi masa depan suatu bangsa. Hal ini karena perlunya gizi terbaik berupa asupan gizi selama kehamilan, serta ASI dan makanan yang tepat sesuai umur untuk perkembangan otak anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Analisis penelitian ini yaitu analisis prediksi dan analisis spasial. Sampel penelitian ini berjumlah 2.232 individu dan 25 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat. Hasil penelitian ini menunjukkan variabel suplementasi besi folat ibu, suplementasi vitamin A baduta usia 7-23 bulan, menyusui bayi usia 0-6 bulan dan pemberian MP-ASI baduta usia 7-23 bulan membentuk model prediksi. Variabel persalinan tidak dibantu tenaga kesehatan menjadi model global spasial, sedangkan variabel ibu hamil yang tidak suplementasi besi folat, baduta usia 7-23 bulan yang tidak mendapatkan MP-ASI, bayi usia 0-6 bulan yang tidak ASI Eksklusif dan bayi yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan membentuk model lokal spasial yang dapat memicu 58% kejadian stunting di 3 Provinsi Sulawesi. Variabel ibu hamil yang tidak mendapatkan suplementasi besi folat berhubungan secara statistik di 8 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tengah, sehingga diperlukan intervensi tambahan berupa suplementasi besi folat ibu hamil selain intervensi persalinan dibantu tenaga kesehatan.

The first thousand days of life are critical moments that will determine the quality of the future generations of the nation. This is because of the need for the best nutrition including nutritional intake during pregnancy, as well as breast milk and foods that are age-appropriate for childrens brain development. This research uses quantitative with cross sectional study design. The analysis of this study is prediction analysis and spatial analysis. The study sample was an experiment of 2,232 individuals and 25 districts/cities in Central Sulawesi, Southeast Sulawesi and West Sulawesi. The results showed variable maternal folate supplementation, supplementation of vitamin A toddlers aged 7-23 months, breastfeeding infants aged 0-6 months and complementary food toddlers aged 7-23 months making predictive models. Variable of the labor does not involve health workers to be a global spatial model, while the variables of pregnant women who are not iron folate supplementation, those aged 7-23 months who do not get complementary food, infants aged 0-6 months who are not exclusive breastfeeding and infants who do not receive care health draws spatial local models that can be handled 58% of stunting occurrences in 3 Sulawesi Provinces. Variables of pregnant women who did not receive supplementation were related to statistics in 8 districts/cities of Central Sulawesi Province, so additional interventions including supplementation of pregnant women were needed in addition to labor interventions to assist health workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T54699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, Joellyn Sherapine
"Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai yang ditandai dengan indeks TB/U < -2 SD. Stunting dapat menghambat seorang anak dalam mencapai potensi fisik dan kognitifnya baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 mencatat penurunan prevalensi stunting sebesar 2,8% dari tahun 2021 menjadi 21,8%. Prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong kategori tinggi. Sulawesi Barat merupakan provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi kedua. Terdapat peningkatan prevalensi secara khusus pada kelompok usia 24-59 bulan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kejadian stunting dan faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2022. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Jumlah sampel yang digunakan adalah 2479 sampel menggunakan total sampling. Penelitian ini menggunakan data sekunder SSGI tahun 2022 yang diperoleh sesuai prosedur yang berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 34,8% anak usia 24-59 bulan di Provinsi Sulawesi Barat tergolong stunting. Analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir (p <0,001; OR = 2,537), panjang badan lahir (p <0,001; OR = 2,355), jumlah anggota keluarga (p = 0,037; OR = 1,194), akses air minum (p = 0,004; OR = 1,382), akses sanitasi (p <0,001; OR = 1,942), dan wilayah tempat tinggal (p = 0,003; OR = 1,333) dengan kejadian stunting. Namun, tidak ditemukan adanya hubungan antara riwayat penyakit infeksi, jumlah anak umur 0-59 bulan, ketahanan pangan, status imunisasi dasar, pemanfaatan posyandu, suplementasi vitamin A, dan pemberian obat cacing dengan kejadian stunting. Penelitian ini menemukan bahwa faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Provinsi Sulawesi Barat adalah panjang badan lahir.

Stunting is a growth and development disorder experienced by children due to poor nutrition, recurrent infections, and inadequate psychosocial stimulation which is characterized by a HAZ index < -2 SD. Stunting can prevent a child from reaching his physical and cognitive potential, not only in the short but also in the long term. The 2022 Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) recorded a reduction in stunting prevalence of 2.8% from 2021 to 21.8%. The prevalence of stunting in Indonesia is still in the high category. West Sulawesi is the province with the second-highest prevalence of stunting. There is a particular increase in prevalence in the 24-59 months age group. Therefore, this study aims to determine the description of stunting and the dominant factor in the incidence of stunting in children aged 24-59 months in West Sulawesi Province in 2022. This research is a quantitative study with a cross-sectional approach. The number of samples used was 2479 samples using total sampling. This research uses SSGI secondary data for 2022 which was obtained according to applicable procedures. The research results show that 34.8% of children aged 24-59 months in West Sulawesi Province are classified as stunted. Bivariate analysis showed that there was a significant relationship between birth weight (p < 0.001; OR = 2.537), birth length (p < 0.001; OR = 2.355), number of family members (p = 0.037; OR = 1.194), access to water (p = 0.004; OR = 1.382), access to sanitation (p < 0.001; OR = 1.942), and area of ​​residence (p = 0.003; OR = 1.333) with the incidence of stunting. However, no relationship was found between the history of infectious diseases, number of children aged 0-59 months, food security, basic immunization status, use of integrated service post (posyandu), vitamin A supplementation, and administration of deworming drug (p > 0,05) with the incidence of stunting. This research found that the dominant factor in the incidence of stunting in children aged 24-59 months in West Sulawesi Province is birth length."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silviani J. Prissa
"Stunting juga dikenal sebagai "pendek", adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah 5 tahun akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Berdasarkan hasil SSGI tahun 2022, Provinsi Sulawesi Tengah menduduki peringkat ke 6 dengan prevalensi stunting mencapai 28,2%, turun 1,5% dari tahun 2021 yaitu 29,7% (peringkat 8). Namun, angka ini masih lebih tinggi dari rata–rata nasional sebesar 21,6 persen. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional yang faktor determinan stunting pada anak usia 6–23 bulan di Provinsi Sulawesi Tengah. Variabel independen dalam penelitian ini meliputi faktor anak, faktor ibu dan faktor rumah tangga. Analisis data menggunakan uji kai kuadrat dan regresi logistik berganda model determinan. Hasil penelitian menunjukkan, faktor anak (jenis kelamin, berat badan lahir, ISPA dan riwayat imunisasi), faktor ibu (pendidikan ibu), faktor rumah tangga (ketahanan pangan rumah tangga, sanitasi jamban, jumlah balita dalam keluarga) berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6–23 bulan. Faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6–23 bulan adalah BBLR (OR: 2,306) setelah dikontrol oleh variabel jenis kelamin, ISPA, riwayat imunisasi, pendidikan ibu, sanitasi jamban, dan jumlah balita dalam keluarga.

Stunting, also known as “shortness”, is a condition of failure to thrive in children under 5 years of age due to chronic malnutrition and recurrent infections especially in the period of the First 1,000 Days of Life (HPK), which is from the fetus until the child is 23 months old. Based on the results of the SSGI in 2022, Central Sulawesi Province is ranked 6th with a stunting prevalence of 28.2%, down 1.5% from 2021 which was 29.7% (rank 8). However, this figure is still higher than the national average of 21.6 percent. This study is a quantitative study with a cross-sectional design that determines stunting in children aged 6–23 months in Central Sulawesi Province. Independent variables in this study include child factors, maternal factors and household factors. Data analysis used the chi-square test and multiple logistic regression of the determinant model. The results showed that child factors (gender, birth weight, ARI and immunization history), maternal factors (mother's education), household factors (household food security, latrine sanitation, number of toddlers in the family) were associated with the incidence of stunting in children aged 6–23 months. The dominant factor associated with the incidence of stunting in children aged 6–23 months is LBW (OR: 2.306) after being controlled by variables of gender, ARI, immunization history, maternal education, latrine sanitation, and number of toddlers in the family."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Firna
"Stunting adalah kondisi gagal tumbuh baik secara fisik maupun kognitif karena kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Anak stunting tidak akan mencapai pertumbuhan tinggi badan dan perkembangan kognitif optimal. Stunting di Provinsi Sulawesi Barat (33,8%) menempati urutan kedua tertinggi setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko stunting pada anak usia 6-23 bulan di Provinsi Sulawesi Barat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan 552 sampel yang diperoleh dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang digunakan adalah data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021. Variabel independen meliputi faktor anak, faktor orang tua, dan faktor lingkungan. Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat dan multivariat menggunakan regresi logistik ganda model determinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi stunting pada anak usia 6-23 bulan sebesar 31,9%. Analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah usia anak (OR=1,802), berat badan lahir (OR=3,08), dan panjang badan lahir (OR=2,283). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah berat badan lahir. Anak yang memiliki riwayat BBLR berisiko 2,6 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat BBLR setelah dikontrol variabel usia anak, panjang badan lahir, dan status menyusui.

Stunting is a condition of failure to thrive both physically and cognitively due to chronic malnutrition and repeated infections. Children with stunting will not achieve optimal height growth and cognitive development. Stunting in West Sulawesi (33,8%) is the second highest after East Nusa Tenggara Province. This study aims to analyze the risk factors of stunting in children aged 6-23 months in West Sulawesi Province. The research design used was cross sectional with 552 samples obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria. The data used is Indonesian Nutrition Status Survey 2021. The independent variables included child factors, parental factors, and environmental factors. Bivariate analysis used chi-squared test and multivariate used multiple logistic regression as the determinant model. The results showed that the proportion of stunting in children 6-23 months was 31,9%. Bivariate analysis showed that the variables associated with the incidence of stunting were child’s age (OR=1,802), birth weight (OR=3,08), and birth length (OR=2,283). Multivariate analysis showed that the dominant factor associated with stunting was birth weight. Children with a history of LBW are at risk of stunting 2.6 times higher than those without a history of LBW after being controlled by child’s age, birth length, and breastfeeding status.="
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F Detiniaty
"ABSTRAK
Nama : F. DetiniatyProgram Studi : Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan Bayi dan Anak Stunting Usia 0-23Bulan Studi Kualitatif di Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa Tahun2017 Perilaku ibu dalam Pemberian Makan Bayi dan Anak PMBA pada periode kritis usia 0-23bulan sangat penting untuk mencegah kondisi stunting pada bayi/anak. Penelitian inibertujuan mengetahui perilaku ibu dalam pemberian makan bayi dan anak stunting usia 0-23bulan di Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, tahun 2017. Pendekatan Kualitatifmenggunakan desain Rapid Assessment Procedure dengan metode pengumpulan data diskusikelompok terarah, wawancara mendalam, dan observasi terhadap informan ibu yang sudahdan belum mendapatkan konseling/penyuluhan PMBA. Pengetahuan dan sikap ibu yangpositif terhadap informasi terkait PMBA yang diperoleh dari konseling/penyuluhan tidakmenjamin terlaksananya perilaku pemberian makan bayi dan anak dengan benar. Adanyafaktor dukungan keluarga, tradisi yang tidak mendukung, akses dan pemanfaatan panganserta praktik pemberian informasi melalui penyuluhan menjadi salah satu yang menghambatkegiatan PMBA. Perilaku ibu dalam pemberian makan bayi dan anak stunting usia 0-23 bulandi Kecamatan Lape belum optimal. Perlu adanya evaluasi pelaksanaan kegiatan konselingPMBA di lapangan.Kata kunci : stunting, perilaku ibu, pemberian makan bayi dan anak PMBA

ABSTRACT
Name F. DetiniatyStudy Program Public Health ScienceTitle Mother 39 s Behavior in Infants and Young Child Feeding Stunting Age0 23 Months Qualitative Study in Lape Sub district, SumbawaRegency in 2017 Mother rsquo s behavior in Infant and Young Child Feeding IYCF in critical periods ages 0 23months is very important to prevent stunting conditions in infants children. This study aimsto determine the behavior of mothers in feeding infant and stunting children aged 0 23months in Lape Sub district, Sumbawa Regency in 2017. Qualitative approach using RapidAssessment Procedure design with data collection methods of focus group discussion, indepthinterviews, and observation of mother rsquo s informants who had had and have not receivedIYCF counseling education. Knowledge and a positive attitude towards mother IYCF relatedinformation obtained from counseling education does not guarantee the implementation offeeding infants and children properly. The existence of family support factors, unsupportedtradition, access and utilization of foods and the practice of providing information throughcounseling to be one that inhibits IYCF activities. Mother rsquo s behavior in feeding infant andstunting children 0 23 months in Lape Sub District is not optimal. It is necessary to evaluatethe implementation of IYCF counseling activities in the field.Keywords stunting, maternal behavior, infant and young child feeding IYCF "
2017
T47575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faizah Khusnayain Wijayanti
"Anemia merupakan suatu masalah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada anak-anak, anemia telah diketahui berdampak pada perkembangan kognitif dan keterlambatan pertumbuhan. Pertumbuhan anak yang terhambat berdasarkan tolak ukur usia sebagai dampak dari anemia disebut stunting. Istilah risiko stunting dalam penelitian ini mengacu kepada HAZ score berdasarkan standar dari NCHS yakni antara -1,1 hingga -2. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dan melibatkan seluruh populasi terjangkau (total sampling) pada anak usia 3-9 tahun di pesantren Tapak Sunan Condet pada tahun 2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui prevalensi anemia dan hubungannya dengan risiko stunting. Dari penelitian ini didapatkan data hasil pengukuran tinggi badan, tanggal lahir untuk menentukan usia, dan kadar hemoglobin. Hasilnya, 13 (26%) anak menderita anemia dan 1 dari 13 penderita anemia terkena risiko stunting. Hasil analisis statistik chi-square menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara anemia dengan risiko stunting (p=0,962).

Anemia has been known as one of the worst health problems in develop country, such as Indonesia. Based on study, anemia has impact on children’ cognitive development and growth failure. Children growth failure related age is called stunting. The term of mild stunting is derivated from HAZ score based of NCHS standard which is between -1,1 to -2. This study, which use cross sectional design and included 50 children aged 3 to 9 years old, was held in Pesantren Tapak Sunan in 2011. This study has goal which are to determine the prevalence of anemia and its association with mild stunting. This study use data of height of the children, their date of birth to determine thier age, and hemoglobin levels. The result, 13 (26%) children was known suffering anemia and 1 of 13 of them was in mild stunted. The result of statistic analyze used chi-square showed there was no association between anemia and mild stunting (p=0,962).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yedida Ayuningtyas
"Stunting merupakan masalah pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi, infeksi berulang, dan kurangnya rangsangan psikososial. Stunting memiliki konsekuensi negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk peningkatan kejadian penyakit, gangguan perkembangan dan keterampilan belajar yang buruk, peningkatan risiko terkena penyakit tidak menular, penurunan kemampuan kerja, serta dampak antargenerasi. Kejadian stunting dikaitkan dengan berbagai faktor, di antaranya asupan tidak adekuat, penyakit infeksi, kerawanan pangan, pola asuh yang kurang tepat, serta kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 melaporkan bahwa Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan provinsi kelima dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia dan termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat kategori sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting serta faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional menggunakan data sekunder SSGI tahun 2021. Terdapat 600 subyek baduta yang dilibatkan dalam penelitian ini. Data dianalisis menggunakan uji kai kuadrat pada analisis bivariat dan uji regresi logistik ganda pada analisis multivariat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat variabel yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan, yaitu usia anak, jenis kelamin, partisipasi ibu dalam kelas ibu hamil, dan berat badan lahir. Anak dengan riwayat berat badan lahir rendah diketahui sebagai faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan dengan p-value 0,001 dan OR 3,560 (CI 95%: 1,777-7,132). Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian untuk masyarakat melakukan pencegahan dini kejadian stunting dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, memerhatikan kecukupan gizi sejak dini, menerapkan pola asuh yang sesuai, dan menggunakan akses sanitasi yang layak. Selain itu, instansi kesehatan diharapkan dapat mengoptimalkan dukungan kepada masyarakat melalui Komuikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Gizi yang berkaitan dengan stunting. Program-program pencegahan stunting yang sudah ada perlu dioptimalkan oleh instansi kesehatan guna memberikan manfaat yang maksimal dalam mencegah stunting di masyarakat.

Stunting is a growth and development problem in children caused by malnutrition, reccurent infections, and lack of psychosocial stimulation. Stunting has negative consequences in both the short and long term, including increased incidence of disease, impaired development and poor learning skills, increased risk of non-communicable diseases, decreased ability to work, and intergenerational impacts. The incidence of stunting is associated with various factors, including inadequate intake, infectious diseases, food insecurity, inadequate caregiving practices, and inadequate environmental health and health services. According to the 2021 Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) report, it is known that Southeast Sulawesi Province is the fifth province with the highest prevalence of stunting in Indonesia and is classified under the category of very high public health problem. This study aims to analyze the factors associated with stunting incidence and identify the dominant factors among children aged 6-23 months in Southeast Sulawesi Province. This research was conducted using a cross-sectional design using secondary data from the 2021 SSGI. A total of 600 children aged 6-23 months subjects were involved in this study. Data were analyzed using chi-square test in bivariate analysis and multiple logistic regression in multivariate analysis. The results of the study show that there are four variables significantly associated with the occurrence of stunting in children aged 6-23 months, namely child age, gender, maternal participation in maternity classes, and low birth weight. Children with a history of low birth weight were identified as the dominant factor in the occurrence of stunting in children aged 6-23 months, with a p-value of 0,001 and an odds ratio (OR) of 3,560 (95% CI: 1,777-7,132). Based on the research, suggestions for the community to prevent stunting include utilizing healthcare facilities for early prevention, paying attention to early nutritional adequacy, implementing appropriate parenting practices, and using proper sanitation facilities. In addition, healthcare institutions are expected to optimize support to the community through Nutrition Communication, Information, and Education (KIE Gizi) related to stunting. Existing stunting prevention programs need to be optimized by healthcare institutions to provide maximum benefits in preventing stunting in the community."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarief Darmawan
"Latar Belakang dan Tujuan: Prevalensi pendek pada anak usia di bawah dua tahun (baduta) di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 29,9%, sedangkan di Jakarta sebesar 27,2%. Kondisi pendek pada awal kehidupan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta dapat mengurangi kapasitas fisik dan peningkatan risiko penyakit metabolik pada usia dewasa. Tujuan penelitian adalah memahami peran inflamasi usus pada baduta terhadap kejadian pendek.
Metode dan bahan: Studi dengan desain kasus kontrol yang dilakukan pada anak usia 6–23 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta. Penentuan subjek penelitian secara acak sederhana. Pendek ditetapkan berdasarkan nilai z-score panjang badan menurut­­­­­­ umur (PB/U). Pengukuran panjang dan tinggi badan menggunakan infantometer dan microtoise. Penilaian hormon pertumbuhan berdasarkan kadar TSH, sedangkan penilaian inflamasi usus berdasarkan pengukuran kadar Reg 1B. Fungsi absorbsi usus ditetapkan dengan pengukuran kadar xilosa darah. Infeksi parasit dideteksi dengan pemeriksaan feses secara makroskopis dan kultur Blastocystis. Penilaian asupan energi dan zat gizi makro dilakukan dengan metode recall 24 jam. Frekuensi pengukuran panjang dan tinggi badan, inflamasi usus dan penilaian asupan dilakukan 2 kali dengan selang waktu 6 bulan.
Hasil: Pada penapisan 269 anak didapatkan 20,4% pendek dengan 55,8% laki-laki, 55,0% kelompok umur 12-23 bulan dan 47,3% memiliki kedua orang tua normal. Profil subjek penelitian adalah 61,1% laki-laki, 88,9% pada kelompok umur 12-23 bulan dan memiliki kadar TSH normal. Persentase rata-rata asupan energi dan zat gizi makro anak pendek lebih rendah daripada anak normal, tetapi tidak berbeda secara statistik. Pada subjek penelitian tidak ditemukan Soil Transmitted Helminths dan hanya 1 anak normal yang positif Blastocystis hominis. Untuk pemeriksaan Reg 1B tidak ditemukan perbedaan antara anak pendek dan normal, tetapi subjek penelitian yang mengalami peningkatan kadar Reg 1B sebagian besar terjadi penurunan nilai Z-score PB/U dan berbeda bermakna secara statistik. Pada pemeriksaan kadar xilosa darah tidak ditemukan perbedaan antara anak pendek dan normal. Dalam analisis korelasi, tidak diperoleh korelasi antara infeksi parasit usus dengan inflamasi usus dan malabsorbsi tetapi ada korelasi bermakna antara inflamasi usus dengan malabsorbsi.
Kesimpulan: Inflamasi usus terjadi pada anak pendek dan normal serta secara signifikan menurunkan nilai Z-score PB/U dari kedua anak tersebut dan berkorelasi secara bermakna dengan malabsorbsi.

Background and Objective: The prevalence of stunting in children under two years in Indonesia in 2018 is 29.9%, while in Jakarta it is 27.2%. Stunted early in life is associated with increased morbidity and mortality, and can reduce physical capacity and increase the risk of metabolic diseases in adulthood. The aim of the study was to understand the role of intestinal inflammation in children under 2-yrs of age in stunted incidents.
Materials and Methods: A case-control study involving children aged 6-23 months in Kampung Melayu Village, Jakarta was done in 2018. Study sampling was determined by simple randomization. Stunting is determined based on the z-score of the body length by age (LZA). Length was measured using infantometer while height was measured by microtoise. Growth hormone was determined by TSH levels, while intestinal inflammation was determined with faecal Reg 1B levels. The function of intestinal absorption is determined by blood xylose levels. Parasitic infections are determined by macroscopic fecal examination and Blastocystis culture. Assessment of intake of energy and macro nutrients was analyzed by 24-hour recall method. The frequency of length and height measurements, intestinal inflammation and intake assessment were carried out twice with an interval of 6 months.
Results: Screening of 269 children found 20.4% of stunting with 55.8% of men, 55.0% of age group 12-23 months and 47.3% had both normal parents. The percentage of the average intake of energy and macro nutrients from stunting was lower than normal, but not statistically different. Soil Transmitted Helminths were not found and only one child for positive Blastocystis hominis. For the examination of Reg 1B there was no difference between stunted and normal children, but the study subjects who experienced an increase in Reg 1B levels were mostly accompanied by decreased Z-score values of LZA and were significantly different. On examination of blood D-xylose levels no differences were found between stunted and normal children. In correlation analysis, there was no correlation between intestinal parasitic infection and intestinal inflammation and malabsorption but there was a significant correlation between intestinal inflammation and malabsorption.
Conclusion: Intestinal inflammation occurs in stunted and normal children and significantly decreases the Z-score of LZA from these two children and correlates significantly with malabsorption.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Jenny Br.
"Latar Belakang: Epilepsi di negara berkembang dua kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Sekitar 60-70% pasien bebas kejang dengan obat antiepilepsi (OAE) generasi satu, jika tidak respons dan kejang menetap maka dipertimbangkan OAE generasi dua. Keberhasilan pengobatan epilepsi dipengaruhi oleh pelbagai faktor serta bergantung terhadap plastisitas dan maturitas otak hingga usia tiga tahun. Belum ada penelitian yang menilai faktor-faktor keberhasilan terapi OAE generasi dua.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko keberhasilan keberhasilan terapi OAE generasi 2 pada pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun.
Metode: Studi kasus kontrol dengan data sekunder berupa rekam medis. Sampel penelitian adalah anak epilepsi berusia di bawah tiga tahun yang mendapatkan minimal salah satu OAE generasi 2 berupa topiramat/levetiracetam/lamotrigin. Subyek terbagi kelompok kontrol (dilakukan matching usia) yang kejangnya tidak terkontrol dan kelompok kasus yang kejangnya terkontrol minimal enam bulan. Faktor risiko yang diteliti adalah tipe kejang, status perkembangan, status neurologis awal, gambaran elektroensefalografi (EEG) awal, evolusi klinis dan evolusi EEG.
Hasil: Didapatkan 60 subyek pada masing-masing kelompok; pada kelompok kasus paling banyak dijumpai 66,7% laki-laki, 31,7% rentang usia 6-12 bulan, 83,3% usia awitan kejang <12 bulan, dan 93,3% tipe kejang umum. Dari 6 faktor risiko yang diteliti, hanya evolusi EEG berperan independen dalam memengaruhi keberhasilan terapi, nilai p<0,001; aOR 9,53; IK95% 3,39-26,77.
Kesimpulan: Pasien dengan evolusi EEG baik memiliki kemungkinan sebesar 9,53 kali lipat lebih besar untuk kerjangnya terkontrol dengan OAE generasi 2, dibandingkan pasien dengan evolusi EEG buruk.

Background: Epilepsy in developing countries is twice compared developed countries. About 60-70% epilepsy patients had seizure-free with first generation antiepileptic drugs (AED), if there is no response and persistent seizures, second generation AED is considered. The success of epilepsy treatment is influenced by various factors and depends on the plasticity and maturity of the brain until the first 3 years. There are no studies that assess the success factors of second generation OAE therapy.
Purpose: To assess the risk factors that affecting the success of second generation therapy in children under 3 years old with epilepsy.
Methods: A case control study with secondary data from medical records. The study sample was children under 3 years old with epilepsy who received at least one of second generation AED (topiramate/levetiracetam/lamotrigine). Subjects were divide into 2 groups, control groups (age matching) whose seizure were not controlled and case groups whose seizure were controlled for at least six months. The risk factors studied were seizure type, developmental status, initial neurological status, initial electroencephalography (EEG), clinical evolution and EEG evolution,
Results: There were 60 subjects in each group; the most proportion in case group were 66,7% males, 31,7% of the age range of 6-12 months, 83,3% onset of seizures <12 months, and 93,3% general seizures. Of the 6 risk factors studied, only the EEG evolution significantly and independently affecting the success of therapy, with p value <0,001; aOR 9.53; 95%CI 3.39-26.77.
Conclusion: Patients with good EEG evolution were 9.53 times more likely to have controlled seizure with second generation AED, compared to patients with poor EEG evolution."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Jessica Deborah Josephine
"
ABSTRAK
Stunting growth adalah pertumbuhan abnormal pada tinggi badan yang diklasifikasikan menurut standar pengukuran World Health Organization WHO yaitu tinggi badan menurut usia berada di bawah minus 2 SD. Defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada stunting antara lain defisiensi besi. Besi merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin Hb . Hb mengisi eritrosit, dan mempengaruhi ukuran eritrosit MCV . Studi ini menilai hubungan kadar besi serum SI dengan MCV dan Hb. Di samping itu, studi ini juga menilai perbedaan kadar besi serum SI , Hb, MCV, dan TIBC pada kelompok stunting dan non stunting.Dalam pengolahan data, pertama-tama dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov. Uji korelasi nilai SI dengan MCV dilakukan dengan uji korelasi Spearman, diperoleh hasil korelasi lemah dan bermakna secara statistik r = 0,361 dan p = 0,002 . Uji korelasi nilai SI dengan Hb dilakukan dengan uji korelasi Spearman, diperoleh hasil korelasi sedang dan bermakna secara statistik r = 0,559 dan p < 0.001 . Uji perbedaan nilai SI, nilai Hb, dan nilai MCV pada kelompok stunting dan non stunting dilakukan dengan uji Mann Whitney dan diperoleh hasil tidak terdapat perbedaan bermakna pada semua parameter antara kedua kelompok. SI p = 0,224 , Hb level p = 0,266 , MCV p = 0,576 , dan TIBC p = 0,266.

ABSTRAK
According to World Health Organization WHO , stunting is an impaired growth in children whose height for age below minus two standard deviations. Stunted children are most likely to also suffer malnutrition. One of the most common malnutrition is iron deficiency. Iron is the component of hemoglobin Hb and its presence can affect the size of the erythrocytes MCV . The aim of this study was to, 1 evaluate the relationship of serum iron SI and MCV also SI and Hb level 2 compare the differences between SI, Hb, MCV, and TIBC in stunting children and non stunting children.To asses the normality of the data, Kolmogorov Smirnov test for normality were performed. The correlation between SI and MCV was assessed using Spearman correlation and there was statistically significant weak correlation between SI and MCV r 0.361 p 0.002 . Spearman correlation test between SI and Hb level gave a statistically significant moderate correlation between SI and Hb level r 0.559 p 0.001 . Furthermore, the Mann Whitney comparison test of SI, Hb level, MCV and TIBC proved to be not significant between stunting children and non stunting children in each of the parameters SI p 0.224 , Hb level p 0.266 , MCV p 0.576 , and TIBC p 0.266 ."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>