Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148997 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bonang Basuki Suroyudho
"Tujuan: Mengetahui perbedaan hasil interpretasi superimposisi maksila dan mandibula antara tiga metode superimposisi pada kelompok usia non-growing ≥ 20 tahun. Metode superimposisi maksila yang diteliti adalah pada area best fit, Björk dan Skieller, serta Springate. Sementara metode superimposisi mandibula yang diteliti adalah pada tepi bawah mandibula, Björk dan Skieller, serta Springate. Metode: Tracing dilakukan pada foto sebelum perawatan (T0) dengan membuat garis panduan sella-nasion (SN) dan garis N yang tegak lurus terhadap SN serta struktur anatomis pada regio maksila atau mandibula. Sedangkan pada foto setelah perawatan (T1), tracing dilakukan hanya pada struktur anatomis pada regio maksila dan mandibula saja. Kemudian hasil tracing setelah perawatan (T1) disuperimposisikan di atas hasiltracing sebelum perawatan (T0) berdasarkan berbagai metode superimposisi maksila atau mandibula. Setelah itu garis SN dan N pada tracing sebelum perawatan dipindahkan ke atas hasil tracing setelah perawatan. Terakhir, posisi titik referensi pada maksila (titik ANS, A, dan U1) atau mandibula (titik Pog, B, dan L1) diukur jarak koordinatnya secara vertikal dan horizontal ke garis SN dan N yang berperan sebagai sumbu x dan y. Hasil: Tidak terdapat perbedaan, baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal, mengenai hasil interpretasi superimposisi maksila dan mandibula dengan tiga metode superimposisi yang diujikan pada kelompok usia non-growing ≥ 20 tahun. Kesimpulan: Evaluasi perawatan ortodontik pada pasien usia non-growing ≥ 20 tahun menggunakan berbagai metode superimposisi maksila dan mandibula menghasilkan hasil interpretasi yang sama, baik diukur dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Sehingga pemilihan metode superimposisi maksila dan mandibula apapun pada pasiennon-growing tidak akan mempengaruhi hasil interpretasi evaluasi perawatan, selama metode superimposisi yang digunakan tetap memperhatikan struktur anatomis yang ada.

Objectives: To compare the interpretation of maxillary and mandibular superimposition between three methods on ≥ 20-year-old non-growing patients. Three maxillary superimposition methods used during the study were best fit, Björk-Skieller, and Springate. Meanwhile for mandibular superimposition, the methods used during the study were inferior border of mandible, Björk-Skieller, and Springate. Method: Tracing was executed on pre-treatment cephalogram (T0) to construct sella-nasion (SN) line and N line which was perpendicular to SN, and also to construct anatomical structures on maxilla or mandible. Tracing at post-treatment cephalogram (T1) was executed on maxillary or mandibular anatomical structures only. Then cephalogram tracing at T1 was superimposed on T0 based on three different superimposition methods on maxilla or mandible. SN line and N line at T0 were then transferred into T1 tracing as a reference line of x and y axis. Hence, the position of maxillary reference points (ANS, A, and U1) or mandibular reference points (Pog, B, and L1) could be accounted vertically and horizontally to the x and y axis. Results: No statistical difference in vertical or horizontal dimention, regarding the interpretation of maxillary and mandibular superimposition between three methods on ≥20-year-old non-growing patients. Conclusion: Post orthodontic treatment evaluation on ≥ 20-year-old non-growing patients using varied maxillary and mandibular superimposition methods may result the same interpretation in vertical or horizontal dimention. Any maxillary or mandibular superimposition methods could be used on non-growing patients and may not affect interpretation on post treatment evaluation, as long as the used methods account any existing anatomical structures."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agrita Dridya
"Latar Belakang: Dalam talaksana kasus kedokteran gigi, seringkali dibutuhkan interpretasi gambaran radiograf dengan keakuratan yang tinggi. Meskipun gambaran radiograf diyakini sudah terinterpretasi dengan kualitas mutu yang baik, namun terdapat berbagai faktor yang menyebabkan tetap ada selisih ukuran objek pada gambaran radiograf dengan ukuran sebenarnya. Selisih ukuran ini dapat terjadi dalam arah vertikal, berupa distorsi vertikal. Distorsi vertikal penting untuk diperhatikan oleh klinisi untuk mencegah pengulangan pengambilan foto radiograf dan menghindari paparan radiasi berlebih pada pasien. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata distorsi vertikal pada radiograf periapikal gigi geligi maksila dan mandibula berdasarkan pengukuran selisih panjang gigi klinis dan radiografis. Metode: Penelitian ini menggunakan 120 sampel rekam medis klinis beserta dengan radiograf periapikal pasien endodontik di RSKGM FKG UI yang dikelompokkan menjadi 60 sampel gigi geligi maksila dan 60 sampel mandibula. Pengukuran estimasi panjang gigi klinis menggunakan rasio ukuran panjang kerja pada data rekam medis dan pengukuran panjang gigi radiograf diukur dari foto radiograf periapikal awal pasien. Ukuran distorsi vertikal didapat dari pengukuran selisih antara panjang gigi radiograf dengan estimasi panjang gigi klinis. Uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dilakukan dengan uji ICC dan dilakukan analisa komparatif menggunakan uji mann whitney. Hasil: Hasil analisa menunjukkan nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi maksila sebesar 1,58 mm, dengan maksimum 5,53 mm. Nilai rerata distorsi vertikal pada kelompok gigi geligi mandibula sebesar 1,48 mm, dengan nilai maksimum 3,96 mm. Sebanyak 52 (43.33%) sampel mengalami pemanjangan, sebanyak 55 (45.83%) mengalami pemendekan, dan 13 (10.83%) data tidak terdistorsi. Kesimpulan: Rerata pengukuran estimasi panjang gigi klinis dan panjang gigi pada gambaran radiograf tidak berbeda bermakna (p 0,451). Rerata distorsi vertikal pada gigi geligi maksila dan mandibula tidak berbeda bermakna (p 0,975).

Background: In the management of dental cases, it is often necessary to interpret radiographs with high accuracy. Although it is believed that the radiographic image has been interpreted with good quality, there are various factors that cause the difference in the size of the object on the radiographic image to the actual size. The size of this distortion can occur in the vertical direction, in the form of vertical distortion. Vertical distortion is important for clinicians to pay attention to prevent retaking the radiographs and avoid overexposure of radiation on the patient. Objective: To determine the mean value of vertical distortion on periapical radiographs of maxillary and mandibular teeth based on the measurement of the difference in radiographic and actual size of the tooth length. Methods: The study or research is carried out on 120 samples of medical records along with periapical radiographs of endodontic patients at RSKGM FKG UI, divided into 60 samples of maxillary teeth and 60 samples of mandibular teeth. Measurement of estimated clinical tooth length obtained by using the ratio of working length recorded in the medical record, and the measurement of the radiographic tooth length obtained by using the patient's initial periapical radiograph. The measurement of vertical distortion was obtained by measuring the difference between the radiographic and the estimated clinical tooth length. Intraobserver and interobserver reliability tests were performed using the ICC test and comparative analysis was performed using the Mann Whitney test. Results: The results of the analysis showed that the mean of the vertical distortion in the maxillary teeth was 1.58 mm, with a maximum value of 5.53 mm. The mean value of vertical distortion in the mandibular teeth was 1.48 mm, with a maximum value of 3.96 mm. A total of 52 (43.33%) samples were elongated, 55 (45.83%) samples were shortened, and 13 (10.83%) samples were not distorted. Conclusion: The mean measurement of estimated clinical tooth length and tooth length on radiographs was not significantly different (p 0.451). The mean vertical distortion of the maxillary and mandibular teeth was not significantly different (p 0.975)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Tasya Rachmadiani
"Latar Belakang: Tulang mandibula merupakan tulang terkuat pada tengkorak yang mengalami perubahan sesuai usia. Pengukuran mandibula banyak dijadikan parameter terkait tumbuh kembang yang bermanfaat untuk berbagai bidang ilmu kedokteran gigi termasuk ortodonsi dan forensik.
Tujuan: Mengetahui nilai pengukuran parameter mandibula pada radiograf panoramik sebagai data dasar untuk estimasi usia rentang 14-35 tahun dan 50-70 tahun.
Metode: Pengukuran parameter mandibula pada 200 sampel radiograf panoramik digital usia 14-35 tahun dan 50-70 tahun.
Hasil: Pengukuran parameter mandibula terhadap usia tidak berbeda bermakna secara statistik, namun cenderung mengalami peningkatan atau penurunan sesuai perubahan usia.
Kesimpulan: Pengukuran parameter mandibula pada radiograf panoramik usia 14-35 tahun dan 50-70 belum dapat digunakan sebagai data dasar untuk estimasi usia.

Background: Mandible is the strongest bone in skull and experience change with age. Mandibular parameters measurements are often used in relation with growth and development that are useful in dentistry including in orthodontics and forensic dentistry.
Objective: To obtain the mandibular parameters value through panoramic radiograph as basic data in age estimation of 14 35 and 50 70 years old subjects.
Method: Measurement of mandibular parameters on digital panoramic radiograph of 200 subjects at age 14 35 years and 50 70 years old.
Results: The measurement of mandibular parameters are not statistically significant but tend to change according to age.
Conclusion: Measurement of mandibular parameters in panoramic radiograph cannot be used as basic data for age estimation in 14 35 years old and 50 70 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banks, Peter
Oxford: Wright, 1991
617.156 BAN k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
"Pendahuluan: Trauma maksilofasial dapat terjadi karena beberapa etiologi dan yang paling sering terjadi ialah trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan trauma maksilofasial biasanya akan menjalani perawatan rawat inap dengan durasi yang lama berkaitan dengan rangkaian perawatan yang harus dilakukan. Terdapat beberapa sistem penilaian tingkat keparahan dari trauma yang terjadi yang sudah diperkenalkan dan digunakan, dan sistem penilaian Facial Injury Severity Scale (FISS) oleh Bagheri et al telah digunakan secara luas untuk menilai derajat keparahan cedera maksilofasial. Trauma maksilofasial dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat berhubungan dengan cedera kranial, sehingga penilaian kesadaran perlu dilakukan. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem penilaian kesadaran pasien pasca trauma yang telah digunakan secara luas selama empat dekade terakhir. Namun, kemampuan kedua sistem penilaian tersebut dalam menunjukkan hubungan tingkat keparahan trauma dan tingkat kesadaran dengan lama rawat inap masih jarang digunakan dalam penelitian. Tujuan: Untuk mengevaluasi indeks keparahan trauma maksilofasial menggunakan (FISS) dan tingkat kesadaran (GCS) dengan lama rawat inap pada pasien trauma maksilofasial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Metode: Studi restrospektif, menggunakan data sekunder dengan menganalisis rekam medis trauma maksilofasial semua rentang usia di IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Hasil dan pembahasan: Sebanyak 346 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Analisis multivariat menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan skor FISS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan skor FISS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif, di mana semakin bertambah skor FISS, akan menambah lama rawat inap. Analisis multivariat juga menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan Nilai GCS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan nilai GCS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif di mana semakin berkurang nilai GCS, akan menambah lama rawat inap.Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna dari skor FISS dan GCS terhadap lama rawat inap pasien.

Introduction: Maxillofacial trauma can occur due to several etiologies and the most common is trauma due to traffic accidents. Patients with maxillofacial trauma will usually undergo inpatient treatment with a long duration due to the series of treatments. There are several trauma severity rating systems that have been introduced and used, and the Facial Injury Severity Scale (FISS) rating system by Bagheri et al has been widely used to assess the severity of maxillofacial injuries. Maxillofacial trauma can be one of the conditions that can be associated with cranial injuries, so an assessment of consciousness needs to be done. The Glasgow Coma Scale (GCS) is a system for assessing the consciousness of posttraumatic patients that has been widely used over the past four decades. However, the ability of the two scoring systems to show the relationship between trauma severity and level of consciousness with length of hospitalization is rarely used in research, Objective: To evaluate the index of severity of maxillofacial trauma using FISS and level of consciousness (GCS) with length of hospitalization in maxillofacial trauma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Metode: Retrospective study, using secondary data by analyzing Maxillofacial Trauma medical records for all age ranges in the emergency room at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Result and Discussion: A total of 346 patients who met the inclusion criteria were included in this study. Multivariate analysis showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS Score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and FISS Score (p>0.05). The relationship between length of hospitalization and FISS score shows a weak relationship and has a positive pattern, where the increasing FISS score will increase the length of hospitalization. Multivariate analysis also showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and GCS score (p>0.05). The relationship between the length of hospitalization and the GCS score shows a weak relationship and has a negative pattern, where the decreasing the GCS score, the longer the length of hospitalization. Conclusion: There was no significant difference between the FISS and GCS scores on the patient's length of hospitalization."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 210-214
One of the impacts of traffic accident that is often seen by a dentist is mandible fracture. To prevent deformation of mandible because of a slow management, it is better to treat the fracture as soon as possible. The treatment can be done with an open/close reduction, depending on case. An immediate management of mandible fracture is very important to prevent malunion, malocclusion, and stomatoganathic dysfunction."
Journal of Dentistry Indonesia, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bramadita Satya
"ABSTRAK
Latar Belakang: Impaksi Molar 3 rahang bawah telah diketahui akan meningkatkan resiko fraktur tulang mandibula terutama di daerah angulus mandibula. Fraktur angulus mandibula sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Masyarakat belum mengetahui pentingnya odontektomi sebagai langkah awal pencegahan fraktur angulus mandibula.Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan dari adanya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 rahang bawah.Material dan Metode: Rekam medis pasien poli Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Umum kabupaten Tangerang selama periode Januari 2013-Desember 2017 dikumpulkan dan didapatkan 41 orang dengan fraktur angulus mandibula. Setiap sampel diidentifikasi adanya fraktur angulus mandibula, adanya impaksi molar 3 rahang bawah, posisi erupsi impaksi molar 3 dan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory. Data diolah dengan uji Chi Square dan Kolmogorov Smirnov, serta ditentukan Odd Ratio. Uji hipotesis korelatif dilakukan dengan Uji Contingency Coeficient, Phi ? ? ?, Cramer rsquo;s V, dan Kendall rsquo;s Tau-b.Kesimpulan: Ditemukan hubungan antara terjadinya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 bawah mandibula dengan p = 0,01 p < 0,05 dengan Odd Ratio = 4,615; memiliki hubungan korelatif dengan p = 0,010 p < 0,05 dengan kekuatan r = 0,272 lemah . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan posisi erupsi Suprabony,Infrabony p=0,375 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory p=0,087, p>0,05 .Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Jenis Kelamin p=0,763 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Usia p=1,000 p>0,05. ABSTRACT
Background: Impacted third molar of mandibula have been studied to have a role in increasing mandible fracture especially in the mandibular angle region. Mandibular angle fractures are often the result of traffic accidents in Indonesia. People do not yet know the importance of odontectomy as a first step to prevent fracture of the mandibular angle.Objective: To determine whether there is association or correlation of the presence of angular fracture in the presence of lower third molar impaction.Materials and Methods: Medical records of patients with Oral and Maxillofacial Surgery of Tangerang District General Hospital during the period of January 2013-December 2017 were collected and obtained 41 people with mandibular angle fractures. Each sample identified an mandibular angle fracture, a lower third molar impaction, third molar impaction eruption position and an impaction class according to Pell and Gregory. The data were processed by Chi Square and Kolmogorov Smirnov, and Odd Ratio was determined. Test the correlative hypothesis with Contingency Coefficient, Phy ? ? ?, Cramer rsquo;s V, and Kendall Tau B test.Conclusion: There was found a association between the presence of mandibular angle fracture in the presence of mandibula lower 3 molar impaction with p = 0,01 p 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Gender p = 0,763 p> 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Age p = 1,000 p> 0,05"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lilies Dwi Sulistyani
"Tujuan: Penelitian ini menganalisis hubungan faktor determinan terhadap densitas mandibula dan pengaruhnya terhadap penyembuhan luka ekstraksi.
Metode: Penelitian pertama potong-lintang dengan wawancara, pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Penelitian kedua kohort prospektif dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Hasil: Faktor determinan pada densitas mandibula adalah: lama menopause, kadar estradiol, kadar osteoprotegerin, dan polimorfisme gen OPG G1181C. Terdapat perbedaan bermakna penurunan tinggi soket antar densitas mandibula saat awal sampai delapan minggu pasca ekstraksi.
Kesimpulan: Model dapat menjelaskan densitas mandibula sebesar 46,90%. Densitas mandibula berpengaruh terhadap penurunan tinggi soket pada penyembuhan luka ekstraksi saat awal sampai delapan minggu pasca ekstraksi.

Objective: To analyze the correlation of mandible density determinant factors and its effect in extraction wound healing. Methods: First study was cross-sectional study by interview, clinical, radiology, and laboratory assessment. Second study was prospective cohort by clinical and radiology assessment.
Results: Deteminant factors in mandible density are menopause length, estradiol, osteoprotegerin, and OPG (G1181C) gene polymorphism. There is significant difference between socket height levels in mandible density from the beginning until eight weeks after extraction.
Conclusion: Model described mandible density 46.90%. Mandible density has effect on socket height levels in extraction wound healing from the beginning until eight weeks after extraction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The purpose of this study was to evaluate the changes of maxillary and mandibular sagital position relative to cranial base. The subject of this research was patients with bimaxillary protrusion having orthodontic treatment and four first premolars extraction. The maxillary and mandibular position changes were measured by angular and linier parameters. Angular parameter as described by Steiner's analysis were SNA and SNB angles. Linier parameter as described by McNamara's analysis were point A nad Pogonion relatives to nasion perpendicular. The results of both groups was compared statistically and differences quantified using paired t-test. There was no significant changes in position of maxilla relatives to cranial base. On the other hand, significant changes were found in position of mandibula relatives to cranial base."
Journal of Dentistry Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ambia Parama Kanya
"ABSTRAK
Jenis kelamin merupakan data penting dalam identifikasi individu. Salah satu metode penentuannya adalah analisis radiografis. Tujuan: Mengetahui nilai rerata pengukuran mandibula pada radiograf panoramik dalam menentukan jenis kelamin individu pada usia 14-35 tahun. Metode: Parameter yang diukur yaitu tinggi ramus, sudut gonial, lebar bigonial, tinggi ramus-kondil, tinggi ramus-koronoid, jarak maksimum ramus, jarak minimum ramus, dan indeks mentalis. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan pada tinggi ramus, lebar bigonial, tinggi ramus-kondil, tinggi ramus-koronoid, jarak maksimum ramus, dan jarak minimum ramus. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada sudut gonial dan indeks mentalis. Kesimpulan: Enam parameter dapat menentukan jenis kelamin.

ABSTRAK
Background Sex is one important information for identification. One of the method is radiographic analysis. Objective To obtain mean value of mandible on panoramic radiograph to determine sex aged 14 35 years. Methods Mandible measurements available are ramus height, gonial angle, bigonial width, condylar ramus height, coronoid ramus height, maximum ramus breadth, minimum ramus breadth, and mental index. Result There are difference between both sex on ramus height, bigonial width, condylar ramus height, coronoid ramus height, maximum ramus height, minimum ramus height measurement and no difference from gonial angle and mental index. Conclusion Six parameters can be used to identify sex.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>