Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137051 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saleh Harris
"Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang menyebabkan hendaya, salah satunya adalah ulkus kaki diabetikum (UKD). Kadar vitamin D diketahui berhubungan dengan penyembuhan luka dan resistensi insulin. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara kadar vitamin D serum dan derajat keparahan UKD. Tiga puluh pasien UKD dengan nilai ankle brachial index normal dikelompokkan sesuai derajat keparahannya sesuai klasifikasi Wagner diikutkan dalam studi ini. Kadar vitamin D serum diperiksa menggunakan metode immunoassay. Hubungan antara kedua variabel dianalisis. Pasien terdiri dari 18 orang laki-laki (60%) dan 12 orang perempuan (40%) dengan rerata usia 57 tahun. Rerata kadar vitamin D serum adalah 10,58 ng/mL. Korelasi kuat ditemukan antara kadar vitamin D serum dan derajat keparahan UKD (p<0,001, r=0,901). Pemeriksaan penyaring kadar vitamin D serum pada pasien UKD menunjukkan hasil yang rendah dan berkorelasi kuat dengan derajat keparahan UKD

Diabetes mellitus can cause various disabilitating complications including diabetic foot ulcer (DFU). Vitamin D levels are known to be correlated with wound healing and insulin resistance. This cross-sectional study aimed to determine the correlation between serum level of vitamin D and the severity degree of DFU. Thirty DFU patients with normal ankle brachial index, grouped into degrees according to the Wagner classification, were included in this study. Their serum level of vitamin D were examined using the chemiluminescent immunoassay method. Correlation between these two variables was analyzed. Patients were 18 males (60%) and 12 females (40%) with an average age of 57 years. The average serum level of vitamin D was 10.58 ng/mL. Strong correlation was found between serum level of vitamin D and the severity of DFU (p<0.001, r=0.901). Serum level of vitamin D screening in DFU patients were low and were strongly correlated with the degree of DFU."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saleh Harris
"Introduction: Diabetes mellitus can cause various complications, including diabetic foot ulcers (DFU). Vitamin D levels are known to be correlated with wound healing and insulin resistance. Method: This cross-sectional study aimed to determine the correlation between the serum level of vitamin D and the severity degree of DFU. Thirty DFU patients with normal ankle- brachial index, grouped into degrees according to the Wagner classification, were included in this study. Their serum level of vitamin D was examined using the chemiluminescent immunoassay method. The correlation between these two variables was analyzed. Results: Patients were 18 males (60%) and 12 females (40%) with an average age of 57 years. The average serum level of vitamin D was 10.58 ng/mL. A significant correlation was found between the serum level of vitamin D and the severity of DFU (r= -0.901, p <0.001)."
Jakarta: PESBEVI, 2020
616 JINASVS 1:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Jessica
"Latar Belakang: Stroke iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui diantaranya pola hidup, penyakit komorbid, usia, jenis kelamin, dan ras. Namun, kadar serum vitamin D yang kurang ternyata juga dikaitkan dengan penyakit neurodegeneratif, serta luaran klinis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan pada stroke iskemik yang dinilai berdasarkan NIHSS. Pada penelitian ini juga akan menilai asupan vitamin D serta pajanan sinar matahari.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stroke iskemik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko, penyakit komorbid dengan komplikasi, asupan protein, asupan lemak, asupan vitamin D, pajanan sinar matahari, kadar serum vitamin D, serta derajat keparahan. Dilakukan analisis korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan berdasarkan NIHSS.
Hasil: Terdapat 59 subjek dengan diagnosis stroke iskemik dengan rerata usia 63 tahun dan mayoritas laki-laki (62,7%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (83,1%), berat badan lebih dan obesitas (64,4%), merokok (57,6%), dan diabetes melitus (42,4%). Penyakit komorbid dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah gangguan jantung (35,6%). Sebanyak 79,7% subjek penelitian memiliki asupan protein yang kurang, sedangkan asupan lemak seluruhnya tergolong cukup. Sebagian besar (52,5%) subjek penelitian memiliki status asupan vitamin D kurang, 5 orang mengonsumsi suplementasi vitamin D secara rutin, derajat pajanan sinar matahari rendah (89,8%). Sebanyak 59,3% memiliki status kadar serum vitamin D defisiensi dengan derajat keparahan terbanyak adalah skor NIHSS 5-15 (76,3%). Terdapat korelasi antara asupan vitamin D dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,307, p 0,018).
Kesimpulan: Kadar serum vitamin D memiliki korelasi dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,469, p <0,001). Kadar serum vitamin D yang kurang berbanding terbalik dengan skor NIHSS yang didapatkan pada penderita stroke iskemik onset akut.

Background: Ischemic stroke is the second leading cause of death and the leading cause of disability worldwide. Some of the known risk factors include lifestyle, comorbid diseases, age, gender, and race. However, deficient serum vitamin D levels are also associated with neurodegenerative diseases, as well as worse clinical outcomes. This study was conducted to determine the correlation of serum vitamin D levels with severity in ischemic stroke as assessed by the NIHSS. This study will also assess vitamin D intake and sunlight exposure.
Methods: This study is a cross-sectional study on ischemic stroke patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Characteristics of the study subjects included age, gender, risk factors, comorbid diseases with complications, protein intake, fat intake, vitamin D intake, sun exposure, serum vitamin D levels, and severity. Correlation analysis of serum vitamin D levels with severity based on NIHSS was conducted.
Results: There were 59 subjects with a diagnosis of ischemic stroke with an average age of 63 years and the majority were male (62.7%). The most common risk factors were hypertension (83.1%), overweight and obesity (64.4%), smoking (57.6%), and diabetes mellitus (42.4%). Comorbid disease with the most common complication found were cardiac disorders (35.6%). A total of 79.7% of the study subjects had insufficient protein intake, while the fat intake was entirely considered adequate. Most (52.5%) of the study subjects had deficient vitamin D intake status, 5 people took vitamin D supplementation regularly, the degree of sun exposure was low (89.8%). A total of 59.3% had vitamin D deficiency serum level status with the most severity being NIHSS score 5-15 (76.3%). There was a correlation between vitamin D intake and ischemic stroke severity (r -0,307, p 0,018).
Conclusion: Serum vitamin D levels have a correlation with ischemic stroke severity (r -0,469, p <0,001). Insufficient serum vitamin D levels are inversely proportional to the NIHSS score obtained in patients with acute onset ischemic stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Farah Hilma
"Salah satu peran sistem imunitas terhadap infeksi M.leprae adalah respons makrofag melalui interaksinya dengan vitamin D dan reseptor vitamin D (RVD). Interaksi vitamin D dengan RVD pada berbagai sel imun akan menstimulasi ekspresi katelisidin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) dan kadar plasma RVD serta hubungannya dengan IB pada pasien kusta. Penelitian ini berupa observasional-analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 28 subjek penelitian (SP) menjalani pemeriksaan slit-skin smear kemudian diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Kadar serum 25(OH)D diperiksa dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) dan kadar plasma RVD dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median kadar serum 25(OH)D adalah 12,68 ng/ml (4,88 – 44,74). Median kadar plasma RVD adalah 1,36 ng/ml (0,26 – 8,04). Berdasarkan analisis regresi multivariat, tidak terdapat hubungan antara IB dengan kadar serum 25(OH)D dan kadar plasma RVD (R square = 0,055). Tedapat korelasi positif kuat antara kadar serum 25(OH)D dengan skor pajanan sinar matahari (r = 0,863; p < 0,001).

One of many immunity system’s roles against M. leprae infection is macrophage response through its interaction with vitamin D and vitamin D receptor (VDR). The interaction between vitamin D and VDR in various immune cells will stimulate the expression of cathelicidin. The objective is to analyze the serum level of 25-hydroxyvitamin D₃ (25(OH)D) and plasma level of VDR as well as their association with IB in leprosy patients. This observational analytic study was performed with cross-sectional design. A total of 28 subjects underwent a slit-skin smear examination and then the diagnosis of leprosy was made based on the cardinal signs. This study also assessed the patient’s sun exposure with weekly sun exposure questionnaire. Serum 25(OH)D level was assessed with chemiluminescent immunoassay (CLIA) method and RVD plasma level was measured by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median serum level of 25(OH)D was 12.68 ng/ml (4.88 – 44.74). Median plasma level of VDR was 1.36 ng/ml (0.26 – 8.04). Based on multivariate regression analysis, there was no significant association between BI and serum level of 25(OH)D and plasma level of VDR (R square = 0.055). There was strong positive correlation between serum level of 25(OH)D and sun exposure score (r = 0.863; p < 0.001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretta Limawan
"ABSTRAK
Latar belakang. Diabetes mellitus DM merupakan salah satu penyakit kronis yang komplikasinya masih menjadi masalah besar di Indonesia. Salah satu komplikasi DM yang paling sering dan sering berakhir dengan kecacatan adalah kaki diabetik. Angka amputasi di Indonesia khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo RSCM masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia. Salah satu faktor predisposisi amputasi kaki diabetik adalah perfusi jaringan yang dapat diukur dengan ankle brachial index ABI . Studi sebelumnya menunjukkan hubungan signifikan antara ABI dengan kejadian amputasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai ABI dengan besarnya risiko terjadinya amputasi minor dan mayor pada penderita kaki diabetic dalam populasi kami.Metode. Kami melakukan studi retrospektif pada 84 subjek dengan kaki diabetik yang diamputasi di RSCM selama periode 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2014. Karakteristik subjek dan vaskular termasuk diantaranya ABI dianalisa secara statistik.Hasil. Kami dapatkan sepsis dengan adjusted OR 95 CI : 0,023 0,004 sampai 0,157 dan nilai ABI yang memiliki adjusted OR 95 CI : 2,89 1,33 sampai 6,29 merupakan variabel yang bermakna dengan kejadian amputasi pada pasien kaki diabetik.Kesimpulan. Subjek dengan nilai ABI 1,3 secara independen.
AbstractBackground
hr>
ABSTRACT
. Diabetes mellitus is one of the chronic diseases in which the complication is still a major problem in Indonesia. One of the most frequent complications of diabetes mellitus and often ends up with a disability is diabetic foot. The number of amputation in Indonesia, especially in dr. Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM is quite high compared to other countries in Asia. One of predisposing factors of diabetic foot amputation is the tissue perfusion that can be measured by the ankle brachial index ABI . All the studies carried out abroad and in RSCM show a significant relationship between ABI and the incidence of amputation. This study aims to determine the relationship of ABI score with the magnitude of minor and major amputation risks in patients with diabetic foot.Method. The retrospective study was conducted in 84 patients with diabetic foot that were amputated at the RSCM during the period of January 1, 2013 to December 31, 2014. Samples were taken consecutively. Statistical analysis is done to find out a relationship between predisposing factors with the incidence of minor and major amputations in patients with diabetic foot. Chi Square test or Fisher, as well as multivariate analysis using logistic regression is used. The significance if p was "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Englando Alan Adesta
"Latar Belakang. Penyembuhan luka kaki diabetik (LKD) memerlukan waktu yang lama sehingga risiko infeksi, amputasi, dan kematian menjadi lebih tinggi. Salah satu parameter untuk menilai penyembuhan luka adalah pertumbuhan jaringan granulasi. Kadar Vitamin D diketahui terkait dengan risiko terjadinya LKD, infeksi, dan penyembuhan luka. Namun sampai saat ini masih belum diketahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan jaringan granulasi LKD.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecnepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.
Metode. Penelitian ini menggunakan bahan tersimpan berupa serum dan dokumentasi foto LKD dari penelitian sebelumnya. Analisis kadar 25(OH)D pada sampel serum darah awal perawatan menggunakan metode Elisa. Sedangkan analisis kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi dinilai berdasarkan hasil foto LKD pasien pada visit ke-4 dengan menggunakan program ImageJ.
Hasil. Dari 52 sampel yang dianalisis, kadar 25(OH)D pada awal perawatan menunjukan nilai median = 8.8 ng/mL. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak didapatkan hubungan antara kadar vitamin D dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi (p=0.815).
Kesimpulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar vitamin D serum awal perawatan dengan kecepatan pertumbuhan jaringan granulasi luka kaki diabetik pada perawatan hari ke-21.

Background. Wound in diabetic foot ulcer need a long time to heal which increase risk of infection, amputataion and mortality. One of the criteria in wound healing is growth of granulation tissue. Vitamin D level is known to be related to increase incidence of diabetic foot ulcer, infection, and wound healing. But until now, the effect of vitamin D to the growth of granulation tissue is not clear.
Objective. To know the Association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
Methods. This research uses stored sample in form of serum and footage documentation. It is the initial blood sample from 52 patients with DFU before starting treatment. Vitamin D is calculated with 25 (OH) D level by using ELISA. Analysis of growth in granulation tissue is counted by comparing the footage documentation at initial treatment to the 21st day of treatment with the help of ImageJ software.
Result. From 52 analysed sample, vitamin D level at initial presentation showed a median value of 8.8 ng/mL. The result of the analysis showed that there was no statistically significant association between vitamin D level with the granulation growth rate of diabetic foot ulcer (p=0,815).
Conclusion. There is no significant association between initial serum vitamin D level with granulation growth rate of diabetic foot ulcer after 21 days of treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Khotimah Jannah
"ABSTRAK
Ulkus kaki diabetikum merupakan salah satu komplikasi kronis Diabetes Melitus yang biasanya muncul 10 tahun setelah onset Diabetes Melitus. Ulkus kaki diabetikum dapat menimbulkan sensasi nyeri dan ketidaknyamanan yang dapat mempengaruhi kualitas tidur pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat keparahan ulkus dengan kualitas tidur pada pasien ulkus kaki diabetikum di Rumah Perawatan Luka RUMAT Wilayah Bekasi dan Jakarta. Desain penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan pendekatan potong lintang Cross-Sectional . Sebanyak 73 pasien ulkus kaki diabetikum dilibatkan dan diwawancarai melalui teknik purposed random sampling. Kuesioner yang digunakan adalah PSQI Pittsburgh Sleep Quality Index untuk menilai kualitas tidur pasien dan format pengkajian luka Wagner untuk menilai derajat keparahan ulkus pasien. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji chi square dan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat keparahan ulkus dengan kualitas tidur pada pasien ulkus kaki diabetikum p=0,004; ? ? =0,05. Pasien dengan luka yang lebih parah berisiko 5,2 kali lebih tinggi memiliki kualitas tidur buruk dibandingkan dengan pasien dengan derajat luka yang lebih ringan 95 CI: 1,783;15,475. Melalui hasil penelitian ini direkomendasikan peningkatan perawatan luka untuk proses penyembuhan yang lebih berkualitas. Hal tersebut untuk mewujudkan kualitas tidur yang lebih baik.

ABSTRACT
Diabetic foot ulcer is one of Diabetes Mellitus chronic complications that occur around 10 years after Diabetes Mellituss onset. Ulcers made sense of pain and discomfort that affecting patient 39s sleep quality. This study identified the relation between ulcers severity with sleep quality among diabetic foot ulcer patients in Clinic of Wound Care RUMAT Bekasi and Jakarta. Design of this study is analytical with cross sectional approach. That are 73 patients with diabetic foot ulcer who participated and interviewed by a purposed random sampling technique. Two kinds or questionnaire are used, namely Pittsburgh Sleep Quality Index PSQI to assess patient 39 s sleep quality and Wagner 39s Wound Assessment Format to assess patients ulcer severity. The result are analyzed using Chi square test and showed a significant relationship between ulcer severity and sleep quality among diabetic foot ulcer patient rsquo s p 0,004 0,05. Patients with more ulcer severity had 5,2 time more risk to have poor sleep quality than patients with low severity ulcer 95 CI 1.783 15.475. From the results, it is recommended to improve wound care quality. It should be considered for better sleep quality among diabetic patients. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Rizkian Asir
"Latar belakang: Diabetes melitus merupakan faktor risiko penting terjadinya
aterosklerosis, aterosklerosis merupakan penyakit sistemik yang bisa terjadi di seluruh
pembuluh darah baik pada mikrovaskular maupun makrovaskular. Adanya bukti
iskemia akibat stenosis yang disebabkan aterosklerosis pada salah satu pembuluh darah,
mengharuskan kita lebih waspada akan adanya proses aterosklerosis di tempat lain.
NPD di kaki terjadi akibat komplikasi diabetes pada mikrovaskular yang akhirnya
mengakibatkan kerusakan pada persarafan di kaki. Maka perlu mewaspadai proses
ateroslerosis di tempat lain, baik pada pembuluh arteri makro maupun mikrovaskular di
kaki. Pemeriksaan non invasif untuk melihat adanya ganguan makrovaskular di kaki
menggunakan ABI dan TBI sedangkan untuk gangguan mikrovaskular dengan TcPO2.
Penelitian ini dilakukan untuk dapat menilai hubungan derajat neuropati perifer diabetik
yang dinilai dengan TCSS dengan proses ateroskerosis dipembuluh darah kaki, baik
yang makrovaskular dengan ABI dan TBI maupun mikrovaskular TcPo2 pada pasien
DM tipe 2.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada pasien DM tipe 2 dengan NPD
dengan nilai TCSS >5 di Poliklinik Pelayanan Jantung Terpadu, poliklinik Endokrin
dan Metabolik dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam Umum RSCM. Data diperoleh dari
wawancara, rekam medik, pemeriksaan ABI, TBI dan TcPO2. Variabel penelitian
berupa derajat neuropati perifer, ABI, TBI dan TcPO2. Analisis bivariat terhadap
masing-masing variable dengan menggunakan uji Spearman.
Hasil: Sebanyak 36 subjek yang memenuhi kriteria pemilihan diikutkan dalam
penelitian, rerata usia 62 tahun dengan 20 (55,6%) di antaranya perempuan dan median
lama diabetes 12 tahun. Berdasarkan analisa bivariat dengan uji spearman penelitian ini
mendapatkan korelasi negatif yang bermakna secara statistik dengan koefisien korelasi
sedang antara derajat neuropati perifer diabetik yang dinilai dengan TCSS dengan ABI
(r = -0,475, p = 0,003) dan TBI (r = -0,421, p = 0,010). Dan pada pemeriksaan TcPO2
juga di dapatkan korelasi negatif yang bermakna secara statistik dengan koefisien
korelasi sedang ( r = -0,399, p = 0,016)
Simpulan : Terdapat korelasi negatif yang bermaksa secara statistik antara derajat
neuropati perifer diabetik dengan ABI, TBI dan TcPO2.

Background: Diabetes mellitus is important risk factor of atherosclerosis.
Atherosclerosis is systemic disease that can occur in all blood vessels both
microvascular and macrovascular. There is evidence of ischemia due to stenosis caused
by atherosclerosis in one blood vessel, which requires us to be more aware with the
process of atherosclerosis in other places. Diabetic peripheral neuropathy (DPN) in the
lower extremity results from complications of diabetes in the microvascular which can
damage nerve in the lower extremity. Then it is necessary to be aware of the process of
aterosclerosis elsewhere, both in the macro and microvascular arteries in the lower
extremity. Non-invasive examination to look macrovascular disorders in the lower
extremity are using ankle brachial index (ABI) and toe brachial index (TBI) while for
microvascular disorders with TcPO2. This study was conducted to assess the
association of the degree of diabetic peripheral neuropathy assessed by toronto clinical
scoring system (TCSS) with the process of atherosclerosis in the blood vessels of the
lower extremity, both macrovascular with ABI and TBI as well as microvascular TcPo2
in Patients with type 2 diabetes mellitus (DM)
Methods: Cross-sectional study was carried out in patients with type 2 DM with DPN
with TCSS values> 5 in the Integrated Cardiac Polyclinic, Endocrine and Metabolic
Polyclinic, and Internal Medicine Polyclinics at RSCM. The Data were obtained from
interviews, medical records, ABI, TBI and TcPO2 examinations. The research variables
are the degree of peripheral neuropathy, ABI, TBI and TcPO2. Bivariate analysis of
each variable was used the Spearman test.
Results: Total of 36 subjects who met the selection criteria were included in the study,
the average age was 62 years with 20 (55.6%) of whom were women and the median
duration of diabetes was 12 years. Based on bivariate analysis with the Spearman test,
this study found a statistically significant negative correlation with moderate correlation
coefficient between the degree of diabetic peripheral neuropathy assessed by TCSS with
ABI (r = -0.475, p = 0.003) and TBI (r = -0.421, p = 0.010) . The TcPO2 examination
also found a statistically significant negative correlation with moderate correlation
coefficient (r = -0.399, p = 0.016)
Conclusion : There is a statistically significant negative correlation between the degree of diabetic peripheral neuropathy with ABI, TBI and TcPO2 examinations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Anggara
"Latar Belakang: Ulkus diabetik merupakan komplikasi diabetes melitus dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan prevalensi 6,3% populasi dunia dan angka amputasi mencapai 139,97 kasus per 100.000 orang. Pada kasus lanjut, pasien ulkus diabetik dilakukan debridemen atau bahkan amputasi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Prediksi penyembuhan luka pasca debridemen merupakan suatu penilaian yang sangat penting untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Namun, hingga saat ini, penelitian untuk mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas dan volume flow pada pasien ulkus diabetik terhadap penyembuhan luka pasca debridemen belum banyak dilakukan.

Tujuan: Mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas and volume flow pasien ulkus diabetik terhadap penyembuhan luka pasca debridemen.

Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2023 – Oktober 2023.

Hasil: Terdapat 40 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Profil subjek penelitian  sebagian besar terdiri dari jenis kelamin perempuan dengan rata-rata usia 56,93 tahun. Jumlah pasien yang memiliki riwayat hipertensi adalah 21 orang (52,5%), riwayat dislipidemia adalah 10 orang (25%), dan riwayat merokok adalah 17 orang (42,5%). Analisis bivariat dengan uji Pearson mendapatkan faktor risiko yang berhubungan signifikan terhadap skor DFUAS adalah diabetes melitus (p<0,001), merokok (p<0,001), dan hipertensi (p=0,007). Terdapat hubungan korelasi yang kuat dan signifikan antara nilai ABI yang semakin kecil dengan skor DFUAS yang semakin besar (p<0,001). Selain itu, terdapat juga hubungan korelasi kuat dan signifikan antara fasisitas arteri poplitea bifasik dengan nilai DFUAS yang semakin besar (p<0,001). Sementara itu, tidak terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara tekanan sistolik arteri poplitea, fasisitas arteri femoralis komunis, dan volume flow arteri poplitea maupun femoralis komunis terhadap skor DFUAS atau penyembuhan luka.

Kesimpulan: Pemeriksaan ABI dan fasisitas arteri poplitea dengan ultrasonografi dapat menjadi prediksi penyembuhan luka pada pasien ulkus diabetik.


Diabetic ulcer is a complication of diabetes mellitus with high morbidity and mortality, with a prevalence of 6.3% of the world population and an amputation rate of 139.97 cases per 100,000 people. In advanced cases, diabetic ulcer patients undergo debridement or even amputation which greatly affects the patient's quality of life. Prediction of wound healing after debridement is a very important assessment to provide the best service for patients. However, until now, there has not been much research to determine the relationship between systolic pressure, fascicity and volume flow in diabetic ulcer patients on post-debridement wound healing.

Objective: Knowing the relationship between systolic pressure, fascicity and volume flow of diabetic ulcer patients on wound healing after debridement.

Method: The design of this study was cross-sectional, conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted in August 2023 - October 2023.

Results: There were 40 research subjects who met the inclusion criteria. The profile of the research subjects mostly consisted of female gender with an average age of 56.93 years. The number of patients who had a history of hypertension was 21 people (52.5%), a history of dyslipidemia was 10 people (25%), and a history of smoking was 17 people (42.5%). Bivariate analysis with the Pearson test found that the risk factors significantly associated with DFUAS scores were diabetes mellitus (p<0.001), smoking (p<0.001), and hypertension (p=0.007). There was a strong and significant correlation between a smaller ABI value and a larger DFUAS score (p<0.001). In addition, there was also a strong and significant correlation between biphasic popliteal artery fascicity and greater DFUAS score (p<0.001). Meanwhile, there was no significant correlation between popliteal artery systolic pressure, common femoral artery fascicity, and popliteal or common femoral artery flow volume on DFUAS score or wound healing.

Conclusion: Ankle brachial index examination and popliteal artery fascicity with ultrasonography can be predictive of wound healing in diabetic ulcer patients."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
"ABSTRAK
Latar belakang: Rinitis alergi RA merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi tinggi pada anak. Akhir-akhir ini, kekurangan vitamin D pada anak dipercaya berhubungan dengan disregulasi sistem imun, yang berujung pada makin beratnya RA. Analisis hubungan antara kadar vitamin D dan keparahan RA diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Tujuan: 1 Mengetahui rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi; 2 Membandingkan rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi dan anak pada populasi normal; 3 Mengetahui rerata kadar 25 OH D serum sesuai dengan tingkat keparahan rinitis alergiMetode: Penelitian potong lintang pada 60 anak usia 6-18 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan berkunjung ke RSCM dan RSI Pondok Kopi. Seluruh subyek dibagi menjadi kelompok rinitis alergi n=30 dan kontrol n=30 . Kemudian, dilakukan pemeriksaan kadar 25 OH D serum dengan cara CLIA chemiluminescence immunoassay . Kadar 25 OH D serum normal, insufisiensi, dan defisiensi lalu dihubungkan dengan RA berdasarkan lama gejala yaitu intermiten dan persisten. Hasil: Rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi didapatkan 17,75 SB 5,60 ng/mL. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar vitamin D di kelompok RA 17,75 5,60 ng/mL dengan kelompok kontrol 19,22 6,11 ng/mL , p=0,336. Didapatkan hubungan bermakna antara rerata kadar vitamin D pada rinitis intermiten 22,82 4,59 ng/mL dengan rinitis persisten 15,22 4,19 ng/mL , p

ABSTRACT
Background. Allergic rhinitis AR was a global health problem with high prevalence in children. Recently, vitamin D deficiency in children was found to have a correlation with immune system dysregulation, which leads to more severe symptoms of AR. Association between vitamin D serum level and AR incidence is needed to prevent further complications.Aim. 1 to recognize mean vitamin D serum level in children with AR 2 to compare mean vitamin D serum level in children with AR and normal children population 3 to find out mean vitamin D serum level according to severity level of AR.Methods. A cross sectional study was performed in 60 children aged 6 18 years old, who meet the inclusion criteria and visit CM hospital and Islamic Pondok Kopi hospital. All subjects were divided into 2 groups AR group n 30 and control group n 30 . Blood were taken for 25 OH D serum level examination with CLIA method. Association between 25 OH D serum level normal, insufficiency, deficiency and severity level of AR intermittent and persistent was then being analyzed.Results. Mean vitamin D serum level in children with AR was 17,75 SD 5,60 ng mL. There was no significant difference between mean vitamin D serum level in AR group 17,75 5,60 ng mL and control group 19,22 6,11 ng mL , p 0,336. Association was found between mean vitamin D serum level in intermittent rhinitis 22,82 4,59 ng mL and persistent rhinitis 15,22 4,19 ng mL , p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>