Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christiana Daraclaudia
"Sexting adalah perilaku bertukar pesan foto atau pesan teks yang bernuansa seksual melalui ponsel atau media seluler lainnya. Perilaku sexting merupakan salah satu cara menjaga hubungan asmara dengan pasangan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara keterikatan orang dewasa dengan perilaku sexting, yang berusaha untuk melihat aspek psikologis yang mendasari perilaku sexting dalam hubungan romantis. Penelitian ini dilakukan pada kelompok dewasa muda yang sedang menjalin hubungan asmara berpacaran dan melakukan sexting dengan pasangannya yaitu sebanyak 20 laki-laki dan 54 perempuan (N = 74). Kelekatan orang dewasa diukur menggunakan The Experiences in Close Relationship-Revised (ECR-R) yang terdiri dari 18 item pada dimensi kecemasan dan 18 item pada dimensi penghindaran. Perilaku sexting diukur menggunakan skala sexting dengan 8 item yang mengukur frekuensi perilaku dan konten seks yang dipertukarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi keterikatan kecemasan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku sexting (r (71) = 0,274, p <0,05).

Sexting is the behavior of exchanging sexual photos or text messages through cell phones or other cellular media. Sexting behavior is one way of maintaining a romantic relationship with a partner. This study aims to look at the relationship between adult attachment to sexting behavior, which seeks to see the psychological aspects that underlie sexting behavior in romantic relationships. This research was conducted on a group of young adults who were dating and having sexting with their partners, as many as 20 men and 54 women (N = 74). Adult attachment was measured using The Experiences in Close Relationship-Revised (ECR-R) which consisted of 18 items on the anxiety dimension and 18 items on the avoidance dimension. Sexting behavior was measured using a sexting scale with 8 items measuring the frequency of sexual behavior and content exchanged. The results showed that the dimension of attachment anxiety had a significant relationship with sexting behavior (r (71) = 0.274, p <0.05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Rizqi Safitri
"Sexting adalah suatu tindakan mengirim dan menerima pesan teks, foto, atau video seksual eksplisit dan vulgar yang dibuat sendiri dan dibagi melalui perangkat teknologi, seperti telepon genggam. Sexting kini merupakan salah satu cara yang digunakan pasangan kekasih untuk menjalin hubungan dan intimasi dengan pasangannya. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk menguji apakah dilakukannya sexting oleh pasangan kekasih ini dapat berkorelasi dengan kepuasan hubungan yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan kepada dewasa muda yang melakukan sexting terakhir kali dengan pacar atau suami/istrinya, di mana 28 diantaranya adalah perempuan dan 15 lainnya adalah laki-laki (N = 44). Sexting diukur dengan menggunakan 8-aitem Skala Sexting yang mengukur frekuensi mengirim dan menerima sext dalam wujud teks, gambar, foto, atau video. Sementara kepuasan hubungan romantis diukur dengan menggunakan Relationship Assessment Scale yang terdiri dari 7 aitem. Hasil analisis Pearsons Correlation menunjukkan bahwa sexting dan kepuasan hubungan romantis dapat berkorelasi secara positif dan signifikan (r(42)=0,303, p<0,05). Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa dilakukannya sexting oleh partisipan dewasa muda dapat berkorelasi dengan kepuasan hubungan romantis yang dirasakannya.

Sexting is the act of sending and receiving self-produced sexual messages, images, photos, or videos through technology devices, such as mobile phone. Sexting nowadays could be considered as an option for romantic couples to get intimate with their partner. Therefore, this study was made to test out whether sexting is correlated to the level of satisfaction of their romantic relationship. This study involved young adults, 28 women and 15 men (N = 44), who most recently sexted their partner, either dating or married. Sexting was measured by an 8-item Sexting Scale that measures the frequency of sexts exchanged by partners in forms of text messages, pictures, photos, or videos. Meanwhile relationship satisfaction was measured by 7-item Relationship Assessment Scale. The result of Pearsons Correlation showed that sexting and romantic relationships satisfaction are positively and significantly correlated (r(42)=0,303, p<0,05). Therefore, it can be concluded that sexting can correlate to young adults romantic relationship satisfaction. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunisa Putri Syahriani
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai perbedaan kualitas hubungan romantis berdasarkan tipe-tipe adult attachment pada dewasa muda yang berpacaran. Pengukuran adult attachment dilakukan menggunakan alat ukur The Experiences in Close Relationships-Short form (Wei et. al., 2007) dengan koefisien reliabilitas Cronbach Alpha sebesar 0.710. Pengukuran kualitas hubungan romantis dilakukan menggunakan alat ukur Partner Behaviours as Social Context dan Self Behaviours as Social Context (Ducat, 2009) dengan masing-masing koefisien reliabilitas Cronbach Alpha sebesar 0.904 dan 0.734. Responden penelitian ini berjumlah 205 orang, terdiri atas 86 laki-laki dan 119 perempuan. Responden adalah dewasa muda berusia 20-40 tahun dan sedang berpacaran.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan kualitas hubungan romantis berdasarkan tipe secure attachment (p = .730), preoccupied attachment (p = .892), fearful attachment (p = .260), dan dismissing attachment (p = .627). Hasil tersebut menunjukkan bahwa persepsi individu terhadap kualitas hubungan romantisnya tidak dibedakan dan tidak dipengaruhi oleh tipe-tipe adult attachment, yaitu secure, preoccupied, fearful, dan dismissing. Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa kualitas hubungan romantis memiliki hubungan yang signifikan negatif dengan tipe secure attachment (r = -.382, p < 0.01), namun tidak memiliki hubungan yang dengan tipe preoccupied, fearful, dan dismissing attachment.

This study aimed to find differences in romantic relationship quality based on adult attachment styles among young adults in dating relationships. Level of adult attachment was measured by using Experiences in Close Relationships Scale-Short Form Inventory (Wei et. al., 2007) and romantic relationship quality was measured by using Partner Behaviours as Social Context and Self Behaviours as Social Context (Ducat, 2009). Number of subjects in this research was 205 respondents with 86 males and 119 females. Respondents are young adults aged 20-40 years old and in an dating relationship.
The result of this study showed that there was no differences in romantic relationship quality compared to secure attachment style (p = .730), preoccupied attachment style(p = .892), fearful attachment style (p = .260), and dismissing attachment style (p = .627). This result shows that romantic relationship quality isn’t determined by adult attachment styles. The additional anaylisis shows that romantic relationship quality has a negative significant correlation with secure attachment style (r = -.382, p < 0.01), but has no correlation with preoccupied, fearful, and dismissing attachment style.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63551
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evita Marsha Steffiani Rinaldy
"Perkembangan hubungan interpersonal merupakan tugas penting di masa dewasa muda. Individu dewasa muda akan berfokus untuk membangun hubungan yang kuat dan intimate saat mereka mengalami ketegangan antara intimacy dan isolation. Apabila individu gagal mencapai intimacy, individu dapat mengalami isolation, kesepian, ketakutan terhadap hubungan, dan penyesuaian yang buruk. Salah satu hubungan paling penting yang terbentuk dalam kehidupan individu dewasa muda adalah hubungan romantis. Perbedaan individu dalam menjalani hubungan romantis dapat dijelaskan melalui adult attachment, yang terbentuk dari internal working models berdasarkan pola asuh yang dipersepsikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara perceived parenting style dan adult attachment pada dewasa muda di Indonesia. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 147 individu dewasa muda yang berusia 18-25 tahun, pernah tinggal dengan salah satu atau kedua orang tua, dan pernah atau sedang menjalin hubungan romantis. Pengukuran kedua variabel dilakukan dengan menggunakan alat ukur Parental Authority Questionnaire dan Experiences in Close Relationship Scale-Short Form. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara persepsi pola asuh otoriter dan anxious attachment (r = 0,287, p < 0.001). Dengan kata lain, makin tinggi tingkat pola asuh otoriter yang dipersepsikan, makin tinggi pula tingkat anxious attachment yang dimiliki. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi pola asuh otoriter dan avoidant attachment. Selain itu, persepsi pola asuh otoritatif tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan anxious maupun avoidant attachment.

The development of interpersonal relationships is an important task in emerging adulthood. Emerging adults will focus on building strong, intimate relationships as they experience the tension between intimacy and isolation. If they fail to achieve intimacy, they may experience isolation, loneliness, fear of relationships, and poor adjustment. One of the most important relationships that form in an emerging adult's life is a romantic relationship. Differences in how individuals navigate romantic relationships can be explained through adult attachment, which is formed from internal working models shaped by perceived parenting styles. Therefore, this study aims to examine the relationship between perceived parenting style and adult attachment among emerging adults in Indonesia. Participants in this study consisted of 147 emerging adults aged 18-25 years who have lived with either one or both parents and have been or are currently in a romantic relationship. The measurement of the two variables was conducted using the Parental Authority Questionnaire and the Experiences in Close Relationship Scale-Short Form. The results of the correlation analysis showed a positive relationship between perceived authoritarian parenting and anxious attachment (r = 0.287, p < 0.001). In other words, the higher the perceived level of authoritarian parenting, the higher the level of anxious attachment. This study also found no significant relationship between perceived authoritarian parenting and avoidant attachment. In addition, perceptions of authoritative parenting did not have a significant relationship with anxious or avoidant attachment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pangkey, Dhara Monica
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara agresi relasional dan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda yang berpacaran. Agresi relasional didefinisikan sebagai tingkah laku yang menyebabkan kerugian dengan merusak hubungan atau perasaan diterima dan cinta. Kualitas hubungan romantis didefinisikan persepsi individu terhadap sejauh mana hubungan yang sedang dijalani memberikan atau tidak memberikan manfaat melalui pengalaman dan interkasi. Pengukuran agresi relasional menggunakan Self-Report of Romantic Relational Aggression (SRRRA) yang disusun oleh Morales dan Crick (1998). Pengukuran kualitas hubungan romantis menggunakan alat ukur Partner Behavior as Social Context (PBSC) oleh Ducat dan Zimmer-Gembeck (2010). Partisipan penelitian berjumlah 332 individu usia dewasa muda yang sedang berpacaran. Melalui teknik statistic Pearson Correlation, diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara agresi relasional dan kualitas hubungan romantis yang signifikan.

This research was conducted to find the correlation between relational aggression and romantic relationship quality among young adulthood currently in a relationship. Relational aggression defined as behavior that harm others through damage (or the threat of damage) to relationships or feeling of acceptance, friendship, or group inclusion. Romantic relationship quality defined as the extent to which a relationship provides or withholds beneficial experiences and interactions. Relational aggression was measured using an instrument named Self-Report of Romantic Relational Aggression made by Morales and Crick (1998). Romantic relationship quality was measured using an instrument names Partner Behavior as Social Context (PBSC) made by Ducat and Zimmer-Gembeck, 2010). Participants of this research were 332 young adulthood currently in a relationship. The Pearson Correlation indicates negative significant correlation between relational aggression and romantic relationship quality."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59189
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarrah Hasyim Abdullah
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara romantic self-efficacy dan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda yang berpacaran jarak jauh. Romantic self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan yang dimiliki individu akan kemampuannya sebagai pasangan untuk dapat terlibat dalam perilaku spesifik dalam hubungan romantis dan merespon secara efektif terhadap tuntutan tugas-tugas yang terdapat pada hubungan romantis. Kualitas hubungan romantis didefinisikan persepsi individu terhadap sejauh mana hubungan yang sedang dijalani memberikan atau tidak memberikan manfaat melalui pengalaman dan interkasi. Pengukuran romantic self-efficacy menggunakan alat ukur Self-Efficacy in Romantic Relationship (SERR) yang disusun oleh Riggio, Weiser, Valenzuela, Lui, Montes, dan Heuer (2011). Pengukuran kualitas hubungan romantis menggunakan alat ukur Partner Behavior as Social Context (PBSC) oleh Ducat dan Zimmer-Gembeck (2010). Partisipan penelitian berjumlah 490 individu usia dewasa muda yang sedang berpacaran jarak jauh. Melalui teknik statistic Pearson Correlation, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara romantic self- efficacy dan kualitas hubungan romantis yang signifikan.

This research was conducted to find the correlation between romantic self- efficacy and romantic relationship quality among young adulthood currently in a relationship. Romantic self-efficacy defined as beliefs in one`s capabilities as a relationship partner to engage in specific romantic relationship and responding effectively to demands in romantic relationship. Romantic relationship quality defined as positive or negative beliefs about one`s capabilities as a relationship partner to involve in specific actions in romantic relationship and to responses effectively toward task demands in romantic relationship. Romantic self-efficacy was measured using an instrument named Self-Efficacy in Romantic Relationship (SERR) made by Riggio, Weiser, Valenzuela, Lui, Montes, dan Heuer (2011). Romantic relationship quality was measured using an instrument names Partner Behavior as Social Context (PBSC) made by Ducat and Zimmer-Gembeck, 2010). Participants of this research were 490 young adulthood currently in a long- distance dating relationship. The Pearson Correlation indicates positive significant correlation between romantic self-efficacy and romantic relationship quality."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59077
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Rizki Kuswisnu Wardani
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara adult attachment dan komitmen pada emerging adult yang sedang berpacaran. Sebanyak 203 responden mengisi kuesioner alat ukur adult attachment (Experience in Close Relationship) dan komitmen (Commitment Inventory). Pada penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara adult attachment dan komitmen (r = -.269, p = .000). Hal ini berarti, semakin rendah adult attachment, semakin tinggi komitmen yang dimiliki. Penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen dengan kategori adult attachment, yaitu secure, preoccupied, dismissive, fearful ( p > 0,5).

The aim of this research was to examine the relationship between adult attachment and commitment among dating emerging adult. A total 203 respondent completed questionnaires on adult attachment (Experience in Close Relationship) and commitment (Commitment Inventory). In this research, the result points out a negative and significant relationship between adult attachment and commitment (r = -.269, p = .000). It means, low attachment indicates high commitment. The result of this research also indicates that the adult attachment?s categories (secure, preoccupied, dismissive, fearful) doesn?t correlated with commitment (p > 0,5)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59041
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelia Sun Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali hubungan antara cinta, yang terdiri dari komponen intimacy, passion, dan commitment, dengan orientasi masa depan pada hubungan romantis (FTORR), yang terdiri dari pencarian hubungan permanen dan fokus masa depan. Partisipan dalam penelitian ini adalah dewasa muda (N=120) yang sedang berpacaran diberikan skala triangular cinta (Sternberg, 1987) dan skala FTORR (Öner, 2000b).
Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara cinta dengan orientasi masa depan pada hubungan romantis. Hal ini berarti bahwa individu dengan kadar cinta yang tinggi cenderung mencari hubungan yang relatif permanen. Sebagai hasil tambahan dari penelitian, lama berpacaran juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan orientasi masa depan. Implikasi hasil penelitian adalah dewasa muda dapat mengembangkan setiap komponen cinta sehingga dapat mengarah pada pembentukkan hubungan jangka panjang yang lebih baik.

The aim of this study is to examine the correlation between love, consist of intimacy, passion, and commitment, and future time orientation of romantic relationship (FTORR), consist of permanent relationship seeking and future relationship. The partisipant of this study are young adults (N=120) who are in romantic relationship were given The Sternberg Love Scale (1987) and FTORR Scale (Öner, 2000b).
Results indicated a significant correlation between love scale with its component and FTORR scale. It means individuals who have higher love scores tend to seek more permanent relationship. In addition to the results, duration of the relationship has a significant correlation with FTORR. In order to have better long-term relationship, individuals should do effort to enrich their component of love.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Chandra Kirana
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengelolaan privasi (privacy management) mengenai sexting (melalui aplikasi chat/obrolan) dalam hubungan percintaan pada individu berusia dewasa muda. Dalam menjelaskan pemahaman mengenai pengelolaan privasi, studi menggunakan sejumlah konsep dalam Teori Communication Privacy Management dari Sandro Petronio (2002). Penelitian menggunakan paradigma konstruksionisme dan pendekatan kualitatif. Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode wawancara mendalam terhadap 13 informan yang tinggal di wilayah perkotaan (urban setting). Selain itu, peneliti melakukan observasi terhadap bentuk sexting yang dipertukarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu memiliki pengaturan privasi (privacy management) yang kompleks dan ketat. Selain itu, perilaku sexting dilakukan oleh individu terhadap pasangan, ketika semua pihak dalam hubungan bersepakat dan merasa nyaman terhadap satu sama lain. Terdapat penetapan batas privasi yang spesifik ketika melakukan sexting dengan pasangan. Dalam mengelola batas privasi ini terdapat seperangkat aturan dan guardianship (memastikan agar aturan sungguh-sungguh dilaksanakan). Penelitian ini menemukan sejumlah fungsi sexting, yaitu untuk memelihara hubungan (connection maintenance), untuk memenuhi kebutuhan seksual dan fantasi seksual, untuk mengembangkan rasa percaya (trust), dan untuk menjaga keintiman di khususnya saat kedua pihak tidak dapat bertemu dalam kurun waktu yang relatif lama. Di sisi lain terdapat aspek risiko dari sexting seperti adanya potensi yang dapat mengganggu hubungan tersebut (berupa risiko dalam hal-hal berikut yaitu reputasi yang buruk, informasi yang tersebar secara viral, mendapatkan sanksi dari keluarga atau lingkungan sosial, porn-revenge, terputusnya hubungan, dan lain-lain).

This study aims to explain privacy management about sexting (via chat applications) in romantic relationships among young adults in Jakarta area. In explaining the understanding of privacy management, the study uses a number of concepts in the Communication Privacy Management Theory from Sandro Petronio (2002). This research uses a constructivist paradigm and a qualitative approach. To collect data, researcher used in-depth interviews with 13 informants who live in urban areas (Jakarta, Depok, Bekasi, and Bogor). In addition, the researcher observed the forms of sexting that were exchanged. The results of this research show that individuals have complex privacy management. In addition, sexting behavior is carried out by individuals towards partners, when all parties in the relationship agree and feel comfortable with each other. There are specific privacy limits when sexting with a partner. In managing this privacy boundary there is a set of rules and guardianship (ensuring that the rules are actually implemented). This study found a number of functions of sexting, namely to maintain a relationship (connection maintenance), to fulfill sexual needs and sexual fantasies, to develop trust, and to maintain intimacy, especially when the two parties cannot meet for a relatively long period of time. On the other hand, there are risk aspects of sexting, such as the potential to disrupt the relationship (namely bad reputation, information spreading virally, getting sanctions from family or social environment, porn-revenge, disconnection, and others). "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranindya Pramudita Aranira
"Jumlah warga Negara Indonesia yang melakukan bunuh diri adalah sebesar 11 juta orang dengan memiliki latar belakang depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebanyak 50% orang yang mengalami adverse childhood experience akan berakhir memiliki gejala depresi di masa dewasa. Jenis attachment style di masa dewasa juga berhubungan dengan adverse childhood experience dan berkontribusi dalam memunculkan gejala depresi. Penelitian kali ini mencoba melihat hubungan antara adverse childhood experience, jenis attachment style di masa dewasa, dan gejala depresi. Gejala depresi diukur menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experience diukur dengan menggunakan Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), dan attachment style di masa dewasa diukur dengan menggunakan Adult Attachment Scale (AAS). Penelitian kali ini dilakukan terhadap 482 orang dewasa muda di jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara adverse childhood experience (r = 0,388, n = 482, p < 0,01). Adverse childhood experience memiliki hubungan yang signifikan dan paling besar dengan anxious attachment style di masa dewasa dibandingkan dengan jenis attachment lain (r = 0,271, n = 482, p < 0,01). Anxious attachment style di masa dewasa juga memiliki hubungan yang signifikan dan paling tinggi dengan gejala depresi dibandingkan dengan jenis attachment lainnya (r = 0,486, n = 482, p < 0,01). Penelitian ini memiliki limitasi yakni kriteria partisipan yang kurang terfokus terhadap orang-orang yang pernah mengalami adverse childhood experience dan proporsi sampel yang kurang merata.

The number of Indonesian citizens who commit suicide is 11 million people with a background of depression. Previous research has shown that as many as 50% of people who experience bad childhood experiences end up with depressive symptoms in adulthood. This type of stylistic attachment in adulthood is also associated with adverse childhood experiences and contributes to depressive symptoms. The current study looks at the relationship between adverse childhood experiences, types of attachment styles in adulthood, and symptoms of depression. Depressive symptoms were measured using the Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experiences as measured using the Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), and attachment style in adulthood measured using the Adult Attachment Scale (AAS). The current research was conducted on 482 young adults in Jabodetabek. The results showed that there was a positive and significant relationship between bad experiences during childhood (r = 0.388, n = 482, p <0.01). Adverse childhood experiences had a significant and greatest association with anxious attachment style in adulthood compared with other attachment types (r = 0.271, n = 482, p <0.01). Anxious attachment style in adulthood also had a significant and highest association with depressive symptoms compared to other types of attachments (r = 0.486, n = 482, p <0.01). The limitations of this study are, the criteria of participants are less focused on people who have experienced adverse childhood experience and the proportion of the sample is not evenly distributed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>