Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181058 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma Agustin
"Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kedudukan penelitian dan pengembangan sebagai unsur penunjang strategis yang diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Urusan litbang berperan penting agar kebijakan daerah didasarkan pada kajian atau bukti. Namun, banyak daerah yang belum menata urusan litbang sebagaimana mestinya, salah satunya Pemerintah Kota Tangerang. Dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2016, Pemerintah Kota Tangerang terus menyelaraskan urusan litbang dengan urusan perencanaan, padahal urusan litbang harus menjadi badan tersendiri. Alasan tidak dibentuknya R&D sebagai organisasi tersendiri dan konsekuensi dari clustering ini kemudian menjadi pertanyaan penelitian. Christensen, Laegreid, Roness, dan Rovik (2007) menyatakan bahwa organisasi publik adalah alat atau instrumen untuk mencapai tujuan tertentu yang dianggap penting, untuk memenuhi tugas dan mencapai hasil yang diinginkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan pengumpulan datanya melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pimpinan tidak perlu R&D karena ada Bappeda yang bertindak sebagai pusat data, pengalaman kinerja Dinas Litbang kurang optimal, Pemerintah Kota Tangerang melakukan efisiensi, dan ada tidak ada konsekuensi hukum yang mengikat. Konsekuensi positif dari clumping adalah lebih efisien dan anggaran litbang lebih terjamin, sedangkan konsekuensi negatifnya adalah litbang tidak fokus pada menjalankan tugas pokok dan fungsinya yaitu kajian dan inovasi. sebagai kendala hierarkis dalam menjalankan tugasnya. Usulannya agar kepala daerah lebih berkomitmen pada urusan litbang di daerah.
Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government affirms the position of research and development as a strategic supporting element needed to support the implementation of government affairs which fall under the authority of the Region. R & D affairs play an important role so that local policies are based on studies or evidence. However, many regions have not managed R & D affairs properly, one of which is the Tangerang City Government. In the Tangerang City Regional Regulation Number 8 of 2016, the Tangerang City Government continues to align R&D affairs with planning matters, even though R&D matters must be a separate body. The reasons for not forming R&D as a separate organization and the consequences of this clustering then become research questions. Christensen, Laegreid, Roness, and Rovik (2007) state that public organizations are tools or instruments to achieve certain goals that are considered important, to fulfill tasks and achieve desired results. This research uses a qualitative approach, and data collection through in-depth interviews. The results revealed that the leadership did not need R&D because there was a Bappeda acting as a data center, the experience of the performance of the Research and Development Agency was less than optimal, the Tangerang City Government carried out efficiency, and there were no binding legal consequences. The positive consequence of clumping is that it is more efficient and the budget for R&D is more secure, while the negative consequence is that R&D does not focus on carrying out its main tasks and functions, namely study and innovation. as a hierarchical constraint in carrying out its duties. The proposal is for regional heads to be more committed to R&D affairs in the regions."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gema Perdana
"ABSTRAK
Berlakunnya UU No. 23 Tahun 2014 berimplikasi pada perubahan pembagian urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan dibidang pendidikan menengah yang semula menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota berubah menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Penetapan pembagian urusan pemerintahan harus berdasar pada prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional sebagaimana diatur pada UU No. 23 Tahun 2014, tetapi penetapan pengelolaan penedidikan menengah tidak sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sehingga, terdapat kekhawatiran adanya ketidak sesuaian antara maksud dan tujuan dengan materi pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014. Hal ini berimplikasi terhadap tanggungjawab pemerintah untuk memberikan peningkatan pelayanan publik yang maksimal kepada masyarakat dibidang penyelenggaraan pendidikan menengah. Penelitian ini diharapkan memberikan kajian hukum yang komprehensif terkait perubahan pengelolaan pendidikan menengah di pemerintah provinsi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, yurisprudensi dan doktrin yang ada. Serta menggunakan tipologi Preskriptif dan Jenis data sekunder. Perubahan pengelolaan pendidikan menengah yang semula merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sepenuhnya menjadi Kewenangan Pemerintah Provinsi, tanpa adanya hubungan/hieraki keterkaitan dalam penyelenggaraan, sehingga dalam pelaksanaannya dibentuk cabang dinas pendidikan sebagai kepanjangan tangan Dinas Pendidikan Provinsi. Penentuan pembagian urusan pengelolaan pendidikan menengah pada dasarnya belum sepenuhnya berlandaskan pada Prinsip dan Kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren, sehingga dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya mengedepankan fungsi kemanfaataan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik. Besarnya beban anggaran yang menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi berdampak pada menurunya akses pelayanan penyelenggaraan pendidikan menengah bagi masyarakat. Sehingga dibutuhkan perubahan substansi pengaturan manajemen pengelolaan pendidikan menengah dalam UU No. 23 Tahun 2014.

ABSTRACT
The enactment of Act No. 23 of 2014 concerning Regional Government has an impact on the changes in functional assignment of concurrent government affairs between the central government, provincial government and district/city government. One of the major implications in society is the management shift of secondary education affairs which is originally under the authority of district/city government to become under the authority of provincial government. The society which initially received free school facilities until secondary education and ease of access to supervision of the implementation of secondary education becomes difficult due to the ability of the provincial government to provide the same services. This study focuses on the changes in the implementation of secondary education, the determination of government affairs in the management of secondary education, and the implications of management shift of secondary education. This research is expected to be able to provide ideal construction in the distribution of government affairs. This study is normative legal research by exploring the laws and regulations and existing doctrines using secondary data. The management shift of secondary education which is originally the authority of district/city government becomes the authority of provincial government completely without any relationship/hierarchy in the implementation. Hence, a branch of Education Office is formed as an extension of the Provincial Education Office. The determination of functional assignment for managing secondary education is basically not fully based on the principles and criteria for the distribution of concurrent government affairs, so its implementation, the priority function has not been put forward for the society to get public services. The amount of the budget burden that is the responsibility of the provincial government has an impact on the decrease of access to services in secondary education for the society. Therefore, a change in the substance of the management arrangements for secondary education management in Act No. 23 Of 2014 is needed."
2019
T54416
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulhadi. HM
"Lembaga Kantor Staf Presiden sebagai lembaga non struktural, yang memiliki tanggung jawab langsung kepada Presiden diberikan kewenangan dan kedudukan yang sama dengan pembantu Presiden lainnya seperti kementerian negara, sehingga mengakibatkan kemungkinan terjadinya konflik atau tumpang tindih kewenangan sesama kelembagaan ataupun jabatan di lingkungan lembaga eksekutif. Dengan adanya perluasan fungsi dan kewenangan lembaga Kantor Staf Presiden (bukan merupakan anggota kabinet), seakan-akan berkedudukan di atas kementerian negara (merupakan salah satu anggota kabinet). Penelitian tesis ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif, yang dilaksanakan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan terkait sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk preskriptif-analitis. Berdasarkan ketentuan dari dasar hukum pembentukan kementerian negara dan lembaga Kantor Staf Presiden, kedua lembaga ini memiliki kedudukan yang sama dalam sistem pemerintahan Indonesia. Tugas, fungsi, dan kewenangan yang begitu luas diberikan kepada lembaga Kantor Staf Presiden menyebabkan terjadinya konflik kewenangan dengan kementerian negara, yang sama-sama sebagai pembantu Presiden. Oleh karena itu, dalam rangka menghindari terjadinya konflik kewenangan di lingkungan lembaga kepresidenan, sebaiknya Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif melakukan survei sebelumnya terkait urgensi pembentukan lembaga baik yang bersifat struktural maupun non struktural.

The Presidential Staff Office as a non-structural institution, which has direct responsibility to the President, is given the same authority and position as other assistants to the President such as state ministries, resulting in the possibility of conflicts or overlapping authorities of fellow institutions or positions within the executive branch. With the expansion of the functions and authorities of the Presidential Staff Office (not a member of the cabinet), it is as if it is located above a state ministry (a member of the cabinet). This thesis research uses a form of normative juridical research, which is carried out by examining the relevant laws and regulations so as to produce research in a prescriptive-analytical form. Based on the provisions of the legal basis for the formation of state ministries and institutions of the Presidential Staff Office, these two institutions have the same position in the Indonesian government system. The tasks, functions, and powers that are so broadly assigned to the Presidential Staff Office lead to conflicts of authority with state ministries, which are both assistants to the President. Therefore, in order to avoid conflicts of authority within the presidential institution, the President as the head of the executive government should conduct a previous survey regarding the urgency of establishing institutions both structural and non-structural."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji ketidaksinkronan berbagai produk hukum yang mengatur distribusi urusan pemerintahan khususnya urusan pemerintahan kehutanan. Secara khusus produk hukum tersebut meliputi UU No. 32 Tahun 2004 jo PP No. 38 Tahun 2007, dan PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Kajian dilakukan dengan cara menganalisis pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah mengelola sumber daya hutan yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan dan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah.
Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak dan menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan. Dilihat dari sudut teknik organisasi pemerintahan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Dari sudut kultural, desentralisasi dimaksudkan agar perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan suatu daerah seperti geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, dan watak kebudayaan. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Hasil penelitian menemukan materi hukum dari ketidaksinkronan berbagai produk hukum baik secara vertikal maupun horisontal dalam sektor kehutanan, yaitu pengaturan kewenangan pemerintah daerah dalam hal penetapan organisasi KPH, wilayah pengelolaan hutan, penerbitan IUPHHK, dan mengelola sumber daya hutan dalam peraturan perundang-undangan sektor kehutanan bertentangan dengan hak daerah otonom untuk mengelola dan menikmati hasil pengelolaan sumber daya hutan dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Selain itu, hak daerah otonom untuk mengelola sumberdaya hutan kerapkali disalahartikan oleh pemerintah daerah sebagai kebebasan pemerintah daerah untuk menerbitkan IPHHK. Dalam penelitian ini juga ditemukan dampak ketidaksinkronan berbagai produk hukum tersebut yaitu semakin sempitnya kewenangan pemerintah daerah untuk menetapkan organisasi KPH, wilayah pengelolaan hutan, dan penyerahan kewenangan pengelolaan hutan oleh pemerintah kepada BUMN telah menggeser hak masyarakat setempat untuk mengelola dan menikmati hasil hutan. Di sisi lain ketidaksinkronan tersebut menimbulkan tindakan kesewenangan aparatur pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya hutan. Hasil penelitian ini menyarankan agar dilakukan sinkronisasi produk-produk hukum yang mengatur distribusi urusan pemerintahan daerah untuk mengelola sumber daya hutan, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, dan peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah.

ABSTRACT
This thesis studies the unsynchronized laws on the government affairs distribution especially the forest management affairs. In particular, some of the laws that regulated this are Law Number 32 Year 2004 jo Government Regulation Number 38 Year 2007, and Government Regulation Number 6 Year 2007 jo Government Regulation Number 3 Year 2008.
This research is a qualitative research with normative judicial approach. This research is done by analyzing the implementation of local government authority in managing the forest resources as stipulated by the forestry laws and the local government laws.
From the political view, decentralization is intended to prevent the accumulation of power in one hand and to draw people participation in government affairs. From the technical government organization view, decentralization is intended to acquire an effective government. From the cultural view, decentralization is intended to draw people attention to specialties of a region based on geographic, society condition, economic activity, and cultural character. From the economic development view, decentralization is necessary because the local governments can be directly involved in their economic development.
This research found the unsynchronized laws either vertically or horizontally on forestry regulation, including the local government authority in the establishment of the KPH organization, the management of forest area, the issue of the IUPHHK, and the management of forest resources as stipulated by forestry laws is not in line with the local government right to manage and get benefit from forest resources as stipulated by local government laws. Furthermore, the right to manage the forest resources is often misunderstood by the local government as freedom in issuing the IPHHK. This research also found that the effects of this unsynchronized laws are the local government right to stipulate the KPH organization and the forest area management become limited, and the delegation of forest management from the central government to the BUMN have deny the local society rights to manage and get benefit from the forest resources. On the other hand, this unsynchronized laws have induced the local government official abuse of power in managing the forest resources. This research findings suggest that the local government laws and forestry laws that regulate the local government authority in the forest resources management should be synchronized, the society participation in forest management should be improved, and the local government official capacity building should be enhanced."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Alfiyanti
"Pengelolaan sub urusan mineral dan batubara pada masa otonomi daerah yang berjalan lebih dari 2 (dua) dekade, telah mengalami beberapa perubahan terkait kewenangan penyelenggarannya oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berbagai permasalahan timbul dalam pelaksanaan kewenangan dimaksud, yaitu adanya pencabutan ribuan perizinan dan tingginya perkara yang diputus pengadilan terkait dengan dipengaruhi oleh pembinaan dan pengawasan yang dilakukan, sehingga perlu diteliti lebih lanjut mengenai pengaturan dan implementasi pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah bidang energi dan sumber daya mineral pada sub urusan mineral dan batubara tersebut. Bentuk penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memerlukan jenis data sekunder, dengan hasil penelitian bersifat deskriptif preskriptif analitis yang hasil akhirnya memberikan saran perbaikan yang ditujukan kepada pemangku kepentingan  dengan berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian adalah pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah bidang energi dan sumber daya mineral pada sub urusan mineral dan batubara diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah dan pertambangan mineral dan batubara sesuai dengan pemberlakuannya, perubahan perolehan kewenangan pemerintah daerah yang semula berupa atribusi menjadi delegasi tidak mempengaruhi kewajiban pemerintah pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan tersebut. Implementasi pembinaan dan pengawasan pada sub urusan mineral dan batubara, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, belum sesuai dengan  peraturan yang berlaku. Peraturan yang ada belum mengatur penugasan kepada APIP untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan sub urusan mineral dan batubara yang dibagi atau didelegasikan kepada pemerintah daerah.

The management of mineral and coal sub-affairs during the regional autonomy period which lasted for more than 2 (two) decades, has undergone several changes regarding the authority for implementation by the central government and regional governments. Various problems arise in the implementation of this authority, namely the revocation of thousands of permits and the high number of cases decided by courts related to mineral and coal mining. The effectiveness of the implementation of regional autonomy is influenced by the guidance and supervision carried out, so further research is needed regarding the regulation and implementation of guidance and supervision of the implementation of regional government authority in the field of energy and mineral resources in the mineral and coal sub-affairs. This form of research is doctrinal research which requires secondary types of data, with the research results being descriptive, prescriptive analytical, the final results of which provide suggestions for improvement aimed at stakeholders based on the results of the research conducted. The results of the research are that arrangements regarding guidance and supervision in the implementation of regional government authority in the field of energy and mineral resources in the mineral and coal sub-affairs are regulated in statutory regulations regarding regional government and mineral and coal mining in accordance with their enactment, changes in the acquisition of regional government authority from the original in the form of attribution as a delegate does not affect the central government's obligation to provide guidance and supervision over the implementation of this authority. The implementation of guidance and supervision in mineral and coal sub-affairs, especially those related to the implementation of regional government authority, is not in accordance with applicable regulations. Existing regulations do not yet regulate the assignment of APIP to carry out supervision over the implementation of the authority of the mineral and coal sub-affairs which is divided or delegated to regional governments."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasim As`ari
"Kebijakan Distribusi Urusan Pemerintahan pada Sektor Kehutanan di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini beberapa kali mengalami perubahan, yang menunjukkan adanya tarik ulur kewenangan antara Pemerintan Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota. Tarik ulur kewenangan tersebut membawa dampak pada pengurusan hutan yang belum optimal dan lestari pada tataran implementasi. Oleh karena itu, maka perlu adanya solusi terkait desain kebijakan Distribusi Urusan Pemerintahan pada sektor Kehutanan masa depan, yang mampu memetakan siapa pihak yang paling tepat untuk mengurusi hutan, sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah kehutanan dan mampu mengarahkan pada implementasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang optimal dan lestari. Melalui penggunaan metode kualitatif, dengan informan yang mencakup aktor-aktor terkait dengan pelaksanaan urusan pemerintahan pada sektor kehutanan dan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan dianalisis melalui metode kualitatif,  maka dihasilkan bahwa desain distribusi urusan pemerintahan bidang kehutanan di masa depan dapat dilakukan dengan IV alternatif, antara lain: Alternatif I: Desentralisasi ke Provinsi dan Tingkat Tapak, Alternatif II: Desentralisasi ke Provinsi dengan Cabang Dinas, Alternatif III: Desentralisasi ke Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Alternatif IV: Desentralisasi fungsional. Dari keempat alternatif tersebut, penulis memandang pilihan terobosan dengan desentralisasi fungsional lebih menjanjikan, dimana dari pendekatan desentralisasi fungsional ini lahir dua model desain distribusi urusan pemerintahan bidang kehutanan yakni "One Province One Forestry Board" dan atau "One Landscape One Forestry Board".

Government Affairs Distribution Policy in the Forestry Sector in Indonesia since the beginning of independence has so far undergone several changes, which shows the tugging of authority between the Central Government, Provincial Governments and District/City Governments. The tugging of authority has an impact on forest management that is not optimal and sustainable at the level of implementation. Therefore, there is a need for solutions related to the design of the Government Affairs Distribution policy in the future Forestry sector, which is able to map who is the most appropriate party to manage forests, so as to be able to solve forest problems and be able to direct the implementation of optimal forest management and utilization and sustainable. Through the use of qualitative methods, with informants covering actors related to the implementation of government affairs in the forestry sector and collecting data through in-depth interviews and analyzed through qualitative methods, it was produced that future design of governmental affairs in the forestry sector could be carried out with alternative IVs. among others: Alternative I: Decentralization to Province and Site Level, Alternative II: Decentralization to Provinces with Service Branches, Alternative III: Decentralization to Provinces and Districts /Cities, and Alternative IV: Functional Decentralization. Of the four alternatives, the author considers breakthrough choices with functional decentralization more promising, where from this functional decentralization approach two models of governmental distribution business design are born, namely "One Province One Forestry Board" and "One Landscape One Forestry Board"."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
D2631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metty Kusmayantie
"Tesis ini membahas mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dalam pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui pengaruh undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku sejak tahun 1992 terhadap pembagian urusan pemerintahan dalam pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan yang dilengkapi dengan wawancara. Hasil penelitian berupa analisis kualitatif dengan menekankan pada aspek rekomendasi terhadap pembagian urusan pemerintahan dalam pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi. Pengesahan badan hukum merupakan urusan pemerintahan di bidang yustisi dan merupakan kewenangan absolut Pemerintah. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa pemberian status badan hukum Koperasi, pengesahan perubahan Anggaran Dasar, dan pembinaan Koperasi merupakan wewenang dan tanggung jawab Pemerintah yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Menteri yang membidangi Koperasi.
Berdasarkan hasil analisis, pelimpahan wewenang melakukan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar koperasi, dan pembubaran koperasi dari Menteri Koperasi kepada pemerintah daerah mengikuti undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku. Meskipun pelimpahan tersebut telah disertai dengan petunjuk teknis akan tetapi dalam pelaksanaannya di daerah ditemukan berbagai penyimpangan. Oleh karena itu Pemerintah menarik kembali pelimpahan wewenang yang telah diberikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam melakukan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi dan akan melaksanakannya sendiri secara daring (online). Akan tetapi Pemerintah belum siap dengan sarana dan prasarana yang akan digunakan untuk menyelenggarakan administrasi badan hukum koperasi secara daring (online).

This thesis discusses distribution of government affairs between Central Government and Local Government in the ratification of cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives. This study is directed to investigate the influence of law of local governments in force since 1992 on the division of government affairs in the ratification of cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives. The method used in this study is a normative legal research method through the study of literature that comes with the interview. Results of the research is a qualitative analysis with emphasis on the recommendations on the distribution of government affairs in the ratification cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives. Ratification of a legal entity is one of government affairs in the field of judicial as absolute authority of the Government. General Explanation of Law No. 25 of 1992 concerning Cooperatives states that granting legal status Cooperative, ratification an amendment, and coaching Cooperative is the authority and responsibility of the Government but in the implementation delegated to the Minister in charge of Cooperatives.
Based on the analysis, the delegation of authority to approve the deed of establishment, changes in the articles of association of cooperatives, and the dissolution of the cooperative from the Minister of Cooperatives to local governments will follow the laws on local government. Although the delegation has been accompanied by technical instructions but in its implementation in the region found various irregularities. Therefore, the Government withdraw the delegation of authority given to the Governor/Regent/ Mayor in conducting ratification of cooperative`s deed, amendments of Articles of Association, and dissolution of cooperatives and will implement by itself using online system. But the Government is not ready with the infrastructure and guidance that will be used to administer the cooperative legal entity using online system."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Agnes Soriani
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh belanja urusan pendidikan dan belanja urusan kesehatan terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diukur dengan skor Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Objek penelitian adalah pemerintah daerah Kabupaten dan Kota periode tahun 2011-2013 dengan sampel 813 pemerintah Kabupaten dan Kota. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, Ikhtisar Hasil Pemeriksaaan, laman Badan Pusat Statitisk, dan website pemerintah daerah. Penelitian ini menggunakan metode Analisis Regresi Berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja urusan pendidikan dan belanja urusan kesehatan berpengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Belanja urusan pendidikan dan urusan kesehatan yang semakin meningkat akan meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, ada juga pemerintah yang mampu melakukan efisiensi dapat memperoleh kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah yang tinggi dengan biaya paling minimum. Pemerintah daerah tersebut diantaranya melakukan perbaikan kapasitas dan kualitas sumber daya aparatur dan perbaikan sistem kerja.

The purpose of this research is to analyze the influence of educational expenditure and health expenditure to the performance of local government.The object of this research is the local government of the cities and the municipalities from 2011 2013 with a sample of 813 cities and municipalities. This research is using secondary data gained from Ministry of Internal Affairs, Directorate General of Fiscal Balance, Financial Statement of the local government, the Resume of the Examination Result, Central Bureau of Statistic website, and local government website. This research is using multiple regression analysis.
The result of this research shows that the educational expenditure and health expenditure have positive effect on the performance of local government. Increase in educational expenditure and health expenditure can stimulate the performance of local government. There are local government achieving better performance using minimum expenditures by improving procedures and educating better human resources.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Asoka Iswandari
"Birokrasi di Indonesia masih melekat dengan citranya yang terkesan rumit, membutuhkan waktu lama dan tidak praktis yang menyebabkan reformasi birokrasi berjalan lambat. Saat ini reformasi birokrasi seharusnya sudah memasuki tahap akhir dari grand design reformasi birokrasi yang bertujuan mewujudkan pemerintahan kelas dunia. Guna mewujudkan pemerintahan kelas dunia, perlu dilakukan modernisasi dengan transformasi digital pada proses birokrasi salah satunya adalah penerapan e-government sebagai layanan publik dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi. Akan tetapi penggunaan teknologi, informasi, dan komunikasi berpotensi besar atas keamanan sistemnya, terlebih lagi pada pelayanan publik tidak dapat terlepas dari pemanfaatan data pribadi warga negara penggunanya yang sudah pasti e-government akan menghimpun data pribadi warga negara pada sistemnya. Permasalahan yang dikaji antara lain hubungan reformasi birokrasi dengan e-government, bagaimana reformasi birokrasi dapat berjalan dengan adanya perlindungan data pribadi pada e-government, dan bagaimana seharusnya pengaturan terkait e-government agar dapat melindungi data pribadi. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian pendekatan perundang-undang, pendekatan konseptual, pendekatan kasus, pendekatan perbandingan, dan pendekatan historis. Tulisan ini membahas pentingnya keberadaan kepastian hukum yang menjamin perlindungan keamanan data pribadi warga negara yang terhimpun dalam sistem e-government dimana negara mempunyai kewajiban melindungi setiap hak warga negaranya dan melindungi sistem sebagai penyelenggaranya guna mendukung jalannya reformasi birokrasi di Indonesia. Seharusnya agar e-government berjalan optimal terdapat peraturan terkait perlindungan data pribadi yang diselenggarakan oleh pemerintah dan e-government memiliki standar yang pasti sebagai pedoman dalam setiap mekanisme kerjanya terutama standar yang terkait untuk melindungi data dan informasi yang terhimpun didalamnya.

The bureaucracy in Indonesia is still attached to its complex image, takes a long time and is impractical, which causes bureaucratic reform to run slowly. Currently, bureaucratic reform should have entered the final stage of the grand design of bureaucratic reform aimed at realizing world-class government. In order to realize world-class government, modernization with digital transformation in the bureaucratic process is necessary, one of which is the application of e-government as a public service by utilizing technological advances and communications. However, the large-scale use of technology, information, and communication on the system, first the public service cannot see from the use of the personal data of the citizens of its users, which is certain that e-government will collect the personal data of citizens in its system. The problems studied include the relationship between bureaucratic reform and e-government, how bureaucratic reform can work with the protection of personal data in e-government, and how e-government-related arrangements can protect personal data. The type of research used in this law is normative legal research with statutory research approach, conceptual approach, case approach, comparative approach, and historical approach. This paper discusses the importance of the existence of legal certainty that guarantees the protection of the security of personal data of citizens collected in the e-government system where the state has the obligation to protect every right of its citizens and protect the system as the organizer in order to support the course of bureaucratic reform in Indonesia. In order for e-government to run optimally, there should be regulations related to personal data protection implemented by the government and e-government has definite standards as new in every work, especially standards related to protecting data and information collected therein."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endi Sugandi
"Pembagian urusan kehutanan menjadi salah satu isu penting dalam pengelolaan hutan di era desentralisasi, penulisan tesis ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis mengenai (a) pembagian urusan kehutanan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dan (b) hambatan-hambatan dalam pembagian urusan kehutanan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis kualitatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan Pusat dan Daerah dalam pengurusan hutan dari mulai jaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini telah mengalami pasang surut. Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundangundangan yang mengatur mengenai pengurusan hutan.
Pertama, pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan di awal-awal kemerdekaan, pengurusan hutan sangat tersentralisasi. Kedua, pada tahun 1957 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1957, pengurusan hutan mulai didesentralisasikan kepada Daerah Tingkat I, namun pada tahun 1967 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 pengurusan hutan menjadi sentralisasi kembali. Ketiga, pada tahun 1995, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, Pemerintah menyerahkan lima urusan kehutanan kepada Daerah Tingkat II. Keempat, pada tahun 1998, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998, Pemerintah menyerahkan sebagian urusan kehutanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I dan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. Kelima, pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, pengurusan hutan mengalami perubahan yang sangat radikal (radical change) dibandingkan dengan sebelumnya. *
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, terdapat 16 (enam belas) wewenang bidang kehutanan yang tetap berada di Pemerintah Pusat dan 18 (delapan belas) wewenang didesentralisasikan menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam menjalankan otonominya. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh kabupaten/kota tidak dirinci secara jelas tetapi sisa dari kewenangan yang tidak secara tegas diatur menjadi kewenangan Pusat dan Provinsi menjadi milik daerah kabupaten/kota. Keenam, pada tahun 2004, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan kehutanan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat "concurrent" yaitu urusan yang akan dikerjakan bersama oleh Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T37840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>