Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105882 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurfadhilah Arini
"Represi merupakan salah satu strategi efektif yang dapat dimanfaatkan oleh suatu rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, pemanfaatan represi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan memiliki biaya (cost) yang tinggi khususnya terhadap legitimasi bagi rezim. Oleh karena itu, represi umumnya dijadikan sebagai sebuah strategi paling akhir yang dimanfaatkan oleh rezim. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengapa suatu rezim akhirnya memilih untuk memanfaatkan represi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan. Pemaparan terhadap hal tersebut akan dilakukan melalui kasus di Kamboja pada konteks pemilu tahun 2018. Pada konteks pemilu tahun 2018, rezim berkuasa Cambodia Peoples Party (CPP) memanfaatkan represi untuk memenangkan pemilu dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Hal tersebut terlihat ketika dalam menghadapi pemilu tahun 2018, rezim melakukan penutupan dan penjualan paksa media independen, membubarkan partai oposisi utama Cambodia National Rescue Party (CNRP), serta membatasi hak politik dan sipil masyarakat dengan mengamandemen Konstitusi Kamboja dan UU Hukum Pidana pada awal tahun 2018. Merujuk kepada teori represi yang dipaparkan oleh Joshua dan Edel, penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan kondisi yang melatarbelakangi penggunaan represi oleh suatu rezim; karakteristik rezim, karakteristik negara, dan karakteristik tantangan.
Penelitian ini berkesimpulan bahwa represi merupakan strategi yang dibutuhkan dan efektif bagi rezim CPP. Represi dibutuhkan oleh rezim ketika strategi alternatif yang tersedia berdasarkan karakteristik rezim CPP tidak lagi berfungsi efektif. Sementara itu rezim juga dihadapkan pada tantangan keberadaan CNRP dalam arena pemilu. Memiliki kedekatan dengan angkatan bersenjata, rezim akhirnya memanfaatkan represi untuk memenangkan pemilu tahun 2018 dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Penggunaan represi tersebut juga didasari oleh kesatuan angkatan bersenjata atas dasar hubungan personal dengan pemimpin rezim, Hun Sen, serta kapasitas angkatan bersenjata yang luas menjadikan represi sebagai strategi efektif.

Repression is one of the most effective strategy that can be used by a regime to stay in power. Yet, using repression as a strategy to stay in power would be too costly especially for regimes legitimacy. Hence, repression mostly seen as the last option for a regime. This research aims to understand why regime choose repression as a strategy to stay in power, using the case of Cambodia in the context of 2018 general election. In the context of 2018 general election, the regime in power Cambodia Peoples Party (CPP) used repression to win 2018 Cambodia National Election. The use of repression could be seen when the regime: closed and sold independent media; dissolved the main opposition party, Cambodia National Rescue Party (CNRP); and restricted peoples political and civil right by amending Cambodia Constitution and Penal Code in early 2018. Using Joshua and Edels Theory of Repression, this research explains all the circumstances that lead to the use of repression by a regime: regime characteristics, state characteristics, and challenge characteristics.
This research concludes by arguing that repression is needed and effective for CPP to win 2018 Cambodia National Election in order to stay in power. Repression is needed especially when all of alternative strategies were no longer effective for CPP Regime. Regime also faced a challenge in the presence of CNRP in election arena. In addition, CPP Regime has a close ties with armed forces. Therefore, CPP regime used repression to win 2018 National Election. In addition to that circumstances, Cambodia armed forces has a cohesion determined by personal ties with Hun Sen and a large capacity to repress.  
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Andra Madusila
"Skripsi ini membahas mengenai faktor-faktor penyebab penurunan kursi parlemen Cambodian People's Party pada Pemilihan Umum Nasional Kamboja Tahun 2013. Skripsi ini menggunakan teori Personalisasi Politik yang dan teori Pilihan Rasional. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor penyebab penurunan kursi parlemen Cambodian People's Party pada Pemilihan Umum Nasional Kamboja Tahun 2013 adalah persoalan kepemimpinan Hun Sen dan kinerja pemerintahan, menguatnya gerakan pro-demokrasi, perubahan kekuatan politik kelompok oposisi, dan tekanan internasional. Kesimpulan yang didapat adalah otoritarianisme yang ada di Kamboja tidak akan dapat bertahan lama karena meningkatnya gerakan pro-demokrasi di Kamboja.

This thesis discusses Cambodian People's Party's parliamentary seats decline factors in Cambodia National Election 2013. This thesis is using Personalisaton of Politics theory and also Rational Choice theory. The research methodology is qualitative through literature study. The research found that there are a few Cambodian People's Party's parliamentary seats decline factors in Cambodia National Election 2013. Those factors are Hun Sen's leadership and government issues, changes in oposition political power, increasement in pro-democracy movement, and international pressure. The conclusion is authorianism in cambodia is will not last long because of increasement of pro-democracy movement in Cambodia.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S60013
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Aulia Maulana
"Penelitian ini memiliki argumen yang menyatakan bahwa praktik electoral authoritarian regime yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Hun Sen dan Cambodia Peoples Party CPP berdampak terhadap persaingannya dengan Cambodia National Rescue Party CNRP. Adapun, klaim tersebut didasarkan pada sejumlah temuan selama pemilu tahun 2013 berlangsung yang menunjukkan bahwa CPP cenderung menerapkan strategi intimidasi politik, penyalahgunaan sumber daya negara serta praktik-praktik kecurangan, seperti vote buying, manipulasi suara, hingga hal yang bersifat administratif seperti hilangnya nama sejumlah masyarakat Kamboja dari daftar pemilih. Hal tersebut yang kemudian turut memengaruhi munculnya persaingan yang tidak berimbang antara CPP dan CNRP. Untuk itu, perspektif teoritis yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teori electoral authoritarian regime oleh Andrea Schedler dan teori competitive authoritarianism yang dicetuskan oleh Steven Levitsky dan Lucan Way.

This research argues that the electoral authoritarian regime run by Hun Sen and the Cambodia Peoples Party CPP had an impact on his competition with the Cambodia National Rescue Party CNRP. This argument is based on the findings during the 2013 elections, in which the CPP were guilty of political intimidation, abuse of state resources, vote buying and administrative matters such as the loss of the names of several Cambodian people from the voter list. All these things resulted in an unfair competition between the CPP and the CNRP. The theoretical perspective used in this research is the electoral authoritarian regime theory Andrea Schedler and competitive authoritarianism theory by Steven Levitsky dan Lucan Way.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farizan Fajari Wardana
"Penelitian ini membahas mengenai fenomena kekalahan CPP di wilayah urban Kamboja pada pemilu tahun 2013. Pertanyaan penelitian ini adalah mengapa CPP mengalami kekalahan di wilayah urban Kamboja pada pemilu tahun 2013. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan teori Dominant Party Authoritarian Regimes dari Kenneth Greene dan konsep International Election Observation dari Thomas Carothers. Selain itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan analisis dan data sekunder dari kajian literatur. Hasil pembahasan dan analisis tulisan ini menemukan tiga kondisi yang melatarbelakangi kekalahan CPP di wilayah urban pada pemilu tahun 2013. Pertama, penurunan kinerja dan permasalahan dalam pemerintahan Hun Sen. Kedua, perbedaan isu dan strategi kampanye yang digunakan oleh CPP dan CNRP. Ketiga, penurunan praktik intimidasi politik oleh militer.

This thesis discusses about CPP rsquo s defeat in Cambodia rsquo s urban areas on 2013 general election. In particular, this thesis questions why CPP was defeated in Cambodia rsquo s urban areas on 2013 general election. To answer this question, this thesis uses Dominant Party Authoritarian Regimes from Kenneth Greene and International Election Observation concept from Thomas Carothers. This thesis uses qualitative method, by gathering primary data from indepth interview and secondary data analysis from literature review. This thesis finds that there are three main conditions that lead to the defeat of CPP in urban areas on 2013 general election. First, the decreasing performance and problems in Hun Sen Regimes. Second, differences of issues and campaign strategies used by CPP and CNRP. Third, the decrease of political intimidation practice by the military.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Arindra Kusuma
"Penelitian ini membahas mengenai strategi penolakan hasil pemilu Kamboja pada tahun 2013 oleh oposisi Cambodia National Rescue Party. Strategi ini dilakukan dengan cara-cara yang memicu kemarahan Cambodia People’s Partysebagai partai penguasa di Kamboja. Sehingga berdampak terhadap pelemahan oposisi Cambodia National Rescue Partyyang merupakan satu-satunya partai oposisi terbesar di Kamboja sejak pemilu 2013. Dengan menggunakan teori opposition party modesoleh Anthony King penulis melihat peristiwa yang terjadi sejak pemilu 2013 hingga menjelang pemilu 2018 sebagai konflik antara legislatif dengan eksekutif. Penelitian ini memiliki argumentasi bahwa pembubaran oposisi Cambodia National Rescue Partymenjelang pemilu 2018 merupakan tujuan utama Cambodia People’s Party dalam reaksinya menanggapi strategi penolakan hasil pemilu 2013 di Kamboja oleh oposisi Cambodia National Rescue Party.

This study discusses the strategy of rejecting the results of the Cambodia elections in 2013 by the opposition Cambodia National Rescue Party. This strategy was carried out in ways that sparked the anger of the Cambodia People’s Party as the ruling party in Cambodia. So it has an impact on the weakening of the Cambodia National Rescue Party opposition which is the single largest opposition party in Cambodia since the 2013 elections. Using the theory of opposition party modes by Anthony King the authors see events that took place from the 2013 elections until the 2018 elections as conflicts between the legislative and executive. This research has the argument that the dissolution of the opposition Cambodia National Rescue Party ahead of the 2018 elections is the main goal of the Cambodia People's Party in its reaction to responding to the strategy of rejecting the 2013 election results in Cambodia by the opposition Cambodia National Rescue Party."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farizan Fajari
"ABSTRAK
Kamboja merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem pemilu otoriter. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh partai penguasa, Cambodia People's Party (CPP), sebagai sarana untuk mendominasi kursi parlemen Kamboja hingga pemilu tahun 2008. Namun, peta kekuatan partai politik di Kamboja mengalami perubahan pada pemilu tahun 2013. Pada pemilu tersebut, perolehan kursi CPP mengalami penurunan signifikan dan menjadi hasil terburuk bagi mereka sejak pemilu tahun 1998. Penurunan tersebut utamanya dilatarbelakangi oleh kegagalan CPP dalam mendapatkan kursi terbanyak di empat wilayah urban Kamboja: Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal, yang memiliki proporsi jumlah kursi terbanyak. Padahal, CPP sebelumnya tidak pernah mengalami kekalahan di keempat wilayah tersebut secara bersamaan. Artikel ini berargumen bahwa kekalahan CPP dalam rezim otoriter disebabkan oleh kondisi-kondisi penting yang terjadi di Kamboja. Dengan mengelaborasi teori Dominant Party Authoritarian Regimes dan konsep pengawas pemilu internasional, artikel ini melihat tiga kondisi penting yang terjadi di Kamboja yang menjadi penyebab menurunnya suara CPP di perkotaan, yaitu: kebijakan pemerintahan Hun Sen yang menyebabkan permasalahan dalam masyarakat, menguatnya partai oposisi dan keberhasilan isu dan strategi kampanye yang digunakan, dan peran pengawas pemilu internasional dalam menurunkan praktik intimidasi politik oleh militer. Dalam mengumpulkan data, artikel ini menggunakan metode kualitatif, dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan analisis data sekunder dari kajian literatur."
Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gliddheo Algifariyano Riyadi
"Penelitian ini akan membahas fungsi pembangunan demokrasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi civil society pada pemilu nasional tahun 2013 di Kamboja. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana fungsi pembangunan demokrasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi civil society pada pemilihan umum nasional tahun 2013 di Kamboja”?. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa organisasi- organisasi civil society di Kamboja telah menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan demokrasi kepada masyarakat, melakukan kampanye publik terkait dengan isu strategis dan melaksanakan pengawasan pada pemilu nasional tahun 2013. Penelitian ini juga menemukan bahwa berbagai peranan yang telah dilakukan oleh organisasi- organisasi civil society di Kamboja memiliki dampak yang signifikan terhadap proses dan juga hasil pada pemilu nasional tahun 2013. Fungsi pembangunan demokrasi yang mereka lakukan juga mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Hal tersebut diperlihatkan dari berbagai partisipasi masyarakat yang ikut dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh organisasi-organisasi civil society di Kamboja.

This research elaborates democracy building function conducted by civil society organizations on 2013 national general election in Cambodia. Research questions which are proposes related to how the democracy building function conducted by civil society organizations on 2013 national general election in Cambodia? The research finding shows that civil society organizations in Cambodia have implemented civil society roles in providing democracy education for the people, holding public campaign related to strategic issues and supervising national election in 2013. The research finding also discover that various roles carried out by civil society organization in Cambodia have significant impact on the process and results of national election in 2013. Democracy building function by civil society organizations also gain the legitimacy from the people. This is as reflected from various people participations which join every activity carried out by civil society organization in Cambodia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Jocelyn Kusuma Alvita
"Derasnya arus informasi di media sosial berdampak pada kemunculan berita palsu dan menyebabkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, beberapa negara mengeluarkan regulasi untuk mengatur berita palsu, termasuk Singapura dengan kebijakan POFMA (Protection of Falsehood and Manipulation Act). POFMA diberlakukan kepada oposisi hingga masyarakat umum. POFMA juga diberlakukan pada masa Pemilihan Umum 2020 yang dimenangkan oleh partai berkuasa People’s Action Party (PAP) dalam kondisi Pandemi Covid-19. Penelitian ini berargumen bahwa POFMA dimanfaatkan oleh PAP sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebelum POFMA dibentuk, PAP telah melakukan kontrol politik terhadap oposisi dalam struktur negara dan media massa serta masyarakat umum dengan pembentukan lembaga, skema pemilu, dan kebijakan yang membatasi kebebasan. Penelitian ini dianalisis menggunakan teori three pillars of stability milik Gerschewski yang membahas tiga pilar penting yang saling berkaitan untuk mempertahankan stabilitas rezim, yaitu pilar legitimasi, kooptasi, dan represi. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data yang bersumber dari studi pustaka berupa buku, jurnal, dokumen resmi, dan website. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilar legitimasi didapatkan melalui survei persepsi masyarakat terhadap berita palsu, green paper, public hearing, dan dukungan masyarakat setelah POFMA disahkan. Masyarakat mendukung POFMA karena berperan dalam mengatasi berita palsu terutama dalam isu kepentingan publik. Pilar kooptasi dapat dilihat melalui kooptasi perusahaan media sosial, POFMA Office, dan civil servants. Pilar represi diperlihatkan melalui topik kasus yang diberlakukan POFMA, jenis koreksi yang dikeluarkan, dan pihak-pihak yang mendapat pemberlakuan POFMA. Kata kunci: POFMA, Mempertahankan Kekuasaan PAP, Pemilihan Umum 2020.

The rapid flow of information on social media has an impact on the emergence of fake news and causes conflict in society. Therefore, several countries have issued regulations to regulate fake news, including Singapore with the POFMA (Protection of Falsehood and Manipulation Act) policy. POFMA applies to the opposition until the general public. POFMA was also implemented during the 2020 General Election which was won by the ruling People's Action Party (PAP) during the Covid-19 pandemic. This study argues that POFMA is used by PAP as a way to maintain its power. Before POFMA was formed, the PAP had exercised political control over the opposition in the state structure and the mass media as well as the general public by establishing institutions, electoral schemes, and policies that limited freedom. This study was analyzed using Gerschewski's theory of three pillars of stability which discusses three important interrelated pillars to maintain regime stability, namely the pillars of legitimacy, co-optation, and repression. The research uses qualitative methods with data collection sourced from literature studies in the form of books, journals, official documents, and websites. The results showed that the pillars of legitimacy were obtained through a survey of public perceptions of fake news, green papers, public hearings, and community support after POFMA was ratified. The community supports POFMA because it plays a role in overcoming fake news, especially in issues of public interest. The pillar of co-optation can be seen through the co-optation of social media companies, POFMA Office, and civil servants. The pillars of repression are shown through the topics of the cases imposed by POFMA, the types of corrections issued, and the parties to whom POFMA is enforced. Keywords: POFMA, Maintaining PAP's Power, General Election 2020."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steinberg, David Joel
New Haven : Hraf Press, 1059
959 STE c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Radinda
"Sebagai partai populis, PTI berhasil mengakhiri dominasi panjang dari Partai Dinasti Pakistan Muslim League-Nawaz (PML-N) dan Pakistan People’s Party (PPP) yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Keberhasilan PTI didorong oleh rekam jejak populisnya, baik dalam bentuk retorika, kebijakan politik, maupun aksi di luar pemerintahan. Imran Khan selaku pemimpin PTI memanfaatkan situasi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan PML-N dan PPP yang dianggap tidak kompeten dalam menangani berbagai isu korupsi, nepotisme, serta kebijakan yang tidak merata. Dalam hal ini, Imran Khan memposisikan PTI sebagai alternatif dari berbagai isu tersebut. Pada penelitiannya, artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganalisis data-data sekunder berupa artikel, jurnal, video, dan buku terkait untuk menganalisis populisme PTI sejak awal berdiri hingga kemenangannya pada pemilihan umum 2018. Artikel ini juga akan menggunakan studi kepartaian untuk menganalisis secara deskriptif mengenai perbedaan antara PTI dengan PML-N dan PPP. Secara lebih lanjut, artikel ini akan menggunakan teori populisme (Mudde dan Kaltwasser, 2017) yang menyatakan populisme adalah fenomena politik yang muncul sebagai respons terhadap kondisi struktural tertentu dalam masyarakat. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan PTI tidak hanya didasarkan pada strategi kampanye yang efektif, tetapi juga terdapat momentum dalam lanskap politik Pakistan yang memungkinkan partai populis seperti PTI mendapat sorotan publik secara signifikan hingga akhirnya memenangkan pemilihan umum tahun 2018.

As a populist party, PTI succeeded in ending the long dominance of the Pakistan Muslim League-Nawaz (PML-N) and Pakistan People's Party (PPP) dynasties, which had been in power for decades. PTI's success is driven by its populist track record, both in the form of rhetoric, political policies, and actions outside of government. Imran Khan, as the leader of the PTI, took advantage of the situation of public disappointment with the PML-N and PPP governments, which were considered incompetent in dealing with various issues of corruption, nepotism, and uneven policies. In this case, Imran Khan positions PTI as an alternative to these various issues. In its research, this article uses a qualitative approach by analyzing secondary data in the form of related articles, journals, videos, and books to analyze PTI's populism from its inception until its victory in the 2018 general election. This article will also use party studies to descriptively analyze the differences between PTI, PML-N, and PPP. Furthermore, this article will use the theory of populism (Mudde and Kaltwasser, 2017), which states that populism is a political phenomenon that arises as a response to certain structural conditions in society. The findings of this research indicate that PTI's success was not only based on an effective campaign strategy but also that there was momentum in Pakistan's political landscape that allowed a populist party like PTI to gain significant public attention and ultimately win the 2018 general elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>