Karya tulis ini meneliti kesempatan politik yang dimiliki gerakan Movement Against Tyranny (MAT), gerakan sosial yang berusaha untuk menghentikan martial law di Mindanao, Filipina. MAT menggunakan perubahan struktur kesempatan politik sebagai faktor eksternal pembentuk identitas kolektif dan kapasitas gerakan dalam strategi pembingkaian. Penelitian ini memiliki pertanyaan penelitian Bagaimana pengaruh struktur kesempatan politik terhadap pembingkaian yang dilakukan agar terbentuk identitas kolektif gerakan Movement Against Tyranny (MAT) dalam menuntut penghapusan martial law di Mindanao tahun 2017-2018?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengambilan data melalui data primer dan data sekunder. Peneliti berargumen bahwa struktur kesempatan politik di Filipina memberikan kesempatan bagi gerakan ini untuk menganalisis ancaman yang dimiliki sehingga dapat membentuk identitas kolektif serta memberikan pilihan untuk menentukan strategi pembingkaian.
Kata Kunci:
Identitas Kolektif, Martial Law, Movement Against Tyranny
This thesis discusses the political opportunities of the Movement Against Tyranny (MAT), a social movement that seeks to stop martial law in Mindanao, Philippines. MAT uses changes in the structure of political opportunities as an external factor forming a collective identity and an analysis of the selection of framing strategies. This study has a research question "How is the political structure of opportunities for framing carried out to form the collective identity of the Movement Against Tyranny (MAT) movement in requesting the completion of martial law in Mindanao in 2017-2018?". This research uses qualitative methods by retrieving data through primary and secondary data. The researcher argues about the political opportunity structure in the Philippines provides an opportunity for this movement to analyze the challenges associated with making collective identification and providing options for determining the framing strategies.
Key words:
Collective Identity, Martial Law, Movement Against Tyranny
"
Civil society adalah kelompok-kelompok non-negara yang berkepentingan untuk menghadapi hegemoni negara yang diwarnai oleh kontrol negara terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Penelitian ini meneliti salah satu kelompok civil society yaitu organisasi kepemudaan. Secara keseluruhan penelitian ini akan disajikan dengan analisis diskriptif, yang bertujuan melukiskan secara sistematis hasil penelitian. Kesimpulan penelitian ini menunjukan radikalisme Islam, dengan ciri fanatisme terhadapa ajaran Islam, dan mengenyampingkan sisi kemanusiaan ajaran Islam sehingga muncul sebutan murtad terhadap sesama pemeluk agama Islam. Kedua, menyatakan selain agama Islam harus ditiadakan, dimulai dengan pebuatan yang didasari oleh prasangka buruk terhadap keimanan orang lain, berujung pada intoleransi yang bisa disebut (hate crime). Ketiga, dalam konteks negara, radikalisme Islam adalah keinginan untuk merubah bentuk negara dari sistem demokrasi menjadi sistem Khilafa, dengan tindakan melawan hukum, berhadapan dengan, civil society yang memiliki ciri, pertama terdapat ruang publik yang luas, menguatkan kedua demokrasi, ketiga menguatkan toleransi, dan terakhir keadilan sosial. kemudian organisasi kepemudaan yang diteliti menyebut bahwa media sosial menjadi alat untuk melakukan penyebaran radikalisme Islam, rekrutmen, dan pendidikan anggota, namun dalam praktik gerakan melawan radikalisme, civil society, belum melakukan gerakan yang benar-benar massif, kegiatan yang dilakukan seputar penyuluhan dan sosialisasi. Sehingga belum menunjukan keseriusan dalam menangkal radikalisme Islam di media sosial.
Civil society is non-state groups with an interest in dealing with state hegemony which is characterized by state control over almost all aspects of people's lives. This study examines one of the civil society groups, namely youth organizations. Overall this research will be presented with descriptive analysis, which aims to systematically describe the results of research. The conclusions of this study show Islamic radicalism, with the fanaticism characteristic of Islamic teachings, and exclude the humanitarian side of Islamic teachings so that the apostate designation appears to fellow Muslims. Secondly, stating that apart from Islam, it must be abolished, starting with an act based on bad prejudice against the faith of others, leading to a hate crime. Third, in the context of the country, Islamic radicalism is the desire to change the shape of the state from a democratic system into a Khilafa system, against unlawful action, dealing with, civil society that has the characteristics, first there is broad public space, strengthening both democracies, third reinforcing tolerance, and finally social justice. then the youth organizations studied said that social media became a tool for disseminating Islamic radicalism, recruitment, and member education, but in the practice of movements against radicalism, civil society, had not carried out a truly massive movement, activities carried out around counseling and socialization. So that it has not shown seriousness in counteracting Islamic radicalism on social media.
"