Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52912 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inka Anggraeni
"Persaingan lahan untuk permukiman dan perkantoran atau area usaha di kota-kota besar di Indonesia terutama kota metropolitan seperti Jakarta mengakibatkan tingginya harga tanah, merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat perkotaan. Persaingan ini juga mengakibatkan permukiman tergeser menjauh dari pusat kota dan masyarakat harus pulang-pergi ke pusat kota setiap hari untuk bekerja. Permasalahan ini juga terjadi tidak hanya di negara berkembang tetapi terutamanya banyak terjadi di negara maju. Istilah Tiny House Movement belakangan muncul dan dianggap dapat menjadi pilihan solusi untuk menghadapi permasalahan ini. Tinggal di tiny house tidak hanya berarti tinggal di rumah dengan ukuran yang kecil, melainkan juga beradaptasi dengan kehidupan yang lebih sederhana, tidak konsumtif, lebih terkoneksi dengan alam dan peduli lingkungan. Hidup di tiny house bukanlah sesuatu yang asing untuk masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat yang hidup di urban kampung, rumah-rumah tinggalnya dapat dikatakan sebagai tiny house, hanya penampilannya saja yang berbeda. Hal ini yang membedakan antara perbedaan pengertian tiny house antara negara maju dengan Indonesia. Di dalam tulisan ini akan dibahas mengenai apakah tiny house yang ada di urban kampung mencerminkan cara hidup yang sustainable dan apakah tiny house dapat menjadi salah satu solusi penyelesaian masalah kurangnya housing supply di kota padat penduduk. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif (melalui interview dengan masyarakat urban kampung) dan kuantitatif (pengukuran rumah kecil di urban kampung) dalam pengambilan informasi. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa penduduk urban kampung sudah mengaplikasikan tiny living dalam kehidupannya.

Competition on land for settlements and offices or business areas in big cities in Indonesia, especially metropolitan city such as Jakarta, had resulting in high land prices, this is something common to the public. This competition had also resulting shifting of settlements away from the city center and people having to commute to the city center every day to go to their workplaces. This problem also occurs not only in developing countries but especially in many developed countries. The term Tiny House Movement later emerged and considered to be a choice of solution to deal with this problem. Living in Tiny House does not only mean living in a small-sized house, but also adapting to a simpler life, less consumptive, more connected to nature and caring for the environment. Living in tiny house is not something new to Indonesian society. For people who live in urban villages, their homes can be said to be tiny houses, only their appearance is different. This is what distinguishes between the understanding of tiny house between developed countries and Indonesia. This paper will discuss whether tiny house in urban kampung reflects a sustainable way of life and whether tiny house can be one of the solution for lack of housing supply in densly populated cities. This research will use both qualitative methods (through interviews with urban kampung communities) and quantitative methods (measurements of tiny houses in urban villages) in information retrieval. Through this research it was found that urban kampung residents have applied tiny living in their lives."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olla Varalintya Yochanan
"Dengan tingkat kemampuan membeli yang cenderung rendah, meningkatnya harga rumah, sifat konsumtif dan juga keinginan untuk hidup mandiri, generasi millennial abad ke 21 membutuhkan sebuah solusi inovatif. Tiny House telah menjadi alternatif yang efektif untuk gaya hidup yang efisien untuk para millennial. Tiny House mengurangi atau mengecilkan ruangan yang tidak terpakai atau berfungsi supaya dapat menjadi lebih efisien. Rumah ini dapat mengoptimalkan fungsi dari sebuah ruang melalui desain yang cerdas dan dual use.
Dikarenakan oleh ukurannya yang lebih kecil, Tiny House dapat mengurangi biaya perawatan dan operasional. Sehingga, para millennial dapat menghemat uang dan mendapatkan kebebasan finansial. Selain ini, Tiny Living dapat membantu mengubah gaya hidup mereka dengan berbagai cara seperti tidak menjadi konsumtif.
Dalam tulisan ini, 100 millennial Indonesia diminta untuk menginformasikan gaya hidup mereka saat ini, permasalahan dalam rumah mereka dan juga opini mereka terhadap Tiny House melalui kuesioner. Dengan demikian, skripsi ini berfokus pada analisa mengenai apakah gerakan Tiny House dapat diterapkan untuk millenial di Indonesia atau tidak.

With the tendency of low affordability, increasing house prices, consumptive traits and also the desire to live independently, the 21st century millennials are in need of an innovative solution. Tiny Houses have become an effective alternative for an efficient way of living for the millennials. These houses eliminate unused space in order to become more efficient. Tiny Houses are able to fully optimize functionality through ingenuity and dual use designs.
Due to its smaller size, they require less maintenance and operational costs which can help millennials save money and gain financial freedom. In addition to this, "Living Tiny" helps people change their lifestyle in many different ways such as being less consumptive.
In this writing, 100 Indonesian millennials were asked to be informants about their current way of living, housing issues and their thoughts on Tiny Houses through questionnaires. By doing so, this thesis focuses on analyzing whether or not the Tiny House movement is applicable for Indonesia's millennials.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S63707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Waterson, Roxana
Singapore: Roxana Waterson, 1997
R 728 WAT l
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Adjeng Sekar Langit
"Tugas akhir ini menyelidiki latar arsitektur dari lingkungan yang hidup dengan kelangkaan air dan lahan. Investigasi ini dimulai dengan pertanyaan bagaimana lingkungan hidup dengan kelangkaan, bagaimana pola kehidupan sosial terbentuk sebagai respon lingkungan terhadap kelangkaan. enyelidikan berlanjut dengan pertanyaan lebih mendalam, bagaimana jika kelangkaan yang terjadi di lingkungan menjadi ujung tombak yang mengubah wajah kampung. Membangun bahasa spasial baru berdasarkan reformasi rantai air dengan penyaringan air dan ruang mandiri modular. Bahasa spasial baru menyajikan arsitektur sebagai mesin kehidupan. Lingkungan sebagai mesin kehidupan untuk proses penyaringan air sistem terpadu dengan lingkungan.

This final project is investigating the architectural setting from the neighbourhood that live with water and land scarcity. This investigation begins with the question how does neighbourhood live with scarcity, how does the pattern of social life formed as neighbourhood response to scarcity. The investigation continues with further questions, what if scarcity that happens in neighbourhood to be the spearhead that changes the face of the kampung. Constructing new spatial language based on reforming the water chain by water filtration and modular self- spaces. The new spatial language presents architecture as living machine. The neighbourhood as a living machine for water filtration process unified system with neighbourhood.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carley, Michael
London: Earthscan Publications, 1998
338.927 CAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Indira Okta
"Penulisan ini membahas tentang fleksibilitas sebagai strategi bertinggal di hunian yang berbasis standar occupancy. Standar yang ada secara tidak langsung mengatur kegiatan domestik di dalamnya secara kaku, karena ada berbagai persyaratan matra ruang dan luas minimumnya. Bentuk rasionalisasi ini sangat kontradiktif dengan kegiatan bertinggal yang dinamis. Karenanya, penulisan ini akan menelusuri bagaimana fleksibilitas hadir merespon standar occupancy, baik di tahap prior-occupancy maupun post-occupancy. Penulisan ini menggunakan kasus Apartemen The Smith Alam Sutera yang kemudian dianalisis melalui dua tahapan. Tahapan prior-occupancy  menjelaskan tentang peran arsitek dalam menyediakan “variasi” berbagai kemungkinan fleksibilitas dengan tujuan membuka kemungkinan kepada user untuk berkontribusi pada hasil rancangan ruang. Analisis kemudian dilanjutkan ke tahap post-occupancy. Di tahap ini analisis terbagi lagi menjadi fase mobility, evolution, dan elasticity yang melihat bagaimana perkembangan, penyesuaian, dan modifikasi initial flexibility oleh user. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa pada realisasinya, initial flexibility yang dirancang oleh arsitek sebagai pemicu fleksibilitas tidak semuanya dimanfaatkan oleh user dalam menjalankan aktivitas domestiknya. Seringkali user menciptakan sendiri suatu strategi fleksibilitas untuk memenuhi kebutuhan dalam kesehariannya tanpa berbasis pada rancangan yang sudah ada, namun tetap ada indikasi modifikasi dan penyesuaian fleksibilitas yang terus berkembang sepanjang masa periode bertinggal.

This writing explores flexibility as a strategy of living in standardized housing. Standardization is seen as a form of rationalization that is contradictory to dynamic living activities. Therefore, this paper will explore how flexibility exists and responds to a standardized living space, both at the prior-occupancy and post-occupancy stages. This writing uses the case of The Smith Alam Sutera Apartment which is then analyzed through two stages. The prior-occupancy stage explains the role of the architect in providing "variations" of various possible flexibility with the aim of opening up possibilities for the user to contribute to the spatial design results. The analysis then proceeds to the post-occupancy stage, at this stage the analysis is further divided into mobility, evolution, and elasticity phases which focuses at how the user develops, adjusts, and modifies the initial flexibility. The results of the case study show that in reality, the initial flexibility designed by the architect as a trigger for a chance of flexibility in the future occupation is not all utilized by the users in carrying out their domestic activities. Instead,  users often create their own flexibility strategy to meet their daily needs without utilizing the prior architect’s design. However, there are still indications of modifications and flexibility adjustments that continue to develop throughout the period of residence."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Xenos, Nicholas
London and New York: Routledge, 1989
333.7 XEN s (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Rifqa Marisa
"Teknologi adalah sebuah alat yang manusia gunakan untuk merespon kondisi scarcity. Melihat perkembangan teknologi saat ini, terkhususnya internet, teknologi menghasilkan kondisi kelimpahan baru dalam hal akses informasi. Namun, kelimpahan baru yang dihasilkan teknologi menyebabkan terjadinya manipulasi sudut pandang sehingga terjadi kondisi scarcity baru. Tugas akhir ini bertujuan mencari cara untuk merespon kondisi tersebut dengan arsitektur. Dalam prosesnya, digunakan pemahaman ilusi anamorphic sebagai metodenya, sebab melihat kemampuan anamorphic dalam menghasilkan dualitas kondisi dalam sebuah ruang. Konteks yang dipilih untuk diintervensi pada tugas akhir ini adalah Pondok Cina, sebagai sebuah kawasan gerbang masuk dengan image chaos yang melekat padanya akibat informasi yang internet berikan. Proyek ini akan mencoba menggunakan anamorphic pada Pondok Cina dengan tujuan memberikan variasi persepsi pengunjung akan tempat tersebut. Dengan demikian, pengunjung tidak hanya akan melihat Pondok Cina dengan satu cara.

Technology is a tool that is used by humans to respond to scarcity. Seeing from current technology development, especially the internet, technology creates new abundance condition in information access. Yet, the new abundance in technology causing manipulation of point of view therefore create new kind of scarcity. This final project is aimed to find a way to respond to the condition through architecture. During the process, anamorphic is being used as the method, seeing its ability to create duality in space. The chosen context to be intervened for this project is Pondok Cina, as an entrance area with a chaotic image that has been labelled to it due to information from the internet. This project tries to use anamorphic in Pondok Cina with intention to variate visitors’ perception about the place. Thus, visitors won’t see and perceive Pondok Cina only in one way

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Aditya Giovanni Suhanto
" ABSTRAK
Jumlah manusia yang semakin banyak dan keterbatasan ruang untuk beraktifitas menyebabkan meningkatnya petermuan sesama manusia dalam beraktifitas. Hal ini yang disebutkan Bollnow sebagai keadaan kebersamaan manusia yang menciptakan intimasi sebagai salah satu syarat keruangan dari homeliness. Akan tetap keadaan bersama manusia ini juga menimbulkan persaingan antara manusia. Fenomena keberadaan bersama manusia ini dianalogikan sebagai sphere oleh Sloterdijk. Mekanisme yang terjadi dalam keadaan bersama ini adalah imitasi. Ini mengindikasikan imitasi dapat menjelaskan mekanisme yang terjadi dalam keadaan keberadaan bersama manusia. Untuk melihat mekanisme imitasi ini maka penulis melihat imitasi sebagai respon manusia terhadap lingkungan sehingga penulis dapat melihat imitasi sebagai mekanisme yang lebih meruang yaitu perilaku manusia terhadap lingkungan yang disebut teritori
ABSTRACT The number of people is increasing and limited space for activities leads an increased number of possibilities fellow human beings approaching in their activity. It is mentioned by Bollnow as the state of human togetherness that creates intimacy as one of the requirements of the spatial homeliness. However situation with human also arises the competition between humans. The phenomenon of human co existence is analogous to a sphere by Sloterdijk. The mechanisms that occur in the co existence is imitation. This indicates that imitation can be explained as the mechanisms that occur in the human co existence. To observe imitation mechanism, the author sees imitation as a human response to the environment so that the author can observe imitation as a mechanism within spatial perspective namely human behavior towards the environment which is called territories."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachry Ardani
"ABSTRAK
Manusia telah hidup berdampingan dengan alam semenjak dini. Mereka membentuk dan menciptakan ruang untuk hidup dengan bantuan alam dan lingkungan. Alam telah menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia itu sendiri. Hubungan bawaan antara manusia dan alam ini dipelajari melalui konsep biofilia. Namun dengan meningkatnya urbanisme pada abad terakhir ini, tren perancangan arsitektur telah berubah, masyarakat urban mulai mendesain kota mereka berdasarkan kepentingan manusia dengan sedikit pertimbangan terhadap lingkungan. Tren tersebut telah terbukti secara saintifik dapat menimbulkan isu kesehatan. Sebagai respon terhadap fenomena ini arsitek dan peneliti mengembangkan bidang desain berbasis biofilia sebagai cabang dari ilmu arsitektur. Tulisan akademik bertujuan untuk mengamati pola-pola dari biofilia sekaligus faktor apa saja yang sejalan dengan keberadaan pola tersebut melalui studi kasus yang diambil dari taman perkotaan di Singapura. Hasil dari observasi tersebut akan menentukan apakah dari kedua desain biofilia dapat memiliki cara implementasi yang berbeda yang berhubungan dengan bentuk dan juga pengaruh apa saja yang bisa diberikan pada manusia dalam hal kesehatan.

ABSTRACT
Humans have been living with nature since the dawn of times. They forged, created and constructed their living spaces through the uses of nature and environment. Nature had become an essential need for human themselves. This innate connection between human and nature is studied through the concept of biophilia. However, a rapid urbanism over these past centuries reoriented the architectural trends, urban people began to design the environment on behalf of their own importance with a less consideration of nature. This trend has scientifically proven could create an issue of healthiness. As a response to this phenomenon, architect and scientist developed the field of biophilic design as a branch of architecture. This academic writing will observes the biophilic patterns and factors that juxtapose with the existence of it through case studies taken from urban parks in Singapore. The result of the observation will determine whether both biophilic designs could have a different way of implementation regarding to the form as well as the impacts that it could give to human in terms of health.
"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>