Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121270 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmatullah Irfani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Beta Defensin-1 saliva merupakan salah satu peptida anti mikroba yang mempunyai peranan penting dalam pertahanan imun bawaan terhadap serangan mikroba oral. Aktifitas merokok dapat menyebabkan perubahan profil saliva dan profil kesehatan rongga mulut yang dapat mempengaruhi kadar Beta Defensin-1 saliva. Penelitian sebelumnya mengenai kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok dengan periodontitis kronis dan belum ada penelitian mengenai penilaian kadar Beta Defensin-1 pada perokok dikaitkan dengan profil merokok dan profil kesehatan rongga mulut.
Tujuan: Mengetahui profil saliva dan profil kesehatan rongga mulut serta pengaruhnya terhadap perubahan kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok dan bukan perokok, dikaitkan dengan profil merokok partisipan, yang terdiri dari jenis rokok, durasi merokok, dan frekuensi merokok serta kondisi kesehatan rongga mulut.
Metode: Sebanyak 68 partisipan, yang dibagi menjadi 2 kelompok: 44 (64,7%) perokok dan 24(35,5%) bukan perokok. Data dikumpulkan dari anamnesis, status klinis (gigi, mukosa rongga mulut, dan saliva), dan pemeriksaan laboratorium. Sampel saliva non-stimulasi dengan metode pengumpulan spitting dan disimpan pada -80°C. Analisis kadar Beta defensin-1 dengan menggunakan kit Beta Defensin-1 (Elabscience®, USA), dengan uji ELISA.
Hasil Penelitian: Kadar Beta Defensin-1 saliva perokok dibandingkan dengan pada bukan perokok secara statistik terdapat perbedaan signifikan (p< 0,05). Profil merokok (jenis, durasi dan frekuensi) tidak mempengaruhi kadar Beta Defensin-1, namun kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok jenis kretek cenderung lebih tinggi dibanding perokok non-kretek. Keberadaan lesi rongga mulut tidak berpengaruh terhadap kadar Beta Defensin-1 saliva. Profil saliva pada perokok khususnya pH lebih rendah dan berbeda secara statistik dibandingkan dengan bukan perokok (p< 0,05). Laju Alir Saliva pada perokok lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Nilai OHIS dan DMF-T pada kelompok bukan perokok cenderung lebih baik dibandingkan dengan perokok.
Kesimpulan: Aktifitas merokok berpengaruh terhadap peningkatan kadar Beta Defensin-1 saliva. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar Beta Defensin-1 antara perokok dan bukan perokok. Peningkatan kadar Beta Defensin-1 cenderung terjadi pada rongga mulut yang terdapat lesi. Perokok lebih rentan mengalami karies dan penurunan pH saliva dibandingkan dengan bukan perokok. Profil kesehatan bukan perokok lebih baik jika dibandingkan dengan perokok.

ABSTRACT
Background: Salivary Human Beta Defensin-1 (SHBD-1) is one of the anti-microbial peptides that has an important role in innate immune defense against oral microbial attacks. Smoking activity can cause changes in saliva profile and health profile of the oral cavity that can affect levels of SHBD-1. The previous studies were focused on SHBD-1 levels in smokers with chronic periodontitis, but there are no studies to assess the SHBD-1 levels in smokers and associated with smoking profiles and oral health profile.
Objective: To compare the salivary profile and health profile of the oral cavity and its effect on changes in SHBD-1 levels in smokers and nonsmokers. The alteration of SHBD-1 levels was associated with smoking profiles of the participants, which consist of the type of cigarette, duration of smoking, and frequency of smoking and oral health conditions.
Methods: A total of 68 participants were divided into 2 groups: 44 (64.7%) smokers and 24 (35.5%) non-smokers. Data were collected from interviews, clinical examination (teeth, oral mucosa, and saliva), and laboratory examination. The unstimulated salivary flow rate was collected by spitting method and stored at -80 ° C. SHBD-1 level was analyzed by ELISA test using Human Beta Defensin-1 kit (Elabscience®, USA).
Results: The smoker's SHBD-1 levels was compared with non-smokers, and there were statistically significant (p <0.05). The smoking profile (type, duration and frequency) did not affect the SHBD-1 levels, but the SHBD-1 levels in kretek smokers tended to be higher than non-clove cigarette smokers. The presence of oral lesions did not affect the SHBD-1 levels. The saliva profile in smokers typically in lower pH was statistically different with nonsmokers (p <0.05). Salivary Flow Rate (SFR) for smokers is higher than for nonsmokers. OHIS and DMF-T indexes in nonsmokers tend to be better than smokers.
Conclusion: Smoking effected the increasing levels of SHBD-1. There were significant differences in SHBD-1 levels between smokers and nonsmokers. Increasing SHBD-1 levels tend to occur in the oral cavity with lesions. Smokers are prone to have caries and the decrease of salivary pH compared to nonsmokers. The health profile of non-smokers is better than smokers."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benso Sulijaya
"Latar Belakang: Periodontitis kronis merupakan penyakit multifaktorial yang terjadi akibat interaksi respon host terhadap agregasi bakteri pada poket gingiva. Peran human beta-defensin-1 sebagai peptida antimikroba pada perokok dengan periodontitis kronis masih belum jelas.
Tujuan: Menganalisa kadar Human beta defensin-1 pada perokok penderita periodontitis kronis.
Bahan dan Metode: Seratus empat subjek berusia 33-78 tahun didiagnosis periodontitis kronis pada Departemen Periodonsia, Rumah Sakit Khusus Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Penelitian ini merupakan desain penelitian potong lintang dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Pengumpulan data di dapat secara anamnesis, pemeriksaan klinis (OHIS, kedalaman poket, CAL) serta status merokok. Sampel lalu disimpan di suhu -20°C hingga uji laboratoris dilakukan. Sampel dipilih secara consecutive sampling dan dideteksi dengan uji ELISA.
Hasil: Berikut adalah nilai median (minimum-maksimum) dari kadar human beta-defensin-1. Kadar human beta-defensin-1 pada kelompok periodontitis kronis kelompok ringan-sedang adalah 57,61(.87-343.58) pg/ml sedangkan pada kelompok berat adalah 25,04(0.94-198.03) pg/ml dengan nilai kemaknaan p=0,087. Kadar human beta-defensin-1 pada periodontitis kronis bukan perokok adalah 27,82 (0.92-200.58) pg/ml sedangkan pada perokok adalah 25,04 (0.87-343.58) pg/ml dengan nilai kemaknaan p=0,457.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar human beta-defensin-1 pada periodontitis kronis terkait keparahan dan status perokok.

Background: Chronic periodontitis is a multifactorial disease that occurs due to the host response to the aggregation of bacteria in the gingival pocket. The role of human beta-defensin-1 as an antimicrobial peptide in a smoker’s periodontitis is still unclear.
Materials and Methods: In total 104, 33-78 years old subjects were diagnosed to have chronic periodontitis in the Department of Periodontology, Oral Disease Special Clinic of The University of Indonesia. This cross-sectional study included clinical and laboratory examination. The data collected included those from anamnesis, clinical examination (OHIS, pocket depth, CAL), and smoking status. The samples were stored in -20oC until testing for human beta-defensin-1 level by ELISA.
Results: The median (min-max) human beta-defensin-1 level in the group of mild to moderate chronic periodontitis was 57.61 (0.87-343.58) pg/ml and in the group of severe periodontitis 15.27 (0.94-198.03) pg/ml (p=0.087). The median (min-max) human beta-defensin-1 level in non-smokers with chronic periodontitis was 27.82 (0.92-200.58) pg/ml, and in smokers 25.04 (0.87-343.58) pg/ml (p=0.457).
Conclusion: There were no significant differences in the human beta-defensin-1 levels in subjects with chronic periodontitis regardless of the smoking status or severity of the disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Kumala Indrastiti
"Latar Belakang: Peningkatan radikal bebas dapat memicu kerusakan jaringan dan menyebabkan berbagai penyakit, oleh karena itu tubuh dapat mencegahnya dengan memproduksi antioksidan. Pada perokok, dapat terjadi peningkatan radikal bebas dari komponen kimia berbahaya tembakau, yang manifestasinya dapat terlihat dari berbagai kelainan di rongga mulut. Tujuan: Mengetahui perbedaaan profil kesehatan rongga mulut serta kapasitas antioksidan total saliva pada perokok dan bukan perokok, serta mengetahui apakah profil kesehatan rongga mulut mempengaruhi kapasitas antioksidan total saliva perokok. Metode: Desain penelitian adalah potong lintang dengan 95 orang subjek, yang terdiri dari 51 perokok dan 44 bukan perokok, yang memenuhi kriteria inklusi. Subjek diminta untuk mengisi data demografis dan kuesioner, kemudian dilakukan pemeriksaan klinis dan pengambilan saliva. Profil kesehatan rongga mulut didapatkan dengan melakukan pengukuran menggunakan indeks OHI-S, DMF-T, PBI, nilai pH dan laju alir saliva, serta pemeriksaan jaringan lunak rongga mulut. Sampel saliva dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kapasitas antioksidan total dan seluruh data dianalisis menggunakan SPSS. Hasil Penelitian: Profil rongga mulut pada perokok, khususnya pH dan DMF-T, berbeda secara statistik dengan bukan perokok (p< 0,05). Rerata kapasitas antioksidan total saliva perokok lebih rendah daripada bukan perokok, namun tidak bermakna secara statistik. Terdapat korelasi linier negatif sedang yang bermakna secara statistik pada nilai laju alir saliva (r-0,417) dan pH saliva (r-0,348) dengan kapasitas antioksidan total dalam saliva (p < 0,05). Kesimpulan : Perokok lebih rentan mengalami karies dan penurunan pH saliva dibandingkan bukan perokok. Kapasitas antioksidan total dalam saliva perokok lebih rendah daripada bukan perokok, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Pada perokok, bila terjadi penurunan nilai laju alir saliva dan pH, maka akan terjadi peningkatan kapasitas antioksidan total dalam saliva dan demikian sebaliknya.
Background: Free radicals enhancement could lead to tissue damage and developed various illnesses, though the body prevents it by antioxidant production. Smokers may experience free radicals escalation caused by deleterious chemical compound of tobacco, which can manifest as various oral cavity abnormalities. Objectives: To compare the oral health profile and salivary total antioxidant capacity between smokers and nonsmokers, also to know whether oral health profiles affect the smokers’ salivary total antioxidant capacity. Methods: This was a cross sectional study with 95 subjects, consisted of 51 smokers and 44 non-smokers, who met the inclusion criteria. Subjects were asked to fill the demographic data and questionnaire, then clinical examination was performed, and saliva was taken, then laboratory analyzed to determine the total antioxidant capacity. Oral health profile were examined using OHI-S, DMF-T, and PBI indexes, pH count, salivary flow rate, and oral cavity examination. The total data then was analyzed using SPSS. Results: Smokers’ oral health profile, especially salivary pH and DMF-T values, were statistically significant different from non-smokers’ (p<0.05). The mean value of salivary total antioxidant capacity in smokers was lower than nonsmokers, but there was no statistically difference. There was a moderate negative linear correlation with statistically significant results between salivary flow rate (r-0.417) and salivary pH (r-0.348) on salivary total antioxidant capacity in saliva (p< 0.05). Conclusion: Smokers were more susceptible to caries and decreased salivary pH than nonsmokers. The total antioxidant capacity in smokers’ was lower than non-smokers, but there was no statistically difference. If smokers experience a decrease in salivary flow rate and pH, there will be an increase in salivary total antioxidant capacity and vice versa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugiharto Wijaya
"Latar Belakang: Kerusakan jaringan periodontal terjadi karena inflamasi terhadap invasi bakteri. Human beta defensin-1 adalah peptida antimikroba dan pertahanan pertama terhadap infeksi.
Tujuan Penelitian: Membandingkan kadar ekspresi HBD-1 antara kelompok periodontitis kronis, periodontitis agresif dan normal
Bahan dan Metode: Kadar HBD-1 dari 94 sampel CKG subjek periodontitis kronis, periodontitis agresif dan normal diukur dengan ELISA
Hasil: Analisis Mann-Whitney menunjukkan perbedaan kadar HBD-1 antara periodontitis kronis dengan normal (p<0,05) dan tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,05) antara periodontitis agresif dengan normal, dan antara periodontitis kronis dengan periodontitis agresif.
Kesimpulan: Kadar HBD-1 pada CKG menurun pada kondisi periodontitis kronis dan periodontitis agresif.

Background: Periodontal disease is happened because inflammation reaction ro bacterial invasion. Human beta defensin-1 (HBD-1) is antimicroba peptide which regulate the first defense mechanism.
Objectives: To compare level of HBD-1 between chronic periodontitis, aggressive periodontitis, and normal group.
Material and Methods: Level of HBD-1 from GCF sample of chronic periodontitis, aggressive periodontitis, and normal group were assessed with ELISA.
Results: Mann-Whitney analysis show different level of HBD-1 expression between chronic periodontitis and normal (p<0,05) and there was no significant difference (p>0,05) between aggressive periodontitis and normal, and between chronic periodontitis and aggressive periodontitis.
Conclusion: Level of HBD-1 in GCF decreased in chronic periodontitis and aggressive periodontitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Nabila Jafna
"Latar Belakang: Nitric oxide (NO) memiliki fungsi antibakterial dan peran dalam proses inflamasi. Penyakit gigi dan mulut berkaitan erat dengan kebersihan rongga mulut yang dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk kebiasaan merokok. Konsentrasi NO pada saliva dapat menjadi biomarker kesehatan rongga mulut dan sistemik. Namun, kaitannya dengan kebiasaan merokok dan kebersihan rongga mulut masih perlu dikaji lebih lanjut. Tujuan: Mengetahui korelasi antara status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan derajat keasaman (pH) saliva dengan konsentrasi nitric oxide (NO) pada perokok dewasa. Metode: Sampel yang diteliti merupakan saliva tidak terstimulasi pada 10 subjek perokok dewasa dan 8 subjek non perokok dewasa. Status kebersihan rongga mulut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kategori baik dan kategori sedang. Konsentrasi nitric oxide diukur menggunakan Griess assay di laboratorium. Analisis dilakukan dengan uji statistik Independent T-tes, Mann-Whitney U, korelasi Pearson, dan korelasi Spearman Hasil: Konsentrasi nitric oxide pada perokok dewasa lebih tinggi dibandingkan konsentrasi nitric oxide pada non perokok dewasa dengan perbedaan yang signifikan (p < 0,05). Korelasi antara status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dengan konsentrasi nitric oxide adalah positif sedang dengan hubungan yang tidak bermakna (r = 0,346, p > 0,05). Korelasi antara derajat keasaman (pH) saliva dengan konsentrasi nitric oxide adalah positif sedang dengan hubungan yang tidak bermakna (r = 0,285, p > 0,05). Kesimpulan: Konsentrasi nitric oxide tidak berkorelasi dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan derajat keasaman (pH) saliva sehingga tidak dapat dijadikan sebagai biomarker status kebersihan rongga mulut.

Background: Nitric oxide has antibacterial functions and a role in inflammatory response. Oral diseases are closely related to oral hygiene which can be influenced by various factors, including smoking habits. NO concentration in saliva can be a biomarker of oral and systemic health. However, its relationship with smoking habits and oral hygiene still needs to be studied further. Objectives: To determine the correlation between oral hygiene status (OHI-S) and the degree of acidity (pH) of saliva with the concentration of nitric oxide (NO) in adult smokers. Methods: The samples studied were unstimulated saliva from 10 adult smokers and 8 adult non-smokers. Oral hygiene status is divided into two groups, the good category and the fair category. Nitric oxide concentration was measured using Griess assay in the laboratory. Analysis was carried out using the Independent T-test, Mann-Whitney U, Pearson correlation, and Spearman correlation statistical tests. Results: Nitric oxide concentrations in adult smokers were higher than nitric oxide concentrations in adult non-smokers with a significant difference (p < 0.05). The correlation between oral hygiene status (OHI-S) and nitric oxide concentration was moderately positive with no significant relationship (r = 0.346, p > 0.05). The correlation between the degree of acidity (pH) of saliva and the concentration of nitric oxide was moderately positive with no significant relationship (r = 0.285, p > 0.05). Conclusion: Nitric oxide concentration does not correlate with oral hygiene status (OHI-S) and degree of acidity (pH) of the saliva, thus it cannot be used as a biomarker for oral hygiene status"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Suri Priyanggodo Putri
"Nitric Oxide (NO) merupakan molekul signaling multifungsi yang terlibat dalam menjaga proses fisiologis tubuh yang dapat ditemukan di dalam saliva dan dorsum lidah. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang membandingkan konsentrasi nitric oxide pada sampel saliva dan usap lidah, serta hubungannya dengan status kebersihan mulut. Tujuan: Mengetahui perbedaan konsentrasi nitric oxide pada saliva dan usap lidah serta hubungannya dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S). Metode: Sampel yang diteliti adalah usap lidah dan saliva unstimulated, kemudian diukur dengan Griess reagent System yang diproduksi Promega© USA. Masing-masing sampel berjumlah 9 yang berasal dari kelompok umur dewasa akhir. Status kebersihan rongga mulut (OHI-S) diukur kemudian dikategorikan menjadi baik, sedang, dan buruk. Data dianalisis dengan uji statistik Mann-Whitney U, One-way ANOVA, dan korelasi Spearman. Hasil: Konsentrasi nitric oxide saliva lebih tinggi dari usap lidah dengan adanya perbedaan bermakna (p<0.05), namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) dengan status kebersihan mulut. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = 0.135, p >0.05) antara konsentrasi nitric oxide usap lidah dan status kebersihan rongga mulut, namun menunjukan tendensi positif. Sedangkan konsentrasi nitric oxide saliva dan status kebersihan rongga mulut juga tidak ada hubungan yang signifikan (r = -0.032, p >0.05), dengan tendensi negatif. Kesimpulan: Saliva merupakan sampel biologis yang potensial untuk menetapkan konsentrasi nitric oxide di rongga mulut. Konsentrasi nitric oxide tidak berhubungan dengan status klinis yaitu status kebersihan rongga mulut.

Background: Nitric Oxide (NO) is a multifunctional signaling molecule involved in maintaining the body's physiological processes that can be found in saliva and tongue dorsum. However, there have been no studies comparing saliva and tongue swab samples. Objective: To determine the difference in nitric oxide concentration in saliva and tongue swabs and its relationship with oral hygiene status (OHI-S). Methods: The samples studied were tongue swabs and unstimulated saliva, then measured with the Griess reagent System produced by Promega© USA. Each sample amounted to 9 people from the late adult age group. Oral hygiene status (OHI-S) was measured and then categorized into good, moderate, and poor. Data were analyzed using Mann-Whitney U, One-way ANOVA and Spearman correlation statistical tests. Results: Salivary nitric oxide concentration was higher than tongue swab with a significant difference (p<0.05), but there was no significant difference (p>0.05) with oral hygiene status. There is no significant relationship (r = 0.135, p>0.05) between tongue swab nitric oxide concentration and oral hygiene status, but shows a positive tendency. While salivary nitric oxide concentration and oral hygiene status also had no significant relationship (r = - 0.032, p>0.05), with a negative tendency. Conclusion: Saliva is a potential biological sample to determine the concentration of nitric oxide. Nitric oxide concentration is not associated with clinical status, namely oral hygiene status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ganesha Asturini
"Latar Belakang: Remaja adalah salah satu kelompok populasi yang paling terpengaruh dalam tiga beban malnutrisi di Indonesia. Berbagai penelitian telah membuktikan hubungan antara status nutrisi dengan kesehatan gigi mulut. Penelitian dalam kariologi belakangan ini banyak mengeksplorasi bakteri Veillonella terkait interaksinya dengan Streptococcus dalam pembentukan biofilm. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dan status kesehatan gigi mulut, laju alir saliva dan kuantifikasi relatif bakteri Veillonella parvula dalam saliva. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik, dengan subyek 49 anak laki-laki dan 52 perempuan direkrut dari sebuah Pesantren SMP di Depok, Jawa Barat untuk dilakukan pemeriksaan gigi mulut, status antropometri berat badan, tinggi badan dan IMT serta pengambilan saliva tanpa stimulasi untuk perhitungan laju alir saliva. Kuantifikasi bakteri relatif dilakukan dengan metode RT-PCR untuk mengidentifikasi bakteri V parvula. Hasil: Terdapat korelasi positif lemah antara IMT dan kuantifikasi relatif bakteri V parvula (r= 0.2, p=0.04), namun tidak ditemukan korelasi bermakna antara IMT dan indeks plak serta IMT dan laju alir saliva tanpa stimulasi. Kesimpulan: Terdapat korelasi lemah bermakna antara IMT dan kuantifikasi relatif V parvula, sementara itu terdapat korelasi lemah dan tidak bermakna antara IMT dan indeks plak maupun IMT dan laju alir saliva. Penelitian berikutnya perlu mengeksplorasi hubungan IMT dengan berbagai parameter status kesehatan gigi mulut dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko perancu dan mengidentifikasi spesies-spesies Veillonella lainnya.

Background: Until recently, the triple burden of malnutrition remains a major health issue in Indonesia and adolescents are one of the most affected population. Oral cavity is the main gate of the digestive system and studies have shown the association between nutritional status and oral health. Objectives: This study aimed to analyze the correlation between body mass index and oral health status, unstimulated salivary flow rate and relative quantification of Veillonella parvula in saliva. Method: In a cross-sectional study design, 49 male and 52 female students aged 12-14 year-old were recruited from an Islamic Boarding School in Depok, West Java and clinically examined for the Greene and Vermillion’s debris index. The unstimulated salivary flow rate was determined (ml/min). Anthropometric examinations were carried out for body weight, body height and body mass index per age according to the standards from Ministry of Health Regulations. Real-time polymerase chain reaction was used to quantify the presence of Veillonella parvula. Results: There is a significant correlation between BMI and relative expression of salivary Veillonella parvula (r= 0.2, p=0.04), however no correlations were found between BMI and OH status, and BMI and unstimulated salivary flow rate. Conclusion: This study demonstrated that there is no linear relationship between BMI and salivary flow rate and/or OH status, however a weak but significant correlation was found between BMI and salivary V parvula. Further studies are needed to investigate relationships between BMI and other nutrition parameters with oral health indicators in the adolescent populations, while considering other Veillonella species."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakia Amalia
"Pasien diabetes memiliki risiko yang lebih besar terhadap penyakit periodontal yang dapat berakibat pada kualitas hidup terkait kesehatan gigi dan mulut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup terkait kesehatan gigi dan mulut pada pasien diabetes mellitus. Studi potong lintang ini dilakukan dengan memberikan kuesioner OHIP-20 dan pemeriksaan klinis untuk evaluasi kesehatan gigi dan mulut pada pasien diabetes mellitus di RSCM. Dari 70 orang responden sebanyak 97.1% memiliki kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup terkait kesehatan gigi dan mulut tidak dipengaruhi oleh diabetes mellitus pada responden yang dilakukan pemeriksaan.

Diabetic patients have more risk factor for periodontal disease which can affect their oral health related quality of life (OHRQoL). The aim of this study was to evaluate oral health status and oral health related quality of life in diabetes mellitus patients. This cross sectional study was conducted by giving OHIP-20 questionnaire and clinical examination to evaluate oral health in diabetic patient in RSCM. The result showed from 70 patients 97.1% had good quality of life. Oral health related quality of life is not affected by the presence of diabetes mellitus among the respondents."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Kalam Tauhid
"Latar Belakang: Rongga mulut manusia memiliki beragam mikroorganisme yang dapat membentuk suatu komunitas yang memengaruhi kesehatan rongga mulut. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi karies di Indonesia mencapai 60-80%. Konsentrasi protein dan polipeptida yang ada dalam saliva penting dalam pemeliharaan kesehatan mulut dan homeostasis dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif dari proteome saliva. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan total konsentrasi protein dan profil protein saliva dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan status karies dental (DMF-T dan def-t) pada subjek kelompok usia dewasa muda dan anak-anak. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif laboratorik dengan menggunakan Uji Bradford untuk menetapkan total konsentrasi protein dan Uji SDS-PAGE untuk menetapkan profil protein saliva. Sampel uji berupa sampel saliva berjumlah 18 sampel masing-masing kelompok usia (total 36 sampel), dengan diketahui status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan status karies dental (DMF-T dan def-t). Analisis statistik dijalankan dengan menggunakan uji normalitas, kemudian Uji T test-independent. Untuk menganalisis hubungan dilakukan uji korelasi spearman. Analisis data menggunakan SPSS iOS versi 22.0. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan antara total konsentrasi protein saliva kelompok usia dewas muda dan anak-anak (p = 0.001 (p<0.05)), namun tidak terdapat korelasi signifikan antara total konsentrasi protein saliva kelompok usia terhadap OHI-S dan DMF-T atau def-t, serta terdapat perbedaan profil protein saliva berupa perbedaan frekuensi protein bands yang muncul pada masing-masing profil protein.  Kesimpulan: Total konsentrasi protein dan profil protein saliva tidak berhubungan dengan OHI-S dan DMF-T atau def-t pada kelompok usia dewasa muda dan anak-anak, namun tetap memiliki tendensi korelasi.

Human oral health contains various microorganisms that can form a community that affects oral health. According to Riskesdas 2018, the prevalence of caries in Indonesia ranges from 60-80%. The concentration of proteins and polypeptides in saliva is important in maintaining oral health and homeostasis through qualitative and quantitative changes in the salivary proteome.  Objective: This study aims to analyze the relationship between total protein concentration and saliva protein profile with oral hygiene status (OHI-S) and dental caries status (DMF-T and def-t) in adult and child age groups. Methode: This study is a deskriptive laboratory analysis using Bradford tests to determine total protein concentration and SDS-PAGE tests to determine saliva protein profiles. The sample consisted of 18 saliva samples from each age group (total 36 samples), with OHI-S and dental caries status (DMF-T and def-t) determined. Statistical analysis was performed using normality tests, followed by independent sample t-tests. To analyze the relationship, Spearman's correlation test was conducted. Data analysis used SPSS iOS version 22.0. Result: A significant difference was found in the total saliva protein concentration between the young adult and child groups (p = 0.001, p < 0.05), but no significant correlation was found between total saliva protein concentration and OHI-S and DMF-T or def-t status. There was a difference in saliva protein profiles, manifested as differences in the frequency of protein bands in each protein profile.  Conclusion: The total protein concentration and saliva protein profiles do not have a significant relationship with OHI-S and DMF-T or def-t status in young adult and child age groups, but they still show a tendency to correlate."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destri Shofura Gusliana
"Latar Belakang: Saliva merupakan cairan biologis yang kompleks pada rongga mulut yang mengandung berbagai komponen, salah satunya protein. Protein pada saliva merupakan salah satu sistem pertahanan yang dapat berperan melindungi rongga mulut dari penyakit.
Tujuan: Menganalisis perbedaan profil protein dan konsentrasi total protein saliva perokok dan non-perokok serta kaitannya dengan karies.
Metode: Penelitian melibatkan kelompok  perokok n=25 dan kontrol (non perokok) n=25. Kosentrasi total protein saliva diuji dengan metode Bradford serta profil protein saliva diperoleh dengan menggunakan metode SDS PAGE. Karies diukur dengan score indeks DMF-T melalui pemeriksan klinis.
Hasil: Terdapat protein saliva dominan yang ditemukan pada subjek perokok dengan berat molekul 11.6 kDa dan 54.5 kDa dan subjek non-perokok dengan berat molekul 27 kDa, 60 kDa, 94.5 kDa. Konsentrasi total protein saliva subjek perokok sebesar 551.486 µg/mL  lebih rendah dibandingkan non perokok yaitu sebesar 765.361µg/mL dengan perbedaan statistik tidak signifikan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan profil protein saliva perokok dan non perokok, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada konsentrasi total protein saliva antara kelompok perokok dan non perokok. Terdapat korelasi negatif lemah antara profil dan total protein dengan skor indeks DMF-T.

Background: Saliva is a complex biological fluid in the oral cavity that contains various components, one of them is protein. Protein in saliva is one of the defense systems that can protect the oral cavity from disease.
Objective: To analyze the difference of salivary protein`s profile and total concentration in smokers and non-smokers (control) and their correlation with dental caries that measured by DMF-T index scores.
Methods: Study consisted of two group, smokers group (n=25) and  non-smokers as healthy control (n=25). Salivary protein total determined with Bradford method and the salivary protein profile determined with SDS-PAGE method. Caries was assessed by the DMF-T index scores through clinical examination.
Result: The dominant salivary proteins  profile were found in smokers subject with molecular mass 11.6 kDa and 54.5 kDa and those found in non-smokers subject with molecular mass 27 kDa, 60 kDa, and 94.5 kDa. The total salivary protein conctrentation of smokers subject are 551.486 µg/mL lower than non-smokers subject, which is 765.361µg/mL) but the difference was not statistically significant (P>0.05).
Conclussion: There are differences found in salivary protein profile between smokers and non-smokers subject. However, there is no significant difference in salivary protein total between smokers and non smokers. There are negative correlation between the salivary protein`s total and the scores of DMF-T index."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>