Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192394 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Ayuningtyas
"ABSTRAK
Latar belakang : Prevalens terjadinya malnutrisi bervariasi pada berbagai siklus kemoterapi LLA. Penelitian di Malaysia mendapatkan anak LLA pasca-kemoterapi fase induksi cenderung mengalami obesitas atau status gizi lebih. Penyebab malnutrisi pada anak LLA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perubahan status gizi selama kemoterapi dapat memengaruhi luaran kemoterapi.
Tujuan: mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perbaikan status gizi anak LLA setelah kemoterapi fase konsolidasi, serta pengaruhnya terhadap luaran kemoterapi, sehingga dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya mengatasi malnutrisi pada anak LLA.
Metode : Penelitian ini dengan uji retrospektif, di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2016-2018. Total sampling pada pasien leukemia limfoblastik akut yang terdiagnosis, dan menjalani kemoterapi di RSCM hingga fase konsolidasi.
Hasil : Seratus empat puluh satu subyek pasien anak LLA diikutsertakan dalam penelitian ini. Terdapat 69,5% subyek mengalami perbaikan status gizi, dan 30,5% mengalami perburukan status gizi, dengan 60% perburukan ke arah overnutrition pasca-kemoterapi fase konsolidasi. Faktor risiko independen terhadap terjadinya perbaikan status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi ialah tidak timbulnya efek samping kemoterapi (RR 1,36, 95% IK 1,02 - 1,81). Jenis makanan dan cara pemberian makan tidak memengaruhi perubahan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi dengan kejadian remisi (RR 1,24, 95% IK 1,03 - 1,5).
Simpulan : Status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi mengalami perbaikan dibandingkan sebelum kemoterapi, sedangkan yang mengalami perburukan status gizi cenderung mengalami overnutrition. Perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dipengaruhi oleh tidak timbulnya efek samping kemoterapi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dengan kejadian remisi.

ABSTRACT
Background: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common malignancy in childhood. The prevalence of malnutrition varies in phase of ALL chemotherapy. Study in Malaysia showed ALL children after induction phase of chemotherapy tended to be obese or overweight. The causes of malnutrition in ALL children can be influenced by various factors. Changes in nutritional status during chemotherapy can affect the outcome of chemotherapy.
Aim: To investigate factors that influence nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase, as well as the effect on the outcomes of chemotherapy, so it can be used as an input to overcome malnutrition in ALL children.
Method: A retrospective design was performed in Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 until 2018. Total sampling in patients with acute lymphoblastic leukemia who was diagnosed and started chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital until the consolidation phase.
Result: A total of 141 subjects were included in this study. After consolidation phase, 69.5% of subjects experienced nutritional status improvements, and 30.5% worsened, of which 60% become over nutrition post-consolidation phase. Independent risk factor for the improvement of nutritional status after consolidation phase was the absence of chemotherapy side effects (RR 1.36, 95% CI 1.02 - 1.81). There were no association between type of food and route of feeding with nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There was association between improvement in nutritional status of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission (RR 1.24, 95% CI 1.03 - 1.5).
Conclusion: Nutritional status at post-consolidation phase has improved compared to pre- chemotherapy, while those who worsening nutritional status tend to overnutrition. The absence of chemotherapy side effects affects nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There is a relationship between nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Zatil Izzah
"Latar belakang: Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan kanker tersering pada anak. Berbagai studi mendapatkan bahwa vitamin D berperan dalam pencegahan beberapa jenis kanker. Belum ada studi yang menilai hubungan status vitamin D dengan penyakit LLA pada anak di Indonesia.
Tujuan: Untukmengetahui hubungan antara status vitamin D dengan penyakit LLA pada anak.
Metode: Studi potong lintang pada 40 anak LLA yang baru terdiagnosis dan 40 anak sehat yang sesuai umur dan jenis kelamin. Pasien LLA diambil secara consecutive sampling di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUP Dr. M. Djamil Padang. Status vitamin D diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi Institute of Medicine yaitu defisiensi bila kadar < 12 ng/mL, insufisiensi 12 - <20 ng/mL, dan normal 20-100 ng/mL. Data dianalisa menggunakan uji Chi-Squaredan independent sample t-test, dengan kemaknaan p <0,05.
Hasil: Terdapat 22 (55%) anak laki-laki pada masing-masing kelompok dan kelompok usia 1-4 tahun merupakan kelompok terbanyak (48%). Mayoritas anak LLA memiliki status vitamin D normal (78%), demikian juga kelompok kontrol (63%). Terdapat 3(7%) dan 6(15%) anak LLA serta 1(2%) dan 14(35%) anak sehat memiliki status defisiensi dan insufisiensi berturut-turut dengan p =0,14. Rerata kadar vitamin D anak LLA adalah 25,1(7,6) ng/mL dan anak sehat 21,9(5,67) ng/mL, dengan perbedaan rerata 3,14 (IK95% 0,15-6,13) dan p =0,04.
Simpulan:Mayoritas anak LLA yang baru terdiagnosis memiliki status vitamin D normal. Rerata kadar vitamin D anak LLA lebih tinggi bermakna dari anak sehat, namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status vitamin D dan penyakit LLA pada anak.

Background:Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common cancer in children. Various studies have found that vitamin D plays a role in the prevention of several types of cancer. Currently, there is no study in Indonesia that assess association between vitamin D status and pediatric ALL
Objective:To determine association between vitamin D status and pediatric ALL.
Methods:A cross-sectional study of 40 newly diagnosed ALL children and 40 age-and sex-matched healthy children. ALL patients were taken by consecutive sampling at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta and Dr. M. Djamil Hospital Padang. Vitamin D status is classified based on Institute of Medicine recommendations; deficiency <12 ng/mL, insufficiency 12 - <20 ng/mL, and normal 20-100 ng/mL. Data were analyzed using Chi-square test and independent sample t-test. A p-value <0.05 is considered to be statistically significant.
Results: There were 22 (55%) boys in each group and the group 1-4 years was the most age group (48%). Majority of ALL children had normal vitamin D status (78%) and also in healthy children (63%). There were 3(7%) and 6(15%) ALL children as well as 1(2%) and 14(35%) healthy children had deficiency and insufficiency status consecutively, with p value =0.14. The mean vitamin D level of ALL children and healthy children were 25.1 (7.6) ng/mL and was 21.9 (5.67) ng/mL consecutively, with mean difference of 3.14 (95% CI 0.15-6.13) and p value =0.04..
Conclusion:The majority of newly diagnosed ALL children have normal vitamin D status. The mean vitamin D levels of ALL children was significantly higher than healthy children, however there was no significant association between vitamin D status and ALL in children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Dhiaulhaq
"
Latar Belakang
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah jenis kanker anak yang paling umum di Indonesia, menyumbang 75% dari kasus leukemia anak. Meski demikian, angka kesintasan 5 tahun untuk pasien di negara berkembang masih rendah dibandingkan dengan negara maju. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor prognostik yang memengaruhi kesintasan tiga tahun pasien LLA anak di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dengan data sekunder rekam medis. Subjek penelitian adalah pasien anak dengan LLA yang dirawat di RSCM, terdiagnosis antara 1 Januari 2020 hingga 30 Juni 2021, dan memenuhi kriteria inklusi. Uji Kaplan-Meier digunakan untuk analisis kesintasan dan uji Cox regression untuk mengidentifikasi faktor prognostik.
Hasil
Sebanyak 107 pasien terinklusi dalam studi ini. Analisis menunjukkan bahwa status gizi buruk atau kurang merupakan faktor prognostik signifikan, dengan risiko kematian 3,7 kali lebih tinggi dibandingkan pasien dengan gizi baik (HR=3,705; p=0,011). Faktor-faktor lain, seperti usia, jenis kelamin, jumlah leukosit awal, durasi kemoterapi fase induksi, dan stratifikasi risiko, tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kesintasan LLA anak tiga tahun. Tingkat kesintasan tiga tahun pasien anak dengan LLA di RSCM mencapai 69%, dengan IK 95% dalam rentang 59,8% hingga 78,2%.
Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa status gizi buruk atau kurang merupakan faktor prognostik signifikan terhadap kesintasan tiga tahun pada pasien anak dengan LLA di RSCM. Tingkat kesintasan tiga tahun pada pasien anak dengan LLA di RSCM sebesar 69%.

Introduction
Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) is the most common type of childhood cancer in Indonesia, representing 75% of pediatric leukemia cases. However, the 5-year survival rate for patients in developing countries remains lower compared to developed countries. This study aims to identify prognostic factors influencing the three year survival of pediatric ALL patients at Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) National Central General Hospital.
Method
This research is a retrospective cohort study using secondary data from medical records. The study subjects are pediatric ALL patients treated at RSCM, diagnosed between January 1, 2020, and June 30, 2021, who met the inclusion criteria. Kaplan-Meier analysis was used to assess survival, and Cox regression to identify prognostic factors. Results
A total of 107 patients were included in this study. The analysis showed that poor or malnourished nutritional status was a significant prognostic factor, with a 3.7-fold increased risk of mortality compared to patients with good nutritional status (HR=3.705; p=0.011). Other factors, including age, sex, initial leukocyte count, induction phase chemotherapy duration, and risk stratification, did not have a significant association with three year survival in pediatric ALL. The three year survival rate of pediatric ALL patients at RSCM was 69%, with a 95% CI of 59.8%-78.2%.
Conclusion
This study found that poor nutritional status is a significant prognostic factor for three year survival in pediatric ALL patients at RSCM. The three year survival rate of pediatric ALL patients at RSCM was 69%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Nartiana
"Latar Belakang: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) adalah jenis kanker yang paling umum pada anak-anak dan sering menjadi penyebab kematian. Pneumonia adalah salah satu infeksi serius yang mempengaruhi prognosis dan kelangsungan hidup anak dengan ALL. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keparahan pneumonia pada anak dengan ALL.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan consecutive sampling pada 103 responden. Data retrospektif diambil dari rekam medis anak dengan ALL yang terdiagnosis pneumonia di RSAB Harapan Kita dari tahun 2018 hingga 2023. Analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik ganda.
Hasil: Dari 103 anak dengan ALL, 61,2% mengalami pneumonia berat. Mayoritas responden adalah bayi dan balita (53,4%), 56,3% berjenis kelamin laki-laki, 55,7% memiliki status gizi tidak normal, 53,4% berada pada fase pengobatan induksi, 61,2% menggunakan terapi kortikosteroid 3-5 hari sebelum dan saat terdiagnosis, 58,3% pernah menerima transfusi darah, 90,3% tipe ALL B, 57,3% mengalami neutropenia, 80,6% anemia dan 83,5% memiliki kadar CRP tidak normal. Analisis bivariat menunjukkan status gizi, fase pengobatan, terapi kortikosteroid dan kadar CRP berhubungan dengan tingkat keparahan pneumonia pada anak anak dengan ALL. Analisis multivariat menunjukkan variabel status gizi (OR 3.024, 95% CI: 1.216-7.522) dan kadar CRP (OR 8.337, 95% CI: 2.29-30.348) berhubungan dengan tingkat keparahan pneumonia setelah dikontrol oleh variabel fase pengobatan (OR 1.588, 95% CI: 0.433-5.826) dan terapi kortikosteroid ( OR 1.855, 95% CI: 0.493-6.978)
Kesimpulan: Anak dengan ALL yang menjalani kemoterapi berisiko tinggi mengalami pneumonia berat. Sangat penting untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi ketika anak dengan ALL berada dalam fase induksi, terutama jika mereka telah menggunakan terapi kortikosteroid selama 3-5 hari sebelumnya dan memiliki status gizi yang tidak normal (gizi kurang atau gizi lebih).

Background: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common type of cancer in children and a leading cause of mortality. Pneumonia is one of infection that significantly affects the prognosis and survival of children with ALL. This study aims to analyze the factors associated with the severity of pneumonia in children with ALL.
Methods: This cross-sectional study used consecutive sampling of 103 respondents. Retrospective data were collected from the medical records of children with ALL diagnosed with pneumonia at RSAB Harapan Kita from 2018 to 2023, using the SMART System. Statistical analysis was performed using the Chi-square test and multiple logistic regression.
Results: Among 103 children with ALL, 61.2% experienced severe pneumonia. The majority of respondents were infants and toddlers (53.4%), 56.3% were male, and 55.7% had abnormal nutritional status. Additionally, 53.4% were in the induction treatment phase, and 61.2% had received corticosteroid therapy 3-5 days before and at the time of diagnosis. Furthermore, 58.3% had received blood transfusions, 90.3% had ALL type B, 57.3% experienced neutropenia, 80.6% had anemia, and 83.5% had abnormal CRP levels. Bivariate analysis indicated that nutritional status, treatment phase, corticosteroid therapy, and CRP levels were associated with the severity of pneumonia in children with ALL. Multivariate analysis showed that nutritional status (OR 3.024, 95% CI: 1.216- 7.522) and CRP levels (OR 8.337, 95% CI: 2.29-30.348) were associated with pneumonia severity after controlling for treatment phase (OR 1.588, 95% CI: 0.433-5.826) and corticosteroid therapy (OR 1.855, 95% CI: 0.493-6.978).
Conclusion: Children with ALL undergoing chemotherapy are at high risk of severe pneumonia. It is crucial to increase vigilance against infections when children with ALL are in the induction phase, especially if they have received corticosteroid therapy in the preceding 3-5 days and have abnormal nutritional status (undernutrition or overnutrition).
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrye Fernandes
"Kemoterapi memiliki dampak terjadinya kelelahan pada anak yang menderita leukemia limfoblastik akut. Kelelahan pada anak dapat diperberat oleh masalah tidur yang dialami anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan masalah tidur dengan kelelahan pada anak dengan leukemia limfoblastik akut yang menjalani satu siklus kemoterapi fase induksi. Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pengukuran berulang masalah tidur dan kelelahan pada anak berumur 7-18 tahun (n=62). Pengambilan data dilakukan selama 7 hari yaitu, satu hari sebelum, lima hari selama, dan satu hari setelah kemoterapi.
Hasil analisis data menggunakan uji korelasi Pearson dengan tingkat kemaknaan 95% menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,001) antara masalah tidur dengan kelelahan. Kesimpulannya masalah tidur menjadi penyebab beratnya kelelahan pada anak sehingga penting untuk dilakukan pengkajian dan memberikan intervensi mengatasi masalah tidur untuk mengurangi kelelahan pada anak. Pelatihan manajemen masalah tidur dan kelelahan menjadi penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan perawat dalam mengatasi kelelahan pada anak leukemia limfoblastik akut yang menjalani kemoterapi fase induksi.

Chemotherapy had an impact of disruption in sleep patterns and fatigue in children who suffer from acute lymphoblastic leukemia. Fatigue in children can be exacerbated by sleep problems experienced by children. This study aimed to analyze the relationship of sleep problems with fatigue in children with acute lymphoblastic leukemia who underwent a cycle of induction phase chemotherapy. The design of this research used descriptive analytic with repeated measurements of sleep problems and fatigue in children aged 7-18 years (n = 62). The data were taken for 7 days, consist of one day before, five days during, and one day after chemotherapy.
The result of data analysis using Pearson correlation test with significance level 95% showed significant relationship (p <0.001) between sleep problems with fatigue. The conclusion were sleep problems cause severe fatigue in children so it is important to do the assessment and provide intervention to overcome sleep problems to reduce fatigue in children. Training on sleep problems and fatigue management becomes important to improve knowledge and abilities of nurses in overcoming fatigue in children with acute lymphoblastic leukemia undergoing chemotherapy on induction phase.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48320
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safarudin
"Tiopurin Metil-Transferase (TPMT) merupakan salah satu enzim yang berperan penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin (6-MP) dan telah terbukti secara klinis memiliki pengaruh terhadap efek 6-MP yang digunakan dalam terapi leukemia limfoblastik akut, salah satunya adalah myelosupresi. Aktivitas TPMT ini sangat dipengaruhi oleh varian (polimorfisme) pada gen TPMT. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh polimorfisme genetik Tiopurin Metil-Transferase (TPMT) terhadap toksisitas hematologi pada pasien anak leukemia limfoblastik akut (LLA) yang menerima terapi 6-merkaptopurin pada fase maintenance. Penelitian ini dilakukan dengan disain kohort retrospektif. Hasil menunjukkan bahwa terdapat 25 pasien (69,4%) dari 36 pasien mengalami polimorfisme TPMT*2 heterozigot, dan tidak ditemukan adanya polimorfisme TPMT*3A dan TPMT*3C. Pengaruh genotipe tersebut terhadap toksisitas hematologi dianalisis secara statistik menggunakan uji chi-square dan regresi logistik, dan ditemukan bahwa polimorfisme genetik TPMT*2 tidak signifikan mempengaruhi kejadian toksisitas hematologi berupa anemia, leukopenia, dan trombositopenia dilihat dari nilai RR secara berturut sebesar 2,2 (CI: 0,361-13,424); 1,8 (CI: 0,379-8,533); dan 3,4 (CI. 0,320-35,753).

Thiopurin methyltransferase (TPMT) is one of the enzymes playing important roles in 6-mercaptopurine metabolism that has been clinically proven to have influence the effects of the drug used in acute lymphoblastic leukemia therapy, one of them is myelosuppression. TPMT activity is strongly influenced by variants (polymorphisms) in the TPMT gene. This study was conducted to determine the effects of genetic polymorphisms of TPMT against hematologic toxicity in pediatric patients with acute lymphoblastic leukemia (ALL) receiving 6-mercaptopurine therapy in the maintenance phase. This study was conducted with a retrospective cohort design. The results showed that there were 25 patients (69.4%) of 36 had heterozygous TPMT*2 polymorphism, and there were no TPMT*3A and TPMT*3C polymorphisms. The effects of genotypes against the hematologic toxicity were analysed using the chi-square test and logistic regression, and it was found that genetic polymorphism of TPMT did not significantly affect the incidence of hematologic toxicity, such as anemia, leukopenia, and thrombocytopenia after being controlled by age, with successive RR of 2.2 (CI: 0.361-13.424); 1.8 (CI: 0.379-8.533); dan 3.4 (CI. 0.320-35.753."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mururul Aisyi
"Hiperglikemia adalah efek samping yang umum kombinasi steroid dan L-asparaginase, terjadi paling sering selama kemoterapi fase induksi LLA. Sampai saat ini di Indonesia, belum didapatkan data mengenai kejadian hiperglikemia pada pasien anak dengan LLA pada fase induksi dan bagaimana peranan perbedaan kombinasi L-asparaginase dan jenis steroid yang digunakan.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian hiperglikemia pada anak LLA fase induksi, perbedaan prednison dan deksametason dalam kombinasinya dengan L-asparaginase dalam menyebabkan hiperglikemia pada anak dengan LLA dan hubungan faktor-faktor lain dengan kejadian hiperglikemia pada fase induksi LLA.
Penelitian ini merupakan studi prospektif analitik dengan desain pre-post test, dilakukan di RSCM, RS Kanker ldquo;Dharmais rdquo; dan RSPAD Gatot Soebroto. Pasien yang akan menjalani kemoterapi fase induksi LLA diperiksa kadar gula darah sewaktu pada minggu ke-3 pretest, minggu ke-4, minggu ke-5 dan minggu ke-6 protokol post test .Dari 57 pasien yang berasal dari 3 Rumah Sakit yang berbeda berhasil dikumpulkan, terbanyak berasal dari RSCM 57,9 disusul RS Kanker ldquo;Dharmais rdquo; 24,6 dan RSPAD Gatot Soebroto 17,5. Rentang umur pasien berkisar antara 1,4 tahun sampai 15,8 tahun dengan rerata 6,7 tahun. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar gula darah sewaktu sebelum dan sesudah kombinasi steroid dan L-asparaginase. Tidak didapatkan hubungan antara umur, infiltrasi SSP, leukositosis, sindrom Down, status gizi, riwayat DM pada keluarga, infeksi dan stratifikasi LLA dengan kejadian hiperglikemia. Pemberian deksametason memiliki peluang 10,68 x didapatnya angka di atas rerata perubahan kadar gula darah sewaktu dibandingkan pemberian prednison.
Kesimpulan: kejadian hiperglikemia pada penelitian ini adalah 5,2. Walaupun tidak terdapat perbedaan antara prednison dan deksametason dalam kombinasinya dengan L-asparaginase dalam menyebabkan hiperglikemia, namun deksametason memiliki risiko angka di atas rerata perubahan kadar gula darah sewaktu dibandingkan prednison.

Hyperglycaemia is a common side effect of steroid and L asparaginase combinations, occurring most often during LLA induction phase. To date in Indonesia, it has not been obtained data on the incidence of hyperglycemia in children with LLA in the induction phase and how the role of combinations of L asparaginase and different type of steroid used.The purpose of this study is to determine the incidence of hyperglycemia in children LLA induction phase, knowing the difference between prednisone and dexamethasone in combination with L asparaginase in causing hyperglycemia in children with LLA and determine the relationship of other factors related to hyperglycaemia.
This study is a prospective analytic study with pre post test design, conducted in RSCM, National Cancer Hospital Dharmais and RSPAD Gatot Soebroto. When undergoing chemotherapy induction phase LLA, blood sugar levels were checked at the 3rd pretest, 4th, 5th and 6th week of protocol post test .Of the 57 patients from three different hospitals that had been gathered, mostly came from RSCM 57.9 followed by the Cancer Hospital Dharmais 24.6 and RSPAD 17.5. The patient age ranged from 1.4 years to 15.8 years with a mean of 6.7 years. There was no difference in mean blood sugar levels before and after combination of steroids and L asparaginase. There were no relationship between age, CNS infiltration, leukocytosis, Down syndrome, nutritional status, family history of diabetes, infections and LLA stratification with the incidence of hyperglycemia. Dexamethasone has a 10.68 x chance of obtaining a rate above the mean change in blood sugar levels compared to prednisone.
Conclusion The incidence of hyperglycemia in this study is 5.26. Despite no difference between prednisone and dexamethasone in combination with L asparaginase in causing hiperglycaemia, but dexamethasone has a risk to have value above the mean change in blood sugar levels when compared to prednisone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yulianti
"Kemoterapi fase induksi merupakan fase pertama tahap pengobatan pada anak dengan LLA dan dilakukan hampir segera setelah diagnosis ditegakkan, dimulai dan berlansung selama 4-6 minggu (28-42 hari). Hasil yang dicapai pada fase ini akan menentukan prognosis dan fase kemoterapi selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan lama rawat kemoterapi fase induksi pada anak penderita LLA. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain cross sectional, dengan jumlah sampel 94 melalui consecutive sampling.
Analisis yang digunakan dengan uji Spearman. Hasil menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat neutropenia (p value = 0,003) dan riwayat infeksi (p value = 0,000) dengan lama rawat kemoterapi fase induksi. Perawatan atau intervensi yang tepat selama kemoterapi fase induksi perlu menjadi perhatian untuk mencegah atau menurunkan kejadian neutropenia dan infeksi pada anak dengan LLA.

Induction chemotherapy phase is the first stage of the treatment in children with ALL and carried out immediately after been diagnosed, started and occurred at 4 to 6 weeks (28-42 days). The results achieved in this phase will determine the prognostic and the next chemotherapy phase. This study aimed to identified factors related to the length of stay of induction chemotherapy phase in children with ALL. The design used in this study is a cross-sectional design, with 94 samples got through consecutive sampling.
The Spearman test is used for analysis. Result showed a significant relationship between a history of neutropenia (p value = 0.003) and infection history (p value = 0.000) with the length of stay of induction chemotherapy phase. Appropriate treatment or intervention during the induction phase of chemotherapy needs to be concern to prevent or decrease the incidence of neutropenia and infection in children with ALL.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64997
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafah Ramadhani Susanto
"Latar Belakang
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah jenis leukemia agresif, ditandai tingginya jumlah limfoblas/limfosit di darah dan sumsum tulang. IL-6, sitokin inflamasi yang diproduksi oleh berbagai sel, berperan dalam perkembangan LLA dengan memengaruhi progresi sel leukemia. Kemoterapi fase pemeliharaan bertujuan mencegah penyebaran dan kekambuhan LLA, tidak jarang menyebabkan efek samping hematologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kadar IL-6 pada anak dengan LLA yang sedang mendapatkan fase pemeliharaan kemoterapi dan hubungannya dengan karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, status gizi, stratifikasi risiko) serta data hematologi (hemoglobin, leukosit, trombosit).
Metode
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan 74 sampel plasma darah tersimpan dari penelitian sebelumnya. Kadar IL-6 diukur menggunakan kit ELISA dan alat spektrofotometer. Dianalisis menggunakan SPSS dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk normalitas dan untuk melihat perbedaan menggunakan uji Mann-Whitney U, dengan nilai p yang dianggap bermakna <0,05.
Hasil
Kadar IL-6 pada anak dengan LLA yang sedang mendapatkan fase pemeliharaan kemoterapi antara <2,185–884,830 pg/ml serta tidak terdapat perbedaan kadar IL-6 berdasarkan jenis kelamin, status gizi, stratifikasi risiko, dan data hematologi pasien LLA anak yang sedang mendapatkan fase pemeliharaan kemoterapi. Namun, terdapat perbedaan kadar IL-6 berdasarkan usia pasien (p = 0,006).
Kesimpulan
Terdapat perbedaan kadar IL-6 berdasarkan usia pasien yang sedang mendapatkan fase pemeliharaan kemoterapi.

Introduction
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is an aggressive leukemia characterized by high counts of lymphoblasts/lymphocytes in the blood and bone marrow. IL-6, an inflammatory cytokine produced by various cells, influences leukemia cell progression. Maintenance phase chemotherapy aims to prevent the spread and recurrence of ALL but often results in hematological side effects. This study evaluates IL-6 concentrations in children with ALL undergoing maintenance chemotherapy and examines their relationship with patient characteristics (age, gender, nutritional status, risk stratification) and hematological data (hemoglobin, leukocytes, platelets).
Method
This study used a cross-sectional design with 74 stored plasma blood samples from previous research. IL-6 concentration was measured with an ELISA kit and spectrophotometer. Data were analyzed with SPSS using the Kolmogorov-Smirnov test for normality and the Mann-Whitney U test for differences, with p < 0.05 considered significant.
Results
IL-6 levels in children with ALL undergoing maintenance chemotherapy ranged from <2.185 to 884.830 pg/ml, with no differences observed based on sex, nutritional status, risk stratification, or hematological data. However, there was a significant difference in IL-6 levels based on patient age (p = 0.006).
Conclusion
There was a difference in IL-6 levels based on the age of patients undergoing maintenance chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Natalia
"Latar Belakang & Tujuan: Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah jenis kanker yang sering ditemukan pada pasien anak. Selama terapi, pasien akan menerima fase maintenance untuk mencegah remisi dengan diberikan obat utama 6-merkaptopurin. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berjalannya fase maintenance, diantaranya kejadan anemia. Studi ini bertujuan untuk memperoleh prevalensi, karakteristik, dan faktor risiko dari pasien yang mengalami anemia selama fase maintenance diperlukan untuk membantu mengantisipasi dan mencegah diberhentikannya fase maintenance yang dapat berakibat pada kejadian relaps.
Metode: Penelitian ini menggunakan studi observational cross sectional. Sebanyak 101 rekam medis pasien anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi digunakan sebagai sampel.
Hasil: Usia (p = 0.0025) dan jenis kelamin (p=0.004) memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya anemia selama fase maintenance terapi ALL dengan 6-merkaptopurin. IMT (p = 0.052), kelompok risiko (p = 0.067), dan kadar serum albumin (p = 0.21) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Kesimpulan: Prevalensi kejadian anemia pada pasien LLA yang menjalankan fase maintenance terapi adalah 79.2% dengan karakteristik dimana pasien didominasi oleh pasien laki-laki, median usia 4 tahun, median BMI 16.10 kg/m2, mayoritas tergolong pasien LLA risiko standard, dan median kadar albumin dalam serum 4.50 g/dL. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia selama fase maintenance terapi LLA mencakup usia dan jenis kelamin.

Background & Aim: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common form of malignancies among children. During the therapy, ALL patients undergo maintenance phase therapy at the end of the protocol with 6-mercaptopurine as the main drug to prevent relapse. However, maintenance phase therapy may be interrupted in several conditions (i.e. anemia) increasing the risk of relapse. This study is done to obtain the prevalence, characteristics and contributing factors to anemia to prevent treatment interruptions and lower the risk of relapse.
Method: This research utilizes observational cross-sectional study. A total of 101 medical records of children patients in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) that fulfil the inclusion criteria were used as samples.
Result: Age (p = 0.0025) and gender (p = 0.004) have significant relationship with the occurrence of anemia during the maintenance phase of ALL treatment with 6-mercaptopurine. BMI (p = 0.052), risk groups (p = 0.067), and serum albumin level (p = 0.21) do not show significant relationship to anemia in this population.
Conclusion: The prevalence of anemia in ALL patients that underwent maintenance phase therapy is 79.2%, with the several characteristics, including domination by male children patients, median age of 4 years old, median BMI of 16.10 kg/m2, categorized as standard risk group, and median serum albumin level of 4.50 g/dL. The contributing factors to anemia during maintenance phase therapy include age and gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>