Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104019 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Setiawan Budihardja
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2018
617.520 59 AND t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kasta Dharmawan
"Pendahuluan: Trauma maksilofasial akibat kecelakaan sepeda motor sering terjadi dan meningkat setiap tahunnya. Cranial Disruption Score (CDS), Maxillofacial Injury Severity Score (MFISS), Facial Injury Severity Scale (FISS), Facial Fracture Severity Score (FFSS), Zeeshan and Simon Model (Model ZS), dan Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan indeks keparahan trauma maksilofasial dan tingkat kesadaran yang berguna untuk memberikan perawatan dan mendapatkan prognosis bagi pasien. Akan tetapi, hubungan faktor-faktor dalam kecelakaan sepeda motor yang mempengaruhi keparahan trauma maksilofasial berdasarkan indeks-indeks tersebut belum pernah diteliti sebelumnya. Tujuan: Menganalisis hubungan faktor-faktor dalam kecelakaan, yaitu pencahayaan, kecepatan berkendara, dan penggunaan helm, terhadap keparahan trauma maksilofasial berdasarkan indeks keparahan CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, dan GCS pasien trauma maksilofasial di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Tangerang periode Juni 2017 – Mei 2022. Metode: Studi dilakukan dengan menganalisis rekam medis bedah mulut di RSUD Kabupaten Tangerang periode Juni 2017 – Mei 2022. Hasil: Sebanyak 257 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) skor CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, dan GCS berdasarkan pencahayaan, kecepatan berkendara, dan penggunaan helm. Analisis multivariat menunjukan terdapat pengaruh (p<0,05) kecepatan berkendara dan penggunaan helm terhadap keparahan trauma maksilofasial berdasarkan CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, dan GCS tetapi pengaruh pencahayaan hanya terlihat pada skor MFISS dan FISS (p<0,05). Kesimpulan: Keparahan trauma maksilofasial berdasarkan CDS, FFSS, Model ZS dipengaruhi oleh kecepatan dan penggunaan helm, tetapi tidak oleh pencahayaan. Keparahan trauma maksilofasial berdasarkan MFISS dan FISS dipengaruhi oleh pencahayaan, kecepatan, dan penggunaan helm, tetapi hubungan terbalik penggunaan helm dengan FISS

Disruption Score (CDS), Maxillofacial Injury Severity Score (MFISS), Facial Injury Severity Scale (FISS), Facial Fracture Severity Score (FFSS), Zeeshan and Simon Model (ZS Model), and Glasgow Coma Scale (GCS) are indexes of severity maxillofacial trauma and level of consciousness that are useful for providing care and obtaining a prognosis for patients. However, the relationship between factors in motorcycle accidents that influence the severity of maxillofacial trauma based on these indices has never been studied before. Objective: To analyze the relationship between the factors involved in an accident, namely lighting, driving speed, and use of a helmet, on the severity of maxillofacial trauma based on the severity index of CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, and GCS in maxillofacial trauma patients at the Regional General Hospital (RSUD) ) Tangerang District for the period June 2017 – May 2022. Methods: The study was conducted by analyzing the medical records of oral surgery at the Tangerang District Hospital for the period June 2017 – May 2022. Results: A total of 257 patients who met the inclusion criteria were included in this study. There were significant differences (p<0.05) in the CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, and GCS scores based on lighting, driving speed, and helmet use. Multivariate analysis showed that there was an effect (p<0.05) of driving speed and helmet use on the severity of maxillofacial trauma based on CDS, MFISS, FISS, FFSS, Model ZS, and GCS but the effect of lighting was only seen on the MFISS and FISS scores (p<0, 05). Conclusion: Severity of maxillofacial trauma based on CDS, FFSS, ZS model is affected by speed and helmet use, but not by lighting. The severity of maxillofacial trauma based on MFISS and FISS is influenced by lighting, speed, and helmet use, but there is an inverse relationship between helmet use and FISS."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
"Pendahuluan: Trauma maksilofasial dapat terjadi karena beberapa etiologi dan yang paling sering terjadi ialah trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan trauma maksilofasial biasanya akan menjalani perawatan rawat inap dengan durasi yang lama berkaitan dengan rangkaian perawatan yang harus dilakukan. Terdapat beberapa sistem penilaian tingkat keparahan dari trauma yang terjadi yang sudah diperkenalkan dan digunakan, dan sistem penilaian Facial Injury Severity Scale (FISS) oleh Bagheri et al telah digunakan secara luas untuk menilai derajat keparahan cedera maksilofasial. Trauma maksilofasial dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat berhubungan dengan cedera kranial, sehingga penilaian kesadaran perlu dilakukan. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem penilaian kesadaran pasien pasca trauma yang telah digunakan secara luas selama empat dekade terakhir. Namun, kemampuan kedua sistem penilaian tersebut dalam menunjukkan hubungan tingkat keparahan trauma dan tingkat kesadaran dengan lama rawat inap masih jarang digunakan dalam penelitian. Tujuan: Untuk mengevaluasi indeks keparahan trauma maksilofasial menggunakan (FISS) dan tingkat kesadaran (GCS) dengan lama rawat inap pada pasien trauma maksilofasial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Metode: Studi restrospektif, menggunakan data sekunder dengan menganalisis rekam medis trauma maksilofasial semua rentang usia di IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Hasil dan pembahasan: Sebanyak 346 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Analisis multivariat menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan skor FISS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan skor FISS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif, di mana semakin bertambah skor FISS, akan menambah lama rawat inap. Analisis multivariat juga menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan Nilai GCS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan nilai GCS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif di mana semakin berkurang nilai GCS, akan menambah lama rawat inap.Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna dari skor FISS dan GCS terhadap lama rawat inap pasien.

Introduction: Maxillofacial trauma can occur due to several etiologies and the most common is trauma due to traffic accidents. Patients with maxillofacial trauma will usually undergo inpatient treatment with a long duration due to the series of treatments. There are several trauma severity rating systems that have been introduced and used, and the Facial Injury Severity Scale (FISS) rating system by Bagheri et al has been widely used to assess the severity of maxillofacial injuries. Maxillofacial trauma can be one of the conditions that can be associated with cranial injuries, so an assessment of consciousness needs to be done. The Glasgow Coma Scale (GCS) is a system for assessing the consciousness of posttraumatic patients that has been widely used over the past four decades. However, the ability of the two scoring systems to show the relationship between trauma severity and level of consciousness with length of hospitalization is rarely used in research, Objective: To evaluate the index of severity of maxillofacial trauma using FISS and level of consciousness (GCS) with length of hospitalization in maxillofacial trauma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Metode: Retrospective study, using secondary data by analyzing Maxillofacial Trauma medical records for all age ranges in the emergency room at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Result and Discussion: A total of 346 patients who met the inclusion criteria were included in this study. Multivariate analysis showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS Score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and FISS Score (p>0.05). The relationship between length of hospitalization and FISS score shows a weak relationship and has a positive pattern, where the increasing FISS score will increase the length of hospitalization. Multivariate analysis also showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and GCS score (p>0.05). The relationship between the length of hospitalization and the GCS score shows a weak relationship and has a negative pattern, where the decreasing the GCS score, the longer the length of hospitalization. Conclusion: There was no significant difference between the FISS and GCS scores on the patient's length of hospitalization."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Juliani Kusumaputra Isbandiono
"ABSTRAK
Kasus trauma oro-maksilofasial cukup banyak yang ditangani Poliklinik Bedah Mulut Rumah Sakit Umum Tangerang. Namun masih diperlukan data tentang frekwensi, distribusi jenis kelamin, umur penderita yang mengalami trauma tersebut, jenis trauma, lokasi fraktur yang sering, penatalaksanaannya, dan hasil terapinya.
Dalam penelitian yang dilakukan selama 12 bulan ini yaitu sejak 1 oktober 1992 sainpai dengan 30 September 1993 diperoleh angka penderita trauma oro-maksilofasial di Rumah Sakit Umum Tangerang sebanyak 108 orang. Dari penelitian ini terungkap bahwa penderita terbanyak adalah laki-laki, kelompok umur yang terbanyak mengalami trauma ini adalah 21-30 tahun, sedangkan jenis trauma yang terbanyak adalah campuran jaringan lunak dan keras, serta lokasi fraktur yang paling sering adalah di daerah sepertiga tengah muka.
Dari penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa kecelakaan lalu lintas paling banyak menyebabkan trauma oro-maksilofasial. Dan korban tersebut ternyata lebih banyak dialami oleh laki-laki. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma oro-maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas adalah 21-30 tahun, sedangkan lokasi fraktur di regio oro-maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas paling banyak terjadi di daerah sepertiga tengah muka.
Pada pengamatan terlihat terapi yang dilakukan pada penderita bervariasi mulai dari pemberian obat-obatan saja, penjahitan luka, pencabutan gigi, alveolektomi, serta reposisi dan fiksasi. Kemudian dilakukan evaluasi dari terapi yang berupa tindakan. Hasilnya 69% dari penderita yang mengalami trauma jaringan lunak dan mendapat tindakan penjahitan dinyatakan sembuh. Sementara itu 64.6% penderita yang mengalami fraktur dan mendapat tindakan fiksasi dinyatakan sembuh. "
Lengkap +
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oditya
""ABSTRAK
"
Insidensi trauma maksilofasial dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: budaya, latar belakang penduduk, ekonomi, dan kepadatan penduduk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi kasus trauma maksilofasial yang terdapat di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi DKI Jakarta RSUD Tarakan, RSUD Koja, RSUD Cengkareng, RSUD Budhi Asih, RSUD Pasar Rebo, RSKD Duren Sawit, RSUD Kepulauan Seribu . Ditemukan 957 pasien trauma maksilofasial dan 138 fraktur maksilofasial yang dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, penyebab dan lokasi fraktur. Kelompok usia 21-27 tahun adalah kelompok usia tertinggi dari trauma maksilofasial, jenis kelamin laki-laki 74,82 , Perempuan 25,18 dengan perbandingan 3:1. Penyebab trauma maksilofasial yang tertinggi adalah kecelakaan lalu lintas.
"
"
"ABSTRACT
"
Incidence of maxillofacial trauma affected by several factors culture, population background, economical status, and population density. This study aimed to determine the incidence of maxillofacial trauma occured in the General Hospital of DKI Jakarta RSUD Tarakan, RSUD Koja, RSUD Cengkareng, RSUD Budhi Asih, RSUD Pasar Rebo, RSKD Duren Sawit, RSUD Kepulauan Seribu . There is 957 patient with maxillofacial trauma cases and 138 patients with maxillofacial fractures cases by age, sex, cause and location of fracture. The age group of 21 27 years old is the highest group of maxillofacial trauma found, male 74.82 , 25.18 women with a ratio of 3 1. The cause of maxillofacial trauma were highest traffic accident."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Setyaningsih
"Fraktur maksilofasial memberikan kontribusi terhadap masalah kesehatan. Insiden fraktur maksilofasial bervariasi di berbagai negara bergantung kondisi geografi, budaya dan sosial ekonomi. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengetahui distribusi fraktur maksilofasial di Poli Bedah Mulut RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode 2010-2012. Penelitian ini menganalisis 51 rekam medik pasien fraktur maksilofasial. Data dikelompokan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan peyebab fraktur. Jumlah penderita tertinggi berada pada kelompok usia 21-30 tahun. Perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan adalah 3.6: 1. Penyebab utama fraktur maksilofasial yaitu kecelakaan lalu lintas (92.2%). Lokasi paling sering terjadi fraktur maksilofasial adalah mandibula (56.1%).

Maxillofacial fractures contributed to the health problem. Maxillofacial fractures incidence vary in many country depend on geographic, culture and social economic factor. The aim of this descriptive study was to determine distribution of maxillofacial fractures in Oral Surgery Department RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from 2010 to 2012. Medical record of 51 patients who sustained maxillofacial fractures were retrospectively analyzed. Data concerning age, gender, and causes of fractures. The age with high frequency occurring in 21-30 years. The male female ratio was 3.6:1. The major cause of maxillofacial fractures was road traffic accident (92.2%). The most common site was mandible (56.1%)."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45152
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
St. Louis, Mo. : Elsevier , 2013
617.52 ORA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Benny S. Latief
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0276
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Yudy Ardilla Utomo
"Latar Belakang: Tumor rongga mulut jinak yang besar menyebabkan deformitas pada wajah sehingga tindakan koreksi dengan operasi menyebabkan defek anatomis, fisiologis, serta psikologis pada penderita. Prosedur bedah dan rekonstruksi pada pasien dengan tumor mandibula merupakan tantangan yang kompleks. Mandibula tersusun atas komponen-komponen seperti korpus mandibula, simphisis mandibula, parasimphisis mandibula, ramus mandibula, procesus coronoideus, dan kondilus mandibula. OPG masih dapat digunakan untuk melihat perubahan morfologi kondilus. Diketahui bahwa perubahan pada morfologi kondilus dapat berupa berkurangnya konfigurasi dan volume dari kondilus itu sendiri, berkurangnya ketinggian ramus, hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada sistem stomatognatik pasien.
Tujuan: Mengetahui perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi dengan kategori perubahan morfologi kondilus di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial, Departemen Gigi dan Mulut RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Material dan Metode: Penelitian dengan metode retrospektif melalui radiografi panoramik pasien-pasien tumor mandibula pre operasi reseksi,pasien-pasien tumor mandibula pasca operasi reseksi,dan pasien-pasien tumor mandibula 1 tahun pasca operasi reseksi selama bulan Juni sampai dengan Agustus tahun 2019 di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setiap sampel dilakukan pengukuran pada radiografi panoramiknya dengan menggunakan Klasifikasi Kranjenbrink dan klasifikasi morfologi kondilus mandibula.
Hasil: Pada penelitian ini tidak terjadi perubahan tinggi kondilus mandibula pasca segmental reseksi mandibula. (p: 0,801). Tidak terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi mandibula (P: 0.41) untuk kondilus kiri dan (p: 0.32) untuk kondilus kanan. Dan didapat dengan jenis operasi disartikulasi, terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca disartikulasi reseksi mandibula (p: 0.003) untuk kondilus kiri, dan (p: 0.012) untuk kondilus kanan.
Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perubahan morfologi kondilus mandibula pada reseksi mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC). Terdapat perubahan morfologi kondilus pada satu sisi pasca reseksi disartikulasi mandibula. Tidak terdapat perubahan tinggi kondilus mandibula pasca reseksi segmental mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC).

Background: Large benign oral cavity tumors causing deformity in the face, requires surgical correction causing anatomical, physiological and psychological defects in patients. Surgical and challenging procedures in patients with mandibular tumors are complex challenges. The mandible is composed of components such as the mandibular corpus, mandibular symphysis, mandibular parasymhysis, mandibular ramus, coronoid process, and mandibular condyle. OPG can still be used to see changes in the condyle morphology. It is known that changes in the condyle morphology can affect its configuration and volume of the condyle itself, reducing the height of the ramus, this can cause complications in the patient's stomatognathic system.
Objective: To determine the morphological changes of the mandibular condyle post resection in condyle morphological changes in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, Department of Dentistry Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta.
Materials and Methods: A retrospective study using panoramic radiographs of patients with preoperative mandibular tumor resection, patients with mandibular tumor postoperative resection, and mandible tumor patients 1 year after surgery 2019 in the Oral and Maxillofacial Surgery Department of Cipto General Hospital, Cipto General Hospital Mangunkusumo, Jakarta. Each sample was measured on its panoramic radiography using the Kranjenbrink Classification and the morphological classification of the mandibular condyle.
Result: In this study there was no change in the height of the mandibular condyle after segmental resection of the mandible. (p: 0.801). There were no changes in the morphology of the mandibular condyle after resection of the mandible (P: 0.41) for the left condyle and (p: 0.32) for the right condyle. And obtained with this type of disarticulation surgery, there was a morphological change in the mandibular condyle after disarticulation of the resection of the mandible (p: 0.003) for the left condyle, and (p: 0.012) for the right condyle.
Conclusion: The results showed no morphological changes in the mandibular condyle in resection of the mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC). There is a change in the condyle morphology on one side post disarticulating resection of the mandible. There is no change in the height of the mandibular condyle after resection of the segmental mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Tofani
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0269
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>