Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107437 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herdhana Suwartono
"Latar belakang: Kanker serviks menyumbang angka kematian kanker keempat terbanyak di dunia khususnya di negara berkembang seperti Indonesia dimana didapatkan sebanyak 0,8 kasus kanker serviks per 1000 penduduk. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) merupakan cara yang efektif untuk deteksi dini kanker serviks dengan nilai sensitivitas yang cukup baik. Pasien dengan hasil IVA positif perlu segera dilakukan tatalaksana untuk mencegah perkembangan lesi prakanker. Namun, krioterapi sebagai pilihan utama terapi belum tersedia luas di Indonesia. Alternatif tatalaksana yang menjanjikan adalah dengan menggunakan larutan Trichloroacetic Acid (TCA). TCA 85% merupakan bahan yang dapat menginduksi keratocoagulation yang mudah ditangani, murah, dan sebelumnya telah terbukti efektif digunakan untuk menangani keganasan lainnya di area vagina dan anus. Tujuan: Mengetahui efikasi TCA 85% pada tatalaksana IVA positif dibandingkan dengan krioterapi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian randomized control trial menggunakan metode non-inferiority study. Subyek penelitian ini merupakan pasien dengan hasil IVA positif yang dirujuk ke Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Dilakukan random block sampling untuk menentukan subjek yang mendapatkan terapi TCA (n=36) atau krioterapi (n=36). Selanjutnya dilakukan follow-up pada bulan ke-3 pasca tatalaksana. Dari data yang didapatkan dilakukan analisis bivariat dengan fisher exact test untuk mengetahui hubungan antara variabel.
Hasil:Dari 72 subjek yang diteliti, 36 subjek diterapi dengan TCA 85% sedangkan 36 lainnya diterapi dengan krioterapi. Sebanyak 35 (97,2%) pasien yang ditatalaksana dengan TCA 85% mengalami konversi menjadi IVA negatif pada follow-up bulan ke-3, sedangkan seluruh pasien yang ditatalaksana dengan krioterapi menjadi konversi menjadi IVA negatif. Dilakukan analisis bivariat fishers exact test dan didapatkan nilai p sebesar 1,00 (p>0,05). Kesimpulan:Tidak ada perbedaan bermakna dari efikasi penggunaan TCA 85 % dibandingkan dengan krioterapi pada terapi IVA positif.

Background: Cervical cancer mortality rate accounts for fourth among all cancer. In a Developing country such as Indonesia, the prevalence of cervical cancer is 0,8 case per 1000 population. Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) is an effective cervical cancer screening method. Patients with positive VIA result have to be immediately treated in order to avoid cancer progression. However, cryotherapy as the first line treatment of positive VIA result is not currently widely available in Indonesia. Alterative treatment using Trichloroacetic Acid (TCA) solution is a promising treatment alternative to cryotherapy as it is cheap and easy to be handled. Furthermore, TCA has been proven to be effective to treat vaginal and anal neoplasia.
Objective: To investigate the effectiveness TCA 85% compared to cryotherapy to treat patients with positive IVA result.
Method: This is a non-inferiority randomized controlled trial study. Patients with positive VIA result referred to Jatinegara Primary Health Center were included in this study. Eligible samples were then treated with either TCA 85% or cryotherapy. The treatment was determined using simple random sampling method. Samples were then followed up 3 months after treatment in order to determine VIA result conversion.
Result: Thirty-six patients were treated with TCA 85% and 36 others were treated with cryotherapy. 35 (97,2%) patients treated with TCA 85% converted to negative VIA, whereas all of the patients that were treated with cryotherapy convert to negative VIA. Bivariate analysis fisher exact test was then conducted with a result P value of 1,00 (p > 0,05).
Conclusion: There were no statistically significant difference of result between TCA and Cryotherapy for treating patients with positive VIA result."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irvan Desrizal
"Latar belakang: Krioterapi adalah salah modalitas terapi yang sering dilakukan pada lesi IVA positif di Indonesia. Selain memiliki angka kesembuhan yang cukup tinggi, krioterapi tergolong murah dan mudah dilakukan dengan sumber daya yang terbatas. Namun, efek samping pasca krioterapi seperti keputihan, perdarahan bercak, dan nyeri adalah hal yang tidak bisa dihindari. Beberapa penelitian mengaitkan adanya hubungan derajat dan luas lesi prakanker dengan angka kesembuhan pasca krioterapi. Jenis krioterapi (single-freeze atau double-freeze) juga dihubungkan dengan luas area nekrosis pasca krioterapi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan luas lesi IVA positif dan jenis krioterapi terhadap efek samping pasca krioterapi
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prosepektif. Populasi terjangkau
adalah pasien dengan IVA positif yang menjalani krioterapi oleh Female Cancer Program dari Juli sampai dengan Oktober 2019 di Jakarta. Evaluasi dilakukan dengan pengisian lembar keluhan efek samping krioterapi selama satu bulan. Analisis data dalam bentuk deskriptif dan analitik.
Hasil: Didapatkan 43 subjek IVA positif, 27 (62,8%) subjek lesi luas, dan 16 (37,2%) subjek lesi sempit, jenis krioterapi dibagi menjadi 33 (76,7%) subjek double-freeze, 10 (23,3%) subjek single-freeze, setelah sebulan didapatkan keluhan keputihan sebanyak 88,4%; perdarahan bercak 51,2%, nyeri 58,1%; tidak didapatkan hubungan bermakna antara luas lesi IVA positif dengan keputihan (nilai-p 0,63), perdarahan bercak (nilai-p 0,61), dan nyeri (nilai-p 0,54), krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan efek samping perdarahan bercak (RR 0,5; nilai-p 0,0032; CI 0,3-0,9).
Kesimpulan: krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan efek samping perdarahan bercak pasca krioterap.

Background: Cryotherapy is a procedure often performed in positive VIA lesions in Indonesia. Not only having a high cure rate, but cryotherapy is also relatively cheap and easy to perform with limited resources. However, side effects such as vaginal discharge, spotting, and pain are unavoidable. Several studies have linked the degree and width of precancerous lesions with cure rate after cryotherapy. Type of cryotherapy (single-freeze or double-freeze) is also related with amount of necrosis area produced after cryotherapy.
Objective: To determine the association of positive VIA area and the type of cryotherapy with post-cryotherapy side effects.
Method: This is a prospective cohort study. The population are women with positive VIA result who underwent cryotherapy by the Female Cancer Program from July to October 2019 in Jakarta. Evaluation was performed by filling out the patients complaint sheet for one month. Data was analysed descriptively and analytically.
Results: There were 43 women with positive VIA results, grouped into 27 (62.8%) large lesion, and 16 (37.2%) small lesion, types of cryotherapy was grouped into 33 (76.7%) double-freeze, 10 (23,3%) single-freeze, after one month follow-up there were complaints of vaginal discharge 88.4%; spotting 51.2%, pain 58.1%; found unsignificantly association between width of positive VIA area with vaginal discharge (p-value 0.63), spotting (p-value 0.61), and pain (p-value 0.54), double-freeze cryotherapy was significantly associated with side effect of spotting (RR 0.5; p-value 0.0032; CI 0.3-0.9).
Conclusion: double-freeze cryotherapy is significantly related with side effect of spotting.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvan Desrizal
"Krioterapi adalah terapi yang rutin dilakukan pada lesi IVA positif di Indonesia. Selain terbukti efektif, krioterapi tergolong murah dan mudah dilakukan. Namun, efek samping pasca krioterapi seperti keputihan, perdarahan bercak, dan nyeri tidak bisa dihindari. Beberapa penelitian mengaitkan adanya hubungan luas lesi prakanker dengan angka kesembuhan. Jenis krioterapi (single-freeze atau double-freeze) juga dihubungkan dengan luas area nekrosis yang terbentuk. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas lesi IVA positif dan jenis krioterapi terhadap efek samping krioterapi. Penelitian ini menggunakan studi kohort prosepektif observasional. Populasi terjangkau adalah pasien dengan IVA positif yang menjalani krioterapi oleh Female Cancer Program dari Juli hingga Oktober 2019 di Jakarta. Evaluasi dilakukan dengan pengisian lembar keluhan efek samping krioterapi. Didapatkan 43 subjek IVA positif, 27 (62,8%) subjek lesi luas, dan 16 (37,2%) subjek lesi sempit, jenis krioterapi dibagi menjadi 33 (76,7%) subjek double-freeze, 10 (23,3%) subjek single-freeze, setelah sebulan didapatkan keluhan keputihan sebanyak 88,4%; perdarahan bercak 51,2%, nyeri 58,1%; tidak didapatkan hubungan bermakna antara luas lesi IVA positif dengan keputihan (nilai-p 0,63), perdarahan bercak (nilai-p 0,61), dan nyeri (nilai-p 0,54), krioterapi double-freeze berhubungan bermakna dengan perdarahan bercak (RR 0,5; nilai-p 0,0032; CI 0,3-0,9).

Cryotherapy is often performed to positive VIA lesions in Indonesia. Not only effective, it is also cheap and easy to perform. However, side effects such as vaginal discharge, spotting, and pain are unavoidable. Several studies have linked the width of lesions with cure rate. Type of cryotherapy (single-freeze or double-freeze) is also related with amount of necrosis area produced. This study was performed to determine the association of positive VIA area and type of cryotherapy with the side effects. This is a observational prospective cohort study. The population are women with positive VIA who underwent cryotherapy by the Female Cancer Program from July to October 2019 in Jakarta. Evaluation was performed by filling out the patients complaint sheet for one month. There were 43 women with positive VIA results, grouped into 27 (62.8%) large lesion, and 16 (37.2%) small lesion, cryotherapy was performed 33 (76.7%) double-freeze, 10 (23,3%) single-freeze, after one month follow-up there were complaints of vaginal discharge 88.4%; spotting 51.2%, pain 58.1%; found no association between width of positive VIA with vaginal discharge (p-value 0.63), spotting (p-value 0.61), and pain (p-value 0.54), double-freeze cryotherapy was significantly associated with side effect of spotting (RR 0.5; p-value 0.0032; CI 0.3-0.9)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Anggraini
"Latar belakang : Insidens kutil anogenital KA terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini belum ada terapi yang efektif untuk semua jenis KA. Terdapat berbagai macam pilihan terapi KA, antara lain terapi yang dapat diaplikasikan sendiri, contohnya krim 5-fluorourasil 5-FU 1 dan 5-FU 5 dan terapi yang diaplikasikan oleh dokter, contohnya larutan asam trikloroasetat TCA 90 . Larutan TCA 90 merupakan terapi standar KA, memerlukan kurang lebih 4-6 kali kunjungan tiap minggu untuk mencapai kesembuhan. Hingga saat ini terapi KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien sendiri, belum tersedia di Indonesia. Tujuan : Mengetahui efektivitas dan keamanan krim 5-FU 1 dan krim 5-FU 5 dibandingkan dengan larutan TCA 90 untuk terapi KA pada genitalia eksterna dan atau perianus. Metode : Uji klinis acak terkontrol dilakukan terhadap pasien KA pada bulan Januari hingga Mei 2018. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan dan bersedia mengikuti penelitian akan mendapat terapi 5-FU 1 , 5-FU 5 , atau larutan TCA 90 sesuai dengan randomisasi blok. Pasien dicatat identitas, jumlah, dan ukuran lesi KA kemudian diamati respons terapi dan efek samping subyektif dan obyektif setiap minggu, hingga minggu ketujuh. Dilakukan analisis intention to treat. Hasil : Didapatkan total 72 subjek. Terdapat 5 SP drop out, dua dari kelompok 5-FU 1 dan tiga dari kelompok TCA 90 . Tidak terdapat perbedaan efektivitas antara kelompok 5-FU 1 dengan TCA 90 p=0,763 . Respons sempurna pada 5-FU 1 adalah 671 , sedangkan TCA 90 adalah 63 . Begitupula dengan perbandingan efektivitas antara kelompok 5-FU 5 dengan TCA 90 . Pada awalnya saat minggu kedua TCA 90 tampak lebih cepat memberikan kesembuhan daripada 5-FU 5 p=0,036 , namun setelah enam minggu terapi ternyata tidak ada perbedaan efektivitas antara keduanya p=0,274 . Didapatkan bahwa respons sempurna pada 5-FU 5 adalah 46 dan 63 pada TCA 90 . Terdapat perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,004 . Terdapat pula perbedaan efek samping subyektif yang lebih ringan secara bermakna pada kelompok 5-FU 5 dibandingkan dengan kelompok TCA 90 p=0,001 . Efek samping gatal ketika evaluasi minggu keempat pada kelompok 5-FU 1 adalah 21 dan 33 pada kelompok 5-FU 5 . Efek samping tersering pada kelompok TCA 90 adalah nyeri 96 ketika aplikasi TCA 90 pertama kali. Terdapat perbedaan efek samping obyektif yang lebih ringan secara bermakna ketika evaluasi minggu kedua, keenam, dan ketujuh pada kelompok 5-FU 1 dibandingkan dengan TCA 90 p

Background: Anogenital wart incidence is increasing lately. Up till now there is no effective therapy for every type of anogenital wart. There are various kind of anogenital wart therapy, such as self applied therapy e.g. 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream and physician-applied therapy e.g. trichloroacetic acid 90 solution . Trichloroacetic acid is the standard therapy for anogenital wart, need around 4-6 times until totally improved. Currently, there is no self applied anogenital wart therapy available in Indonesia. Objective: To know the effectivity and safety of 5-fluorouracil 1 cream and 5-fluorouracil 5 cream compared to trichloroacetic acid 90 solution in the treatment of anogenital wart. Methods: A randomized control study of adult patients with anogenital wart during the period of January-Mei 2018. Patients who fulfiled inclusion criteria and willing to follow this research, allocated to receive 5-fluorouracil 1 cream, 5-fluorouracil 5 cream, or trichloroacetic acid 90 solution in accordance with block randomization. The identity, number and size of the anogenital wart were recorded, then the response of therapy and side effect subjective and objective were observed each weeks, up to seventh week. The data was analyzed with intention to treat analysis. Result: A total of 72 subjects were enrolled, two subjects from 5-FU 1 and three subjects from TCA 90 dropped out. There was no diference in the effectivity between 5-FU 1 group compared to TCA 90 p=0,763 . Total response in 5-FU 1 was 67 and 63 in TCA 90 . Likewise the comparison of effectivity between 5-FU 1 group and TCA 90 group. On the second week TCA 90 gave faster improvement than 5-FU 5 p=0,036 , but after 6 weeks treatment there was no difference between both groups p=0,274 . Total response in 5-FU 5 was 46 and 63 in TCA 90 . There was significant milder subjective side effect on 5-FU 1 compared to TCA 90 group p=0,004 , as well as significant milder subjective side effect on 5-FU 5 compared to TCA 90 p=0,001 . On the fourth week there was 21 in the 5-FU 1 group felt itchy and 33 in TCA 90 group. The most common side effect in TCA 90 group was painful, 96 of the subjects experienced it while their first TCA application. We also found significant milder objective side effect in 5-FU 1 group on the second week, sixth week, and seventh week evaluation compared to TCA 90 group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Uswatun Hasanah
"Kanker leher rahim merupakan kanker nomer dua terbanyak diderita oleh perempuan di seluruh dunia dan penyebab kematian akibat kanker yang paling utama, khususnya bagi perempuan di negara-negara berkembang (WHO, 2002). Prevalensi kanker leher rahim di wilayah DKI Jakarta sebesar 1,2 dari 5.919 pada wanita yang melakukan skrining dan Provinsi Jawa Barat sebesar 0,7 dari 15.635 wanita. Sebelum terjadinya kanker leher rahim akan didahului dengan keadaan yang disebut lesi prakanker. Prevalansi lesi prakanker leher rahim tahun 2012 sebesar 4,5%. Salah satu faktor resiko lesi prakanker leher rahim yaitu usia pertama kali berhubungan seksual < 17 tahun yang saat ini masih tinggi di masyarakat.
Penelitian ini membahas hubungan usia pertama kali berhubungan seksual dengan kajadian lesi prakanker leher rahim pada wanita yang melakukan skrining dengan metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di wilayah kerja Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa dengan sasaran penerima manfaat. Penelitian dilakukan dengan desain kasus kontrol dengan jumlah sampel 230 yang terdiri dari 46 kasus dan 184 kontrol. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil menunjukkkan bahwa usia pertama kali berhubungan seksual < 17 tahun meningkatkan resiko lesi prakanker leher rahim OR 4,092 (CI,1,769-9,464). Oleh karenanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang faktor resiko kanker leher rahim melalui edukasi, pendewasaan usia pernikahan serta deteksi dini melalui pemeriksaan rutin akan membantu mengurangi kasus lesi prakanker leher rahim.

Cervical cancer is second most common worldwide cancer afflict to women and leading cause of cancer deaths, particularly for women in developing countries (WHO, 2002). The prevalence of cervical cancer in women who has been screening in Jakarta around 1,2 from 5,919 and around 0.7 out of 15,635 in West Java. The diagnosis of cervical cancer will be preceded by a condition called pre-cancerous lesions. Prevalence of pre-cancerous cervical lesions in 2012 is 4.5%. One of the risk factors of pre-cancerous cervical lesions is age less than <17 years of first sexual intercourse which is still high in society.
This study explained relationship between first-time sexual intercourse with the occurrence of cervical pre-cancer lesions in female beneficiaries doing early detection using Visual Acetic Acid Inspection (IVA) at Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa. The study was conducted with case control design of 230 total sample consisting of 46 cases and 184 control. Multivariate analysis used logistic regression.
Results showed first age of intercourse less than <17 years increased risk of pre-cancerous cervical lesions OR 4,092 (CI, 1,769-9,464). According to this study increased knowledge and understanding of risk factors for cervical cancer through education, control of marriage age and early detection with periodically checkup will reduce cases of pre-cancerous cervical lesions.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T49115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frides Susanty
"Servisitis merupakan bagian dari Infeksi Menular Seksual (IMS), dengan perkembangan bidang sosial, demografik dan meningkatnya migrasi penduduk, populasi berisiko tinggi akan semakin meningkat. WHO memperkirakan 376 juta infeksi baru dengan 1 dari 4 IMS yaitu: klamidia (127 juta), gonore (87 juta), sifilis (6,3 juta) dan trikomoniasis (156 juta). Penelitian Gatot dkk menunjukkan 11,9 % pasien mengalami servisitis. Penelitian Iskandar, dkk prevalensi infeksi serviks (klamidia 9,3 % dan gonore 1,2 %). Berdasarkan hasil SDKI, terjadi peningkatan tren pemakaian kontrasepsi di Indonesia sejak tahun 1991 sampai 2017. Secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara servisitis dengan infeksi HPV, sehingga bila servisitis tidak ditangani dengan baik, maka akan meningkatkan risiko untuk terinfeksi HPV. Seseorang dengan gejala servisitis mukopurulen meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian servisitis. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif, dengan desain cross sectional study. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan IVA puskesmas yang didampingi Female Cancer programme (FcP) di DKI Jakarta tahun 2017-2019. Jumlah sampel 3563 orang, yaitu memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis yang digunakan logistic regression. Prevalensi penyakit servisitis pada penelitian ini 11,20%. Terdapat hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian servisitis yang bermakna signifikan secara statistik dengan p-value =0,0000 POR 1,673 95% CI (1,323 - 2.115). Perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi hormonal untuk mencegah terjadinya servisitis dan kanker leher rahim.

Cervicitis is one of the Sexually Transmitted Infections (STIs). There is a correlation between socio-demographic development and migration with increase of the number of high-risk populations. WHO estimates there are 376 million new infections by 1 out of 4 STIs, such as chlamydia (127 million), gonorrhea (87 million), syphilis (6.3 million) and trichomoniasis (156 million). Gatot et al, showed that 11.9% of patients had cervicitis. Iskandar, et al, also showed the prevalence of cervical infections (chlamydia 9,3% and 1,2% gonorrhea). Based on the results of the SDKI, there had been an increasing trend in contraceptive use in Indonesia from 1991 to 2017. There was a statistically significant association between cervicitis and HPV infection. It will increase the risk of getting infected by HPV if cervicitis is left untreated. Additionally, a person with mucopurulent cervicitis symptoms has an increased risk of cervical cancer. This study aims to determine the relationship between the use of hormonal contraceptives and the incidence of cervicitis. This is a quantitative study with a cross sectional study design. This study used secondary data from the results of the VIA examination at the primary health care supervised by the Female Cancer Program (FcP) in DKI Jakarta in 2017-2019. The number of samples were 3563 people, who met the inclusion and exclusion criteria. This study used logistic regression to analyze the data. The prevalence of cervicitis in this study was 11.20%. There is a relationship between hormonal contraceptive use and the incidence of cervicitis which is statistically significant with p-value<0.0001. Thus, it is necessary to carry out periodic checks on women who use hormonal contraception to prevent cervicitis and cervical cancer"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrizka Nurdia Putri Pakaya
"Latar Belakang Kanker serviks menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada wanita Indonesia. Penyakit tersebut umumnya disebabkan oleh infeksi Human papillomavirus (HPV). Temuan kelainan serviks (prakanker dan kanker serviks) dapat dicegah dengan vaksinasi HPV dan deteksi dini kelainan dengan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA). Untuk itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah vaksinasi HPV dan pemeriksaan IVA memiliki hubungan terhadap temuan kelainan serviks pada pasien Poliklinik Ginekologi dan Onkologi RSCM tahun 2021-2022. Metode Desain penelitian ini adalah potong lintang. Data sekunder diambil dari hasil wawancara pasien yang berkunjung ke Poliklinik Ginekologi dan Onkologi RSCM. Hasil Pada penelitian ini, subjek penelitian yang diikutsertakan berjumlah 193 subjek. Pada analisis data, hubungan vaksinasi HPV dengan temuan kelainan serviks (prakanker dan kanker serviks) didapatkan p-value 0,005 (bermakna secara statistik) dengan OR 0,022 (95% CI 0,002 – 0,194). Selanjutnya, hubungan pemeriksaan IVA dan temuan kelainan serviks didapatkan p-value 0,14 (tidak bermakna secara statistik) dengan OR 0,24 (95% CI 0,041 – 1,392). Kesimpulan Vaksinasi HPV ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan temuan kelainan serviks. Sementara itu, pemeriksaan IVA ditemukan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Faktor tersebut sebenarnya sangat berperan dalam pencegahan temuan kelainan serviks. Hasil yang tidak signifikan tersebut kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan penelitian, seperti jumlah sampel sedikit dan karakteristik sampel yang homogen.

Introduction Cervical cancer is the second most common cancer in Indonesian women. This disease is generally caused by Human papillomavirus (HPV) infection. Therefore, cervical abnormalities findings (precancerous and cervical cancer) can be prevented by HPV vaccination and early detection of abnormalities with Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) screening. For this reason, the purpose of this study was to determine whether HPV vaccination and IVA examination have an association with cervical abnormalities findings in patients at the RSCM Gynecology and Oncology Clinic 2021-2022. Method The design of this study was cross-sectional. Secondary data was collected by interviewing patients who visited the RSCM Gynecology and Oncology Clinic. Results In this study, the total number of research subjects was 193 subjects. In the data analysis, the association between HPV vaccination and cervical abnormalities findings (precancerous and cervical cancer) was found to have a p-value of 0.005 (statistically significant) with an OR of 0,022 (95% CI 0,002 – 0,194). Meanwhile, the association between VIA screening and cervical abnormalities findings was found to have a p-value of 0.14 (not statistically significant) with an OR of 0.24 (95% CI 0.041 – 1.392). Conclusion HPV vaccination were found to have a significant association with cervical abnormalities findings. Meanwhile, VIA screening were not found to have a significant association with cervical abnormalities findings. However, these factors play a very important role in preventing cervical abnormalities. The insignificant results are likely due to the limitations of the study, such as small sample size and homogenous sample characteristics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Liona Agusdin
"Kanker serviks merupakan salah satu kanker tersering yang dialami, wanita di dunia. Diperkirakan terdapat 440.000 kasus baru setiap tahunnya dan sekitar 80% terjadi di negara berkembang. Negara - negara di Asia Tenggara, Asia Selatan, sub-Sahara Afrika, dan Amerika Latin, tercatat sebagai negara dengan prevalensi kanker serviks yang tinggi. Contohnya di India, kasus baru kanker serviks setiap tahunnya adalah 90.000, sementara di Zimbabwe antara tahun 1990-1992 insiders kanker serviks mencapai 47.6 per 100.000. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan 39,5% penderita kanker adalah kanker serviks. Di negara industri maju kanker serviks relatif lebih jarang, dibandingkan dengan kejadian kanker -payudara, paru-paru, kolon, rektum, dan prostat.
Perbedaan yang sangat jelas antara negara berkembang dengan negara maju ini adalah karena adanya skrining kanker serviks yang telah dilaksanakan secara luas di negara maju tersebut. Sekitar 50% wanita di negara maju telah menjalani tes pap paling sedikit 1 kali dalam periode 5 tahun, namun di negara berkembang hanya 5% wanita. Di beberapa negara seperti Amerika, Kanada, dan hampir seluruh negara di Eropa, 85% wanitanya telah menjalani Tes pap paling sedikit satu kali. Shining kanker serviks telah menurunkan insidens kanker serviks yang invasif. Penurunan insidens ini sangat berkaitan dengan jumlah populasi yang menjalani skrining dan jangka waktu antara dua skrining (skrining interval). Pada populasi dengan cakupan skrining yang luas, insidens kanker serviks turutl sampai 70-90%, sementara pada populasi yang tidak menjalani skrining, insidens kanker serviks terus berada pada kondisi awal seperti saat skrining belum diberlakukan di negara maju. Indonesia yang merupakan negara berkembang, telah diterapkan tes pap sebagai shining kanker serviks namun seperti yang juga dialami oleh negara berkembang lainnya penerapan tes pap sebagai skrining kanker serviks masih mendapat berbagai kendala, antara lain luasnya wilayah, dan juga masih kurangnya tenaga ahli sitologi.
Alternatif yang lebih sederhana serta mampu laksana dengan cakupan yang luas sehingga diharapkan temuan Iasi prakanker serviks lebih banyak adalah dengan tes IVA (WA). Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan yang sensitif, namun spesifisitasnya rendah. Spesifisitas yang rendah berarti bahwa positif palsu tes WA masih tinggi. Sebuah penelitian mendapati bahwa 40% pasien yang dirujuk untuk kolposkopi karena hasil WA positif, temyata hasil kolposkopinya normal. Ini berarti masih banyak pasien dengan hasil WA positif yang kemudian harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut dimana sebenarnya pasien tersebut tidak perlu menjalani pemeriksaan tersebut atau tidak perlu mengeluarkan biaya lebih apabila spesifisitas tes WA ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan spesifisitas WA dalam skrining Iasi prakanker adalah dengan melakukan penapisan dua tahap. Penapisan tahap kedua setelah didapatkan hasil WA yang positif, dapat menggunakan berbagai Cara, seperti dengan tes pap, dengan Servikografi, maupun dengan tes DNA HPV Dengan penapisan dua tahap ini, diharapkan spesifisitas WA dapat lebih baik.
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa Tes pap dapat dijadikan pemeriksaan tahap kedua dalam upaya meningkatkan-spesifisitas tes WA dalam skrining Iasi prakanker serviks. Saat ini telah dikembangkan metode tes pap yang baru yang dikenal dengan Thin prep pap test. Latar belakang dikembangkannya metode ini adalah karena tes pap konvensional memiliki negatif palsu berkisar antara 6-55% dan meningkat jika pembuatan slide atau sediaan tidak baik. Dengan menggunakan Thin Prep kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk jika dibandingkan dengan preparat tes pap konvensional. Prep meningkatkan kualitas spesimen dengan cam mengurangi darah, mukus, inflamasi, dan artifak lainnya yang dapat menggangu pembacaan sediaan. Karena kualitas spesimen yang dihasilkan lebih balk, maka Thin Prep lebih efektf juga dalam mendeteksi lesi intraepitelial skuamosa derajat rendah dan juga lesi-lesi yang lebih beat pada berbagai populasi pasien dibandingkan dengan Tes pap konvensional. Thin prep pap test meningkatkan deteksi Iasi prakanker 65% pada populasi skrining dan 6% pada populasi risiko tinggi jika dibandingkan dengan Tes pap konvensional.
Tes WA dengan kelebihannya yang mudah untuk dilakukan , murah, dan mempunyai sensitivitas yang tinggi, namun memiliki positif palsu yang tinggi, apabila dikombinasikan dengan tes pap dimana sensitivitas dan spesifisitasnya cukup baik maka diharapkan sistem skrining dua tahap ini dapat diberlakukan sebagai sistem skrining kanker serviks di Indonesia.
Rumusan Masalah: Apakah tes pap digabungkan dengan tes WA positif dapat meningkatkan spesifisitas dan menurunkan positif palsu tes WA ?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Pangestu
"Di Indonesia,kanker serviks merupakan keganasan ginekologi terbanyak yang terjadi pada wanita.Hal ini disebabkan kurangnya program skrining.Di Indonesia program deteksi dini dengan inspeksi visual asam asetat (IVA) telah dimulai,Kementerian Kesehatan memiliki program VIA untuk deteksi dini, dengan target 50% perempuan usia 30-50 tahun pada tahun 2019.Untuk mencapai target tersebut,Kementerian Kesehatan Indonesia telah melakukan pelatihan IVA untuk dokter dan bidan.Penelitian ini akan mengkaji evaluasi pelatihan IVA yang telah dilaksanakan pada bidan dan membandingkan antara bidan di Jakarta Pusat dan bidan di Tangerang Selatan.Dari 39 bidan di Jakarta Pusat dan 24 di Tangerang Selatan yang sudah dilatih IVA hingga tahun 2019,kami mengambil data jumlah pemeriksaan IVA,jumlah kasus positif dan jumlah kasus yang dirujuk bidan selama tahun 2017-2019.Dari penelitian ini didapatkan,bidan di Jakarta Pusat pada tahun 2019 melakukan pemeriksaan IVA 6.622 dari target 83.500 (7,9%) dan ditemukan 105 kasus positif dan seluruh kasus dirujuk untuk dilakukan krioterapi, sedangkan bidan di Tangerang Selatan melakukan 1805 pemeriksaan IVA dari target 113415 (1,59%) dan ditemukan 12 kasus positif dengan 4 kasus dilakukan krioterapi dan 8 kasus dirujuk ke RS.Dari keduanya ditemukan peningkatan kinerja pemeriksaan IVA dari tahun 2017 hingga 2019.Pelaksanaan IVA oleh bidan di Jakarta Pusat dan Tangerang Selatan masih rendah,meskipun meningkat dari tahun 2017 hingga 2019.

In Indonesia,cervical cancer is the most gynecology malignancy that occurs in women.This is due to lack of a screening program.In Indonesia,an early detection program with visual inspection of acetic acid (VIA) has begun.The Ministry of Health has VIA for early detection program with target 50% women aged 30-50 years on 2019.To achieve this,The ministry of Health Indonesia has conducted VIA training for doctors and midwives.This study would examine the evaluation of the VIA training that has been conducted for midwives.This evaluation would also assess and compare the VIA training evaluation on midwives in Central Jakarta and midwives in South Tangerang.39 midwives in Central Jakarta and 24 in South Tangerang already trained for VIA until 2019.We took data on the number of VIA examinations,the number of positive cases and the number of cases referred by midwives during 2017-2019.From this study,we found that midwives at Central Jakarta on 2019 performed 6.622 VIA examination from 83.500 target (7.9%) and found 105 positive cases and all the cases were referred to performed cryotherapy.Meanwhile midwives at South Tangerang performed 1805 VIA examination from 113415 target population (1.59%) and found 12 positive cases:4 cases was already performed cryotherapy and 8 cases were referred to hospital.From both of them, we found increased of performance of VIA examination from 2017 until 2019. VIA implementation by midwives in Central Jakarta and South Tangerang still low, although increase from 2017 until 2019."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqillah Ridha Parahita
"Bias atensi emosional merupakan suatu proses kognitif tidak disadari yang memengaruhi kelancaran pemrosesan informasi. Individu dengan bias atensi emosional positif cenderung memiliki efikasi diri tinggi. Pada remaja, efikasi diri tinggi dapat membantu mereka melewati berbagai situasi sulit. Penelitian ini berupaya mencari tahu hubungan antara efikasi diri dan bias atensi emosional pada remaja dengan menduga adanya peran mediasi dari afek positif. Hal ini dikarenakan tingkah laku dan pikiran remaja sangat dipengaruhi oleh afek. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji afek positif sebagai mediator dalam hubungan antara efikasi diri dan bias atensi emosional terhadap kata terkait kebahagiaan dan ancaman pada remaja. Sebanyak 87 partisipan remaja yang merupakan siswa SMA/SMK sederajat (M= 16,5) berpartisipasi di dalam penelitian ini. Efikasi diri diukur menggunakan General Self-Efficacy Scale dan afek positif diukur menggunakan dimensi afek positif dari Positive Affect and Negative Affect Scale. Sementara itu, bias atensi emosional diukur menggunakan emotional Stroop task. Hasil analisis menggunakan mediation Jamovi menunjukkan bahwa hubungan antara efikasi diri dan bias atensi emosional terhadap kata terkait kebahagiaan maupun ancaman dimediasi penuh oleh afek positif. Penelitian ini berhasil menjelaskan peran proses kognitif yang bersifat otomatis dan tidak disadari di dalam hubungan antara efikasi diri dan bias atensi emosional pada remaja.

Emotional attention bias is an unconscious cognitive process that affects the processing of information. Individuals with positive emotional attention bias tend to have high self-efficacy (Karademas et al., 2007). In adolescents, high self-efficacy helps them to get through difficult situations. This study seeks to find out the relationship between self-efficacy and emotional attention bias in adolescents by assuming there is a mediating role of positive affect. This is because the behavior and thoughts of adolescents are strongly influenced by affect. The purpose of this study was to examine positive affect as a mediator in the relationship between self-efficacy and emotional attention bias towards happiness and threats related words in adolescents. A total of 87 adolescent participants who were also high school students (M= 16.5) participated in this study. Self-efficacy was measured using the General Self-Efficacy Scale and positive affect was measured using the positive affect dimensions of the Positive Affect and Negative Affect Scale. Meanwhile, emotional attention bias was measured using the emotional Stroop task. The results using Jamovi's mediation showed that the relationship between self-efficacy and emotional attention bias towards happiness and threats related words was fully mediated by positive affect. This study succeeded in explaining the role of automatic and unconscious cognitive processes in the relationship between self-efficacy and emotional attention bias in adolescents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>