Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132628 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Doren, Kamilus Pati
""Apakah aku oenjaga adikku?" Pertanyaan ini menjadi refleksi individu sebagai makhluk bermasyarakat yang setiap hari bertemu dengan oorang lain dalam keberlainannya. Pertanyaan ini mengunggah nurani setiap pribadi untuk mengambil sikap yang tepat saat berhadapan dengan orang lain. Dan sikap yang dimaksud di sini adalah tanggung jawab dalam konsep Levinas yang berbeda dengan pemahaman sehari-hari. Pemikiran ini kemudian coba dibenturkan dengan keberagaman di Indonesia terutama sikap yang diambil penganut agama ketika berhadapan dengan penganut agama lain. Agar momen bertemu dengan yang lain benar-benar menjadi8 momen etis menuju perjumpaan, dilandasi oleh sikap tanggung jawab tadi. Dengan berbasi pada data pustaka, penulis mencoba menjabarkan konsep tanggung jawab Levinas sehingga pada akhirnya setiap perbedaan dapat dilihat sebagai anugerah dan kekayaan bersama. Melalui refleksi atas konsep tanggung jawab Levinas yang unik tersebut, penulis meletakkannya sebagai pondasi bagi relasi kehidupan beragama dan bermasyarakat Indonesia, yang sering mengalami benturan oleh karena alasan-alasan kemajemukan. Sangat tepat, jika tanggung jawab ala Lev9ina diimplikasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat kita karena juga intisari pemikiran Levinas sebetulnya sudah mendapat dasr yang kuat dalam falsafah negara kita."
Jakarta: Reformed Center for Religion and Masyarakat (RCRS), 2018
200 SODE
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Malka, Salomon
Franch: JC Latties, 2006
194 MAL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Annisa Hamudy
"ABSTRACT
Identity politics promoted by the 212 Movement has led to increased intolerance in society. This study captured this problem through the perspective of Emmanuel Levinas Ethics. According to Levinas, the act of intolerance occurs because we see the Other, not with ideas, ideologies, teachings, doctrines, interests, and religion that should be upheld above all things. Our attachment to the ideas we has about others often makes us fail to treat them as humans because we are prevented from encountering them directly. For this reason, this study aims to find out the negative consequences caused by the 212 Movement through the philosophical perspective of Emmanuel Levinas ethics. With descriptive methods, literature study, and a qualitative approach, the results of the study showed that identity politics carried out by the 212 Movement could not be justified in ethical relations. The 212 Movement saw other human beings as objects that can be used to achieve their personal or group goals. The movement has controlled and exploited their fellow believers, and not reluctant to carry out hateful propaganda to people outside their group. Levinas ethical relations open a new type of relations that are different from idea-based relations. Encountering others makes us realize that they are not merely skin, flesh, and blood that can be destroyed just like that."
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, 2019
351 JBP 11:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ketika Republik federasi Jerman mengambil alih kepemimpinan (Presidensi) Uni Eropa di bulan Januari 2007, Perdana Menteri Angela Market menggiring rekan-rekannya menuju suatu "Roadmap" bagi masa depan Eropa...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Dhahnial
"Masyarakat Indonesia sedang menghadapi berbagai situasi yang memprihatinkan. Krisis yang belum selesai, korupsi yang merajalela, tingkat pengangguran yang tinggi serta berbagai hal yang mengindikasikan bahwa Masyarakat sedang berada dalam kondisi disorganized. Kondisi ini lebih-lebih terjadi di masyarakat perkotaan sebagai tempat munculnya industrialisasi dan modernisasi yang pada sisi tertentu menyebabkan berbagai permasalahan sosial yang kompleks. Masyarakat perkotaan dihadapkan pada permasalahan sosial yang kompleks dan kadangkala menimbulkan gejala seperti perasaan gelisah, serba tidak puas, perasaaan serba ragu dan serba salah, frustasi, sengketa batin dengan orang lain dan lingkungan, merasa hampa, kehilangan semangat hidup dan munculnya berbagai penyakit psikosomatis.
Berbagai permasalah ini mempunyai kemiripian dengan ciri-ciri munculnya diskrepansi diri (Fromm, Rogers, Baron & Byrne). Lantas, di tengah diorganisasi sosial pada masyarakat kota menjadi menarik untuk mengetahui konsep diri dan diskrepansi pada orang kota. Salah satu faktor dalam pembentukan persepsi individu adalah faktor agama. Agama menjadi menarik untuk diselidiki karena karena pada era transisi sosial dan politik saat ini, perkembangan dan dinamika kehidupan keagamaan menjadi sangat kompleks, bahkan sejak sebelum terjadinya reformasi politik Indonesia yang menyebabkan tumbangnya Soeharto. Agama secara historis dan sosiologis mempunyai peran yang kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pada kondisi ini menarik untuk mengetahui bagaimana pola keberagamaan masyarakat kota.
Penelitian ini mengambil latar belakang kota Jakarta dengan segala permasalahannya yang dihadapkan pada berbagai nilai-bilai yang nantinya akan membentuk konsep diri orang-orang di dalamnya. Pertanyaanpertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah konsep diri orangorang di kota besar (dalam hal ini kota Jakarta)? Dengan berbagai kondisi yang melatarbelakanginya, bagaimanakah gambaran diskrepansi diri riil dan ideal serta diskrepansi diri riil dan sosial? Salah satu konstruk konsep diri adalah belief yang terbangun pada masyarakat di sekitar individu termasuk di dalamnya adalah agama. Kemudian timbul pertanyaan bagaimanakah keberagamaan orang-orang-orang di kota besar? Adakah keberagamaan berpengaruh pada konsep diri serta diskrepansi diri orang-orang tersebut?
Dalam menjawab rumusan masalah tersebut, penelitian ini menggunakan teori komponen konsep diri dari Baron (1994), diskrepansi konsep diri Higgins (dalam Bracken, 1996), social self dari Fromm (1961), akibat-akibat diskrepansi dari Rogers, Fromm dan Higgins, keberagamaan Schaefer & Gorsuch (1991), Allport (1959) serta Pargament (1997). Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif sebagai penunjang. Subyek penelitian adalah individu-individu tinggal di Jakarta dan tercatat mempunyai KTP Jakarta, pendidikan minimal SMU. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pengukuran rata-rata, standar deviasi, dan pengukuran regresi serta effect coding pada regresi berganda.
Dari hasil penelitian, didapat bahwa diri ideal adalah diri yang lebih menonjol dibandingkan dengan diri yang sesungguhnya dan diri yang ditampilkan di lingkungan. Subyek memandang agak positif terhadap konsep diri riil dan memandang positif terhadap konsep diri ideal serta sosial. Diskrepansi konsep diri real-ideal mereka tergolong rendah. Rendahnya diskrepansi tersebut melalui hasil analisa data kualitatif disebabkan karena tuntutan dari lingkungan yang secara umum dapat dipenuhi oleh subyek Sementara diskrepansi konsep diri real-sosial ditemukan sangat rendah.
Melalui hasil kualitatif didapat bahwa keterkaitan diri sesungguhnya dengan masyarakat sangatlah kuat, bahkan masyarakat dianggap sebagai norma tertinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orientasi religius intrinsik pada subyek tergolong tinggi sementara orientasi religius ekstrinsik tergolong agak rendah. Gaya coping religius yang dominan dipakai oleh subyek adalah gaya Kerja Sama. Pemaknaan Tuhan yang utama adalah sebagai Pencipta, Penguasa, dan Penentu sementara pemaknaan agama yang utama adalah agama sebagai pedoman hidup dan norma-norma.
Hasil lainnya adalah orientasi religius intrinsik ternyata berhubungan dengna pembentukan konsep diri baik real, ideal maupun sosial. Selain itu, gaya coping religius Kerja Sama juga berpengaruh terhadap konsep diri sesorang. Sementara komponen lain dalam keberagamaan tidak berkontribusi dalam pembentukan konsep diri seseorang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diani Apriliyanti
"Emmanuel Levinas adalah seoorang fenomenolog eksistensialis. Levinas menolak totalitas dalam sejarah filsafat Barat dan mengarahkan kesadaran pada kehadiran yang lain. Yang lain adalah wajah. Penampakan wajha yang tanpa konteks senantiasa dalam ketelanjangan. Relasi etis intersubjektif terwujud dalam pertemuan wajah dengan wajaha. Wajah itu tak berhingga. Pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang berangkat dari fenomena sosial masyarakat yang heterogen yang memiliki keberagaman yang masing-masing memiliki keunikan. Dalam kondisi tersebut pendidikan multikultural diorientasi pada nilai-nilai. Pemikiran Levinas ini relevan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan multikultural yaitu demokrasi, humanisme, pluralisme, anti diskriminasi dan anti penindasan.

Emmanuel Levinas was a philosopher on existentialis phenomenology. The existence of the other is his way to refuse totality in the Western Philosophy. What he meant about the other is face. The face shows without any context and consistent in its nakedness. The ethical intersubjects relation happens when a face facing another. The face is always unlimited. Meanwhile, the multicultural education is a concept departed from hetero society phenomenon. Within that condition, the multicultural education is directed to values. Levainas' mentioned point of view is relevant with the values discussed in the said education, in example: democracy, humanity, pluralism, and anti-violance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S501
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tennie Marlim
"Skripsi ini merupakan analisis tentang pemikiran etika Emmanuel Levinas, seorang tokoh yang memberikan pandangan berbeda tentang relasi antar manusia. Dasar dari konsep etika Levinas adalah pejumpaan dengan wajah Yang Lain. Wajah yang dimaksud oleh Levinas bukan merupakan bentuk fisik dimana terdapat mata, hidung, dan telinga, melainkan cara dimana Yang Lain menampakan dirinya melampaui kemampuan subjek untuk mentematisasinya. Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani, yaitu manifestasi tiba-tiba atas makna realitas tertentu. Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan isi. Oleh karena itulah, wajah membawa kita melampaui Ada. Wajah adalah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing. Semua figur itu menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Subjek menjadi pengganti untuk Yang Lain tanpa memikirkan dampak pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab murni yang lahir dari perjumpaan dengan wajah Yang Lain. Pemikiran Levinas ini mendobrak relasi subjek-objek, menjadi subjek-subjek.

This thesis analyses the ethics thinking of Emmanuel Levinas, a philosopher who gave a different view about human relationship. The base of Levinas’ ethics is the encounter with The Other’s face. The meaning of The Other’s face is not the physical forms of eyes, nose, and ears, but a way in which The Other shows itself beyond the capability of a subject to characterize it. The discovery of the face, by Levinas is called an epiphany, that is the sudden manifestation of a particular meaning of reality. The face always rejects the attempt of absorptution by thought to become content. Because of that, the face brings us to go beyond being. The face is the personification of the poor, widows, orphans and strangers. All those figures hint us to an ethical occurrence. Subject becomes the substitution for The Others without thingking of the consequences onto itself. This is a responsibility that comes from encounter with The Other’s face. Levinas thought broke the subject-object relation, to become subject-subject relation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47554
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Alam Tejo
"Artikel ini bertujuan untuk menjabarkan pemikiran DR. Ali Syari'ati tentang rusyanfikir. Konsep rusyanfikir dapat memberi gambaran bahwa kiai pesantren seharunsya mampu mencetak intelektual muslim yang revolusioner. Kiai lewat institusi pesantren dapat menunjukkan keberpihakkannya kepada umat yang tertindas. Hal tersebut didasarkan kepada keuntungan yang diperoleh Kiai dalam relasi hubungan patronase antara Kiai-santri dimana Kiai telah memberikan hegemoni yang besar terhadap pola pikir sendiri. Dengan patronase yang kuat antar Kiai-santri diharapkan keberpihakan Kiai dapat mendorong para santri menjadi rusyanfikir, yaitu seseorang yang berusaha menemukan kebeneran di lingkungan masyarkatnya. Dengan menggunakan konsep rusyanfikir diharapkan dapat memberikan paradigma baru bagaimana seharusnya laku seorang intelektual dalam arti yang sebenar-benarnya. Mengingat Kiai sebagai tokoh sentral dalam kehidupa masyarakat ternyata memiliki ciri-ciri yang sama untuk menjadi seorang rusyanfikir, yaitu seseorang yang lahir dan tumbuh di dalam sanubari masyarakat sehingga Kiai tidak bisa lagi abai terhadap permasalahan umat."
Yogyakarta: BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA D.I. YOGYAKARTA, 2017
400 JANTRA 12:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Maladi
"Globalisasi mernberikan kesempatan bagi migran pekerja secara luas dan dengan intensitas yang tinggi. Di satu pihak globalisasi menyediakan lapangan kerja baru di luar negeri yang sebelumnya tidak bisa terjangkau karena jarak maupun biaya. Namun di sisi lain Globalisasi mengakibatkan buruh migran dihadapkan pada fleksibilitas pasar tenaga kerja yang menempatkan mereka pada kondisi yang rentan walaupun menerima pendapatan yang lebin baik dibandingkan di tanah airnya, terutama untuk tenaga kerja tidak terlatih.
Indonesia merupakan salah satu sumber pekerja miqran tidak terlatih (unskilled) yang mengisi banyak lapangan kerja di Negara-negara industri baru di Asia Timur dan Negara-negara pengekspor minyak di Timur: Tengah. Berbeda dengan para tenaga kerja terlatih, mereka sering menemui kondisi yang menyedihkan dengan pekerjaannya di luar negeri itu.
Untuk menjamin diperhatikannya kesejahteraan bagi tenaga kerja migran ini, beberapa konvensi di tingkat internasional telah merumuskan aturan-aturan dan standard-standard bagi pengelolaan pekerja migran. PBB sebagai Organisasi Internasional yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, melalui International Labour Organization telah berusaha agar prinsip-prinsip dan hak-hak yang tertuang dalam konvensi dasar ILO dihormati. Ini berarti perlu ada mekanisme pengawasan untuk memonitor pelaksanaannya, dimana antara lain dengan dikeluarkannya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families yang diadopsi oleh PBB sejak tahun 1990.
Dalam thesis tingkat magister ini, penulis ingin memaparkan mengenai aspek-aspek pentingnya upaya mengadopsi Konvensi Internasional ini kedalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia dan sampai sejauh manakah dapat memberikan perlindungan secara penuh terhadap hak-hak pekerja migrant Indonesia beserta seluruh keluarganya. Dan apakah upaya ratifikasi konvensi ini sungguh dapat memberikan perlindungan secara maksimal baik untuk pekerja migran asing yang bekerja di Indonesia terutama pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T16379
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>