Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165340 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lilis Diah Hendrawati
"Latar belakang. Pada anak Palsi Serebral terdapat hubungan antara motorik kasar (berdasarkan GMFCS) dan kemampuan manual (berdasarkan MACS) dengan kemampuan kognitif (berdasarkan tes IQ).Tujuan. Mengetahui hubungan antara skala GMFCS dan skala MACS dengan fungsi kognitif pada pasien Palsi Serebral (PS).
Metode penelitian. Penelitian dilakukan tanggal 17 Februari sampai 17 Mei 2018 pada pasien Palsi Serebral usai 5-18 tahun yang berobat di Poliklinik Neurologi Anak / Poliklinik Rehabilitasi Medik RSCM / YPAC Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil penelitian. Pasien PS yang ikut serta dalam penelitian ini sejumlah 69 subyek, dengan karakteristik usia 4-6 tahun (26%), 6-12 tahun (57%), 12-18 tahun (17%) ; anak laki-laki (56,6%), perempuan (43.4%). Didapatkan tipe PS diplegi (68,1%), PS hemiplegi (2,9%), PS kuadriplegi (29%), dengan sebaran skala GMFCS I (14,5%), II (13%), III (27,5%), IV (17%), V (20,4%). Sebaran skala MACS: I (42%), II (13%), III (5,8%), IV (13%), V (26,2%). Sementara sebaran hasil tes IQ dengan skala WISC: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20-35 (25%), <19 (25%).
Simpulan. Pada pasien PS, makin buruk kemampuan motorik kasar (GMFCS) maka makin buruk pula kemampuan manual (MACS) dan makin rendah pula IQ nya. Makin buruk kemampuan manual (MACS) makin rendah pula IQ nya. Tipe PS kuadriplegi memiliki nilai IQ yang paling rendah dibandingkan tipe PS diplegi/hemiplegi.

Objective.To determine the relationship between GMFCS and MACS with cognitive function in children with Cerebral Palsy. The study was conducted from February 17 to May 17, 2018. Children with Cerebral Palsy,  5-18 years old, were treated  at Pediatric Neurology Cipto Mangunkusumo Hospital/Medical Rehabilitation Cipto Mangunkusumo Hospital / YPAC Jakarta as outpatient, who met the research criteria.
Results. Children with Cerebral Palsy who participated in this study were 69 subjects, with characteristics of 4-6 years (26%), 6-12 years (57%), 12-18 years (17%); boys (56.6%), girls (43.4%). Cerebral Palsy type was obtained: diplegia (68.1%), hemiplegia (2.9%), quadriplegia (29%). Distribution scale of GMFCS: I  (14.5%), II (13%), III (27.5 %), IV (17%), V (20.4%). Distribution scale of MACS: I (42%), II (13%), III (5.8%), IV (13%), V (26.2%), while the distribution scale of IQ test with the WISC method: 91-110 (3%), 80-90 (1%), 66-79 (4%), 52-65 (17%), 36-51 (25%), 20 -35 (25%), <19 (25%).
Conclusions. Children with Cerebral Palsy, the worse gross motor function (GMFCS) then the worse manual ability (MACS) and the worse cognitive function (IQ). The worse manual ability (MACS) the lower the IQ. Quadriplegia type of Cerebral Palsy has the lowest IQ score compared to diplegia/ hemiplegia type of Cerebral Palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Lovitha Dewi
"Latar Belakang : Fungsi motorik kasar pada seorang anak berkaitan erat dengan kemampuan untuk menggunakan tangannya. Pada anak dengan Palsi Serebral, Gross Motor Function Classification System (GMFCS) dan Manual Ability Classification System (MACS) merupakan sistem klasifikasi yang digunakan untuk menentukan tingkat fungsi motorik kasar dan tingkat kemampuan manual, sehingga perlu diketahui apakah kedua sistem klasifikasi ini juga saling berhubungan dalam menggambarkan kemampuan fungsional pada anak dengan Palsi Serebral. Penilaian tingkat GMFCS dan MACS dapat melengkapi gambaran tentang keterbatasan aktifitas dan restriksi partisipasi anak dengan Palsi Serebral menurut International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF).
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara GMFCS dan MACS pada anak dengan Palsi Serebral.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik yang melibatkan 14 orang anak (8 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) dengan rerata usia 6,21 tahun. Seluruh subjek merupakan Palsi Serebral tipe spastik dan 7 orang diantaranya adalah spastik kuadriplegik. Tingkat kemampuan motorik kasar diklasifikasikan berdasarkan GMFCS dan tingkat kemampuan manual berdasarkan MACS. Hubungan antara GMFCS dan MACS ditentukan dengan uji korelasi non parametrik Spearman's.
Hasil: Didapatkan 57,1% anak mempunyai GMFCS tingkat V dan 35,7% dengan MACS tingkat V. Satu orang subjek dengan Palsi Serebral spastik hemiplegik berada pada GMFCS tingkat V dan MACS tingkat IV dan 1 orang subjek dengan Palsi Serebral spastik triplegik mempunyai GMFCS dan MACS tingkat IV. Lima orang subjek dengan Palsi Serebral spastik diplegik mempunyai tingkat GMFCS yang bervariasi dari tingkat I hingga tingkat V dan 60% mempunyai MACS tingkat II. Pada Palsi Serebral spastik kuadriplegik, 85,7% subjek mempunyai GMFCS tingkat V dan 71,4% dengan MACS tingkat V.
Kesimpulan: GMFCS dan MACS saling berhubungan dalam menggambarkan tingkat fungsi motorik kasar dan tingkat kemampuan manual pada seluruh jenis Palsi Serebral.

Background : Gross motor function correlates strongly with the children's ability to use their hands. The Gross Motor Function Classification System (GMFCS) and the Manual Ability Classification System (MACS) was designed to determine the level of gross motor function and manual ability, and we need to know the relationship between these classifications to describe the functional ability for the children with Cerebral Palsy. GMFCS and MACS will give the complete description about the activity limitation and participation restriction in children with Cerebral Palsy, according to the International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF).
The aim : To investigate the relationship among the GMFCS and MACS in children with Cerebral Palsy.
Methods: This is was the analytic cross sectional study which involving 14 children with the average age 6,21 years old (8 males and 6 females). All of the children was diagnosed as spastic Cerebral Palsy with 1 hemiplegic, 5 diplegic, 1 triplegic and 7 quadriplegic. The children were classified by researcher according to the GMFCS for their motor function and according to the MACS for the functioning of their hands when handling objects in daily activities. The relationship among the GMFCS and MACS was analyzed with the Spearman correlation test.
Results: From all of the children, 57,1% was the children with GMFCS level V and 35,7% with MACS level V. One subject with spastic hemiplegic was the child with level V in GMFCS and level IV in MACS and 1 subject with spastic triplegic have the GMFCS and MACS level IV. Five subjects with spastic diplegic were have varying distribution in all of GMFCS levels and 60% from all of spastic diplegic children have the MACS level II. In spastic quadriplegic, 85,7% were the subjects with level V in GMFCS and 71,4% with level V in MACS.
Conclusion: The GMFCS and MACS correlate each other for describing the level of gross motor function and manual ability in all of the types of Cerebral Palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindrawati Tjuatja
"Palsi serebral adalah penyebab utama disabilitas fisik di negara berkembang. Penderita palsi serebral dengan ketidakmampuan ambulasi berpeluang mengalami kontraktur sendi dan kelainan postur, yang dapat memburuk. Kelainan postur yang dapat terjadi adalah skoliosis, pelvic obliquity dan subluksasi/dislokasi panggul dengan problem sekunder nyeri, hilangnya kemampuan mandiri, duduk, berdiri, berjalan, ulkus dekubitus, masalah dalam kebersihan perineal, kardiovaskular dan respirasi. Sehingga perlu dilakukan deteksi sejak dini kelainan postur terutama kejadian subluksasi/dislokasi panggul.
Metode : Desain penelitian ini adalah studi potong lintang dengan tujuan melihat apakah terdapat hubungan antara derajat spastisitas otot aduktor panggul, level Gross Motor Function Classification System (GMFCS) dan nilai Migration Percentage (MP) untuk mendeteksi dislokasi panggul pada anak palsi serebral yang datang ke poli rawat jalan divisi pediatri Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Spastisitas otot aduktor panggul dinilai menggunakan Modified Tardieu Scale (MTS) komponen R2, R1 dan R2-R1, level GMFCS dinilai dengan menggunakan panduan GMFCS dan nilai MP didapat dari pengukuran foto panggul AP oleh dokter spesialis Radiologi.
Hasil : Dari 30 responden penelitian, 3 tungkai dieksklusi sehingga analisis spastisitas aduktor panggul dan MP dilakukan pada total 57 tungkai. Penelitian ini menunjukkan tidak ada korelasi antara derajat spastisitas otot aduktor panggul dengan nilai MP dalam mendeteksi dislokasi panggul (antara variabel R2 dan MP dengan nilai r = -0,060; p = 0,658. Antara variabel R1 dan MP dengan nilai r = - 0,136; p = 0,314) dan tidak ada perbedaan bermakna level GMFCS dengan nilai MP dalam mendeteksi dislokasi panggul (p = 0,831).
Kesimpulan : Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya korelasi antara derajat spastisitas otot aduktor panggul dengan nilai Migration Percentage dan tidak didapatkan adanya perbedaan bermakna level Gross Motor Function Classification System dengan nilai Migration Percentage dalam mendeteksi dislokasi panggul.

Cerebral palsy was the most common cause of physical disability in the developing country. A non-ambulant child with cerebral palsy was vulnerable to the development of joint contractures and postural deformity, which are often progressive. Postural deformities that can arise were scoliosis, pelvic obliquity and hip subluxation/dislocation with the secondary problems were pain, loss of ability to be independence, sitting, standing, walking, pressure ulcers, perineal hygiene and cardiorespiration. It was necessary to make early detection for postural deformities particularly hip subluxation/dislocation.
Methods : This was a cross sectional study. The aim of this study to see there are any associations among the degree of hip adductor spasticity, the level of Gross Motor Function Classification System (GMFCS) and the Migration Percentage (MP) to detect the occurrence of hip dislocation in children with cerebral palsy who came to outpatient polyclinic pediatric division of Physical and Rehabilitation Departmen, RSUPN Cipto Mangunkusumo. The hip adductor spasticity was measured with Modified Tardieu Scale (MTS) R2, R1 dan R2-R1 component, The level of GMFCS was measured with GMFCS protocol and the MP has done by Radiolog on plain foto of pelvic AP.
Results : From the 30 respondens, 3 legs were exclude, therefor just 57 legs were analized for hip adductor spasticity and MP. This study shows that there was no correlation between degree of hip adductor spasticity and MP (between variable R2 and MP with score r = -0,060; p = 0,658. Between variable R1 and MP with score r = -0,136; p = 0,314), there was no significant difference between level of GMFCS and MP (p = 0,831).
Conclusion : This study shows that there is no correlation between degree of hip adductor spasticity and MP, there is no significant difference between level of GMFCS and MP to detect the occurance of hip dislocation in children with cerebral palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hidayah
"Latar belakang. Cerebral palsy CP adalah penyakit neurologi yang menyebabkan disabilitas jangka panjang. GMFCS adalah pengklasifikasian CP yang sering digunakan klinisi untuk melihat keparahan dan perkembangan penyakit CP. Terdapat beberapa faktor yang mungkin dapat memengaruhi perubahan motorik kasar pasien CP seperti usia, jenis kelamin, usia gestasi, tipe CP berdasar topografi, riwayat asfiksia, gambaran radiologi, ukuran lingkar kepala, adanya gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, epilepsi dan lama mederita CP.
Tujuan. Mengetahui karakteristik klinis pasien CP, perubahan motorik kasar berdasar GMFCS serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.Metode penelitian. Penelitian berupa cross-sectional untuk melihat perubahan motorik kasar berdasarkan GMFCS dan faktor yang memengaruhinya. Analisis yang dipakai untuk mengetahui hubungan adalah uji MacNemar dan kai kuadrat.
Hasil penelitian. Kejadian CP lebih banyak pada anak laki-laki 61 , lahir matur 75 , tipe tetraplegi 66 , radiologi abnormal 83,3 , lingkar kepala abnormal 83 dan adanya epilepsi 61. Didapatkan perbaikan bermakna antara GMFCS saat awal diagnosis dibandingkan GMFCS saat ini p

Background. Cerebral palsy CP is a neurological disease that causes long-term disability. GMFCS is a CP classifier that clinicians often use to see the severity and progression of CP. There are several factors that may affect the gross motor changes in CP such as age, sex, gestational age, CP type based on topography, asphyxia history, radiological features, head circumference, visual impairment, hearing loss, epilepsy and duration of CP.
Objectives. The research aims to find the clinical characteristics of CP, gross motor changes based on GMFCS and the factors that influence it.Method. The study was cross sectional to see gross motor changes based on GMFCS and the factors that influenced it. The analysis used to determine the relationship is MacNemar and kai square test.
Results. The case of CP was greater in male 61, mature birth 75, tetraplegi type 66, abnormal radiology 83,3 , abnormal head circumference 83 and epilepsy 61 . There were significant improvements between GMFCS at the start of the diagnosis versus current GMFCS p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yonda Gestaningrum
"Tesis ini disusun untuk menilai pengaruh latihan Functional Chewing terhadap fungsi mengunyah pasien anak palsi serebral dengan disfagia fase orofaringeal menggunakan metode penelitian evidence-based case report (EBCR). Pencarian literatur dilakukan pada Cochrane, Pubmed, Science direct, Oxford Academic dan Sage Journals sesuai dengan pertanyaan klinis. Penelitian ini menggunakan meta-analisis pada kedua jurnal yang didapat untuk menilai kualitasnya berdasarkan validitas, kepentingan dan aplikabilitasnya. Dari hasil meta-analisis didapatkan bahwa subjek penelitian adalah disfagia orofaringeal pada anak palsi serebral dengan GMFCS level V dan indikator kemampuan mengunyah Karaduman Chewing Performance Scale (KCPS) 4 yang mendapatkan latihan Functional Chewing memiliki kemampuan mengunyah yang lebih baik dibandingkan yang mendapatkan latihan oromotor tradisional. Kesimpulan penelitian ini adalah latihan Functional Chewing dapat meningkatkan kemampuan mengunyah pada pasien anak palsi serebral dengan disfagia fase orofaringeal.

This thesis was designed to assess the effect of Functional Chewing exercise on the chewing function of children with cerebral palsy with oropharyngeal dysphagia using an evidence-based case report (EBCR) research method. A literature search was performed on Cochrane, Pubmed, Science direct, Oxford Academic and Sage Journals according to clinical questions. This study uses a meta-analysis of the two journals obtained to assess their quality based on their validity, importance and applicability. From the results of the meta-analysis, it was found that the research subject was oropharyngeal dysphagia in children with cerebral palsy with GMFCS level V and the Karaduman Chewing Performance Scale (KCPS) 4 chewing ability indicator who received Functional Chewing exercise had better chewing ability than those who received traditional oromotor exercise. The conclusion of this study is that Functional Chewing exercises can improve chewing ability in children with cerebral palsy with oropharyngeal dysphagia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tarnimatul Ummah
"Keterlambatan perkembangan motorik berdampak negatif pada seluruh aspek perkembangan di masa mendatang. Kemudahan dalam mengakses teknologi membuka peluang bagi anak untuk lebih beraktivitas sedentari yang meminimalisasi kesempatan mempelajari kemampuan motorik kasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan aktivitas sedentari dengan perkembangan motorik kasar anak usia prasekolah.
Desain penelitian ini adalah studi cross sectional menggunakan 85 responden (orang tua dan anak prasekolah) di lembaga pendidikan anak usia dini Ujung Berung Bandung dengan teknik consecutive sampling. Modifikasi Children's Leisure Activities Study dan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan digunakan untuk mengkaji aktivitas dan perkembangan motorik kasar anak. Penelitian ini menggunakan analisis point-biserial correlation. 85.53% anak memiliki perkembangan motorik kasar yang sesuai dan 16.47% lainnya tidak sesuai.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kedua variabel adalah sangat lemah (r = 0.007, α = 0.05). Aktivitas sedentari tidak secara langsung memengaruhi perkembangan motorik kasar, tetapi mengurangi anak untuk melakukan aktivitas fisik yang menstimulasi perkembangan motorik kasarnya. Akan tetapi, orang tua tetap perlu membatasi waktu aktivitas sedentari anak sehingga anak akan beraktivitas fisik untuk melatih perkembangan motoriknya. Selain itu, pelayanan kesehatan perlu melakukan skrining perkembangan pada lembaga pendidikan anak usia dini agar keterlambatan dapat ditangani sejak dini.

Delay in motor development have a negative impact on all aspects of development in the future. Technology opens up opportunitiy for the children to be more sedentary which will minimize the chance to learn gross motor abilities. This study aimed to determine the strength of relationship between sedentary activity and gross motor development of preschool age children.
The study design was a cross sectional study with 85 respondents (parents and preschool children) in early childhood education institutions Ujung Berung Bandung which were collected with consecutive sampling technique. A modification of Children's Leisure Activities Study and Kuesioner Pra Skrining Perkembangan was used to assess children activities and gross motor development. This study uses point-biserial correlation analysis. 85.53% of respondents had appropriate gross motor development and as many as 16.47% were not.
The result showed that the relationship between sedentary activity and gross motor development is very weak (r = 0.007, α = 0.05). Sedentary activity did not directly affect gross motor development, but it can reduce the children to perform physical activities that stimulate gross motor development. Therefore, parents still need to limit sedentary activity time of the children, so that they will physically active to develop their motor ability. In addition, health services need to screen on the children development in early childhood education institutions, so that delays can be treated earlier.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putri
"Spastisitas pada palsi serebral merupakan penyebab disabilitas terbesar pada anak-anak 80 . Akupunktur sebagai terapi tambahan diketahui dapat membantu mengurangi spastisitas pada anak dengan palsi serebral. Salah satu modalitas akupunktur dengan efek samping minimal dan aman untuk anak-anak adalah laserpunktur. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh laserpunktur pada titik GV20, GV14, LI4, GB34 dan LR3 terhadap spastisitas pada palsi serebral tipe spastik. Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal dengan kontrol. Melibatkan 60 pasien palsi serebral tipe spastik usia 2-10 tahun yang dibagi menjadi dua kelompok. Pasien yang menyelesaikan terapi hingga akhir penelitian adalah 52 orang, 8 pasien dinyatakan dropout. Kelompok perlakuan sebanyak 26 pasien mendapatkan terapi laserpunktur dan kelompok kontrol sebanyak 26 pasien mendapatkan terapi laserpunktur plasebo, masing-masing sebanyak 12 kali terapi dengan frekuensi 3 kali seminggu. Kemudian pada kedua kelompok dilakukan penilaian spastisitas menggunakan Modified Ashworth Scale MAS sebelum dan setelah mendapatkan perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan nilai MAS setelah perlakuan pada kelompok laserpunktur dibandingkan kelompok laserpunktur plasebo p < 0,05; 95 IK = 2,616 - 15,230 , terdapat penurunan nilai MAS pada kelompok laserpunktur setelah perlakuan dibandingkan sebelum perlakuan p < 0,05; 95 IK = 2,354 - 11,030 , tidak terdapat penurunan nilai MAS pada kelompok laserpunktur plasebo setelah perlakuan dibandingkan sebelum perlakuan p > 0,05; 95 IK = -7,027 - 2,565 , dan terdapat penurunan nilai MAS 3,6 kali lebih besar pada kelompok laserpunktur dibandingkan kelompok laserpunktur plasebo OR = 3,6, p < 0,05 . Dapat disimpulkan bahwa laserpunktur pada titik akupunktur GV20, GV14, LI4, GB34 dan LR3 terbukti efektif terhadap penurunan nilai MAS dibandingkan dengan laserpunktur plasebo pada anak dengan palsi serebral tipe spastik.

Spasticity is a common feature of cerebral palsy 80 and the most common cause of disability in children. Acupuncture as an adjunctive therapy is known to help reduce spasticity in children with cerebral palsy. One of the acupuncture modalities with minimal side effects and safe for children is laser acupuncture or laserpuncture. This study aims is to determine the laserpuncture effects on GV20, GV14, LI4, GB34 and LR3 to spasticity on spastic cerebral palsy patients. The study design is a randomized single blinded clinical trial, involving 60 patients aged 2 to 10 years, divided into two groups. Only 52 patients who completed therapy until the end of the study, 8 patients stated dropout. The treatment group 26 patients received laserpuncture therapy, and the control group 26 patients received laserpuncture plasebo, each patient get 12 times therapy with frequency 3 times a week. Both of groups evaluated for spasticity using Modified Ashworth Scale MAS before and after treatment. The results showed a decrease in MAS score after treatment p 0,05 95 CI 2,616 15,230 in the laserpuncture group compared to the placebo group, a decrease in MAS score in the laserpuncture group after treatment p 0,05 95 CI 2,354 11,030 compared to before treatment, there is no improvement in the placebo group after treatment p 0,05 95 CI 7,027 2,565 compared to before treatment, and there was a decrease in MAS score 3,6 time greater in the laserpuncture group compared to the placebo group OR 3,6, p 0,05 . It can be concluded that laserpuncture therapy more effectively reduce MAS score in patients with spastic cerebral palsy compared to laserpuncture placebo. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Ekawati
"Gangguan komunikasi pada anak dengan palsi serebral dapat meliputi gangguan pada proses berbicara dan berbahasa baik ekspresif maupun reseptif. Gangguan fungsi komunikasi berpengaruh secara bermakna terhadap kualitas hidup anak dengan palsi serebral terutama dalam domain aktivitas sehari-hari dan partisipasi dalam hubungan sosial. Sistem penilaian fungsi komunikasi pada anak dengan palsi serebral sangat diperlukan untuk mendapatkan data dasar fungsi komunikasi anak. Communication Function Classification System (CFCS) merupakan instrumen yang dipakai untuk mengelompokkan fungsi komunikasi anak dengan palsi serebral. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kesahihan dan keandalan instrumen CFCS yang diadaptasi dan diterjemahkan dalam budaya dan bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik divisi Pediatri RSCM dari 1 Oktober 2021 hingga 28 Februari 2022. Metode yang digunakan adalah desain potong lintang dengan sampel berjumlah 42 orang. Uji kesahian menggunakan validitas isi. Data diolah dengan uji keandalan inter-rater menggunakan koefisien Kappa dan test-retest menggunakan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien Kappa antara rater dokter dengan terapi wicara adalah 0,643 (baik), nilai antara rater dokter dengan pelaku rawat adalah 0,385 (lemah) dan nilai antara rater terapi wicara dengan pelaku rawat adalah 0,333 (lemah). Nilai ICC pada rater dokter adalah 1,000, rater terapis wicara adalah 0.973 dan pada rater pelaku rawat adalah 0,937. Berdasarkan hasil dari proses translasi, adaptasi bahasa, uji keandalan inter rater dan test retest maka dapat disimpulkan CFCS versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang sahih dan memiliki keandalan yang baik antara rater dokter dan terapi wicara untuk digunakan sebagai alat klasifikasi fungsi komunikasi penderita palsi serebral di Indonesia.

Communication disorders in children with cerebral palsy can include disturbances in speech and language processes, both expressive and receptive. Impaired communication function significantly affects quality of life of children with cerebral palsy, especially in the domain of daily activities and participation in social relationships. The communication function classification system in children with cerebral palsy is needed to obtain basic data on children's communication functions. The Communication Function Classification System (CFCS) is an instrument used to classify the communication functions of children with cerebral palsy. This study aims to test the validity and reliability of the CFCS instrument adapted and translated into Indonesian culture and language. This research was conducted at the Polyclinic of Department of Medical Rehabilitation in Pediatrics Division of RSCM from October 1, 2021 to February 28, 2022. The method used was a cross-sectional design with a sample of 42 subjects. Validity test using content validity. The data was processed by inter-rater reliability test using Kappa coefficient and test-retest using Intraclass Correlation Coefficient (ICC). The results showed that the Kappa coefficient between raters of doctors and speech therapy was 0.643 (good), the value between raters of doctors and caregivers was 0.385 (weak) and the value between raters of speech therapy and caregivers was 0.333 (weak). The ICC value for the doctor rater is 1,000, the speech therapist rater is 0.973 and the caregivers rater is 0.937. Based on the translation process, language adaptation, inter rater reliability test and test retest, it can be concluded that the Indonesian version of the CFCS is a valid instrument and has good reliability between rater doctors and speech therapy to be used as a means of classifying the communication function of patients with cerebral palsy in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willbert Nielson
"Latar Belakang: Prevalensi Stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh WHO. Stunting menyebabkan defisit pertumbuhan fisik anak untuk usianya, serta defisit kinerja kognitif dan akademik jangka pendek maupun jangka Panjang. Telah dilaporkan adanya hubungan antara kondisi stunting dengan penurunan kadar IGF-1, serta hubungan antara kadar IGF-1 dengan perkembangan kognitif. Pengukuran kadar IGF-1 yang dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan lazim dilakukan pada IGF-1 darah. Diketahui bahwa saliva mengandung biomarker yang terkandung di dalam darah, termasuk IGF-1, dalam kuantitas yang jauh lebih rendah. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kemampuan kognitif dan status gizi stunting pada anak-anak usia 6-8 tahun. Metode: Sampel saliva merupakan sediaan biologis tersimpan dari penelitian tahun 2019 pada populasi siswa/i sekolah dasar (SD) kelas 1-2 Kecamatan Nangapanda, Ende, Nusa Tenggara Timur yang telah dikelompokan berdasarkan status gizi stunting dan normal. Sampel saliva diuji menggunakan Bradford assay untuk melihat jumlah total proteinnya, setelah itu sampel diuji menggunakan ELISA kit human IGF-1 untuk melihat kadar IGF-1. Perkembangan kognitif dinilai berdasarkan skor Raven’s Colored Progressive Matrices. Analisis data menggunakan SPSS. Hasil: Dalam penelitian ini, total protein saliva anak normal 824,47 mg/ml dan pada anak stunting 879,45 mg/ml. Kadar IGF-1 saliva anak normal 7,50 ng/ml dan pada anak stunting 5,64 ng/ml. tidak berbeda bermakna. Proporsi IGF-1 terhadap total protein anak normal 1,04×10-2 dan pada anak stunting 8,96×10-3. Tidak ada perbedaan signifikan proposi kadar IGF-1 saliva antara anak normal dan stunting (p>0,05), dan antara skor perkembangan kognitif anak normal 4,53 dan pada anak stunting 3,04. Korelasi antara variabel adalah sebagai berikut: korelasi positif sangat lemah antar kadar IGF-1 dengan status gizi (r=0,147), korelasi positif sangat lemah antar skor perkembangan kognitif dengan status gizi (r=0,192), tidak ada korelasi antar kadar IGF-1 dengan skor perkembangan kognitif (r=-0,034). Kesimpulan: Pada anak stunting usia 6-8 tahun yang kadar IGF-1 saliva dan perkembangan kognitifnya tidak berbeda bermakna dengan anak normal, masih terlihat bahwa kondisi stunting berhubungan dengan penurunan kognitif, dan bahwa penurunan kadar IGF-1 saliva dapat mengindikasikan kondisi stunting tetapi tidak berhubungan dengan penurunan perkembangan kognitifnya.

Background: The prevalence of Stunting in Indonesia is still higher than what had been determined by WHO. In addition to a deficit in a child's stature for their age, stunting has also been associated with short- and long-term deficit in cognitive and academic performance. It had been reported that there were corelations between stunting with decreased IGF-1 level and cognitive impairment. The measurement of IGF-1 level in these studies were taken from blood. Saliva contains significantly lower concentration of biomarkers that are present in blood. Objective: Analyzing the relationship between salivary IGF-1 levels with cognitive abilities and nutritional status in stunted children aged 6-8 years. Method: Saliva were taken from stored biological specimen derived from a research in 2019 at students grades 1-2 elementary schools in Nangapanda, Ende, East Nusa Tenggara, and then grouped based on stunting and normal nutritional status. Saliva samples were tested using the Bradford assay to measure the total amount of protein, the levels of IGF-1 were tested using the human IGF-1 ELISA. The cognitive development scores were measured using Raven Colored Progressive Matrices. The data were analyzed using SPSS. Result: In this study, total protein in normal children 824,47 mg/ml and in stunted children 879,45 mg/ml. Salivary IGF-1 levels in normal children 7,50 ng/ml and in stunted children 5,64 ng/ml. Proportion Salivary IGF-1 to total protein in normal children 1,04×10-2 and in stunted children 8,96×10-3. There was no significant difference between normal and stunted children. Cognitive development scores in normal children 4,53 and in stunted children 3,04. The correlations between variables were as follows: very weak positive correlation between IGF-1 levels and nutritional status (r=0.147), very weak positive correlation between cognitive development scores and nutritional status (r = 0.192), no correlation between IGF-1 levels and cognitive development scores (r = - 0.034). Conclusion: In stunted children aged 6-8 years whose salivary IGF-1 levels and cognitive development score were not significantly different from normal children, there was still an indication that stunting was associated with cognitive decline, and that a decrease in salivary IGF-1 levels could develop stunting conditions but was not associated with decline in cognitive development."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Saida
"Anemia adalah salah satu masalah gizi yang masi banyak terjadi di Indonesia. Anemia memiliki pengaruh buruk terhadap kesehatan, konsentrasi, kemampuan kognitif dan prestasi belajar. Kemampuan kognitif anak yang diperoleh dari proses belajar mempengaruhi prestasi belajar. Tujuan belajar adalah menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan anemia dengan kemampuan kognitif pada anak usia sekolah. Desain penelitian ini cross-sectional menggunakan data sekunder IFLS 5 yang dilakukan pada bulan Juni-Desember 2020. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi anak usia sekolah. Uji yang digunakan adalah kai kuadrat dan regresi logistik model faktor risiko. Anak usia sekolah yang anemia sebesar 25,6% dan diestimasikan ada sekitar 41,7% dari mereka yang menderita defisiensi zat besi. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang signitifkan antara anemia (p=0,043;OR=1,6), usia (p=0,007), pendidikan ibu (p=0,002;OR=1,96), frekuensi makan telur (p=0,022) dan status sekolah (p=0,009;OR=2) dengan kemampuan kognitif. Hasil analisis multivariat tidak ditemukan adanya variabel interaksi antara anemia dan variabel konfonding lainya. Anak yang tidak anemia berkemungkinan memiliki kemampuan kognitif 1,6 kali lebih baik setelah dikontrol variabel status sekolah. Disarankan kepada sekolah untuk memilih satu perwakilan per kelas yang bertugas mengingatkan untuk mengonsumsi tablet tambah darah mengingat besarnya pengaruh teman sebaya pada anak usia sekolah.

Anemia is one of the most common nutritional problems in Indonesia. Anemia has negative impact on health, concentration, cognitifve ability dan academic achievemnt. Children cognitive abilities is obtained from learning process and effects the academic achievement. The purpose of this study was to determine the association between anemia and cognitive abilities in school aged children. This is a cross-sectional study using a secondary data from IFLS 5 and was conducted from June-December 2020. The sample of this study was all school aged schildren in Indonesia. This study used chi square test and logistic regression of risk factor. Among the children 25,6% was anemia and estimated about 41,7% suffer iron deficiency. Bivariate analysis showed that there was a significant relation between anemia (p=0,043;OR1,6), age (p = 0.007), mother's education (p = 0.002; OR = 1.96), frequency of eating eggs (p = 0.022) and school status (p = 0.009;OR=2) with cognitive abilities. There were no interaction variable to anemia and other confounding variabel. Children who are not anemic has 1,6 chance to have better cognitive ability after adjusting school status. Suggested to school to choose one representative per class to remind his/her friends to consume iron supplemen knowing that friends have big influence in children"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>