Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159089 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinda Diafiri
"Latar Belakang: Gangguan kognitif merupakan komplikasi yang umum ditemui pada pasien HIV. Hal ini disebabkan oleh kerusakan neuronal oleh infeksi HIV. Gangguan kognitif dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dengan berkembangnya terapi antiretroviral (ART) terjadi penurunan derajat keparahan gangguan kognitif dan peningkatan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fungsi kognitif dan kualitas hidup hidup pasien HIV setelah ART selama 3 bulan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif bagian dari JacCCANDO study (JAKarta CMV and Candida in HIV patients on ART evaluation in Cardiology, Neurocognitive, Dentistry and Ophtalmology Study) dimana subjek penelitian merupakan pasien HIV dengan imunodefisiensi berat (sel limfosit T CD4 < 200 sel/mL). Data yang digunakan pada penelitian adalah data sebelum dan setelah ART selama 3 bulan. Dilakukan penilaian kognitif lengkap, kualitas hidup (SF-36) serta pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Didapatkan 51 subjek dengan rentang usia subjek ialah 19-44 tahun. Didapatkan perbaikan skor (p<0,05) pada median Z kognitif,  Z fluensi, Z eksekutif, Z keterampilan motorik, skor kesehatan fisik dan mental setelah ART 3 bulan. Tidak didapatkan korelasi antara perubahan kognitif dengan kualitas hidup baik kesehatan fisik dan mental.
Kesimpulan: Terdapat perbaikan fungsi kognitif pada domain fluensi, fungsi eksekutif dan keterampilan motorik serta perbaikan kualitas hidup baik kesehatan fisik maupun mental pada pasien HIV naïve setelah pemberian antiretroviral selama 3 bulan.

Background: Cognitive impairment is one of the common complications found in patients with HIV. It is caused by neuronal damaged of HIV infection. Cognitive impairment could influencing the patient's quality of life (QoL). However, the development of antiretroviral therapy (ART) results in a decrease of cognitive impairment severity as well as an increase of QoL. This study aims to investigate the cognitive function and QoL changes in HIV patients after 3 months of ART.
Methods: This is a prospective cohort study and a part of JacCCANDO study (JAKarta CMV and Candida in HIV patients on ART evaluation in Cardiology, Neurocognitive, Dentistry and Ophthalmology Study) where all subjects were HIV patients with severe immunodeficiency (CD4 T-lymphocyte cell < 200 cells/mL). In this study, data was taken before and after antiretroviral therapy for 3 months. Complete cognitive assessment was performed, QoL (SF-36), and laboratory examination.
Result: Fifty-one subjects were gathered in this study. The age range was within 19-44 years old. There also a score improvement (p<0.05) in Z cognitive median, Z fluency, Z executive, Z motoric skills, physical health score and mental health score after 3 months of ART. No correlation was found between cognitive changes and QoL in neither physical health nor mental health.
Conclusion: There was an improvement of cognitive function within fluency domain, executive function, and motoric skills as well as the QoL improvement in both physical and mental health amongst naïve HIV patients after 3 months of antiretroviral therapy. Overall changes of cognitive function did not affect the QoL in both physical and mental.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rizal
"Sampai saat ini, belum ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV tetapi ada pengobatan yang bisa memperlambat perkembangan HIV dalam tubuh yang disebut Antiretroviral Treatment. Perkembangan HIV secara in vivo dapat dimodelkan ke dalam sistem persamaan diferensial biasa menggunakan pendekatan deterministik. Pada tesis ini dibentuklah model matematika untuk dinamika virus HIV di dalam tubuh dengan adanya intervensi Antiretroviral Treatment dan memperhitungkan pengaruh Apoptosis pada sel-T. Analisis sistem dinamik pada model untuk menentukan kestabilan dari titik keseimbangan bebas infeksi dan titik keseimbangan endemik menggunakan kriteria Routh-Hurwitz. Simulasi numerik menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel-T sehat (T) dan perkembangan jumlah virus HIV (V) di dalam tubuh dapat dihambat dengan signifikan jika pengobatan ART diberikan setiap hari secara teratur dan pemilihan nilai parameter Apoptosis (A) berada pada interval [0,1 ; 0,5].

Until now, there is no medicine to cure HIV infection, but there is a treatment that can slow the progression of HIV in the body called Antiretroviral Treatment. The development of HIV, when evaluated in vivo can be modeled into a system of ordinary differential equations using a deterministic approach. In this paper, be formed a mathematical model for the dynamics of HIV in the body with the intervention of Antiretroviral Treatment and take into account the influence of Apoptosis on T-cells. The dynamic system analysis of the model to determine the stability of the infectious free equilibrium point and the endemic equilibrium point uses the Routh-Hurwitz criterion. Numerical simulations show that a decrease in the number of healthy T-cells (T) and the proliferation of HIV virus (V) in the body can be significantly impeded if ART treatment is administered daily on a regular basis and the selection of Apoptosis (A) parameter values is at interval [0.1 ; 0.5]."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T49943
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Intan Qolbiyah
"Infeksi Virus Human Immunodeficiency mungkin memiliki dampak psikososial pada penderitanya. Penyakit ini menciptakan stigma, yang membuat orang dengan HIV / AIDS (ODHA) cenderung menutupi status HIV mereka di masyarakat. Ketakutan ditolak dan diperlakukan secara berbeda membuat ODHA menyembunyikan perlakuan mereka. Jenis perilaku dapat mengganggu pengobatan mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan kepatuhan dengan obat yang seharusnya 95% -100% dari dosis obat yang diberikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengungkapan status HIV dan stigma dengan kepatuhan pengobatan antiretroviral. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional pada 112 Odha di RSKO Jakarta dan Puskesmas Pasar Rebo. Instrumen yang digunakan termasuk Skala Singkat Pengungkapan HIV untuk menilai pengungkapan status HIV, Skala Stigma HIV Berger untuk menilai stigma, dan Skala Kepatuhan Pengobatan Morisky (item MMAS 4) untuk menilai kepatuhan ARV.
Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan chi-square dan menunjukkan tidak ada hubungan antara pengungkapan status HIV dengan kepatuhan menggunakan ARV, (nilai p = 1.000; α = 0,05) dan tidak ada hubungan antara stigma dan kepatuhan ARV (nilai p = 0,849 ; α = 0,05). Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk layanan perawatan kesehatan agar lebih memperhatikan kepatuhan pengobatan pasien mereka dan memberikan dukungan kepada mereka untuk meningkatkan pengobatan mereka. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan studi orientasi seksual terlebih dahulu.

Human Immunodeficiency Virus Infection may have a psychosocial impact on the sufferer. This disease creates a stigma, which makes people with HIV / AIDS (PLWHA) tend to cover their HIV status in the community. Fear of being rejected and treated differently makes PLHIV conceal their treatment. This type of behavior can interfere with their treatment, so they do not get compliance with drugs that should be 95% -100% of the drug dose given.
This study aims to determine the relationship between disclosure of HIV status and stigma with adherence to antiretroviral treatment. This study used a cross-sectional design for 112 people living with HIV in RSKO Jakarta and Pasar Rebo Health Center. Instruments used included the HIV Disclosure Brief Scale to assess HIV status disclosure, the Berger HIV Stigma Scale to assess stigma, and the Morisky Treatment Compliance Scale (MMAS 4 item) to assess ARV compliance.
The results of this study were analyzed using chi-square and showed no relationship between disclosure of HIV status with adherence using ARVs (p value = 1,000; α = 0.05) and no relationship between stigma and ARV compliance (p value = 0.849; α = 0.05). This research is expected to be useful for health care services to pay more attention to the treatment compliance of their patients and provide support to them to improve their treatment. Suggestions for further research is to conduct a sexual orientation study first.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiqomah
"Kepatuhan terapi ARV adalah hal terpenting bagi penderita HIV agar keberhasilan manajemen terapi dapat tercapai, dimana dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya sosiodemografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan), tingkat pengetahuan HIV, dan pengetahuan ARV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV pada penderita HIV/AIDS. Menggunakan cross sectional, analisa data menggunakan uji chi-square, pada 90 responden penderita HIV yang mengkonsumsi ARV di Kota Depok.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV diantaranya Usia (p: 0,000 , α: 0,05), Tingkat pendidikan (p: 0,000 , α: 0,05), Pengetahuan HIV (p: 0,000 , α: 0,05), dan Pengetahuan ARV (p: 0,006 , α: 0,05). Sementara jenis kelamin (p: 0,729 , α: 0,05),dan Pekerjaan (p: 0,119 , α: 0,05) tidak berhubungan.

The adherence towards ARV therapy plays the most important role for HIV infected patients in order to achieve successful management of therapy, which various factors are presumed to affect such as sociodemographic factors (age, sex, education, and occupation), knowledge HIV and ARV. This research is conducted to find out the factors, which are affecting the obedience of the HIV infected people toward ARV therapy. The criss sectional design is used in the research, to analyze data , the author uses chi-square consecutive sampling and total samples from 90 correspondents, HIV infected patients who are currently consuming ARV in Depok.
The result of the research condusted in this thesis shows factors associated with adherence toward ARV therapy among age (p: 0,000 , α: 0,05), education (p: 0,000 , α: 0,05), knowledge HIV (p: 0,000 , α: 0,05), and knowledge ARV (p: 0,006 , α: 0,05). While sex (p: 0,729 , α: 0,05), and occupation (p: 0,119 , α: 0,05) are not associated.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S63230
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Nurul Hanifa
"

Latar Belakang. Kualitas tidur buruk merupakan salah satu komorbiditas yang sering terjadi pada pasien dengan HIV. Secara khusus, populasi pasien dengan HIV lebih rentan untuk memiliki kualitas tidur yang buruk yang diakibatkan oleh berbagai faktor yaitu efek samping terapi antiretroviral, psikososial,dan gangguan imunitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kualitas tidur buruk pada pasien dengan HIV dalam terapi antiretroviral (ARV) dan faktor-faktor yang berhubungan.

Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada September 2016 sampai Februari 2017. Kriteria inklusi adalah pasien dengan HIV dewasa yang mengkonsumsi terapi antiretroviral selama minimal 12 bulan. Kualitas tidur ditentukan dengan kuesioner Pittsburgh sleep quality index (PSQI) yang terdiri dari 9 pertanyaan, dengan skor >5 menunjukkan kualitas tidur buruk. Risiko tinggi obstructive sleep apnea (OSA), excessive daytime sleepiness (EDS), dan depresi diperiksa dengan kuesioner Berlin, Epworth sleepiness scale (ESS) and Hamilton depression rating scale (HDRS).

Hasil. Sembilan puluh empat subjek dalam penelitian, berusia antara 20 hingga 59 tahun, sebagian besar subjek 72,3 % adalah laki-laki, 80,9% subjek memiliki viral load terakhir tidak terdeteksi dan 84,9% subjek hitung sel limfosit CD4+ terakhir >200 sel/m3. Didapatkan proporsi kualitas tidur buruk 53,2% subjek, risiko tinggi OSA 8,5% dan EDS 9,6%. Pada analisis univariat, risiko tinggi OSA dan depresi merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk. Depresi merupakan faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada analisis mulitavirat (OR 4.4; IK 95% 1.7-11.4). Sedangkan, faktor lain seperti demografi, status imunologi dan virologi tidak berhubungan secara signifikan dengan kualitas tidur.

Kesimpulan. Kualitas tidur buruk sering terjadi pada pasien dengan HIV dalam terapi antiretroviral. OSA dan depresi merupakan faktor yang harus diwaspadai pada pasien HIV dengan kualitas tidur buruk. Oleh karena itu, skrining kualitas tidur, depresi dan OSAharus dilakukan secara rutin pada pasien dengan HIV.


Background: Poor quality of sleep is one of the common comorbidities in HIV patients. Patients with HIV are particularly vulnerable to poor sleep quality due to multiple factors, including antiretroviral side effects, psychosocial, and immune dysfunction. The aim of this study is to determine the proportion of poor quality of sleep in HIV patients on antiretroviral therapy (ART) and associated factors.

Materials and Method: This was a cross sectional study in Cipto Mangunkusumo Hospital during September 2016 to February 2017. Inclusion criteria were HIV adult patients on ART for minimum of 12 months. Quality of sleep was determine based on 9 items self-administered questionnaire Pittsburgh sleep quality index (PSQI), with score >5 represents poor sleep quality. High risk of obstructive sleep apnea (OSA), excessive daytime sleepiness (EDS) and depression were assessed by Berlin questionnaire, Epworth sleepiness scale (ESS) and Hamilton depression rating scale (HDRS), respectively.

Results: Among 94 subjects, age ranging from 20-59 years old, 72.3% were male, 80.9% had current viral load undetected and 84.9% had current CD4+ lymphocyte >200 cells/m3. Proportion of poor sleep quality, high risk of OSA and EDS were 53.2%, 8.5% and 9.6%, respectively. High risk of OSA and depression were associated with poor sleep quality on univariate analysis. However, depression was the only factor that associated with poor sleep quality (OR 4.4; 95% CI 1.7-11.4) on multivariate analysis. Other factors such as demographic, immunology and virology status were not significantly associated with sleep quality.

Conclusion: Poor sleep quality is common among HIV patients on ART. Obstructive Sleep Apnea and depression were factors that should be aware of in HIV patient with poor sleep quality. Therefore, screening of sleep quality, depression and OSA should be performed routinely on HIV patients.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lukman Edwar
"Latar belakang: Pasien HIV yang mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) memiliki risiko yang besar terhadap infeksi CMV dan mencerminkan adanya perubahan kardiovaskular secara sistemik. Genotip dari sel Natural Killer (NK) dan sel imunitas berperan penting terhadap reaktivasi CMV. Namun, polimorfisme dari genotip sel NK dan sel imun pada populasi Indonesia belum banyak diketahui. Peneliti melakukan analisis penilaian terhadap kaliber arteri retina (RAC) sebagai pengukuran non-invasif untuk mengetahui perubahan patologis vaskular dari pasien HIV yang baru menjalani terapi ARV dengan risiko tinggi terhadap reaktivasi CMV serta hubungan antara genotip dari sel NK dan sel imunitas pada pasien HIV dengan seropositif CMV pada populasi Indonesia
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan dari kaliber arteri retina dan hubungannya terhadap faktor risiko tradisional, faktor inflamasi dan juga pengaruh genotip dari sel NK dan sel imunitas pada pasien HIV dengan seropositif CMV pada populasi Indonesia
Metode: Peneliti melakukan pemeriksaan terhadap 79 pasien HIV yang baru memulai terapi ARV di Jakarta, Indonesia dengan median (rentang) usia 31 (19-48) tahun. RAC diukur menggunakan perangkat lunak Image J dari foto fundus kedua mata, sebelum ART (V0) dan setelah 3-12 bulan (V3-V12). Pemeriksaan juga dilakukan terhadap IgG dan IgG IE anti-CMV. Model multivariabel digunakan untuk menentukan variabel terbaik sebagai prediktor dari RAC pada V12. Pemeriksaan genotip dilakukan menggunakan metode Taqman SNP genotyping assay.
Hasil: Pasien HIV memiliki kaliber arteri retina yang lebih sempit dan titer antibodi CMV yang lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat. RAC mengecil setelah 12 bulan menggunakan ARV (p<0.0001). RAC kanan berkorelasi dengan IgG IE anti-CMV, sedangkan RAC kiri berkorelasi pada setiap waktu dengan cIMT. Model multivariabel menghubungkan RAC pada V12 dengan HIV Viral load pada V12 dan riwayat mengkonsumsi minuman beralkohol, sementara merokok memiliki sifat protektif. Alel homozigot IL-1A penanda inflamasi berhubungan dengan kaliber arteri retina yang lebih sempit pada mata kanan dibandingkan alel heterozigot sebelum mengkonsumsi ARV. Alel homozigot TNF-308 berhubungan dengan rendahnya IgG IE anti-CMV dibanding heterozigot secara konstan sebelum terapi ARV sampai 12 bulan setelah terapi ARV. Kaliber arteri retina mata kanan pada bulan ke-12 berhubungan dengan subset CD56lo sebelum terapi ARV. CD56lo LIR1 sebelum terapi ARV berkorelasi dengan RAC kiri pada bulan ke-12 terapi ARV.
Kesimpulan: Penyempitan dari kaliber arteri retina pada pasien HIV dengan seropositif CMV sudah dibuktikan pada penelitian ini, dimana kaliber arteri retina menjadi lebih sempit dibanding kontrol sehat, dan semakin mengecil setelah 12 bulan penggunaan ARV. Faktor risiko tradisional dan infeksi oportunistik tidak berkorelasi dengan perubahan kaliber arteri retina. Penyempitan dari RAC kiri berkorelasi terbalik dengan kadar C-Reactive Protein (CRP) dan cIMT kiri. Pada analisis multivariat, peneliti menemukan bahwa pasien dengan riwayat merokok memiliki RAC yang lebih lebar sementara pasien dengan riwayat mengkonsumsi minuman alkohol memiliki RAC yang lebih sempit. Penyempitan dari RAC kemungkinan disebabkan karena adanya rekativasi CMV dibandingkan infeksi HIV. Genotip dari sel NK dan sel imun tidak berkorelasi dengan RAC, hanya alel homozigot dari IL-1A yang menunjukkan RAC yang lebih sempit dibandingkan alel lain. Penelitian ini juga menunjukkan alel homozigot dari TNF-308 memiliki titer IgG and IgG IE anti-CMV yang lebih rendah.

Background: HIV patients responding to antiretroviral therapy (ART) have a high burden of Cytomegalovirus (CMV) and display accelerated cardiovascular change assessed systemically. Genotype of Natural Killer (NK) cells and immune-related cells are important in CMV reactivation. However, polymorphism in genotype of NK cells and immune-related cells in Indonesia population was not well defined. Hereby, we assessed retinal arteries calibers (RAC) as a non-invasive measure of vascular pathology in HIV patients beginning ART with a high burden of CMV and the relationship between genotype of NK cells and immune-related cells in Seropositive CMV HIV patients in Indonesian population.
Objective: To observe changing of retinal artery caliber and its relation with traditional risk factor, inflammatory risk factor and genotype of NK cells and immune-related cells in Seropositive CMV HIV patients in Indonesian population.
Method: We analyzed 79 HIV patients beginning ART in Jakarta, Indonesia, with a median (range) age of 31 (19-48) years. RAC was assessed using Image J software from fundus photos of both eyes, before ART (V0) and after 3-12 months (V3-V12). CMV DNA and antibodies were assessed. Multivariable models assessed which variables best predicted RAC values at V12. Genotype were assessed used Taqman SNP genotyping assay method.
Result: HIV patients had narrower retinal arteries and higher levels of CMV antibodies than healthy controls. RAC decreased over 12 months of ART (p<0.0001). Right RAC correlated with CMV IE-1 antibody, whilst the left RAC at V# correlated with cIMT. Multivariable models linked RAC at V12 with detectable HIV RNA at V12 and declared use of alcoholic drinks, whilst a smoking habit was protective. Homozygous allele of IL-1A inflammatory marker associated with narrower retinal artery caliber in right eye compared to heterozygous before ART but similar association was not found in the left eye. Homozygous allele of TNF-308 associated with lower CMV-IE1 compared to its heterozygous constantly before ART until 12 months of ART. Right retinal artery caliber in 12 months was correlated with CD56lo subset before ART. CD56lo LIR1 before ART was correlated with left retinal artery caliber in 12 months of ART.
Conclusion: Narrowing of retinal artery caliber in HIV patients with CMV seropositive has been demonstrated in this study, which retinal artery caliber was narrower than healthy controls, and still narrowing until 12 months of ART. Traditional risk factors and opportunistic infections did not show any correlation with retinal artery caliber changes. Narrowing of left retinal artery caliber had inverse correlation with CRP level and left cIMT. On multivariable analysis, we found that those who admitted smoking had larger retinal artery caliber whilst those who consumed alcohol had narrower retinal artery caliber. Narrowing of retinal artery caliber was more likely occur as a result of CMV reactivation than HIV infection itself. The NK-related genotypes and immune-mediate genotypes did not correlate with retinal artery caliber, only homozygous allele of IL1A had a narrower retinal artery caliber than other alleles. This study also found that homozygous allele of TNF-308 had lower CMV lysate antibody and CMV IE antibody level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Sari
"Tujuan: Mengetahui konsentrasi dari virus Epstein-Barr pada saliva dengan teknik Real-Time PCR pada RS Kramat 128 Jakarta dan korelasinya dengan terapi antiretroviral, Limfosit T CD4 dan viral load HIV.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dengan metode potong lintang. Data didapatkan dari pasien HIV yang berkunjung ke RS Kramat 128 pada periode bulan September-Oktober 2019 dengan kelompok kontrol pegawai RS Kramat pada periode tersebut. Seluruh subjek penelitian (77 subjek, 53 HIV dan 24 non-HIV sebagai kelompok kontrol) yang bersedia berpartisipasi diminta untuk mengisi kuesioner, diperiksa rongga mulutnya, serta dikumpulkan salivanya dalam kondisi terstimulasi dan tidak terstimulasi. Saliva yang terkumpul kemudian diekstraksi DNA nya dan dilakukan pemeriksaan real-time PCR dengan menggunakan diagnostik kit untuk EBV pada Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi FKUI RSCM.
Hasil: Konsentrasi virus Epstein-Barr pada saliva pasien HIV di RS Kramat 128 Jakarta secara statistik lebih tinggi daripada kelompok kontrol dengan median (min-maks) pada pasien HIV 13.950 (0-38.550.000) dan 680 (0-733.000) pada kelompok kontrol. Tipe antiretroviral memiliki korelasi rendah dengan konsentrasi EBV, namun penggunaan ART jangka panjang memiliki korelasi sedang dalam menurunkan konsentrasi EBV (korelasi negatif dengan r=0,295). Kenaikan jumlah EBV saliva pada pasien HIV secara signifikan memiliki korelasi sedang (korelasi positif dengan r=0,295), namun memiliki korelasi rendah dengan jumlah Limfosit T CD4.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi EBV pada pasien HIV dan kelompok kontrol. Penggunaan ART jangka panjang dan viral load HIV secara signifikan memiliki korelasi sedang dengan konsentrasi EBV pada saliva.

Objective: To reveal concentration of salivary Epstein-Barr Virus with real-time PCR Technique in Kramat 128 General Hospital HIV patient and its correlation with antiretroviral therapy, CD4 and HIV viral load.
Method: This is an analytic descriptive cross-sectional study on HIV outpatient of Kramat 128 General Hospital in September-Oktober 2019 and employees of Kramat 128 as control group. All subjects (77 subject, with 53 HIV positive respondent and 24 non-HIVcontrol) willing to participate were asked to fill out a questionnare, followed by oral examination and saliva colection in stimulated and unstimulated method. The collected saliva then extracted and EBV concentration were count by real-time PCR using an EBV diagnostic kit at Center for Research on Institute of Human Virology and Cancer Biology Universitas Indonesia.
Result: The concentrations of salivary EBV were significantly higher in HIV patients than non-HIV controls, with median (min-max) values in HIV patient 13.950 (0-38.550.000) and 680 (0-733.000) in non-HIV controls. The type of ART has low correlation with EBV concentrations, but long-term ART has medium correlation in reducing EBV concentrations (negative correlation with r=0,279). Increase amount of EBV in HIV patient were significantly has medium correlation with HIV viral load (positive correlation with r=0,295) but has low correlation with CD4 cell count.
Conclusion: There are significant differences of salivary EBV concentrations in HIV patients and control group. Long term ART and HIV viral load significantly has medium correlation with EBV concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurvika Widyaningrum
"Terapi antiretroviral mampu menekan replikasi HIV, mencegah morbilitas dan mortalitas. Kepatuhan pengobatan dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan terapi, mencegah resistensi obat antiretroviral dan risiko penularan HIVDR ditengah masyarakat. Efek samping obat antiretroviral umumnya terjadi pada 3 bulan pertama setelah inisiasi yang dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien di tahun pertama pengobatan antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efek samping obat antiretroviral lini pertama terhadap kepatuhan pengobatan pasien HIV/AIDS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2010-2015.
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif berbasis rumah sakit dimana sebanyak 376 naïve-patient HIV/AIDS dipilih sebagai sampel dan diamati selama 12 bulan setelah inisiasi ART. Kepatuhan pengobatan diukur dengan dua metode yaitu berdasarkan self report dan ketepatan waktu ambil obat. Data dianalisa dengan menggunakan cox proportional hazard regression dengan perangkat lunak STATA12. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek samping obat ARV lini pertama berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat (RR12=1,45, 95% CI 1,009?2,021 dan RR34=0,85, 95% CI 0,564-1,273) namun tidak berpengaruh terhadap kepatuhan ambil obat (RR12=1,23, 95% CI 0,851-1,839 dan RR34=0,70, 95% CI 0,437-1,108).

Antiretroviral therapy suppresses HIV replication, preventing morbidity and mortality. Adherence to antiretroviral therapy is needed to achieve successful treatment, prevent resistance to antiretroviral drugs and the risk of transmission of HIVDR in the community. The side effects of antiretroviral drugs generally occur in the first 3 months after initiation that could affect adherence in the first year of antiretroviral treatment. The aim of this study analyzed the effect of first-line antiretroviral side effect and adherence of HIV/AIDS patients in RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso period 2010 until 2015.
This study is hospital based retrospective cohort. A total of 376 HIV/AIDS naïve-patient had been selected as samples. Adherence was measured by two methods, based on self report and drug pick-up. Data was analyzed using cox proportional hazard regression with STATA12 software. Based on self report, HIV/AIDS patients who experience first-line ARV drugs side effect significantly associated with non-adherent (RR12=1.45, 95% CI 1.009 to 2.021 and RR34=0.85, 95% CI 0.564 to 1.273). Based on drug pick up, patients who experience first-line ARV drugs side effect not significantly associated with non-adherent (RR12=1.25, 95% CI 0.851 to 1.839 and RR34=0.70, 95% CI 0.437 to 1.108).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
LuLu Nafisah
"Kepatuhan terapi di Indonesia masih dibawah 80 dan dapat berdampak padapeningkatan kejadian infeksi protozoa usus, perkembangan AIDS yang lebih cepat,resistensi obat, kegagalan terapi, dan penularan virus kepada orang lain. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kepatuhan terapiARV pada ODHA di Klinik Yayasan Angsamerah dan Angsamerah Clinic DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif meliputi pengisian kuesioner dan interview dengan pasien yang menerima ARV dan tenaga kesehatan.Sampel ditentukan dengan menggunakan purposive sampling dan diperoleh sampelsejumlah 51 orang. Tingkat pendidikan dilihat berdasarkan lama sekolah dan tingkat kepatuhan dinilai dengan metode laporan diri, hitung jumlah sisa obat, dan viral load. Berdasarkan laporan diri 66,66 ODHA memiliki kepatuhan sedang, berdasarkanhitung jumlah sisa obat 78,43 ODHA memiliki sisa obat kurang dari 3 dosis, dan90,20 ODHA memiliki viral load yang tidak terdeteksi. Sebagian besar ODHA menempuh pendidikan selama >12 tahun 72,55 dan tingkat pendidikan terakhir tamat sarjana 64,71. Hasil analisis menunjukkan proporsi kepatuhan yang lebihtinggi sebesar 4,63 pada ODHA yang menempuh pendidikan >12 tahun dibandingkan dengan ODHA yang menempuh pendidikan le;12 tahun. Pendidikan yang tinggi berperan memfasilitasi kepatuhan ODHA dalam terapi ARV melalui berbagai mekanisme yaitu ODHA akan memiliki pengetahuan yang lebih baik, mampu memahami informasi dan rekomendasi dari dokter, memiliki daya ingat yang lebih baik, memiliki lebih banyak sumber daya ekonomi termasuk pendapatan yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebihaman dan lebih menjamin, dan sarana untuk tinggal di lingkungan yang lebih sehat yangmendukung kesehatan. Hambatan dalam terapi ARV diantaranya jadwal yang sibuk, sering berpergian, takut terungkap statusnya, informasi yang salah tentang ARV, dan penawaran obat selain ARV. Media KIE yang akurat, informatif, dan menarik, hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dan sistem atau alat pengingat jadwal minum obat diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kepatuhan terapi ARV pada ODHA.

Therapeutic compliance in Indonesia was still below 80 and may resulted in increased incidence of protozoanal intestinal infection, faster AIDS progression, drug resistance, treatment failure, and transmission of the virus to others. This study was aimed toexplore the relationship between education levels with adherence to Antiretroviral Therapy ART in HIV positive people in the Angsamerah Foundation Clinic and Angsamerah Clinic, Jakarta. This study used quantitative and qualitative approachesincluding questionnaires and interviews with patients receiving ARVs and health workers. Sample was determined by using purposive sampling and obtained a sample of51 people. The level of education is categorized according to years of schooling and compliance rate is assessed by self report method, pill count, and viral load. Based onself report 66,66 of PLWHA have moderate adherence, based on drug counts 78.43 of PLWHA drugs have remaining less than 3 doses and 90.20 of PLWHA have undetectable viral load. Most of PLWHA are educated for 12 years 72.55 and the last education level is under graduate 64,71 . Results of the analysis showed a higher proportion of compliance by 4.63 among PLWHA who study 12 years comparedwith people with PLWHA who study le 12 years. Higher education played a role infacilitating PLWHA compliance in ART through various mechanisms ie PLWHA will have better knowledge, be able to understand information and recommendations fromdoctors, have better memory, have more economic resources including higher income,have safer and more secure work, and living in a healthier environment that supports health. Barriers in ART include busy schedules, frequent travel, fear of exposure,misinformation about ARVs, and offers of drugs other than ARVs. An accurate, informative, and interesting EIC media, a good relationships between physicians and patients, and reminder tools or systems to take medication are needed to maintain and improve ART adherence in people living with HIV."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Solekhah
"Peningkatan pravelensi Orang dengan HIV/AIDS ODHA dari tahun ke tahun merupakan salah satu masalah kesehatan global yang serius. Antiretroviral ARV merupakan satu-satunya pilihan terapi yang tersedia bagi ODHA yang harus dikonsumsi seumur hidup dengan kepatuhan tinggi 95 guna mencapai efektfitas obat. Akan tetapi, masalah kepatuhan masih menjadi masalah utama bagi ODHA. Pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya merupakan faktor yang dapat mendukung tingkat kepatuhan dalam menjalani pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS, terapi ARV dan infeksi oportunistik dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi antiretroviral. Digunakan metode cross sectional consecutive total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 50 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi ARV p value = 0.107 > 0.05.

Increasing the number of People Living with HIV AIDS PLWHA from year to year is one of the serious global health problems. Antiretroviral ARV is the only available therapeutic option for PLWHA to be consumed for a lifetime with high adherence 95 in order to achieve drug effectiveness. However, compliance issues are still a major problem for PLWHA. Knowledge about the disease and theraphy are factors that can support medication adherence.
This study aims to determine the correlation between the level of knowledge about HIV AIDS, ARV therapy and opportunistic infections and the level of adherence of PLWHA in antiretroviral therapy. The method of cross sectional consecutive total sampling was used with 50 respondents in total. The results of this study indicate there is no significant correlation between the level of knowledge and the level of adherence in undergoing antiretroviral therapy p value 0.107 0.05.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>