Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176015 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budiman Bintang Prakoso
"Tuberkulosis masih menjadi masalah di dunia terutama di Indonesia sebagai negara ke-3 terbesar penyumbang penderita tuberkulosis baru. Etambutol merupakan salah satu jenis obat yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis di Indonesia. Etambutol memiliki efek samping gangguan fungsi mata yaitu neuropati etambutol. Diagnosis neuropati etambutol sulit ditegakkan karena sebagian besar anatomi fundus yang normal dan sering terdiagnosis terlambat sehingga kerusakan permanen dapat terjadi. Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan toksisitas etambutol, diperlukan upaya mendeteksi kelainan ini sedini mungkin. Pemeriksaan pERG dan mfERG dilaporkan pada beberapa studi bermanfaat dalam mengkonfirmasi kasus toksisitas etambutol okular setelah terdapat gangguan secara klinis. Belum diketahui diantara pemeriksaan pERG dan mfERG yang dapat menunjukkan perubahan terlebih dahulu untuk mendeteksi toksisitas etambutol sebelum terjadi gangguan klinis.
Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif pada 40 sampel mata dianalisis dengan uji T berpasangan dan Wilxocon. Pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan Snellen chart, HRR Richmond Plates, Pelli Robson, pattern ERG dan multifokal ERG pada pasien yang terdiagnosis tuberkulosis kategori 1 selama 2 bulan pertama. Visus, sensitifitas warna dan kontras tidak berubah pada seluruh pasien selama follow-up 2 bulan. Terdapat penurunan waktu implisit P50 sebesar -1,27± 4,71 mS (p=0,049) dan amplitudo gelombang N95 sebesar -0,93± 4,49 μV (p=0,038) yang bermakna secara statistik pada pemeriksaan pERG. Tidak terdapat perubahan bermakna pada gelombang N1 dan P1 pada pemeriksaan mfERG. Pemeriksaan gelombang pERG lebih dahulu mengalami perubahan dibandingkan mfERG.

Tuberculosis (TB) are world health problem, especially in Indonesia as 3rd biggest leading for the new emerge patient TB. Ethambutol is included one of the standard therapy that still used to treat TB patient in Indonesia. Ethambutol have side effect that related with eye disease called neuropathy ethambutol. Neuropathy ethambutol is hardly to diagnose due to most cases have normal fundus anatomy and therefore frequently delayed to detect, permanent damage could happen in this situation. As we know that damage could happen from ethambutol toxicity, it necessary to detect this disease as soon as possible. Examination pattern electroretinography (pERG) and multifocal electroretinography (mfERG) is reported has an advantage to detect and to confirm ocular toxicity by ethambutol after the clinical problem had emerge. It is not yet known neither pERG nor mfERG could detect any changes to detect ethambutol ocular toxicity before the clinical problem emerge.
This study use prospective clinical trial to 40 eye sample and analyzed with paired t and wilcoxon test. The examination use Snellen chart, HRR Richmond Plates, Pelli Robson, pERG and mfERG in tuberculosis category 1 patient with 2 months follow-up. Visual acuity, sensitivity in color and contrast are normal to whole patient for 2 months follow-up. In pERG examination we found mean implicit time wave P50 are shorten by -1,27± 4,71 mS (p=0,049) and mean of amplitude wave N95 are reduced by -0,93± 4,49 μV (p=0,038) and both are statistically significant. In mfERG examination we did not find any statistically significant changes in both wave N1 and P1. Pattern ERG had earlier changes compare to mfERG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dialika
"Latar belakang: Salah satu efek samping yang cukup dikenal dalam pengobatan TB adalah efek samping akibat konsumsi etambutol, yang dikenal sebagai neuropati optik etambutol (NOE). Beberapa studi baru-baru ini pada hewan coba yang diberikan etambutol mendapatkan adanya penurunan jumlah sel ganglion retina pasca konsumsi etambutol.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan menggunakan OCT setelah konsumsi etambutol dan mengetahui korelasi perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan fungsi penglihatan.
Desain Penelitian prospektif dengan uji klinis tunggal.
Hasil: Terdapat 29 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, dengan rerata dosis etambutol yang dikonsumsi 16,44 ± 2,7 mg/kgBB/hari. Ditemukan perubahan signifikan ketebalan RNFL 2 bulan setelah konsumsi etambutol pada kuadran superior (147 ; 141μm), nasal (92 ; 88μm) dan pada rerata seluruh kuadran (116,77 ; 112,65 μm). Nilai rerata tajam penglihatan, sensitivitas warna dan lapang pandangan mengalami perubahan signifikan, namun bukan perubahan yang bermakna secara klinis. Pada studi ini korelasi antara perubahan masing-masing parameter fungsi penglihatan dengan perubahan ketebalan rerata RNFL tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan ketebalan RNFL peripapil setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan, namun belum mencapai penurunan yang bermakna klinis. Terdapat perubahan tajam penglihatan, sensitivitas warna, dan lapang pandangan yang bermakna setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan. Tidak terdapat korelasi antara perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan masing-masing fungsi penglihatan.

Background: Ethambutol Optic Neuropathy (EON) is a well-known side effect within patients receiving ethambutol therapy. Recent studies performed in animals reveal decreased amount of retinal ganglion cells after they are given ethambutol.
Purpose: To evaluate peripapillary RNFL thickness changes using OCT, before and after patients receive ethambutol therapy. To know the correlation of RNFL thickness changes with the changes of visual function.
Study design: One group pretest-posttest study.
Result: There was 29 subjects enrolling the study, with the mean dose of ethambutol 16,44 ± 2,7 mg/kgBW/day. We found significant changes of peripapillary RNFL thickness 2 months after consuming ethambutol in superior (147 ; 141 μm), nasal (92 ; 88 μm) and average RNFL thickness (116,77 ; 112,65 μm). The mean visual acuity, color sensitivity and visual field also change significantly, without clinically meaningful changes. This study did not found any statistically significant correlation between RNFL thickness changes and the changes of visual function parameters (p>0,05).
Conclusion: After 2 months ethambutol consumption, there was a statistically significant peripapillary RNFL thinning, with non-clinically significant amount of reduction. There was also significant changes of visual acuity, color sensitivity and visual field. No correlation was found between RNFL thickness thinning and visual function parameters changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hananda Putri Shabira
"Latar Belakang Tuberkulosis resisten obat (TB RO) merupakan fenomena penambah insidensi Tuberkulosis yang sudah menjadi masalah kesehatan kritis secara global. Di dunia, dari 7,5 juta kejadian TB 73% nya merupakan TB RO. Insidensi TB RO di Indonesia sebanyak 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Salah satu faktor risiko yang penting untuk menjadi perhatian adalah status gizi pasien, dimana didapatkan malnutrisi dapat mempengaruhi prognosis dan keberhasilan pengobatan. Parameter penilaian status gizi secara umum menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang sudah diklasifikasikan oleh WHO untuk penilaian status gizi. Metode Penelitian menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek sebanyak 90 sampel yang diambil menggunakan simple random sampling dengan rekam medis di RSUP Persahabatan tahun 2018-2022. Hasil Karakteristik subjek didapatkan mayoritas laki-laki (56,7%) dan berusia 25-64 tahun (82,2%). Tipe resistensi obat yang paling banyak adalah resistensi rifampisin (71,1%). Sebelum pengobatan, 42,2% pasien berada dalam kategori underweight. Setelah pengobatan, proporsi pasien underweight menurun menjadi 23,3%, sementara pasien normal-overweight dan obesitas masing-masing meningkat menjadi 55,6% dan 21,1%. Peningkatan IMT yang signifikan diamati post-pengobatan (perbedaan rata-rata 1,581, p=0,00). Analisis regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa usia (25-64 tahun) secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan IMT, sementara pasien dengan TB resisten rifampisin dan pre-XDR menunjukkan kemungkinan lebih besar untuk penurunan IMT. Kesimpulan Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT post-pengobatan yang menunjukkan dampak positif dari terapi TB RO terhadap status gizi pasien. Usia dan tipe resistensi obat berperan signifikan dalam mempengaruhi perubahan IMT setelah pengobatan.

Introduction Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is a phenomenon that increases the incidence of tuberculosis, which has become a critical global health issue. Worldwide, among the 7,5 million TB cases, 73% were diagnosed with DR-TB. The incidence of DR-TB in Indonesia is 24,000 or 8,8/100,000 population. One of the important risk factors to consider is the nutritional status of the patient, where it was found that malnutrition can affect prognosis and treatment success. The general parameter for assessing nutritional status is the Body Mass Index (BMI) which has been classified by the WHO for nutritional assessment of patients. Method This study used a retrospective cohort design with 90 samples taken using simple random sampling of the medical records at Persahabatan Hospital from 2018-2022. Results The characteristics of the subjects found mostly were male (56,7%) and aged 25-64 years (82,2%). The most common type of drug resistance was rifampicin resistance (71,1%). Before treatment, 42,2% of patients were in the underweight category. After treatment, the proportion of underweight patients decreased to 23,3%, while the normal-overweight and obese patients each increased to 55,6% and 21,1%. A significant increase in BMI was observed post-treatment (average difference 1,581, p=0,00). Ordinal logistic regression analysis showed that age (25-64 years) was significantly correlated with an increase in BMI, while patients with rifampicin-resistant and pre-XDR TB were more likely to have a decrease in BMI. Conclusion There was a significant increase in BMI post-treatment, indicating the positive impact of DR-TB therapy on patient nutritional status. Age and type of drug resistance play a significant role in influencing BMI changes after treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martin Hertanto
"ABSTRAK
Edema makula diabetik EMD adalah salah satu penyebab kebutaan utama pada pasien diabetes. Pemberian terapi injeksi anti VEGF selain dapat mencegah perburukan EMD juga mampu memperbaiki tajam penglihatan. Penelitian ini bertujuan mengamati perubahan ketebalan makula sentral CMT , elektroretinogram ERG makula, dan tajam penglihatan setelah pemberian injeksi Aflibercept intravitreal. Penelitian ini adalah penelitian uji klinis dengan intervensi single arm. Subjek dengan EMD diberikan satu kali injeksi Aflibercept intravitreal. Nilai CMT, ERG makula, dan tajam penglihatan diukur sebelum, satu minggu, dan satu bulan setelah injeksi. Sebanyak 36 dan 35 subjek diamati pada 1 minggu dan 1 bulan pasca injeksi. Rerata usia, lama menderita diabetes, dan kadar HbA1C subjek adalah 56,33 6,39 tahun, 96 12-240 bulan, dan 7,33 1,41 . Perbandingan nilai sebelum, 1 minggu setelah injeksi, dan 1 bulan setelah injeksi dari CMT adalah [408 264 ndash;1025 vs 329,5 208 ndash;629 vs 303 213 ndash;567 , ABSTRACT
Diabetic macular edema DME is a major cause of blindness in diabetic patients. Anti VEGF injections had been shown not only able to slow the worsening of DME, but can also improve visual acuity VA . The aim of this study is to observe changes in central macular thickness CMT , macular electroretinogram ERG and VA after single intravitreal Aflibercept injection IAI . This is a single arm, pre post intervention clinical study. Subjects with DME were given single, unilateral IAI. Changes in CMT , multifocal ERG, and VA were observed one week and one month after IAI was given. We included 36 and 35 eyes in this study for one week and one month follow up. Subjects 39; mean age, duration of diabetes, HbA1C level were 56.33 6.39 years, 96 12-240 months, and 7.33 1.41 respectively. Comparing across follow up periods [pre, one week, one month post IAI] there were statistically significant differences of CMT [408 264 ndash;1025 vs 329.5 208 ndash;629 vs 303 213 ndash;567 , p="
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kamelia Syani
"Sesak merupakan gejala yang sering terjadi pada pasien efusi pleura. Ketidakefektifan pola napas merupakan masalah keperawatan yang utama pada pasien efusi pleura. Studi ini bertujuan untuk menganalisis penerapan pernapasan diafragma dan fan therapy sebagai manajemen sesak. Metode yang digunakan adalah tinjauan literatur. Hasil studi menemukan bahwa pernapasan diafragma dan fan therapy dapat menurunkan frekuensi napas dan penurunan skor sesak menggunakan Brog Scale, serta peningkatan fungsi paru. Oleh karena itu, pernapasan diafragma dan fan therapy dapat diimplementasikan sebagai manajemen sesak pada pasien efusi pleura.


Dyspnea is a symptom that often occurs in pleural effusion. Ineffective breathing patterns is major nursing problem in pleural effusion patients. The aim of this study is to analyze the application of diaphragmatic breathing and fan therapy as dyspnea management. Literature review is used as a method. This study finds that diaphragmatic breathing and fan therapy decrease respiration rate and Borg Scale of Dyspnea, also increase lungs function. Therefore, the diaphragmatic breathing and fan therapy is recommended as dyspnea management in patient with pleural effusion."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Audrew Johnson Budianto
"Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan Global TB Report 2018, Indonesia mencatat 842.000 kasus TB baru pada tahun 2017, dengan kematian akibat TB mencapai 116.400. Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu kegiatan berkesinambungan yang bertujuan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional. PTO meliputi evaluasi pemilihan obat, dosis, cara pemberian, respons terapi, Resolusi Outcome Terapi Obat (ROTD), serta merekomendasikan perubahan terapi bila diperlukan. Di RSUD Tarakan Jakarta, PTO dilaksanakan pada pasien dengan tuberkulosis paru, diabetes melitus, dan dispepsia. Proses PTO dimulai dengan seleksi pasien berdasarkan diagnosis, obat yang diresepkan, serta lama perawatan, diikuti dengan pengumpulan data rekam medis. Analisis dilakukan menggunakan metode Hepler dan Strand. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengobatan pasien sebagian besar sudah tepat indikasi dan tidak menimbulkan interaksi obat yang merugikan. Namun, terdapat beberapa indikasi yang tidak diterapi seperti hipoalbuminemia dan anemia mikrositik, serta pemilihan antibiotik yang kurang tepat berdasarkan hasil kultur laboratorium.

Pulmonary tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. According to the Global TB Report 2018, Indonesia reported 842,000 new TB cases in 2017, with TB-related deaths reaching 116,400. Drug Therapy Monitoring (DTM) is a continuous activity aimed at ensuring safe, effective, and rational drug therapy. DTM includes the evaluation of drug selection, dosage, administration method, therapeutic response, Drug Therapy Outcome (DTO), and recommending therapy modifications if necessary. At RSUD Tarakan Jakarta, DTM is conducted for patients with pulmonary tuberculosis, diabetes mellitus, and dyspepsia. The DTM process begins with patient selection based on diagnosis, prescribed medications, and length of treatment, followed by collecting medical record data. Analysis is carried out using the Hepler and Strand method. The results of the analysis indicate that most patient treatments were appropriate for their indications and did not result in harmful drug interactions. However, there were some untreated indications such as hypoalbuminemia and microcytic anemia, as well as suboptimal antibiotic selection based on laboratory culture results.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Komalasari
"Koinfeksi HIV dan tuberkulosis masih merupakan ancaman kesehatan global saat ini. Diperkirakan sebanyak 1.4 juta kasus tuberculosis pada pasien HIV (+) dilaporkan pada tahun 2007. HIV merupakan risiko terbesar untuk tuberculosis, risiko berkembang menjdai TB laten 20 kali lipat. Tuberkulosis penyebab utama kematian pada pasien HIV.Pengobatan tuberculosis paru pada pasien HIV harus dimulai sesegera mungkin saat diagnosis ditegakkan, inisiasi dari pengobatan berkorelasi dengan menurunnya mortalitas dan risiko penularan infeksi tuberculosis.
Tujuan dari penelitian ini adalah menilai perubahan radiografi toraks pada pasien HIV dengan tuberculosis selama pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Semua pasien yang menjalani pemeriksaan radiografi toraks proyeksi AP atau PA sebelum pengobatan, setelah 2 bulan dan 6 bulan setelah pengobatan diberikan dan juga bulan ke 9 dan 12 apabila pengobatan dilanjutkan. Kemudian perubahan scoring lesi radiografi toraks diamati dan dievaluasi.
Hasil penelitian adalah statistic deskriptif menggambarkan perubahan scoring lesi radiogafi toraks sebelum dan 2 bulan serta setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan setelah terapi diberikan. Perubahn yang terlihat pada radiografi toraks membaik 33 pasien (60%), menetap 9 pasien (16.4%) dan memburuk 13 pasien (23.6%). Perubahan lain pada bulan ke-2 dan ke-6 adalah; membaik 43 pasien (78.2%), menetap 6 pasien (10.9%) dan memburuk 6 pasien (10.9%). Kemungkinan kecurigaan kasus imune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) terdapat pada 3 pasien (5.45%). Perubahan skoring lesi pada bulan ke-2 dan ke-6 dianalisa dengan menggunakan Friedman Rank test dengan nilai confidence interval CI 95% ( p = 0.000).
Kesimpulan : Perubahan skoring lesi pada radiografi toraks pasien HIV dengan tuberkulosis paru lebih terlihat membaik setelah 6 bulan sejak diberikan obat anti tuberkulosis. Radiografi toraks masih merupakan modalitas bermakna dalam mengevaluasi perubahan lesi pada pasien HIV dan tuberculosis paru.

HIV and tuberculosis coinfection are major global health threats recently. It was estimated1.4 milionnew tuberculosis cases in patient with HIV- positive were reported in 2007. HIVconfers the greatest risk for tuberculosis, increasing the risk of latentTB reactivation 20-fold.Tuberculosis is a leading cause of death among patients with HIV.The initiation treatment of lung tuberculosis in HIV patients beginsmust be started as early as possible at the time when diagnose is made, the initiation treatment of tuberculosis correlated with decreasing mortality and risk of transmission tuberculosis infection.
The aim of this research is to observe changes of chest radiography in HIV patients with tuberculosis during administration of anti tuberculous therapy at CiptoMangunkusumo hospital. All of patients have taken chest radiography with PA or AP projection before the treatment begin and after 2 and 6 months therapy was given and also after 9 and 12 months if therapy continued, than the changes scoring lesion of chest radiography finding is observed and examined.
Descriptive statistic is provided as scoring lesion changes of chest radiography devided into changes chest radiography before and 2 month after anti tuberculous therapy was given and changes at 2 months to 6 months therapy was given. In group before and 2 months therapy, the changes was seen in chest radiography; better in 33 patients (60%), stationary condition in 9 patients (16.4%) and worse 13 patients (23.6%). Another changes in 2 and 6 months therapy was seen; better in 43 patients (78.2%), stationary condition in 6 patients (10.9%) and worse 6 patients (10.9%). Imune reconstitution inflammatory syndrome was suspected in 3 patients (5.45%).
The changes of scoring lesion in 2 and 6 months therapy was examined used Friedman Rank test with confidence interval CI 95% ( p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozana Nurfitri Yulia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik yang tetap menjadi masalah kesehatan global terutama di negara berkembang dan menjadi penyebab kematian kedua terbesar pada kelompok penyakit menular. Selain paru, kuman tuberkulosis dapat menginvasi hingga ke organ ektrapulmoner salah satunya usus. Infeksi kuman pada mukosa usus karena tuberkulosis usus dapat menyebabkab ulserasi hingga nekrosis lapisan mukosa yang akan memengaruhi absorpsi nutrisi. Malabsorpsi dan anoreksia dapat menjadi penyebab malnutrisi pada tuberkulosis usus. Terapi medik gizi bertujuan untuk menyediakan nutrisi adekuat, meningkatkan status gizi, menurunkan risiko kematian, memperpendek lama rawat inap, mencegah terjadinya penurunan massa otot, mendukung proses kesembuhan penyakit, memenuhi kebutuhan mikronutrien yang adekuat, dan meningkatkan sistem imunitas. Metode:Pada serial kasus ini, dilaporkan 4 kasus tuberkulosis usus pada pasien laki-laki dan perempuan yang berusia antara 24-31 tahun, dengan 1 pasien koinfeksi HIV. Keempat pasien mengalami malnutrisi, 3 diantaranya adalah malnutrisi berat dan juga didiagnosis kaheksia. Pada 3 kasus awal, tatalaksana tuberkulosis usus disertai dengan pembedahan akibat komplikasi obstruksi usus mekanik, perdarahan, dan fistula sedangkan kasus terakhir hanya diberikan AOT. Masalah nutrisi terjadi pada keempat kasus terkait dengan perubahan anatomi saluran cerna, fungsi fisologis, dan pemberian mikronutrien yang kurang adekuat. Terapi medik gizi telah diberikan sesuai rekomendasi untuk pasien dengan tuberkulosis usus dengan malnutrisi. Hasil :Kasus pertama dan keempat mengalami perbaikan keadaan klinis hingga diperbolehkan rawat jalan. Namun, kasus kedua dan ketiga meninggal dunia masing-masing pada hari perawatan ke-54 dan 28 akibat sepsis dan perdarahan. Kesimpulan:Terapi medik gizi yang diberikan telah membantu perbaikan kondisi klinis pada pasien tuberkulosis usus dengan malnutrisi.

ABSTRACT
Background:Tuberculosis is a chronic infection that remains a global health problem especially in developing countries and become the second leading cause of death in infectious diseases. Beside lung organ, the Mycobacterium tuberculosis can invade up to an extrapulmonary organ such as intestine. Infections in the intestinal mucosa due to intestinal tuberculosis may cause ulceration to necrosis of the intestinal mucose that will be affected to nutrient absorption. Malabsorption and anorexia can be the cause of malnutrition in intestinal tuberculosis. Nutritional medical therapy aims to provide adequate nutrition, improve nutritional status, reduce the risk of death, shorten the length of stay, prevent the decrease of muscle mass, support the wound healing, giving adequate micronutrients, and improve the immune system. Methods: In this series of cases, 4 cases of intestinal tuberculosis were reported in male and female patients between 24 and 31 years old, with 1 patient co-infected with HIV. The four patients were malnourished, 3 of them with severe malnourished and also diagnosed with cachexia. In the third initial cases, management of intestinal tuberculosis was surgery due to complications mechanical bowel obstruction, hemorrhage, and fistulas while the last one was given only DOT. Nutrition problems occur in all four cases associated with altered gastrointestinal anatomy, physiological function, and inadequate micronutrient administration. Medical nutrition therapy has been given as recommended for patients with intestinal tuberculosis with malnutrition. Result: The first and fourth cases had an improvement on clinical conditions. However, the second and third cases died on the 54th and 28th day of treatment due to sepsis and bleeding. Conclusion: Medical nutritional therapy has been provided to improve clinical conditions in intestinal tuberculosis patients with malnutrition. "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvian Nathanael
"Tuberkulosis adalah penyakit yang membutuhkan penggunaan antimikroba terus menerus dalam jangka panjang untuk mencegah resistensi Mycobacterium tuberculosis pada pasien terhadap rejimen antibiotik tuberkulosis sensitif obat. Prevalensi terjadinya DRP pada pasien tuberkulosis tergolong tinggi sehingga diperlukan suatu tindakan identifikasi, pencegahan, dan pemantauan pada pasien tuberkulosis secara komprehensif. Tugas khusus ini bertujuan untuk memahami dan menjalankan peran apoteker dalam pemantauan terapi obat pasien tuberkulosis dengan komorbid yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng. Peran tersebut berupa pemantauan rasionalitas pengobatan yang diterima pasien dan identifikasi masalah terkait pengobatan yang terjadi dalam terapi. Pada tugas khusus ini, dilakukan pemantauan terapi terhadap lima pasien tuberkulosis terpilih dengan kriteria inklusi minimal tiga penyakit penyerta. Satu orang pasien kemudian dipilih untuk dilakukan analisis yang lebih mendalam terhadap rasionalitas terapi dan kemungkinan adanya masalah terkait obat yang teridentifikasi dari hasil pemantauan terapi pasien tersebut. Berdasarkan tugas khusus ini, dapat disimpulkan bahwa peran apoteker dalam melakukan pemantauan terapi obat sebagai salah satu pelayanan farmasi klinis sangat penting. Dari hasil pemantauan terapi obat pada pasien tuberkulosis dengan AIDS, toksoplasmosis, hiperkalsemia, hiponatremia, dan kerusakan ginjal dan hati berat dari tanggal 2 Oktober 2023 – 11 Oktober 2023, dicurigai terdapat beberapa pemberian obat yang kurang rasional, serta terdapat beberapa masalah terkait obat pada terapi pasien. Pemberian obat yang kurang rasional dengan beberapa masalah terkait obat dikhawatirkan berisiko menyebabkan kerugian terhadap pasien.

Tuberculosis (TB) treatment involves prolonged use of antimicrobials to prevent Mycobacterium tuberculosis resistance. Drug-Related Problems (DRPs) are prevalent in TB patients, requiring comprehensive identification and monitoring. This task focuses on understanding the pharmacist's role in monitoring drug therapy for TB patients with comorbidities at Cengkareng Regional General Hospital. The pharmacist monitors treatment rationality and identifies therapy-related issues. Five selected TB patients with a minimum of three comorbidities undergo therapy monitoring, with one patient subject to in-depth analysis. From October 2 to October 11, 2023, a TB patient with AIDS, toxoplasmosis, hypercalcemia, hyponatremia, and severe kidney and liver damage exhibits potentially less rational drug administration and drug-related problems. Pharmacists play a crucial role in clinical pharmacy services, ensuring rational drug use and addressing potential issues, minimizing risks to patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana A Sampurna
"ABSTRAK
Tujuan untuk menilai hubungan antara respons elektrofisiologis makula menggunakan multifocal electroretinogram (MfERG), ketebalan makula sentral (KMS) menggunakan Spectral Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) dan tajam penglihatan pasca-injeksi anti-VEGF intravitreal pada pasien edema makula diabetik (EMD). Desain penelitian studi prospektif, intervensi tanpa randomisasi. Total 33 mata dari 16 pasien non-proliferative diabetic retinopathy dan 17 pasien non-high-risk proliferative diabetic retinopathy yang memenuhi kriteria inklusi mendapatkan injeksi bevacizumab 1,25mg intravitreal, setelah melalui pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) menggunakan ETDRS chart, pemindaian SD-OCT dan pemeriksaan 61-heksagon MfERG pada baseline, 1 minggu dan 1 bulan pasca-injeksi. Parameter MfERG yang dinilai adalah first-order MfERG (N1,N2 dan P1) pada daerah dua-derajat sentral makula. Hasil Terdapat perbaikan tajam penglihatan sebesar 2LogMar disertai 19% penurunan KMS pada satu bulan pasca-injeksi (p<0.05). Terjadi penurunan amplitudo P1 satu minggu pasca-injeksi (p<0.01) diikuti perbaikan amplitudo P1 satu bulan pasca injeksi (p>0.05). Tampak pemendekan waktu implisit P1 namun secara statistik tidak bermakna. Tidak didapatkan korelasi antara peningkatan TPDK, penurunan KMS, perbaikan amplitudo serta pemendekan waktu implisit gelombang P1 MfERG. Tidak ditemukan efek samping okular maupun sistemik yang berbahaya pasca-injeksi.. Simpulan Dalam jangka pendek, injeksi bevacizumab intravitreal dapat meningkatkan tajam penglihatan, mengurangi ketebalan makula sentral/KMS dan memperbaiki respons MfERG pasien DME namun tidak bermakna secara statistik. Perbaikan TPDK tidak memiliki korelasi dengan penurunan KMS dan respons MfERG secara statistik namun kombinasi penggunaan SD-OCT dan MfERG dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi makula pasien EMD yang mengalami perburukan tajam penglihatan.

ABSTRACT
Purpose To evaluate and investigate any possible correlation between changes of visual acuity (VA), central macular thickness/CMT using Spectral Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT) and electrophysiological responses using multifocal electroretinography (MfERG) in diabetic macular edema (DME) following intravitreal injection of bevacizumab Methods Prospective, non-randomized, interventional case study. Thirty-three eyes of 33 DME patients, consists of 16 non-proliferative diabetic retinopathy patients and 17 non-high-risk proliferative diabetic retinopathy patients, receives intravitreal bevacizumab 1,25mg. All patients underwent complete ophthalmic examination including ETDRS VA testing, Sixty-one scaled hexagon MfERG and SD-OCT scan at baseline, 1-week, and 1-month post-injection. Components of the first order kernel (N1, N2 and P1) in central 2o were measured. Results MfERG showed reduced P1 amplitude (P<0.05) at 1-week after injection followed by increased P1 amplitude (P>0.05) at 1-month after treatment as compared to the baseline in all subjects. Improvement were seen in the implicit time P1 but without statistical significance. There was 19% improvement in CMT and 0.2Logmar VA improvement 1-month post-injection compared to the baseline (P<005). This study showed no serious ocular adverse effects. Conclusion In this study intravitreal injection bevacizumab resulting in improved visual acuity, reduction in CMT and mild improvement in the MfERG amplitude and implicit time. Although VA changes did not correlate with reduced CMT nor with improved responses of MfERG, the combined use of SD-OCT and MfERG may be used to evaluate macular function in DME patient with worsened visual acuity post anti-VEGF injection."
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>