Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171949 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dzaky Ismail Al Abyan
"ABSTRACT
Tindakan anestesi merupakan tindakan yang berisiko tinggi, yang diberikan kepada pasien pada saat pasien akan menjalankan tindakan pembedahan. Dokter yang berwenang memberikan anestesi ialah dokter spesialis anestesiologi. Dalam memberikan pelayanan anestesi kepada pasien, dokter spesialis anestesiologi dibantu oleh perawat anestesi, dan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 31 Tahun 2013 apabila dokter spesialis anestesiologi berhalangan hadir, kewenangan dapat dilimpahkan kepada perawat anestesi secara delegasi. Namun dalam putusan nomor 109/Pid.Sus/2015/PN.Trt, perawat anestesi yang memberikan pelayanan anestesi kepada pasien tanpa adanya izin atau perintah dari dokter spesialis anestesiologi maka perawat anestesi tidak berhak melakukan tindakan anestesi. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan kewenangan dan tanggung jawab hukum perawat anestesi dan dokter spesialis anestesiologi dalam tindakan pembedahan, serta deskriptif analisis pelimpahan kewenangan secara delegasi dari dokter kepada perawat dan  tanggung jawabnya di dalam putusan nomor 109/Pid.Sus/2015/PN.Trt. Hasil penelitian yang diperoleh ialah dokter spesialis anestesiologi berwenang untuk mengawasi dan mengatasi pelaksanaan pelayanan anestesi, perawat anestesi berwenang untuk melakukan pelayanan anestesi dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis anestesiologi. Dalam pelimpahan kewenangan perawat bertanggung jawab langsung kepada dokter anestesi sebagai pelaksana. Dan dapat bertanggung jawab secara mandiri apabila bertindak diluar dari kewenangan yang dilimpahkan.

ABSTRACT
Anesthesia is a high risk action which has delivered to patient while surgical procedure. A doctor who has authority to conduct anesthesia is named specialist of anesthesiology. To deliver the anesthesia services into patient, medical specialist of anesthesiology is accompanied by anesthesia nurse and refers to Minister of Health regulation Number 31 Year 2013; if medical specialist of anesthesiology is absent, his authority can be delegated to anesthesia nurse. Nevertheless, in verdict number 109/Pid.Sus/2015/PN.Trt, anesthesia nurse who delivers the services to patient without permission or command of medical specialist of anesthesiology, anesthesia nurse doesn`t have authority to deliver services. Hereby juridical-normative method, this research aims to know about the authority and accountability of anesthesia nurse and medical specialist of anesthesiology in surgical procedure, moreover descriptive-analysis is regarding the delegation of medical specialist of anesthesiology`s authority into anesthesia nurse and his accountability which stipulated in verdict number 109/Pid.Sus/2015/PN.Trt. The research outcomes are medical specialist of anesthesiology has the power to monitor and overcome anesthesia procedure and anesthesia nurse has authority to deliver anesthesia procedure by collaborating with medical specialist of anesthesiology. To delegate the authority, a nurse has to responsible directly into medical specialist of anesthesiology as executor, then he has to responsible individually outside authority which delegated by."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifah Alma Febiola
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi perawat anestesi yang melakukan tindakan pembedahan tanpa didampingi oleh dokter spesialis anestesi. Anestesi merupakan tindakan yang sangat beresiko dan hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis anestesi. Namun terdapat pengecualian apabila tidak ada dokter spesialis anestesi atau berhalangan hadir, kewenangan tersebut dapat dilimpahkan dengan tetap berkoordinasi dan pemberian dosis sesuai dengan perintah dokter spesialis anestesi. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Penata Anestesi mengatur bahwa pelimpahan wewenang tersebut dilakukan dengan cara mandat, karena tanggung jawabnya tetap berada pada pemberi mandat yaitu dokter spesialis anestesi. Sebagaimana kasus dalam Putusan Nomor 109/Pid.sus/2015/PN. Trt, seorang perawat melakukan tindakan anestesi dengan memberi dosis sesuai perkiraannya sendiri dan menghubungi dokter spesialis anestesi setelah tindakan anestesi dilakukan. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan kewenangan antara dokter spesialis anestesi dengan perawat anestesi serta tanggung jawab rumah sakit terhadap tindakan anestesi yang dilakukan tanpa didampingi dokter spesialis anestesi. Sedangkan deskriptif analisis adalah pelimpahan kewenangan yang dilakukan secara mandat dan tanggung jawab serta perlindungan hukum bagi perawat anestesi. Hasil penelitian yang diperoleh ialah segala tindakan perawat anestesi harus di bawah pengawasan dokter spesialis anestesi sebab pelimpahan wewenangnya secara mandat, mengakibatkan tidak berpindahnya tanggung jawab atas tindakan tersebut dan rumah sakit pun berkewajiban untuk mengawasi serta bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh pekerja di rumah sakit tersebut.

This thesis discusses the responsibility and legal protection of anesthetist nurses who perform surgery without being accompanied by an anesthetist.  Anesthesia is a very risky action and can only be done by anesthetists.  However, there are exceptions if there is no anesthetist or unable to attend, the authority can be delegated by continuing to coordinate and administer doses according to the anesthetist's orders.  Minister of Health Regulation No. 18 of 2016 concerning Licensing and Implementation of Anesthesia Management Practices stipulates that the delegation of authority is carried out by means of a mandate, because the responsibility remains with the mandate giver, namely the anesthetist.  As is the case in Decision Number 109 / Pid.sus / 2015 / PN.  Trt, a nurse performs anesthetic action by giving the dose according to his own estimation and contact an anesthetist after the anesthesia is performed.  By using the juridical-normative method, this study aims to determine the comparison of authority between anesthetist and anesthetist nurses and hospital responsibilities for anesthetic actions carried out without the anesthetist's specialist.  Whereas descriptive analysis is the delegation of authority which is carried out by mandate and responsibility as well as legal protection for anesthetist nurses.  The results obtained all the actions of anesthetist nurses must be under the supervision of anesthetist specialist because the delegation of authority in a mandate, resulting in no transfer of responsibility for these actions and the hospital is obliged to supervise and be responsible for all actions carried out by workers in the hospital."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Reynhart Henry
"Skripsi ini menganalisis tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. Skripsi ini disusun dengan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian deskriptif-preskriptif, menelaah melalui perspektif hukum tentang tanggung jawab dokter dan rumah sakit dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. Skripsi ini secara komprehensif membedah bagaimana seharusnya tanggung jawab hukum dokter selaku pelaku tindakan medis dan rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan apabila terjadi kegagalan tindakan medis. Dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit merupakan dua subjek hukum utama yang bertanggung jawab dalam kegagalan tindakan anestesi yang dialami oleh Penggugat. Penggugat mengalami kelumpuhan permanen setelah dilaksanakannya tindakan anestesi oleh dokter spesialis anestesi. Dalam kasus ini, dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam memintakan informed consent kepada Penggugat, tetapi tindakan dokter dalam tindakan anestesi dan anamnesis bukan merupakan perbuatan melawan hukum karena telah sesuai dengan pedoman. Lebih lanjut, rumah sakit dalam kasus ini telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak memberikan isi rekam medis kepada Penggugat dan lalai dalam menjaga kualitas peralatan medis yang digunakan. Oleh karena itu, disarankan kepada dokter dan rumah sakit sebagai untuk dapat memahami hak, kewajiban, serta tanggung jawab yang dimiliki demi memaksimalkan pelayanan kesehatan dan meminimalisasi risiko.

This thesis analyzes the responsibilities of doctors and hospitals in Court Decision Number 1324/Pdt.G/2021/PN Tng. The thesis employs a doctrinal research method with a descriptive-prescriptive type of research, examining the legal perspectives on the responsibilities of doctors and hospitals in the said court decision. This thesis comprehensively dissects how the legal responsibilities of doctors as medical practitioners and hospitals as healthcare service providers should be addressed in the event of medical procedure failures. In this case, both the doctor and the hospital are the primary legal subjects responsible for the failure of the anesthesia procedure experienced by the Plaintiff. The Plaintiff suffered permanent paralysis following an anesthesia procedure performed by an anesthesiologist. In this case, the doctor committed an unlawful act by failing to obtain informed consent from the Plaintiff; however, the doctor's actions during the anesthesia and anamnesis procedures were not unlawful as they adhered to established guidelines. Furthermore, the hospital committed an unlawful act by failing to provide the Plaintiff with the medical records and by neglecting the maintenance of the medical equipment used. Therefore, it is recommended that doctors and hospitals understand their rights, obligations, and responsibilities to maximize healthcare services and minimize risks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang masih tergolong muda di Indonesia. Hukum kesehatan yang baru berkembang ini berbanding terbalik dengan banyaknya sorotan terhadap hukum kesehatan, khususnya kepada dokter spesialis anestesi dalam melakukan tindakan operasi. Seorang dokter spesialis anestesi melakukan peran yang sangat penting di kamar operasi, tidak hanya membuat pasien tertidur, tetapi juga harus membuat keputusan untuk melindungi dan menjaga fungsi-fungsi vital dari organ pasien sehingga dapat berjalan dengan baik. Dokter spesialis anestesi juga bertugas untuk mendiagnosa dan menangani masalah yang mungkin timbul selama operasi atau pada masa pemulihan dalam perspektif keselamatan pasien secara umum. Dalam melaksanakan tugasnya dokter spesialis anestesi harus berpedoman terhadap standar dan prosedur, karena dalam melakukan anestesi diharuskan untuk tidak melakukan kesalahan maupun kelalaian. Penulisan ini membahas tentang tinjauan tanggung jawab dokter spesialis anestesi dalam tindakan operasi. Luasnya aspek hukum yang terdapat dalam hubungan dokter dan pasien membuat penulis membatasi pembahasan penulisan ini hanya mengenai aspek hukum kesehatan.
;Health law is considered a new branch of law in Indonesia. The developing health law are inversely proportional to vast attention given to health law, especially to anesthetic specialist?s in surgical operation. Anesthetic specialist?s do important role in operation room, not only make patient sleep, but also take a decision to keep and protect the function of organ patient and also have a duty to diagnose and manage a problem that maybe will any during surgical operation or period dignification in perspective safety patient in general. Anesthetic specialist?s must orientation with standart and procedure, because when anesthesia doing, doctor?s shouldn?t do negligence or fault. The purpose of this writing is to knowing the responsibility of anesthetic specialist?s in surgical operation. The wide range of legal aspect in relationship within doctor and patient, require the writer to limit the writing of this paper only in term of health law.
, Health law is considered a new branch of law in Indonesia. The developing health law are inversely proportional to vast attention given to health law, especially to anesthetic specialist’s in surgical operation. Anesthetic specialist’s do important role in operation room, not only make patient sleep, but also take a decision to keep and protect the function of organ patient and also have a duty to diagnose and manage a problem that maybe will any during surgical operation or period dignification in perspective safety patient in general. Anesthetic specialist’s must orientation with standart and procedure, because when anesthesia doing, doctor’s shouldn’t do negligence or fault. The purpose of this writing is to knowing the responsibility of anesthetic specialist’s in surgical operation. The wide range of legal aspect in relationship within doctor and patient, require the writer to limit the writing of this paper only in term of health law.
]"
Universitas Indonesia, 2016
S61980
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Havrian
"ABSTRACT
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan di Indonesia yang memiliki kewenangan melakukan tindakan keperawatan. Praktiknya, masih ada perawat yang melampaui kewenangannya dan melakukan tindakan pembedahan. Salah satu kasusnya ada pada Putusan Putusan Pengadilan Negeri Gresik dengan Nomor 204/Pid.B/2008/PN.Gs. Pada putusan tersebut seorang perawat dipidana karena melakukan tindakan pembedahan berupa sirkumsisi kepada seorang anak yang berujung pada kecacatan anak tersebut. Metode penelitian ini berupa deskriptif analitis yang bertujuan untuk memberikan suatu gambaran umum dan terperinci tentang kewenangan perawat dalam melakukan tindakan pembedahan berupa sirkumsisi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perawat tidak boleh melakukan tindakan pembedahan kecuali ada pelimpahan kewenangan dari dokter kepada perawat. Akan lebih baik apabila ada pendidikan khusus dan juga aturan yang mengatur bagi perawat untuk melakukan tindakan pembedahan.

ABSTRACT
Abstract Nurse is one of the health workers in Indonesia who have the authority to perform nursing actions. In practice, there are nurses who go beyond their authority and perform surgery. One of the cases is on Decision of Gresik District Court Number 204 Pid.B 2008 PN.Gs. In that decision a nurse is convicted crime because of performing surgery in the form of circumcision to a child who leads to the child 39 s disability. This research method is analytical descriptive which aims to give a general description and detail about the authority of nurses in performing surgery in the form of circumcision. The results of this study indicate that the nurse should not perform surgery unless there is a delegation of authority from the doctor to the nurse. It would be better if there is a special education and also rules that regulate for nurses to perform surgery. "
2017
S69577
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Tuksadiah
"Skripsi ini membahas mengenai tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit
dalam tindakan emergency orthopaedi. Selain itu juga membahas peranan
informed consent dalam tindakan emergency orthopaedi. Penulis mempertajam
penelitian ini dengan menganalisis Putusan No.11/PDT.G/2015/PN.KWG dan
No.96/PDT.G/2017/PT.BDG. Permasalahan dalam skripsi ini, yaitu bagaimana
tanggung jawab dokter dan rumah sakit serta peranan informed consent dalam
tindakan emergency orthopaedi. Sri Lestari mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum atas dasar malpraktek sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Dalam skripsi ini, metode penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian, yaitu deskriptif. Untuk
dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi unsurunsur
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Selain itu,
untuk menentukan seorang dokter dan rumah sakit dapat bertanggung jawab dan
memberikan ganti rugi, erat hubungannya antara kesalahan dan kerugian yang
ditimbulkan. Sehingga dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit tidak dapat
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Sri Lestari. Dari hasil
penelitian ini, disarankan perlu adanya pengawasan dari pihak rumah sakit
terhadap segala tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam melakukan penanganan terhadap pasien.

This thesis discusses the responsibilities of doctors and hospitals in emergency
orthopaedic measures. It also discusses the role of informed consent in such
measures. The author sharpens this research by analyzing verdict No.11 / PDT.G /
2015 / PN.KWG and No. 96 / PDT.G / 2017 / PT.BDG. Problems tackled in this
thesis include the responsibilities of doctors and hospitals as well as informed
consent in orthopaedic emergency measures. Sri Lestari filed a torts lawsuit in the
form of malpractice as stipulated in Articles 1365, 1366, and 1367 of the
Indonesian Civil Code. Emergency action is said to be against the law if it fulfills
the elements in Article 1365 of the Civil Code. Furthermore, to determine whether
a doctor and hospital can be held responsible and are obliged to provide
compensation, it is essential to discern the relation between the tort done and
losses incurred. In this thesis, the research method used is normative juridical with
descriptive research. From the results of this study, it is suggested that there is a
need for supervision from the hospital regarding all medical actions taken by health workers to avoid errors in handling patients.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aidila Fitria
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai kompetensi, kewenangan, dan pertanggungjawaban hukum perawat dalam melakukan tindakan medis. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan kompetensi, kewenangan, dan pertanggungjawaban hukum Perawat serta analisisnya pada Putusan No. 139/Pid.Sus/2014/PN.Pmk. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode yuridis normatif, dan tipe penelitian yang digunakan yakni penelitian preskriptif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1 Pengaturan mengenai perawat dalam melakukan tindakan medis diatur khusus dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014; 2 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan mengizinkan Perawat melakukan tindakan medis apabila mendapat pelimpahan wewenang dari tenaga medis, berada dalam kondisi keterbatasan tertentu, dan darurat; 3 Pertanggungjawaban hukum Perawat dalam melakukan tindakan medis sebagaimana terdapat dalam Putusan dapat dikenakan sanksi pidana dan administratif. Untuk itu, penelitian ini menyarankan: 1 Pemerintah agar membuat Konsil Keperawatan untuk melakukan fungsi pengawasan dan peraturan pelaksana atas Undang-Undang No. 38 Tahun 2014 dalam hal melakukan tindakan medis; 2 Perawat agar mengetahui sampai batas mana kompetensi dan berani untuk menolak melakukan tindakan di luar kewenangannya; dan 3 Masyarakat untuk dapat membedakan bahwa Perawat tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sama dengan dokter atau tenaga medis.

ABSTRACT
This research examines competences, authorities, and legal liability of Nurse on conducting medical practice. The problems of this analysis are how the arrangement about the competences, authorities, and legal liability of Nurse on conducting medical practice. Thus, this research used normative juridical method with the type of the research is prescriptive. The results of this inquiry concludes that 1 The Regulations of Nurses on conducting medical practice are specified in Article 32, Article 33, and Article 35 Undang Undang Nomor 38 Tahun 2014 2 Undang Undang Nomor 38 Tahun 2014 permits the Nurse to conduct medical practice with medication task delegated by physician, under certain conditions of limitation, and emergency 3 The legal liability of the nurse on conducting medical practice in the Verdict may be subject to criminal and administrative sanctions. Therefore this thesis suggests 1 The government should monitor all the Nurses who conduct an independent nursing practice by forming Nursing Council and may implement regulation on Undang Undang Nomor 38 Tahun 2014 in the case of medical practice 2 The Nurses to know about the extent of their competence and refuse assignments outside their scope of practice Lastly, 3 The Society to be able to distinguish that Nurses do not have same competence and authorities as doctors or medical personnel."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Tuksadiah
"Skripsi ini membahas mengenai tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit dalam tindakan emergency orthopaedi. Selain itu juga membahas peranan informed consent dalam tindakan emergency orthopaedi. Penulis mempertajam penelitian ini dengan menganalisis Putusan No.11/PDT.G/2015/PN.KWG dan No.96/PDT.G/2017/PT.BDG. Permasalahan dalam skripsi ini, yaitu bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit serta peranan informed consent dalam tindakan emergency orthopaedi. Sri Lestari mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum atas dasar malpraktek sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Dalam skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian, yaitu deskriptif. Untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi unsurunsur sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Selain itu, untuk menentukan seorang dokter dan rumah sakit dapat bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi, erat hubungannya antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. Sehingga dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit tidak dapat bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Sri Lestari. Dari hasil penelitian ini, disarankan perlu adanya pengawasan dari pihak rumah sakit terhadap segala tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam melakukan penanganan terhadap pasien.
This thesis discusses the legal responsibilities of doctors and hospitals in orthopedic emergency actions. It also discusses the role of informed consent in orthopedic emergency action. The author sharpens this research by analyzing Decision No.11/PDT.G/2015/PN.KWG and No.96/PDT.G/2017/PT.BDG. The problem in this thesis, namely how the responsibility of doctors and hospitals and the role of informed consent in orthopedic emergency action. Sri Lestari filed a lawsuit against the law on the basis of malpractice as regulated in Articles 1365, 1366, and 1367 of the Civil Code. In this thesis, the research method used is normative juridical with the type of research, namely descriptive. To be categorized as an unlawful act, it must meet the elements as regulated in Article 1365 of the Civil Code. In addition, to determine that a doctor and hospital can be responsible and provide compensation, there is a close relationship between errors and losses caused. So in this case, doctors and hospitals cannot be held responsible for the losses suffered by Sri Lestari. From the results of this study, it is suggested that there is a need for supervision from the hospital on all medical actions taken by health workers to
avoid errors in handling patients."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Rarasati
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kompetensi serta kewenangan bidan serta meninjau tanggung jawab hukum bidan yang melakukan tindakan aborsi. Metode penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini jika ditinjau dari bentuknya merupakan penelitian yuridis-normatif dengan
menggunakan metode deskriptif-analitis. Dapat disimpulkan bahwa kompetensi dan kewenangan bidan dalam berprofesi meliputi keluarga berencana, persalinan baik sebelum masa kehamilan, pada masa kehamilan, pada saat kehamilan dan setelah masa kehamilan serta Bidan juga memiliki wewenang dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada anak. Sehingga dalam hal ini bidan tidak memiliki kompetensi dan kewenangan dalam menangani persalinan tidak normal atau melakukan aborsi. Tanggung jawab hukum Bidan dapat dilihat dari tanggung jawab Bidan yang dilanggar, sehingga kemudian Bidan karena kesalahannya dapat dikenakan hukuman pidana. Penulis juga memiliki saran bahwa pengaturan mengenai dewan pengawas perlu diperbaiki dan ditambah serta perlunya penambahan pengetahuan
hukum bagi para tenaga kesehatan di seluruh Indonesia

ABSTRACT
This thesis discusses the competence and authority of midwives and reviews the legal responsibilities of midwives who carry out abortion. The research method used in this thesis if viewed from its form is juridical-normative research using descriptive-analytical methods. It can be concluded that the competence and authority of midwives in their profession includes family planning, childbirth both before pregnancy, during pregnancy, during pregnancy and after pregnancy, and midwives also have the authority to provide health services to children. So that in this case the midwife does not have the competence and authority to handle abnormal labor or have an abortion. The legal responsibility of the Midwife can be seen from the responsibilities of the Midwife who is violated, so that later the Midwife due to his mistake can be subject to criminal punishment. The author also has suggestions that arrangements regarding the supervisory board need to be improved and added and the need for additional legal knowledge for health workers throughout Indonesia."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Rarasati
"Skripsi ini membahas mengenai kompetensi serta kewenangan bidan serta meninjau tanggung jawab hukum bidan yang melakukan tindakan aborsi. Metode penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini jika ditinjau dari bentuknya merupakan penelitian yuridis-normatif dengan
menggunakan metode deskriptif-analitis. Dapat disimpulkan bahwa kompetensi dan kewenangan bidan dalam berprofesi meliputi keluarga berencana, persalinan baik sebelum masa kehamilan, pada masa kehamilan, pada saat kehamilan dan setelah masa kehamilan serta Bidan juga memiliki wewenang dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada anak. Sehingga dalam hal ini bidan tidak memiliki kompetensi dan kewenangan dalam menangani persalinan tidak normal atau melakukan aborsi. Tanggung jawab hukum Bidan dapat dilihat dari tanggung jawab Bidan yang dilanggar, sehingga kemudian Bidan karena kesalahannya dapat dikenakan hukuman pidana. Penulis juga memiliki saran bahwa pengaturan mengenai dewan pengawas perlu diperbaiki dan ditambah serta perlunya penambahan pengetahuan
hukum bagi para tenaga kesehatan di seluruh Indonesia

This thesis discusses the competence and authority of midwives and reviews the legal responsibilities of midwives who carry out abortion. The research method used in this thesis if viewed from its form is juridical-normative research using descriptive-analytical methods. It can be concluded that the competence and authority of midwives in their profession includes family planning, childbirth both before pregnancy, during pregnancy, during pregnancy and after pregnancy, and midwives also have the authority to provide health services to children. So that in this case the midwife does not have the competence and authority to handle abnormal labor or have an abortion. The legal responsibility of the Midwife can be seen from the responsibilities of the Midwife who is violated, so that later the Midwife due to his mistake can be subject to criminal punishment. The author also has suggestions that arrangements regarding the supervisory board need to be improved and added and the need for additional legal knowledge for health workers throughout Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>