Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chairunnisa
"Latar Belakang. Multipel sklerosis merupakan penyakit kronik progresif dimana selain dari berbagai gejala neurologis yang ada, gangguan tidur merupakan masalah yang juga memiliki dampak terhadap penyandang penyakit multipel skeloris. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur ditemukan lebih tinggi pada penyandang penyakit multipel skeloris dibandingkan populasi normal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serta pola gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel sklerosis di Indonesia.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskritptif potong lintang. Populasi penelitian merupakan pasien dengan penyakit multiple sklerosis yang berobat di RSCM Jakarta yang memenuhi kriteria inklusi, dan dilakukan pengambilan data klinis dan pengambilan sampel dengan mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Assessment (PSQI) dan STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, serta The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10). Data yang didapat kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data.
Hasil. Dari empat puluh dua subjek MS yang diikutsertakan pada penelitian ini, 32 (76,2%) subjek berusia kurang dari 35 tahun, 34 (81,0%) berjenis kelamin perempuan, 23 (54,8%) subjek tidak bekerja, 9 (21,4%) mengalami depresi, dan 9 (21,4%) memiliki EDSS 6 ke atas. Insomnia ditemukan pada 32 (76,2%) subjek, dengan proporsi yang lebih besar ditemukan pada subjek berusia 35 tahun ke atas (80% vs 75%, p=0,556), berjenis kelamin laki-laki (87,5% vs 73,5%, p=0,374), kelompok yang tidak bekerja (78,3% vs 73,7%, p=0,504), kelompok dengan depresi (77,8% vs 75,8%, p=0,638), dan kelompok dengan EDSS lebih dari sama dengan 6 (77,8% vs 75,8%, p=0,638). Seluruh subjek memiliki risiko OSA dengan 39 (92,9%) subjek memiliki risiko ringan-sedang dan 3 (7,1%) subjek memiliki risiko berat. Hanya laki-laki yang memiliki risiko terhadap kejadian OSA (37,5% vs 0%, p=0,005), tetapi tidak berkaitan terhadap kejadian insomnia.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan tidur pada penyandang penyakit multipel skeloris di Indonesia sangat tingi. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan pemeriksaan lebih lanjut guna menunjang diagnosis.

Background. Multiple sclerosis (MS) is a chronic progressive disease in which sleep disorder, besides various neurologic manifestations, highly impacts the patients but is often neglected in clinical settings. Several studies had discovered that sleep disorder was more prevalent in MS than general population. This study aimed to investigate the prevalence and characteristics of sleep disorder in MS patients in Indonesia.
Methods. A descriptive cross-sectional study involving MS patients was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta. In addition to clinicodemographic data collection, data regarding sleep quality, obstructive sleep apnea (OSA), and depression state were assessed using Indonesian previously-validated Pittsburgh Sleep Quality Index, STOP-BANG Sleep Apnea Questionnaire, and The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10, respectively.
Results. Of forty MS participants included in this study, 29 (72.5%) aged less than 35 years, 32 (80.0%) were women, 20 (50.0%) were unemployed, 10 (25.0%) had depression, and 10 (25.0%) had Expanded Disability Scoring Scale (EDSS) of ≥6. Insomnia was found in 33 (82.5%) participants, of which larger proportion were male (100.0% vs 78.1%, p=0.309. Three (7,1%) participants had moderate risk of OSA. Only male had significant risk of OSA (moderate risk 25.0% vs 0%, p=0.036), but it did not associate with insomnia.
Conclusion. Sleep disorder in MS patients in Indonesia is prevalent. There was potencies of the risk of OSA in MS, especially in male. Detection of insomnia and risk OSA is important in MS comprehensive care."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"Pendahuluan Bagi seorang pilot, OSA dapat berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Salah satu faktor predisposisi utama terjadinya OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia.
Metode Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner STOP-BANG untuk menilai risiko OSA, kuesioner Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur Excessive Daytime Sleepiness, kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation untuk mengukur obstruksi di hidung, dan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire untuk mengukur aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa body mass index dan lingkar leher.
Hasil Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko tinggi OSA sebesar 35,8%. Kemudian, obesitas dan lingkar leher ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Untuk faktor lainnya, ditemukan juga bahwa usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Untuk faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05).
Kesimpulan Terdapat hubungan yang bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA. Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA.

Introduction In pilots, OSA can impact flight safety as it can cause fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving skills, and multitasking. Increased body weight can predispose to OSA, and occupational factors may influence risk development. This study aims to determine the relationship between obesity and other factors on the risk of OSA in civilian pilots in Indonesia.
Methods This study used a cross-sectional design and was conducted at the Aviation Health Center. Respondents were asked to fill out the STOP-BANG questionnaire to assess OSA risk, the ESS questionnaire to measure EDS, the NOSE questionnaire to measure nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire to measure physical activity. Then anthropometric measurements were taken in the form of BMI and neck circumference.
Results From 176 respondents, 35,8% had a high risk of OSA. Obesity and neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk (p>0.05). The factors most associated with OSA risk were neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction (p<0.05).
Conclusion There is a significant relationship between anthropometric factors such as BMI and neck circumference; demographic factors such as age; comorbid factors such as blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity; and habit factors such as smoking with the risk of OSA. There is no significant relationship between occupational factors and OSA risk.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
"OSA berdampak terhadap keselamatan penerbangan dengan menimbulkan fatigue dan gangguan kognitif pada memori, atensi, perencanaan, kemampuan memecahkan masalah dan multitasking. Faktor predisposisi utama OSA adalah peningkatan berat badan, serta faktor pekerjaan juga dapat mempengaruhi timbulnya risiko OSA. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas dan faktor-faktor lainnya terhadap risiko OSA pada pilot sipil di Indonesia. Penelitian menggunakan disain potong lintang dan dilakukan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden mengisi kuesioner STOP-BANG untuk risiko OSA, kuesioner ESS untuk EDS, kuesioner NOSE untuk obstruksi di hidung, dan kuesioner GPAQ untuk aktifitas fisik. Kemudian dilakukan pengukuran antropometri berupa BMI dan lingkar leher. Didapatkan 176 responden dengan prevalensi risiko OSA 35,8%. Kemudian, obesitas, lingkar leher, usia, tekanan darah, obstruksi hidung, penyempitan orofaring, dan merokok ditemukan mempunyai hubungan bermakna dengan risiko tinggi OSA (p<0,05). Tidak terdapat hubungan bermakna antara faktor pekerjaan dengan risiko OSA (p>0,05). Faktor-faktor yang paling berhubungan dengan risiko OSA ialah lingkar leher, penyempitan orofaring, dan obstruksi nasal (p<0,05). Terdapat hubungan bermakna antara faktor antropometri yaitu BMI dan lingkar leher; faktor demografi yaitu usia; faktor komorbid yaitu tekanan darah, obstruksi hidung, dan penyempitan rongga orofaring; dan juga faktor kebiasaan yaitu merokok dengan risiko OSA.

OSA can impact flight safety by causing fatigue and cognitive impairment in memory, attention, planning, problem-solving, and multitasking abilities. Increased body weight can predispose to OSA, and the risk development is affected by occupational factors. A cross-sectional study to determine the association between obesity and other factors on the risk of OSA in Indonesian civilian pilots was conducted at the Aviation Health Center. The respondents filled out the STOP-BANG questionnaire for OSA risk, the ESS questionnaire for EDS, the NOSE questionnaire for nasal obstruction, and the GPAQ questionnaire for physical activity. Anthropometric measurements (BMI and neck circumference) were measured. Of the 176 respondents, the prevalence of OSA risk was 35.8%. Obesity, neck circumference, age, blood pressure, nasal obstruction, oropharyngeal narrowing, and smoking were found to have a significant association with a high risk of OSA (p<0.05). There was no significant association between occupational factors and OSA risk (p>0.05). Neck circumference, oropharyngeal narrowing, and nasal obstruction were the factors most associated with OSA risk (p<0.05). There was a significant association between anthropometric factors (BMI and neck circumference), demographic factors (age), comorbid factors (blood pressure, nasal obstruction, and narrowing of the oropharyngeal cavity), and also smoking habits with the risk of OSA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Dwi Susanto
"ABSTRAK
Obstructive sleep apnea (OSA) is a disease with recurrent episodic of partial or total upper airway collapse during sleep. Snoring is a main symptom of OSA because it may be caused by upper airway collapse during sleep. Several risk factors has been identified as risk factors for OSA. They are male gender, increased of age, overweight or obesity, big neck, craniofacial abnormality, upper airway disease or abnormality, smoking, gene, menopause, nasal congestion, and alcohol consumption. Overweight or obesity are major risk factor of OSA. Obesity also increased progressivity of OSA. "
2014
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Renny Kurniawati
"Obstructive sleep apnea OSA adalah salah satu gangguan pernapasan saat tidur dikarenakan obstruksi saluran napas atas. Pasien OSA tidak dapat tidur nyenyak dan dapat mengalami arrousal ketika tubuh berusaha mengambil napas. Para pegawai dengan gangguan ini dikhawatirkan mengalami penurunan kebugaran tubuh dan kantuk pada jam kerja sehingga tidak memiliki kualitas kerja maksimal. Pengambilan data dilakukan sebanyak satu kali untuk tiap individu dengan pelaksanaan selama dua hari sesuai dengan metode potong-lintang. Sebanyak 191 orang staf administrasi Universitas Indonesia dengan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan menjadi responden dalam pengisian kuesioner STOP-Bang dan pengukuran berat badan, tinggi badan, serta tekanan darah untuk mengetahui persebaran risiko OSA dan hubungannya dengan tekanan darah, IMT, usia, lingkar leher, jenis kelamin, serta aktivitas merokok. Didapatkan 82,7 responden berisiko rendah, 7,3 sedang, dan 9,9 tinggi. OSA memiliki hubungan bermakna dengan semua faktor risiko yang disebutkan p0,05 . Hasil tidak bermakna karena proporsi responden berisiko rendah, sedang, dan tinggi terlalu tidak berimbang. Sebagian besar responden berisiko sedang dan tinggi memiliki lebih dari satu faktor risiko.

Obstructive sleep apnea OSA is a respiratory disorder arising from obstruction in the upper respiratory tract, disturbing sleep cycle. Patients with OSA could not sleep well and experience arousal during effortful breathing. Employees with OSA were expected to have a decrease in fitness and an increase in sleepiness and fatigue, implicating performance at work. Data collection was held twice once to each respondent based on cross sectional metode. As many as 191 administration staff of Universitas Indonesia, majority of whom were female, filled STOP Bang questionnaires and underwent weight, height, and blood pressure examination to determine the risk prevalence and its relation to blood pressure, BMI, age, neck circumference, sex, and smoking. Among them, 82,7 were classified as low risk, 7,3 moderate risk, and 9,9 high risk. OSA was found to be significantly related to all risk factors p0,05 due to unequal sample sizes within each study group. The majority of respondents with moderate and high risk were known to have more than one risk factor. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Pranandrari
"Latar belakang: Kejadian obstructive sleep apnea (OSA) dipengaruhi kebiasaan tidur dan pekerjaan. Profesi perawat berhubungan dengan rotasi kerja yang mempengaruhi waktu tidur. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens dan faktor-faktor yang berhubungan dengan OSA pada perawat RS Persahabatan Jakarta menggunakan kuesioner penapisan dan polisomnografi (PSG).
Metode: Perawat dilakukan penapisan OSA menggunakan kuesioner Berlin dan STOP-Bang dan dilakukan pemeriksaan PSG untuk mengetahui prevalens OSA. Karakterisik demografis, pekerjaan dan kebiasaan dianalisis untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan OSA.
Hasil: Penelitian yang melibatkan 168 perawat ini menunjukkan prevalens OSA adalah 32,74% (55/168) berdasarkan kuesioner Berlin dan 16,67% (28/168) berdasarkan kuesioner STOP-Bang. Indeks massa tubuh, lingkar leher (LL) dan status gizi merupakan faktor risiko OSA berdasarkan penapisan Berlin. Indeks massa tubuh, LL, status gizi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jam kerja dan jam tidur merupakan faktor risiko OSA berdasarkan penapisan STOP-Bang. Subjek dengan risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin menunjukkan hasil skor STOP-Bang lebih besar terhadap subjek tanpa risiko OSA dengan skor >2 (p<0,000). Pemeriksaan PSG menunjukkan 10 subjek menderita OSA.
Kesimpulan: Prevalensi OSA adalah 32,74% berdasarkan kuesioner Berlin dan 16,67% berdasarkan kuesioner STOP-Bang. Indeks massa tubuh, LL dan status gizi merupakan faktor risiko OSA berdasarkan kedua kuesioner tersebut. Subjek dengan risiko OSA berdasarkan kuesioner Berlin menunjukkan skor STOP-Bang >2.

Background: Obstructive sleep apnea (OSA) is associated with sleep habits and occupation. Nurses are subject to lengthy night working shift which deprives sleep. This study reveals the prevalence and the related factors of OSA among the nurses of Persahabatan Hospital Jakarta using screening questionnaire and polysomnography (PSG).
Methods: Nurses were screened for OSA using Berlin and STOP-Bang questionnaires and were examined using PSG to reveal the prevalence of OSA. Demographic, work and habitual characteristics were analyzed to reveal related factor of OSA.
Results: The study, involved 168 nurses, shows prevalence of OSA is 32.74% (55/168) based on Berlin questionnaire and 16.67% (28/168) based on STOP-Bang questionnaire. Body mass index, neck circumference (NC) and nutrition status (NUT) is shown as risk factor of OSA from Berlin questionnaire. Body mass index, NC, NUT, sex, education level, working hour and sleeping hour is shown as risk factor of OSA from STOP-Bang questionnaire. Subjects with risk of OSA, as determined by Berlin questionnaire, exhibits STOP-Bang score >2 compared to subjects without risk of OSA (p<0.000). The PSG shows 10 subjects are OSA.
Conclusions: Prevalence of OSA is 32.74% based on Berlin questionnaire and 16.67% based on STOP-Bang questionnaire. Body mass index, NC and NUT serves as OSA risk factors from both of these questionnaires. Subject with risk of OSA, as determined by Berlin questionnaire, tends to exhibit STOP-Bang score >2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Levina Putri Siswidiani
"Obstructive sleep apnea atau OSA adalah salah satu bentuk gangguan tidur yang disebabkan oleh gangguan pernapasan, dimana terjadi obstruksi saluran napas atas berulang selama seseorang tidur. OSA dapat menyebabkan fragmentasi tidur dan akhirnya menyebabkan rasa mengantuk di siang hari. Ketika seseorang mengantuk, terjadi penurunan kemampuan persepsi dan perubahan emosi, yang mengarah pada penurunan produktivitas kerja. Pegawai administrasi yang dirasa memiliki tingkat rasa mengantuk yang tinggi saat jam kerja merupakan subjek dari penelitian ini. Subjek yang diteliti yaitu pegawai administrasi di Pusat Administrasi Universitas Indonesia yang dirasa menggambarkan karakteristik pegawai administrasi Indonesia. Subjek diminta untuk mengisi kuesioner Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur tingkat rasa mengantuknya di siang hari dan kuesioner STOPBANG untuk mengetahui risiko OSA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun pegawai Pusat Administrasi Universitas Indonesia yang berisiko tinggi OSA mengalami mengantuk di siang hari, namun jumlahnya hanya sedikit. Sebagian besar pegawai tidak mengantuk di siang hari. Karenanya, tidak terdapat hubungan antara risiko OSA dengan tingkat rasa mengantuk pada pegawai Pusat Administrasi Universitas Indonesia. Hal ini disebabkan karena tingginya nilai kuesioner Epworth tidak dapat menentukan risiko OSA, melainkan hanya menunjukkan bahwa seseorang memiliki kualitas tidur di malam hari yang buruk.

Obstructive sleep apnea, also known as OSA, is one of sleep-related breathing disorders in which there are repeated obstructions in the upper airway during nighttime sleep. OSA can cause fragmentation of sleep that leads to excessive daytime sleepiness. When someone is sleepy, there is a slight reduction of perception and change of emotion, which leads to a decrease in work productivity. Our research subjects are administration staff of Universitas Indonesia whom we feel possess the characteristics of administration staff. They were asked to fill in the Epworth Sleepiness Scale questionnaire to grade daytime sleepiness and the STOPBANG questionnaire to predict the risk of OSA.
The results showed that although the staffs those are at high risk of OSA suffer excessive daytime sleepiness, but the proportions were insufficient. Hence, there was no correlation between the values of daytime sleepiness and the risk of OSA in administration staff of Universitas Indonesia. This might be because a high score of Epworth questionnaire could not determine the risk of OSA, but only show a lack of night-time sleep.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Lina Maylani
"Tesis ini disusun untuk menilai pengaruh latihan penguatan otot-otot ekspirasi dalam mengurangi gejala sleep apnea pada pasien Obstructive Sleep Apnea dengan obesitas menggunakan metode penelitian Evidence-Based Case Report (EBCR). Pencarian literatur dilakukan pada Pubmed, ProQuest, EBSCOHost, Scopus dan Cochrane sesuai dengan pertanyaan klinis. Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial pada satu jurnal yang didapat untuk menilai kualitasnya berdasarkan validitas, kepentingan dan aplikabilitasnya. Dari hasil Randomized Controlled Trial didapatkan bahwa subjek penelitian adalah pasien Obstructive Sleep Apnea dengan obesitas. Kesimpulan penelitian ini adalah latihan penguatan otot-otot ekspirasi dapat mengurangi gejala sleep apnea dengan menurunkan nilai Apnea-Hypopnea Index pada pasien Obstructive Sleep Apnea

This thesis was designed to assess the effect of expiratory muscle strengthening exercises in reducing sleep apnea symptoms in Obstructive Sleep Apnea patients with obesity using an evidence-based case report (EBCR) research method. A literature search was performed on Pubmed, ProQuest, EBSCOHost, Scopus and Cochrane according to clinical questions. This study uses a Randomized Controlled Trial in one journal obtained to assess its quality based on its validity, importance and applicability. From the results of the Randomized Controlled Trial, it was found that the research subjects were Obstructive Sleep Apnea patients with obesity. The conclusion of this study is that expiratory muscle strengthening exercises can reduce sleep apnea symptoms by reducing the Apnea-Hypopnea Index value in Obstructive Sleep Apnea patients"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>