Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110627 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muammar Emir Ananta
"Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi insiden TB terbanyak di dunia, dengan prevalensi TB sekitar 0,24%. Tingginya kasus TB di Indonesia disebabkan oleh iklim Indonesia yang tropis, serta lingkungan yang padat, kotor, basah, kumuh, dan miskin sehingga memudahkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk tumbuh. Jenis TB yang banyak ditemukan di Indonesia adalah TB paru. Anemia penyakit kronis adalah salah satu komplikasi tersering dari TB paru. Berdasarkan beberapa penelitian, anemia ini dapat meningkatkan kejadian komplikasi dan mortalitas pada pasien TB paru sehingga perlu diteliti lebih mendalam. Jadi, dilakukan penelitian tentang hubungan anemia dengan durasi gejala TB.
Penelitian ini menggunakan desain studi studi potong lintang. Sampel penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien RSUP Persahabatan melalui teknik. Pasien TB paru dikelompokan menjadi tiga kelompok berdasarkan durasi gejala tuberkulosis yang dialam, dengan jumlah subjek pada setiap kelompok adalah 49, 57, dan 44 subjek. Data dianalisis dengan uji ki kuadrat, kemudian dikur Odds Ratio Prevalensi anemia pada 150 subjek penelitian. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia pada pasien TB paru dengan durasi gejala. Namun, terdapat perbedaan bermakna kejadian anemia antara pasien TB paru kelompok durasi gejala lebih dari 3 bulan terhadap < 1 bulan.
Tingginya prevalensi anemia pada pasien TB paru disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama, TNF-alfa dan IL-6 pada infeksi TB paru menyebabkan disregulasi homeostasis ion Fe2+ melalui peningkatan hepcidin dan DMT 1, serta penurunan ferroportin 1. Hal ini menyebabkan malabsorpsi ion Fe2+ dan peningkatan oleh makrofag. Kedua, penurunan produksi eritropoetin akibat inhibisi oleh IFN-gamma. Ketiga, penurunan respon CFU terhadap eritropoetin. Akibatnya, terjadi penurunan produksi Hb yang semakin memburuk pada pasien dengan durasi gejala lebih panjang. Selain itu, terjadi penurunan IMT yang memperburuk anemia. Prevalensi anemia pada pasien TB paru termasuk tinggi. Pada kelompok durasi gejala yang lebih panjang, proporsi kejadian anemia meningkat. Oleh karena itu, edukasi pada masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman tentang gejala TB paru dan pentingnya datang ke rumah sakit sesegera mungkin apabila mengalami gejala TB paru.

Indonesia is the country with the second highest incidence of tuberculosis (TB) in the world, with an approximate prevalence of 0,24%. The high number of TB cases in Indonesia is due to its tropical climate and its dense, dirty and humid environment, which makes it easier for Mycobacterium tuberculosis (MTB) bacteria to grow. Lung tuberculosis is the most common form of TB in Indonesia. One of the most frequent complications of lung TB is anemia, which can increase the occurrence of complications and mortality among TB patients according to several studies. Therefore, a study about the relationship between anemia occurrence and duration of TB symptoms in lung TB patients in conducted.
This is a cross-sectional study that uses consecutive sampling. The data was taken from medical records of patients diagnosed with lung TB in Persahabatan Central General Hospital during the year 2014-2018. Lung TB patiens were grouped according to their duration of symptoms. The number of subjects enrolled in each group were 49, 57 and 44 respectively. The data was analysed with chi-square test and the Odds Ratio (OR) was calculated for each group. The prevalence of anemia in lung TB patiens in the study is 58,67%. The proportion of lung TB patients who had anemia in each group were 83,67%, 54,39% and 36,36% respectively. There is no significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence between the 1-3 month group and the <1 month group. However, there is a significant relation between the duration of symptoms and anemia occurrence.
The high prevalence of anemia in Lung TB patiens can be caused by several mechanism. The first mechanism is iron homeostasis dysregulation due to the high levels of TNF-alpha and IL-6. These cytokines increase hepcidin levels and DMT 1 transporter expression and decrease ferroportin 1 expression, which cause iron malabsorption and macrophage iron retention. The second mechanism is decreased erythropoetin production due to inhibiton by IFN-gamma. The third mechanism is decreased CFU response to erythropoetin. As a result, Hb production is decresed in lung TB patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christi Giovani Anggasta Hanafi
"Salah satu karakteristik klinis yang sering diamati pada TB paru adalah adanya kavitas paru pada pemeriksaan radiologis dada. Kavitas paru akan menyebabkan prognosis lebih buruk akibat keterlambatan konversi kultur sputum, hasil klinis yang buruk, dan penularan infeksi yang lebih tinggi. Beberapa faktor yang telah ditemukan berkaitan dengan kavitas paru adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki, penyakit penyerta diabetes mellitus, dan malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada pasien dengan TB diperkirakan berkisar antara 50% sampai 57%, dan malnutrisi dikaitkan dengan dua kali lipat risiko kematian. Telah lama diketahui bahwa terdapat hubungan antara TB dan malnutrisi, tetapi dampak malnutrisi terhadap derajat keparahan TB, yang dilihat dari adanya kaviats paru, masih kurang diketahui dan data yang telah ada masih saling bertentangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Sebanyak 134 pasien yang memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Pasien pada penelitian ini umumnya berjenis kelamin laki-laki (61,9%) dan berusia 18-59 tahun (92,5%). Mayoritas subjek penelitian termasuk dalam kategori status gizi SGA B (malnutrisi ringan-sedang) sebanyak 77 orang (57,5%), SGA A (status gizi baik) sebanyak 35 orang (26,1%), dan SGA C (malnutrisi berat) sebesar 22 orang (16,4%). Proporsi kavitas paru pada pasien TB paru dalam penelitian ini sebanyak 42 orang (31,3%). Penelitian ini mendapatkan hubungan bermakna secara statistik antara status gizi berdasarkan SGA dan kavitas paru (OR=6,933; 95%CI=1,986-24,205; p=0,002; aOR=7,303 (95%CI=2,060-25,890; p=0,002). Variabel lain yang mempengaruhi terbentuknya kavitas paru adalah pemeriksaan bakteriologis (p=0,016), TB resisten obat (p<0,001), dan perubahan BB (p=0,033). Analisis multivariat mendapatkan bahwa pemodelan dapat memenuhi 29,3% faktor prediktor kejadian kolonisasi dan setelah dimasukkan ke dalam perhitungan, maka probabilitas seorang pasien yang mengalami TB resisten obat dan malnutrisi untuk pembentukan kavitas paru adalah sebesar 95,16%. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara status gizi dan kavitas paru pada pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.

One of the clinical characteristics that is often found in pulmonary TB is the presence of lung cavities on chest radiological examination. Lung cavities will lead to a worse prognosis due to delayed sputum culture conversion, poor clinical outcome, and higher transmission of infection. Several factors that have been found to be related to the lung cavity are elder age, male gender, comorbid diabetes mellitus, and malnutrition. The prevalence of malnutrition itself in patients with TB is estimated to range from 50% to 57%, and malnutrition is associated with a twofold risk of death. It has long been known that there is a relationship between TB and malnutrition, but the impact of malnutrition on the severity of TB, which is observed from lung cavity presence, is still poorly understood and the available data are conflicting. This study aims to determine the relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital. This research is a cross-sectional study. A total of 134 patients who met the criteria became research subjects at the Outpatient and Inpatient Department at the Persahabatan General Hospital. Patients in this study were generally male (61.9%) and aged 18-59 years (92.5%). The majority of research subjects were included in the SGA B (mild-moderate malnutrition) category of 77 people (57.5%), SGA A (good nutritional status) of 35 people (26.1%), and SGA C (severe malnutrition). by 22 people (16.4%). The proportion of lung cavities in pulmonary TB patients in this study were 42 people (31.3%). This study found a statistically significant relationship between nutritional status based on SGA and lung cavities (OR=6.933; 95%CI=1.986-24.205; p=0.002; aOR=7.303 (95%CI=2.060-25.890; p=0.002). Variables Other factors that influenced the formation of lung cavities were bacteriological examination (p=0.016), drug-resistant TB (p<0.001), and changes in weight (p=0.033). Multivariate analysis found that modeling could fulfill 29.3% of the predictors of colonization and after taken into account, the probability of a patient with drug-resistant TB and malnutrition for lung cavity formation is 95.16%. Conclusion: There is a relationship between nutritional status and lung cavity in pulmonary tuberculosis patients at Persahabatan General Hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Afidjati
"Latar belakang: Kompleksitas pengobatan TB RO berupa durasi pengobatan yang panjang, penggunaan beberapa obat lini kedua, toksisitas obat, dan interaksi obat akibat multidrug use dapat menyebabkan efek samping pengobatan pada pasien. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pengobatan dan memengaruhi luaran pengobatan TB RO. Tujuan: Untuk melihat efek samping obat/kejadian tidak diinginkan terhadap luaran pengobatan TB RO.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif ini dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta. Sumber data adalah data sekunder dari sistem informasi tuberkulosis (SITB) yang melibatkan pasien TB RO yang menjalani pengobatan di tahun 2021 – 2023. Metode sampling berupa total sampling. Analisis data bivariat antara KTD dengan luaran pengobatan TB RO berupa Cox regresi dan uji Log-Rank, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan Extended Cox Regresi.
Hasil: Dari 583 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini, insidens luaran pengobatan tidak berhasil sebanyak 40,65%. Sebanyak 12,69% pasien mengalami efek samping berat. Sebagian besar efek samping terjadi pada fase intensif pengobatan TB RO (43,57%). Jenis efek samping yang paling sering dialami pada pasien adalah gangguan gastrointestinal (79,25%), gangguan muskuloskeletal (58,32%), dan gangguan saraf (49,40%). Efek samping berupa KTD berat/serius tidak memiliki asosiasi yang signifikan terhadap terjadinya pengobatan tidak berhasil berdasarkan hasil analisis Cox regresi bivariat (HR=0,823; 95% CI: 0,558-1,216; p=0,329) dan analisis multivariat Extended Cox regresi (setelah dikontrol oleh variabel kovariat). Probabilitas survival antara kelompok dengan KTD berat dan kelompok non-KTD berat tidak berbeda bermakna. Kesimpulan: pemantauan efek samping selama pengobatan TB RO berlangsung merupakan hal yang penting untuk menunjang keberhasilan pengobatan.

Background: The complexity of treating drug-resistant tuberculosis (DR TB) involves prolonged treatment duration, the use of several second-line drugs, drug toxicity, and drug interactions due to multidrug use, which can lead to adverse drug reactions in patients. These issues can reduce treatment effectiveness and affect treatment outcomes for DR TB.
Objective: To investigate the impact of adverse drug reactions/adverse events on DR TB treatment outcomes.
Methods: This observational study utilized a retrospective cohort design conducted at RSUP Persahabatan, Jakarta. The data source was secondary data from the tuberculosis information system (SITB) involving DR TB patients who underwent treatment between 2021 and 2023. The sampling method was total sampling. Bivariate data analysis between adverse events and TB RO treatment outcomes involved Cox regression and Log Rank tests, followed by multivariate analysis using Extended Cox Regression.
Results: Among the 583 subjects included in this study, the incidence of unsuccessful treatment outcomes was 40.65%. Severe adverse drug reactions were experienced by 12.69% of patients. Most adverse reactions occurred during the intensive phase of TB RO treatment (43.57%). The most common types of adverse reactions experienced by patients were gastrointestinal disorders (79.25%), musculoskeletal disorders (58.32%), and neurological disorders (49.40%). Severe/serious adverse reactions did not have a significant association with unsuccessful treatment outcomes based on the results of the bivariate Cox regression analysis (HR=0.823; 95% CI: 0.558-1.216; p=0.329) and the multivariate Extended Cox regression analysis (after adjusting for covariate variables). The survival probability between the group with severe adverse reactions and the non- severe adverse reactions group did not differ significantly.
Conclusion: Monitoring adverse drug reactions during DR TB treatment is crucial to support the success of the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinanta Imanda
"Latar Belakang: Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan penunjang utama yang membantu diagnosis tuberkulosis anak di Indonesia. Jenis TB yang diderita pasien ternyata dapat mempengaruhi hasil negatif palsu dari uji tuberkulin.
Tujuan: Menganalisis hubungan antara hasil uji tuberkulin dan jenis tuberkulosis pasien TB paru dan ekstraparu pada pasien tuberkulosis anak.
Metode: Penelitian potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari-Oktober 2018 dengan melihat data usia, jenis kelamin, penyakit komorbid, hasil uji tuberkulin, dan jenis tuberkulosis dari formulir TB-01 dan rekam medis dari 230 pasien anak yang terdiagnosis tuberkulosis selama periode 2014-2018.
Hasil: Tidak terdapat hubungan bermakna antara hasil uji tuberkulin dengan jenis tuberkulosis (nilai p = 0,607; RR = 0,937; IK95% = 0,729 sampai 1,203).
Kesimpulan: Hasil uji tuberkulin tidak berhubungan dengan jenis tuberkulosis yang dimiliki pasien anak. Pada kasus yang diduga mengalami anergi, diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dengan gambaran klinis pasien, pemeriksaan radiologis, dan hasil uji bakteriologis.

Background: Tuberculin skin test is one of the primary diagnostic tools for diagnosing tuberculosis in children. Objective: This research analyse the association between the result of tuberculin skin test and the type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis.
Methods: This research is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusomo Hospital, Jakarta in January to October 2018 by reviewing 230 data of age, gender, comorbidities, result of tuberculin skin test, and type of tuberculosis from TB-01 form and medical records of children diagnosed with tuberculosis from 2014 until 2018.
Result: There is no significant correlation between the result of tuberculin skin test and type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis (p value = 0.607; RR = 0.937; CI 95% = 0.729 to 1.203).
Discussion: The result of tuberculin skin test does not have significant correlation with the type of tuberculosis in children with pulmonary and extrapulmonary tuberculosis. In cases with suspected anergy, the diagnosis can be formed by patients clinical features, radiology examination and the result of biological testing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Prihatini
"Diabetes melitus merupakan faktor risiko independen aktivasi infeksi TB laten. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara karakteristik perilaku berobat pasien DM dengan kemungkinan terjadinya tuberkulosis. Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner, pemeriksaan sputum dan rontgen. Didapatkan 104 (35,7%) pasien dengan TB dari 291 pasien DM. Waktu yang dibutuhkan pasien untuk mencari pengobatan ketika sakit, cara pasien mengatasi gejala, transportasi untuk menjangkau fasilitas layanan kesehatan, punya asuransi atau jaminan kesehatan dan memiliki tabungan kesehatan keluarga berhubungan dengan kejadian TB (p<0,05).

Diabetes mellitus is an independent risk factor of activation of latent TB infection. The purpose of this research is to know relation between characteristics of treatment behavior of DM patient with prevalence of TB.The design of this research is cross-sectional study. Data is collected by questionnaire, sputum test and radiology test.104 (35.7%) from 291 patients with DM are diagnosed as TB.Time needed by patients to seek for treatment,how people take care of their symptoms, how patients go to primary health center, are they having an insurance or government assurance and having family savings for health is related with prevalence of TB (p<0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizki
"Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square.
Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p=0,433 Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksius yang menjadi salah satu penyebab kematian karena infeksi di seluruh dunia. Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau dan menilai pengobatan adalah dengan menentukan konversi sputum. Status gizi yang baik akan dapat mempengaruhi perubahan konversi sputum Tuberkulosis Paru dan keberhasilan terapi.
Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan tahun 2013 - 2015. Desain studi penelitian ini adalah potong lintang dengan sampel penelitian sebanyak 100. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis dan dianalisis dengan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini adalah secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan berat badan dengan konversi sputum pasien tuberkulosis paru di RS Persahabatan tahun 2013-2015 p = 0,433 "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhair Amir Alkatiri
"Latar Belakang
Tuberkulosis masih menjadi epidemi global dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Meskipun keberhasilan pengobatan tuberkulosis telah meningkat, banyak pasien yang sembuh mengalami sequelae post-tuberkulosis, termasuk fibrosis paru, yang menyebabkan disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. Sequelae ini berkontribusi besar terhadap beban kesehatan, dengan fibrosis menjadi komponen utama dalam perubahan jaringan paru post-tuberkulosis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi progresi fibrosis, termasuk peran status gizi. Metode
Metode penelitian adalah retrospektif dengan data sekunder berupa rekam medis, diambil pada bulan Januari 2024 sampai bulan Agustus 2024 di RSUP Persahabatan. Sampel berjumlah 62 subjek yang telah menyelesaikan pengobatan TBC paru di RSUP Persahabatan. Data yang diambil meliputi status gizi pasien, derajat keparahan fibrosis paru berdasarkan hasil radiologi, dan pola spirometri pasca infeksi tuberkulosis.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan usia rata-rata pasien dengan fibrosis minimal-ringan, sedang, dan berat masing-masing adalah 39,54 ± 15,23 tahun, 47,27 ± 20,09 tahun, dan 50,90 ± 12,95 tahun, dengan korelasi positif lemah antara usia dan keparahan fibrosis paru (r = 0,284, p = 0,025). Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT sebelum dan sesudah pengobatan (p < 0,001), dengan kelompok minimal-ringan dan sedang memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan kelompok berat. Hanya 18% subjek memiliki data spirometri, di mana semua pasien dengan fibrosis derajat sedang menunjukkan pola restriksi, sedangkan pasien dengan fibrosis minimal-ringan memiliki spirometri normal.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) pada pasien tuberkulosis yang menjalani terapi Obat Anti-Tuberkulosis (OAT), mengindikasikan perbaikan status gizi selama pengobatan. Meskipun demikian, tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan status gizi dan derajat keparahan fibrosis paru. Hasil spirometri terbatas menunjukkan bahwa subjek dengan fibrosis minimal-ringan cenderung memiliki fungsi paru yang lebih baik dibandingkan dengan subjek dengan fibrosis sedang.

Tuberculosis remains a global health issue with high morbidity and mortality rates. Despite successful treatment, many recovered patients still experience sequelae such as pulmonary fibrosis, which can lead to disability and reduced quality of life. This study aims to evaluate the relationship between nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis in patients post-tuberculosis infection. The method used was retrospective with secondary data from medical records of 62 patients who had completed tuberculosis treatment at Persahabatan General Hospital between January and August 2024. Results showed a significant increase in Body Mass Index (BMI) before and after treatment (p < 0.001), indicating an improvement in nutritional status. However, no significant association was found between improved nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis. Limited spirometry data showed that patients with minimal-mild fibrosis tended to have better lung function compared to patients with moderate fibrosis. This study highlights the importance of monitoring nutritional status in tuberculosis patients, although its impact on the severity of pulmonary fibrosis requires further investigation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salam
"ABSTRAK
Latar Belakang dan Tujuan: Tuberkulosis masih menjadi 10 besar penyebab kematian di seluruh dunia. Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus TB paru terbesar ketiga setelah India dan China. Prevalensi TB paru di Indonesia pada Tahun 2018 sebesar 193/100.000 penduduk dengan jumlah kasus mencapai 845.000 dan 24.000 diantaranya merupakan kasus kebal obat. Salah satu penyebab TB resisten obat adalah tidak teratur minum obat. Kepatuhan minum obat sangat mempengaruhi kesembuhan pasien TB paru. Salah satu penyebab terjadinya kasus putus obat adalah pengawas menelan obat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018 menunjukan bahwa 30,8% penderita TB paru tidak rutin/patuh minum obat sementara penderita TB paru yang tidak memiliki PMO mencapai 33,8%. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan PMO dengan kepatuhan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada penderita TB paru sensitif obat di Indonesia Tahun 2018.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pendekatan kasus kontrol, populasi sumber merupakan penderita TB paru hasil riskesdas 2018, populasi studi berjumlah 933 orang diambil dari populasi eligible yang memenuhi kriteria inklusi: berumur >15 tahun, didiagnosis TB <6 bulan dan mengetahui fasyankes, kriteria
eksklusi:data tidak lengkap.
Hasil: Analisis bivariat menunjukan hubungan yang bermakana antara PMO dengan ketidakpatuhan minum obat POR=1,79 (95% CI:1,31-2,35) p=0,000, analisis multivariat menunjukan POR=1,43 (95% CI:1,03-1,99) p=0,0183.
Kesimpulan: Ada hubungan yang bermakna antara keberadaan PMO dengan kepatuhan minum obat pada penderit TB paru.

ABSTRACT
Background and Purpose: Tuberculosis is still the top 10 causes of death worldwide. Indonesia became the country with the third largest number of pulmonary TB cases after India and China. The prevalence of pulmonary TB in Indonesia in 2018 is 193 / 100,000 population with the number of cases reaching 845,000 and 24,000 of them are cases of
drug resistance. One cause of drug resistant TB is not taking medication regularly. Adherence to take medication greatly affects the recovery of pulmonary TB patients. One of the causes of drug withdrawal cases is the supervisor of swallowing drugs. The results
of the Basic Health Research (Riskesdas) in 2018 showed that 30.8% of pulmonary TB sufferers did not routinely / adhere to medication while pulmonary TB sufferers who did not have PMO reached 33.8%. The purpose of this study was to determine the relationship of PMO with adherence to taking Anti Tuberculosis Medication (OAT) in patients with
drug-sensitive pulmonary TB in Indonesia in 2018.
Methods: This study used a cross sectional design with a case control approach, the source population was a pulmonary TB patient who was the result of the 2018 riskesdas, the study population numbered 933 people drawn from eligible populations who met the inclusion criteria: aged> 15 years, diagnosed with TB <6 months and knowing fasyankes,
criteria exclusion: incomplete data.
Results: Bivariate analysis showed a meaningful relationship between PMO and noncompliance taking POR medication = 1.79 (95% CI: 1.31-2.35) p = 0.000, multivariate analysis showed POR = 1.43 (95% CI: 1.03 -1.99) p = 0.0183.
Conclusion: There is a significant relationship between the presence of PMO with medication adherence in pulmonary TB sufferers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika Endria
"Penyakit tuberkulosis paru dapat menimbulkan penurunan terhadap aspek kualitas hidup pasien TB Paru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adanya depresi dan stigma negatif terhadap penyakit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan depresi dan stigma dengan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan OAT.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional dan teknik yang digunakan adalah concecutive sampling. Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan OAT di poli paru RSUP Persahabatan yang berjumlah 96 responden. Data dianalisis dengan uji analisa univariat dan bivariat, hasil uji bivariat menggunakan pearson menunjukan hasil p = 0,000 p < 0,05. Berdasarkan hasil tersebut menunjukan adanya hubungan antara depresi dan kualitas hidup serta stigma dan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menunjukan perlunya deteksi dini depresi dan stigma dilakukan oleh perawat pada saat merawat pasien TB paru.

Treatment pulmonary tuberculosis disease may lead to a decrease in the quality of life of patients with pulmonary tuberculosis. Several factors that affect the existence of depression and negative stigma against the disease.The study aimed to identify relation of depression and stigma and quality of life of patients with tuberculosis who were undergoing anti tuberculosis regimen.
This quantitative study used cross sectional approach and used consecutive sampling technic. Target population of this study was patients with tuberculosis who have undertaking anti tuberculosis medication in polyclinic of pulmonary of RSUP Persahabatan with total sample of 96 respondents.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69265
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Ikhsani Putri
"HIV (Human Immunodeficiency Virus) melemahkan sistem kekebalan tubuh dan dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) jika tidak ditangani. Terapi antiretroviral (ARV) sangat penting dalam pengelolaan HIV, tetapi memerlukan kepatuhan tinggi karena ketidakpatuhan dapat menyebabkan resistensi obat dan hasil terapi yang buruk. Penelitian ini memantau terapi obat pada pasien HIV dengan komorbiditas di RSUD Cengkareng menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan) untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah terkait obat (Drug-Related Problems/DRP). Masalah yang ditemukan meliputi dosis yang tidak tepat, kepatuhan yang rendah, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, dan efek samping obat. Rekomendasi mencakup penyesuaian regimen obat, meningkatkan edukasi pasien, dan evaluasi rutin. Hasil penelitian ini menegaskan peran penting apoteker dalam mengoptimalkan terapi, mengurangi risiko, dan meningkatkan hasil pengobatan pasien.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) weakens the immune system and, if untreated, can progress to AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), a condition marked by opportunistic infections and high mortality rates. Antiretroviral (ARV) therapy is the cornerstone of HIV management, requiring strict adherence to ensure viral suppression, improved immune function, and reduced transmission risks. However, noncompliance and drug-related problems (DRPs), such as dosing errors, irrational drug use, and adverse effects, often hinder therapeutic success. This study monitored drug therapy for hospitalized HIV patients with comorbidities at RSUD Cengkareng using the SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan) method to identify and address DRPs comprehensively. Key findings highlighted issues in medication adherence, irrational antibiotic transitions without culture-based evidence, and potential adverse drug reactions such as hepatotoxicity and anemia. Recommendations included optimizing ARV regimens, ensuring rational antibiotic use based on culture results, enhancing patient counseling on medication adherence, and routine monitoring of drug effects. Additionally, pharmacists' interventions were essential in improving drug safety and effectiveness by providing tailored recommendations and ensuring the appropriateness of therapy. This research underscores the critical role of pharmacists in HIV management, particularly in identifying, preventing, and resolving DRPs, thereby supporting better clinical outcomes and enhancing patient safety. "
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>