Ditemukan 150652 dokumen yang sesuai dengan query
Kevin Oditra
"Skripsi ini membahas kebijakan moratorium yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia namun menjadi permasalahan yaitu mengenai pertimbangan pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium Pengiriman Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik ke Negara Arab Saudi, dan memberikan penjelasan bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik melalui kebijakan moratorium ke Negara Arab Saudi sehingga tidak ada lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang dialami Pekerja Migran Indonesia kelak. keduanya ditinjau berdasakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam penelitian ini, Penulis melakukan studi literatur dan wawancara ke pihak Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pertimbangan pemerintah dalam memberlakukan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi disebabkan oleh banyaknya kasus-kasus terutaman pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh para Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi. Moratorium ini mendorong pemerintah Indonesia untuk dapat membenahi sistem perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi salah satunya dengan menyepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi.
This thesis provides a comprehensive explanation of the Indonesian government can implement a moratorium on the Sending of Indonesian Domestic Migrant Workers to Saudi Arabia. through a moratorium on policy to the State of Saudi Arabia. both are reviewed based on Undang 18 of 2017 concerning the Protection of Indonesian Migrant Workers. In this study, the literature study and interview with the National Agency for Placement and Protection of Indonesian Workers. The results of this study reveal that the government's consideration in imposing a moratorium on the sending of Indonesian Migrant Workers to Saudi Arabia is due to the many cases of human rights violations experienced by Indonesian Migrant Workers in Saudi Arabia. This moratorium encourages the Indonesian government to improve the protection system of Indonesian Migrant Workers in Saudi Arabia, one of them by agreeing to a Memorandum of Understanding (MoU) between the governments of Indonesia and Saudi Arabia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Al Ghifari
"Kebijakan moratorium yang melarang pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke negara Arab Saudi diberlakukan akibat maraknya permasalahan yang dialami PMI di negara tersebut. Tujuan kebijakan ini sebagai upaya pemerintah dalam melindungi PMI serta memperbaiki sistem yang berlaku. Setelah diberlakukan pada tahun 2015, terdapat pengiriman PMI secara nonprosedural ke Arab Saudi dan terindikasi sebagai kejahatan perdagangan manusia. Dalam penulisan ini digunakan kerangka hukum internasional terkait perdagangan manusia dan konsep criminogenic asymmetries dalam mengidentifikasi kejahatan perdagangan manusia terhadap PMI nonprosedural pasca moratorium beserta penyebabnya. Metode yang digunakan adalah analisis data sekunder dan pengumpulan data diperoleh dari sumber laporan, penelitian terdahulu dan berita, serta wawancara singkat. Hasil penelitian menemukan bahwa pengiriman PMI nonprosedural merupakan perdagangan manusia dan disebabkan oleh asimetri antarnegara yang kriminogenik akibat difasilitasi dorongan untuk melakukan kejahatan, tersedianya keuntungan atas tindakan tersebut, dan kemampuan untuk melemahkan pengendalian sosial.
The moratorium policy that bans the sending of Indonesian Migrant Workers (PMI) to Saudi Arabia was enacted due to the widespread problems experienced by PMI in the country. The purpose of this policy is the government's effort to protect migrant workers and improve the existing system. After it was implemented in 2015, there were non-procedural sending of migrant workers to Saudi Arabia and indicated as a crime of human trafficking. This paper uses the international legal framework related to human trafficking and the concept of criminogenic asymmetries to identify human trafficking crimes against non-procedural migrant workers after the moratorium and their causes. The method used is secondary data analysis and data collection is obtained from reports, previous research and news sources, and also conducted brief interviews. The results found that the sending of non-procedural migrant workers constitutes human trafficking and is caused by criminogenic asymmetries between countries due to the facilitation of the urge to commit crimes, the availability of benefits for such actions, and the ability to weaken social control."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Suca Nur Alam
"Feminisasi migrasi merupakan salah satu fenomena yang telah menjadi isu global. Pergerakan migrasi yang dilakukan oleh perempuan didorong oleh berbagai faktor, salah satunya kemiskinan. Sebagian besar perempuan yang bermigrasi memilih untuk bekerja menjadi pekerja rumah tangga (PRT). Posisi pekerjaannya yang berada dalam ranah perseorangan membuat PRT migran sulit untuk diawasi dan rentan mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan yang dialami pekerja perempuan migran merupakan bentuk kekerasan berbasis gender. Kondisi tersebut yang seharusnya dapat menjadi catatan bagi setiap negara agar memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan migran. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kebijakan yang bersifat responsif gender. Kebijakan responsif gender menunjukan adanya kesadaran bahwa terdapat perbedaan kondisi yang dialami oleh pekerja perempuan dan laki-laki di lapangan. Indonesia dalam hal ini merupakan salah satu negara yang mengalami sejumlah dinamika dalam upaya perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI). Perubahan dan perkembangan sumber hukum terus terjadi hingga masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo di tahun 2014-2019. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai respon dan upaya perlindungan terhadap PMI. Termasuk upaya perlindungan bagi PMI yang mengalami berbagai permasalahan di Arab Saudi sebagai salah satu negara penempatan. Berdasarkan pemahaman dengan menggunakan kerangka feminisme sosialis, menunjukan bahwa opresi yang terjadi masih dilandasi oleh pengaruh sistem kapitalisme. Serta, pendekatan What’s The Problem (WPR) juga menunjukan bahwa kebijakan yang dibuat masih bersifat netral gender. Kondisi ini ditunjukan melalui belum adanya sejumlah pasal dan/atau peraturan yang membahas secara khusus perlindungan bagi pekerja perempuan, khususnya PRT migran. Realitas feminisasi migrasi cenderung masih diabaikan karena kebijakan yang dihasilkan masih belum merepresentasikan permasalahan di lapangan
.....Feminization of migration is one of the phenomena that has become a global issue. The movement of migration carried out by women is driven by various factors, one of them is poverty. Most of women who migrate choose to work as domestic workers. However, their job position makes migrant domestic workers difficult to monitor and increase their potential to experience various problems. The problems experienced by women migrant workers are a form of gender-based violence. This kind of condition should be a priority for every country in order to provide protection for women migrant domestic workers. Each government should be able to make gender responsive policies related to migrant workers, especially domestic workers. Gender responsive policies shows an awareness that there are different conditions experienced by male and female workers in the field. Indonesia is one of the countries that experiences a number of dynamics in the protection of Indonesian migrant workers. Changes and developments in legal sources continued to occur until the presidency of President Joko Widodo in 2014-2019. During the administration of President Joko Widodo, numbers of policies were made in response to and efforts to protect PMI. Including protection for PMI who experiences various problems in Saudi Arabia as one of the placement countries. Based on the understanding using the framework of socialist feminism, it shows that the oppression that occurs is still based on the influence of the capitalist system. What's The Problem (WPR) approach also shows that the policies made are still gender neutral. This condition is because there are several specific issues that have not been addressed in the policy, especially about migrant domestic workers.The reality of the feminization of migration tends to be neglected because the policies produced do not represent problems in the field."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mochamad Alvin Dwiana Qobulsyah
"Skripsi ini merupakan penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan dan menjelaskan proses kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tahun 2009-2011 sebagai upaya politik perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisa latar belakang, alasan-alasan, formasi kepentingan dan kondisi-kondisi yang mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan moratorium penempatan TKI sektor domestik ke Malaysia tersebut. Interdependensi ketenagakerjaan lintas-negara akibat migrasi global, proses pembuatan kebijakan (policy making process), serta konsep politik luar negeri dan diplomasi menjadi kerangka analitis yang digunakan dalam menganalisa fenomena politik perlindungan pekerja migran Indonesia yang dibahas dalam skripsi ini.
This thesis is a work of qualitative research that aimed and conducted to describe and explain the Government of Indonesia?s Placement Moratorium Policy of Indonesian Migrat Domestic Workers into Malaysia in 2009-2011 as an effort by Susilo Bambang Yudhoyono?s Governance to raise the protection for Indonesian Migrant Workers abroad. This reseach tries to identify and analyze the background, justification, formation of actors and interests, and conditions that pushed the Government of Susilo Bambang Yudhoyono to adopt and implement this policy. The concepts of policy-making processes, inter-state workforce?s interdependence as a result of global migration, the concept of foreign politics and diplomacy will be used as conceptual and analitical frameworks in order to analyze the phenomenon of this politics of Indonesian migrant workers? protection that prescribed in this research."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46419
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adinda Rizka Budiarti
"Berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami perempuan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik (PMID) di Malaysia membuat mereka termasuk ke dalam kelompok rentan yang harus diberikan pelindungan maksimal. Dengan menggunakan state crime theory dan metode kualitatif dalam menganalisis, penulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana kerentanan yang dimiliki perempuan pekerja migran dan bagaimana implementasi kebijakan One Channel System dapat memberikan pelindungan maksimal bagi perempuan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik (PMID) di Malaysia. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketimpangan kekuasaan antara perempuan pekerja migran domestik dan agen perekrut serta pemberi kerja atau majikan menempatkan perempuan pekerja tersebut ke dalam kerentanan yang berlapis, terutama rentan dalam hal pelanggaran hak asasi manusia. Menurut teori state crime, hal tersebut tidak terlepas dari peran negara yang telah memfasilitasi pelanggaran itu sendiri. Pembiaran yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pelanggaran hak asasi manusia perempuan pekerja migran domestik termasuk ke dalam crime by omission. Sementara, pembentukan kebijakan One Channel System (OCS) sebagai upaya pelindungan terhadap perempuan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik (PMID) di Malaysia justru memiliki berbagai kekurangan dan menimbulkan munculnya celah baru yang membuat perempuan pekerja migran Indonesia semakin mengalami kerentanan. Sistem tersebut dinilai telah membatasi hak perempuan pekerja migran domestik di Malaysia dan mempersulit perempuan pekerja migran Indonesia dalam melakukan pendaftaran prosedural. Pada akhirnya, kebijakan One Channel System (OCS) yang dibuat oleh pemerintahan Indonesia dan Malaysia tidak memberikan pelindungan yang dibutuhkan oleh perempuan pekerja migran domestik di Malaysia dan tidak menjawab permasalahan yang mereka hadapi selama ini.
The various human rights violations experienced by female Indonesian Domestic Sector Migrant Workers (PMID) in Malaysia make them a vulnerable group that must be given maximum protection. Using state crime theory and qualitative methods for analysis, this paper aims to examine the vulnerabilities faced by female migrant workers and how the implementation of the One Channel System (OCS) policy can provide optimal protection for Indonesian domestic workers in Malaysia. The analysis reveals that power imbalances between domestic migrant women and recruiting agents or employers place these women in layered vulnerability, particularly concerning human rights violations. According to state crime theory, this situation implicates the state itself for facilitating these violations. The Indonesian government's inaction regarding human rights abuses against domestic migrant women falls under crime by omission. Meanwhile, the establishment of the One Channel System (OCS) as a protective measure for PMID women in Malaysia has various shortcomings and introduces new vulnerabilities. The system is criticized for restricting the rights of Indonesian domestic workers in Malaysia and complicating their procedural registration. Ultimately, the One Channel System (OCS) created by the Indonesian and Malaysian governments fails to provide the necessary protection for domestic migrant women in Malaysia and does not address the longstanding issues they face."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Fila Kamilah
"Penelitian ini menganalisis pengaruh rezim buruh migran di Taiwan terhadap upaya pemerintah Indonesia dalam mendorong kenaikan upah pekerja migran Indonesia (PMI) domestik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan studi literatur dan wawancara mendalam untuk memperoleh data empiris dari studi kasus yang diangkat. Berdasarkan Chia-Wen Lu (2011), konsep rezim buruh migran mengacu pada kontrol terhadap populasi pekerja migran yang memiliki karakteristik tidak sama di berbagai negara tujuan pekerja migran. Rezim buruh migran di Taiwan menurut Lu memiliki karakteristik tidak transparan dan mengisolasi pekerja migran domestik dari hak-hak politik mereka dalam memengaruhi kebijakan. Oleh karena itu, peranan pemerintah Indonesia menjadi penting dalam mengadvokasikan kepentingan PMI domestik di Taiwan. Mengingat kondisi PMI domestik di Taiwan bekerja dalam kondisi yang eksploitatif, ketika upah yang mereka terima relatif tidak setimpal dengan panjang dan intensitas jam kerja yang dijalani. Hasil penelitian ini mengonfirmasi bahwa karakteristik rezim buruh migran di Taiwan telah memengaruhi upaya pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi kenaikan upah minimum bagi PMI domestik. Selain itu, penelitian ini menemukan faktor lain di luar kerangka analisis Lu (2011) yaitu bahwa meskipun pemerintah Indonesia memiliki bargaining power untuk mengusulkan kenaikan upah minimum PMI domestik kepada otoritas Taiwan, dalam prosesnya terdapat hambatan untuk mencapai kesepakatan dalam waktu singkat. Hal ini terkait dengan karakteristik rezim buruh migran di Taiwan yang lebih mengutamakan kepentingan atau kondisi pemberi kerja atau majikan ketimbang pada pekerja migran. Hal ini yang menyebabkan proses negosiasi kenaikan upah minimum antara pemerintah Indonesia dan otoritas Taiwan, memakan waktu cukup lama hingga mencapai kesepakatan resmi. Hasil proses resmi tersebut pun masih tergantung pada itikad baik pemberi kerja di Tawan untuk mematuhinya.
This research analyzes the influence of the labour migrant regime in Taiwan on the Indonesian government’s efforts to enforce a wage increase for Indonesian domestic migrant workers. This research uses a qualitative method by conducting literature studies and in-depth interviews to obtain empirical data. According to Chia-Wen Lu (2011), the labour migrant regime is the state’s control over the migrant worker population. Hence, each country has its own characteristic of control. For instance, the characteristics of the labour migrant regime in Taiwan are non-transparency and isolates domestic migrant workers from their political rights to influence a policy-making process. Due to the exploitative conditions, when the wage received is not worth the working hours they took. Therefore, the role of the Indonesian government is essential to advocate the needs of Indonesian domestic migrant workers in Taiwan. The findings in this study confirm the characteristics of the labour migrant regime in Taiwan affect the Indonesian government’s effort to increase the minimum wage of Indonesian migrant domestic workers. In addition, this study found other factors aside from Lu’s analytical framework. It discovered the characteristics of the labour migrant regime in Taiwan prioritize the interests of employers. Therefore, although the Indonesian government has the bargaining power to propose an increase in the minimum wage, there are obstacles to reaching an agreement immediately. This is related to the characteristics of the labour migrant regime in Taiwan, which prioritizes the interests or conditions of employers or employers instead of migrant workers. This characteristic caused the negotiation process for the minimum wage increase between the Indonesian government and the Taiwanese authorities to take a long time to reach an official agreement. The results of the official process also depend on the goodwill of employers in Taiwan to comply."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Maudy Stevania
"Fenomena Pekerja Migran Indonesia non prosedural merupakan bentuk migrasi tenaga kerja secara ilegal dan berisiko membahayakan kemaslahatan hidupnya sehingga diperlukan suatu skema pemulangan pekerja migran Indonesia non prosedural sebagai bentuk perlindungan negara terhadap hak dasar warga negara Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dan didukung data komparatif terkait skema pemulangan imigran ilegal di beberapa negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena pekerja migran Indonesia non prosedural terjadi pada saat pekerja migran Indonesia bermigrasi namun tidak sesuai prosedur administratif ataupun teknis yang berlaku. Perlindungan hukum bagi pekerja migran Indonesia diberikan sebelum, selama, dan setelah bekerja. Skema pemulangan pekerja migran Indonesia bermasalah telah diatur dalam Peraturan BNP2TKI Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Kepulangan Pekerja Migran Indonesia Bermasalah Sampai Ke Daerah Asal, namun dikarenakan status non proseduralnya, maka hal ini sulit untuk diterapkan dan berkenaan dengan yurisdiksi negara penempatan. Oleh sebab itu skema ideal dilaksanakan berdasarkan hak asasi manusia selaku warga negara Indonesia yang wajib dilindungi kepentingannya oleh negara, sehingga negara dapat memberikan layanan pendampingan pekerja migran Indonesia non prosedural dalam menjalani prosedur di negara penempatan dengan memperhatikan batasan-batasan melalui aspek sosial, kesehatan dan keselamatan, serta hak asasi manusia.
The phenomenon of non-procedural Indonesian migrant workers is a form of migration that crosses country illegally and risking their life welfare. Therefore, the repatriation scheme for these non procedural workers is urgently needed as a form of protection for basic human rights. This research used doctrinal method and supported by comparison of data in several countries. The research results show non-procedural Indonesian migrant workers occurs because worker intend to migrate from one country to another without following administrative or technical procedures. Legal protection of Indonesian migrant workers is given before, during, and after work. The repatriation scheme for problematic Indonesian migrant workers is regulated in the Regulation of the National Agency for the Placement and Protection of Indonesian Migrant Workers Number 3 of 2019 about technical Instructions for the Return of Problematic Indonesian Migrant Workers to Their Origin. However, due to a lack of valid documents, the Indonesian government found it difficult to support non procedural migrant worker repatriation, because usually non procedural migrant violates the host country’s immigration law. Therefore, the ideal scheme of repatriating non procedural Indonesian migrant workers performed based on their basic rights as Indonesian citizens that must be protected by the government. Government can provide accompaniment for non- procedural Indonesian migrant workers facing law sanctions in the host country while still considering social aspects, health and safety, as well as human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Florentina Dwiastuti Setyaningsih
"Pandemi Covid-19 mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Selain krisis kesehatan, dunia harus menghadapi krisis ekonomi. Menariknya, pengiriman uang dari luar negeri (remitansi) selama pandemi dari Hong Kong ternyata cenderung stabil. Pada tahun 2020, Bank Indonesia menyatakan bahwa remitansi, yang mayoritas berasal dari pekerja migran, dari Hong Kong turun, namun tidak signifikan. Fenomena ini menarik mengingat tahun 2020 banyak negara mengalami resesi ekonomi, termasuk Hong Kong. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik untuk melihat bagaimana beberapa faktor ekonomi dan politik akan memengaruhi stabilitas remitansi pekerja domestik migran Indonesia di Hong Kong. Penelitian ini berangkat dari teori Dilip Ratha (2003) tentang stabilitas remitansi di masa krisis ekonomi. Ratha berargumen bahwa ada dua faktor, yaitu (1) negara penerima pekerja migran biasanya memiliki stabilisator otomatis yang memungkinkan adanya perlindungan pendapatan bagi pekerja migran dan (2) kemudahan pada infrastruktur keuangan remitansi. Skripsi ini menemukan relevansi faktor infrastruktur keuangan bagi remitansi pada pengalaman di Hong Kong selama pandemi Covid-19, di mana adanya berbagai kebijakan dan fasilitas finansial yang memudahkan pengiriman remitansi. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif untuk mengungkap kenyataan empiris yang dialami pekerja domestik asal Indonesia di Hong Kong. Hasilnya, penelitian ini menemukan beberapa faktor ekonomi lain yang tidak diajukan oleh Ratha. Stabilitas remitansi pada masa krisis akibat pandemi di Hong Kong juga turut dipengaruhi oleh perjuangan serikat buruh migran di Hong Kong dalam merespons krisis pandemi dan ekonomi. Selain itu, penelitian ini turut menemukan berbagai mekanisme dan praktik yang dilakukan para pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Pekerja domestik migran harus melakukan berbagai cara untuk bisa mengirimkan uang dengan jumlah yang bertambah dari sebelum pandemi dan berusaha agar keluarga dan diri sendiri tetap bisa bertahan hidup. Faktor terakhir ini adalah politik bertahan hidup yang serupa dengan konsep ‘gerakan balik’ dari Karl Polanyi (2001). Faktor ini bersama dua faktor lainnya adalah penyebab terjadinya stabilitas remitansi ke Indonesia.
The Covid-19 pandemic has changed all aspects of people’s lives around the world. In addition to the health crisis, the world must face an economic crisis. Interestingly, remittances from abroad during the pandemic from Hong Kong tended to be stable. In 2020, Bank Indonesia stated that remittances, the majority of which came from migrant workers, from Hong Kong fell, but not significantly. This phenomenon is interesting considering that in 2020 many countries will experience an economic recession, including Hong Kong. This study uses political economy approach to see how several economic and political factors will affect the stability of the remittances of Indonesian migrant domestic workers in Hong Kong. This study departs from the theory of Dilip Ratha (2003) regarding the stability of remittances in the period of economic crisis. Ratha argues that there are two factors, namely (1) migrant worker receiving countries usually have automatic stabilizers that allow for income protection for migrant workers and (2) ease of remittance financial infrastructure. This thesis finds the relevance of financial infrastructure factors for remittances to the experience in Hong Kong during the Covid-19 pandemic, which is the existence of various policies and financial facilities that facilitate the delivery of remittances. This study uses qualitative data collection methods to reveal the empirical reality experienced by domestic workers from Indonesia in Hong Kong. As a result, this study found several other economic factors that were not proposed by Ratha. The stability of remittances during the crisis due to the pandemic in Hong Kong was also influenced by the struggle of the migrant workers' unions in Hong Kong to respond to the pandemic and economic crisis. In addition, this research also finds various mechanisms and practices used by Indonesian migrant workers in Hong Kong. Migrant domestic workers must do various ways to be able to send money in increased amounts from before the pandemic and try to keep their families and themselves alive. This last factor is the politics of survival which is similar to the concept of ‘double movement’ from Karl Polanyi (2001). This factor along with two other factors are the causes of the stability of remittances to Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Florentina Dwiastuti Setyaningsih
"Pandemi Covid-19 mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Selain krisis kesehatan, dunia harus menghadapi krisis ekonomi. Menariknya, pengiriman uang dari luar negeri (remitansi) selama pandemi dari Hong Kong ternyata cenderung stabil. Pada tahun 2020, Bank Indonesia menyatakan bahwa remitansi, yang mayoritas berasal dari pekerja migran, dari Hong Kong turun, namun tidak signifikan. Fenomena ini menarik mengingat tahun 2020 banyak negara mengalami resesi ekonomi, termasuk Hong Kong. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik untuk melihat bagaimana beberapa faktor ekonomi dan politik akan memengaruhi stabilitas remitansi pekerja domestik migran Indonesia di Hong Kong. Penelitian ini berangkat dari teori Dilip Ratha (2003) tentang stabilitas remitansi di masa krisis ekonomi. Ratha berargumen bahwa ada dua faktor, yaitu (1) negara penerima pekerja migran biasanya memiliki stabilisator otomatis yang memungkinkan adanya perlindungan pendapatan bagi pekerja migran dan (2) kemudahan pada infrastruktur keuangan remitansi. Skripsi ini menemukan relevansi faktor infrastruktur keuangan bagi remitansi pada pengalaman di Hong Kong selama pandemi Covid-19, di mana adanya berbagai kebijakan dan fasilitas finansial yang memudahkan pengiriman remitansi. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif untuk mengungkap kenyataan empiris yang dialami pekerja domestik asal Indonesia di Hong Kong. Hasilnya, penelitian ini menemukan beberapa faktor ekonomi lain yang tidak diajukan oleh Ratha. Stabilitas remitansi pada masa krisis akibat pandemi di Hong Kong juga turut dipengaruhi oleh perjuangan serikat buruh migran di Hong Kong dalam merespons krisis pandemi dan ekonomi. Selain itu, penelitian ini turut menemukan berbagai mekanisme dan praktik yang dilakukan para pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Pekerja domestik migran harus melakukan berbagai cara untuk bisa mengirimkan uang dengan jumlah yang bertambah dari sebelum pandemi dan berusaha agar keluarga dan diri sendiri tetap bisa bertahan hidup. Faktor terakhir ini adalah politik bertahan hidup yang serupa dengan konsep ‘gerakan balik’ dari Karl Polanyi (2001). Faktor ini bersama dua faktor lainnya adalah penyebab terjadinya stabilitas remitansi ke Indonesia.
The Covid-19 pandemic has changed all aspects of people’s lives around the world. In addition to the health crisis, the world must face an economic crisis. Interestingly, remittances from abroad during the pandemic from Hong Kong tended to be stable. In 2020, Bank Indonesia stated that remittances, the majority of which came from migrant workers, from Hong Kong fell, but not significantly. This phenomenon is interesting considering that in 2020 many countries will experience an economic recession, including Hong Kong. This study uses political economy approach to see how several economic and political factors will affect the stability of the remittances of Indonesian migrant domestic workers in Hong Kong. This study departs from the theory of Dilip Ratha (2003) regarding the stability of remittances in the period of economic crisis. Ratha argues that there are two factors, namely (1) migrant worker receiving countries usually have automatic stabilizers that allow for income protection for migrant workers and (2) ease of remittance financial infrastructure. This thesis finds the relevance of financial infrastructure factors for remittances to the experience in Hong Kong during the Covid-19 pandemic, which is the existence of various policies and financial facilities that facilitate the delivery of remittances. This study uses qualitative data collection methods to reveal the empirical reality experienced by domestic workers from Indonesia in Hong Kong. As a result, this study found several other economic factors that were not proposed by Ratha. The stability of remittances during the crisis due to the pandemic in Hong Kong was also influenced by the struggle of the migrant workers' unions in Hong Kong to respond to the pandemic and economic crisis. In addition, this research also finds various mechanisms and practices used by Indonesian migrant workers in Hong Kong. Migrant domestic workers must do various ways to be able to send money in increased amounts from before the pandemic and try to keep their families and themselves alive. This last factor is the politics of survival which is similar to the concept of ‘double movement’ from Karl Polanyi (2001). This factor along with two other factors are the causes of the stability of remittances to Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mira Restiana
"Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan koordinasi pemerintah pusat yang difokuskan pada Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker), Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu), dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dalam pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor informal. Indonesia menjadi salah satu negara pengirim pekerja migran dengan jumlah tertinggi di Asia Tenggara, namun hingga saat ini masalah pelanggaran hak PMI masih tinggi. Keterlibatan negara melalui kementerian dan badan menjadi salah satu hal penting yang dapat dilihat dari bagaimana setiap instansi berkoordinasi dalam isu pelindungan PMI. Permasalahan pelindungan PMI turut dipengaruhi oleh tata kelola yang dipengaruhi oleh pelaksanaan koordinasi antar kementerian dan badan yang terlibat. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori koordinasi antar organisasi sektor publik dengan mekanisme koordinasi jejaring yang dikemukakan oleh Bouckaert, Peters, dan Verhoest (2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian post-positivist dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukan, ditinjau dari koordinasi mekanisme jejaring, pelaksanaan koordinasi belum sepenuhnya berjalan optimal. Koordinasi dilakukan melalui rapat koordinasi, surat menyurat, serta komunikasi melalui telepon atau aplikasi telekomunikasi. Sudah terdapat pertukaran data dan informasi antar kementerian dan badan, namun rapat koordinasi belum dilaksanakan secara rutin dalam kurun waktu tertentu. Hingga saat ini belum tersedia mekanisme yang mengatur secara teknis dan menjadi pedoman pelaksanaan koordinasi. Hal tersebut berpengaruh terhadap sejumlah kendala dalam pelaksanaan koordinasi dalam upaya pelindungan PMI sektor informal.
This study aims to examine the implementation of central government coordination focused on the Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemnaker), Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu), and Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) to protect Indonesian Migrant Workers (PMI) in the informal sector. Indonesia is one of the countries with the highest number of migrant workers in Southeast Asia, however the problem of violations of PMI rights is still high. The involvement of the state through ministries and agencies is one of the important things that can be seen from how each government organizations coordinates the issue of protecting PMI. The problem of protecting PMI is also influenced by the implementation of coordination between the ministries and agencies. The theoretical framework used in this study is the theory of coordination between public sector organizations with a network coordination mechanism proposed by Bouckaert, Peters, and Verhoest (2010). This study uses post-positivist research approach with qualitative data collection techniques. The results of the study show that, in terms of the coordination of the network mechanism, the implementation of coordination has not been fully running optimally. Coordination is carried out through coordination meetings, correspondence, and communication via telephone or telecommunications applications. There has been an exchange of data and information between ministries and agencies, but coordination meetings have not been held routinely within a certain period of time. Until now, there is no mechanism that technically regulates and serves as a guideline for the implementation of coordination. This affects a number of obstacles in the implementation of coordination in efforts to protect PMI in the informal sector. "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library