Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199302 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aprizal Satria Hanafi
"ABSTRAK
Hubungan obesitas dan merokok terhadap kejadian hipertensi sudah banyak diketahui
namun masih jarang dilakukan penelitian untuk melihat efek gabungan obesitas dan
merokok dalam menyebabkan hipertensi derajat 1. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi efek gabungan obesitas dan merokok dalam menyebabkan hipertensi
derajat 1. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional menggunakan data
Indonesian Family Life Survey-5 (IFLS-5) tahun 2014. Sampel yang dianalisis pada
penelitian ini berjumlah 13.487 setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis
multivariat menggunakan uji cox regresi digunakan untuk mengetahui besar risiko
obesitas dan merokok dalam menyebabkan hipertensi derajat 1. Hasil penelitian
didapatkan prevalensi hipertensi derajat 1 sebesar 23,50%. Analisis multivariat
menunjukkan bahwa orang yang obesitas dan merokok memiliki risiko 2,86 kali untuk
mengalami hipertensi derajat 1 (PR=2,86), orang obesitas dan tidak merokok memiliki
risiko 1,64 kali untuk mengalami hipertensi derajat 1 (PR=1,64), orang tidak obesitas
dan merokok memiliki risiko 1,32 kali untuk mengalami hipertensi derajat 1 (PR=1,32).
Risiko untuk mengalami hipertensi derajat 1 meningkat 48% akibat interaksi obesitas
dan merokok. Perlu adanya adanya skrining lebih ketat untuk mencegah hipertensi
terutama pada orang obesitas dan merokok pada umur ≥18 tahun misalnya dengan
pengkuran tekanan darah secara rutin di rumah. Selain itu perlu adanya peningkatan
kualitas pelaksanaan Posbindu PTM dari pemerintah untuk pemantauan faktor risiko
serta deteksi dini PTM.

ABSTRACT
The relationship of obesity and cigarette smoking to the incidence of hypertension was
well known, but study is still rare to see the joint effects of obesity and smoking in
causing hypertension grade 1. This study aimed to evaluate the joint effect of obesity
and cigarette smoking on causing hypertension grade 1. This study used a crosssectional
design using data from Indonesian Family Life Survey-5 (IFLS-5) in 2014.
The samples analyzed in this study amounted to 13,487 after fulfilling the inclusion and
exclusion criteria. Multivariate analysis using the cox regression test was use to
determine the risk of obesity and smoking in causing hypertension grade 1. The results
showed that the prevalence of hypertension grade 1 is 23.50%. Multivariate analysis
showed that people who were obese and smoking had a risk of 2.86 times for having
hypertension grade 1 (PR = 2.86), obese and non-smoking people have a risk of 1.64
times to have hypertension grade 1 (PR = 1.64), people who were not obese and
smoking have a risk of 1.32 times for having hypertension grade 1 (PR = 1.32). The risk
of developing hypertension grade 1 increased by 48% due to the interaction of obesity
and smoking. There needs to be more rigorous screening to prevent hypertension,
especially in obese and smoking people at age ≥18 years, for example by measuring
blood pressure regularly at home. In addition, there is a need to improve the quality of
the implementation of NCDs Integrated Development Post (Posbindu) from the
government for risk factor monitoring and early detection of NCDs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Uramanda
"Salah satu cara untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan faal paru adalah dengan cara mengukur arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan peak flow meter. Salah satu faktor resiko yang menyebabkan penurunan nilai APE adalah merokok. Merokok dapat menyebabkan terjadinya bronkokontriksi pada saluran pernapasan. Selain merokok, faktor lain yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya penurunan kapasitas fungsi paru adalah kurangnya aktivitas fisik. Oleh karena itu penelitian untuk melihat efek gabungan merokok dan aktifitas fisik terhadap penurunan nilai APE diperlukan untuk mengkonfirmasi besar asosiasi keduanya dengan mempertimbangkan faktorfaktor contributory (potential confounder) yang juga berhubungan terhadap penurunan nilai APE. Penelitian ini menggunakan disain cross-sectional. Sebanyak 8.823 responden pria 18-74 tahun menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh dari Indonesian family life survey 5(IFLS) dan dianalisis menggunakan uji Cox regresi. Penurunan nilai arus puncak ekspirasi lebih besar pada orang yang tidak merokok dan aktifitas fisik kurang,yaitu sebesar 1,26 kali serta perokok yang memiliki aktivitas fisik kurang sebesar 1,20 kali dibanding orang yang tidak merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup. Sedangkan pada orang yang merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup beresiko 0,84 kali protektif dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup dengan kata lain aktivitas fisik lebih berperan dibanding kebiasaan merokok. Pada orang yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya juga melakukan aktifitas fisik secara rutin agar resiko untuk terjadinya penurunan nilai arus puncak ekspirasi menjadi lebih kecil.

The One way to detect early pulmonary function disorders is by measuring peak expiratory flow (PEF) using a peak flow meter. One of the risk factors that causes decrease in the value of APE is smoking. Smoking can cause bronchoconstriction in the respiratory tract. In addition to smoking, other factors that play a role in reducing the risk of a decrease in lung function capacity are lack of physical activity. Therefore, research to see the combined effects of smoking and physical activity on the decline in APE values is needed to confirm the magnitude of the two associations by considering contributory factors (potential confounders) which also relate to decreasing APE values. This study uses cross-sectional design. A total of 8,823 male respondents 18-74 years were sampled in this study. Data was obtained from Indonesian family life survey 5 (IFLS) and analyzed using the Cox regression test. The decrease in peak expiratory flow values was greater in people who did not smoke and less physical activity, which amounted to 1,26 times and smokers who had less physical activity of 1.20 times compared to people who do not smoke and have enough physical activity. Whereas in people who smoke and have physical activity is 0.84 times protective compared to people who do not smoke and have enough physical activity in other words physical activity has more role than habit smoke. In people who have a smoking habit, they should also carry out regular physical activities so that the risk of decreasing the value of peak expiratory flow becomes smaller."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silviana Tirtasari
"Hipertensi hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang besar di Indonesia, dimana sebesar 34,1% penduduk Indonesia usia >18 tahun menderita hipertensi. Saat ini mulai terjadi pergeseran populasi pada penderita hipertensi yang mulai sering ditemukan pada usia dewasa muda (18-34 tahun). Dimana wanita Indonesia memiliki prevalensi hipertensi yang lebih tinggi daripada pria (36,9%: 31,3%). Provinsi jawa barat yang mayoritas penduduknya merupakan suku Sunda, yang selama ini dikenal dengan kebiasaan hidup mereka yang sehat ternyata menempati peringkat kedua tertinggi untuk prevalensi hipertensi di Indonesia. Selain masalah hipertensi, nampaknya obesitas juga mengalami peningkatan prevalensi yang cukup signifikan di Indonesia dari yang sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 14,8% menjadi 21.8% pada tahun 2018 (Batlibankes, 2013; Batlibangkes, 2018). Hal ini yang melatar belakangi dilakukannya penelitian tentang obesitas dan hipertensi pada wanita usia dewasa muda, suku Sunda. Penelitian ini memakai desain cross sectional dengan memakai data sekunder , yaitu: IFLS (Indonesian Family Life Survey) -5. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah semua wanita yang berusia 18-34 tahun bersuku Sunda yang menjadi responden dalam IFLS-5. Sehingga didapatkan sampel dalam penelitian ini sebesar 780 responden. Dalam penelitian ini didapatkan prevalensi hipertensi pada wanita usia dewasa suku Sunda adalah sebesar 11,79% sedangkan prevalensi obesitasnya adalah 41,03%. Serta terdapat hubungan antara obesitas dengan hipertensi sebesar 2,8 (95% CI, 1,8-4,3) setelah dikontrol dengan variabel usia.

Hypertension is still a major health problem in Indonesia, where 34.1% of Indonesia's population over 18 years suffer from hypertension. Currently there is a population shift in hypertensive patients who begin to be found frequently in young adults (18-34 years). Where Indonesian women have a higher prevalence of hypertension than men (36.9%: 31.3%). West Java province, which is predominantly Sundanese and has been known for their healthy living habits turned out to be the second highest in the prevalence of hypertension in Indonesia. In addition to hypertension problems, obesity also seems to experience a significant increase in prevalence in Indonesia from the previous year of 14.8% to 21.8% in 2018 (Batlibankes, 2013; Batlibangkes, 2018). This is the background study of obesity and hypertension in young adult Sundanese women. This study uses a cross sectional design using secondary data, namely: IFLS (Indonesian Family Life Survey) -5. The samples taken in this study were all Sundanese women aged 18-34 years who were respondents in IFLS-5. So that the sample in this study was 780 respondents. In this study the prevalence of hypertension in adult Sundanese women was 11.79% while the prevalence of obesity was 41.03%. And there is a relationship between obesity and hypertension of 2.8 (95% CI, 1.8-4.3) after being controlled by age variables."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karima Yudhistina
"Obesitas adalah faktor risiko terjadinya penyakit seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit jantung dan pembuluh darah. Akumulasi lemak stimulasi proses peroksidasi lipid yang menghasilkan malondialdehida (MDA) dan mengurangi antioksidan endogen seperti katalase dalam tubuh. Puasa intermiten merupakan cara alternatif untuk menurunkan radikal bebas dalam tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek puasa intermiten terhadap status stres oksidatif pada karyawan dengan obesitas di Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian ini adalah pria berusia 19-59 tahun dengan indeks massa tubuh (IMT) ≥25 kg/m2 yang terbagi menjadi kelompok puasa dan kontrol melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan selama 8 minggu setiap hari Senin dan Kamis, tidak diperkenankan untuk makan dan minum selama 14 jam. Sebelum intervensi, kedua kelompok diberikan edukasi diet seimbang. Kadar MDA dan katalase dianalisis dengan spectofotometer. Asupan makan dinilai dengan 2x24 hr food recall dan food record. Hasil penelitian menunjukan kadar MDA setelah intervensi pada kelompok puasa berbeda signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,02). Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar katalase pada kelompok puasa dan kontrol (p>0,05). Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat menurunkan kadar MDA pada karyawan dengan obesitas di Jakarta

Obesity is a major risk factor for many non-communicable diseases. Fat accumulation stimulates the lipid peroxidation process, which produces malondialdehyde (MDA) and reduces endogenous antioxidants such as catalase. Intermittent fasting is an alternative way to reduce free radicals in the body. This study aimed to determine the effect of intermittent fasting 5:2 on MDA and catalase levels in obese employees in Jakarta. This study's subject was men aged 19-59 years with body mass index ≥25 kg/m2, who were divided into fasting and control groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was performed for eight weeks, done every Monday and Thursday, and not allowed to eat and drink during 14 hours of fasting. Before the intervention, both groups were given nutrition education on a balanced diet. Food intake was assessed by the 2x24 h food recall and food recall method. MDA and catalase levels were measured using a spectrophotometer. There was a significant difference (p<0,001) in pre-post intervention MDA and catalase levels within the fasting and control groups. MDA post-intervention levels in the fasting group were significantly different compared to the control group (p=0,02). Intermittent fasting 5:2 for eight weeks can reduce MDA levels in obese employees in Jakarta."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Nabilah Qonitah
"Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kondisi kadar glukosa darah yang tinggi karena ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin secara normal atau untuk memproduksi insulin yang cukup. Dalam kurun waktu 5 tahun, prevalensi diabetes melitus pada penduduk berusia ≥ 15 tahun meningkat dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh obesitas terhadap DM tipe 2 di Indonesia, dengan desain penelitian kohort retrospektif. Data yang digunakan berasal dari IFLS-1 dan IFLS-5 dengan sampel sebesar 4.707 dan dianalisis menggunakan uji cox regression. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 7,4% sampel mengalami diabetes tipe 2. Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat pengaruh obesitas dan umur pada tahun 1993 terhadap kejadian DM tipe 2 tahun 2014; dan terdapat hubungan antara konsumsi fast food, konsumsi soft drink, konsumsi buah, aktivitas fisik, dan wilayah tempat tinggal pada tahun 2014 dengan DM tipe 2. Sedangkan, konsumsi cemilan gorengan, konsumsi cemilan manis, konsumsi sayur dan status gizi pada tahun 2014, kebiasaan merokok pada tahun 1993, tidak berhubungan yang bermakna dengan DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah status gizi obesitas berisiko 5,62 kali terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan status gizi normal setelah dikontrol oleh variabel usia, status gizi tahun 2014, dan wilayah tempat tinggal sebagai confounding

Type 2 diabetes mellitus (DM) is a disease characterized by high blood glucose levels due to the body's inability to use insulin normally or to produce enough insulin. Within 5 years, the prevalence of diabetes mellitus in the population aged 15 years and above increased from 6.9% in 2013 to 8.5% in 2018. This study aims to determine the effect of obesity on type 2 DM in Indonesia, with a research design retrospective cohort. The data used comes from IFLS-1 and IFLS-5 with a sample of 4,707 and analyzed using cox regression test. The results of this study showed that 7.4% of the sample had type 2 diabetes. The results of the bivariate analysis showed that there was an effect of obesity and age in 1993 on the incidence of type 2 diabetes in 2014; and there is a relationship between consumption of fast food, consumption of soft drinks, consumption of fruit, physical activity, and area of ​​residence in 2014 with type 2 DM. Meanwhile, consumption of fried snacks, consumption of sweet snacks, consumption of vegetables and nutritional status in 2014, habits smoking in 1993, was not significantly associated with type 2 diabetes. The conclusion of this study is that the nutritional status of obesity has a 5.62 times risk of developing type 2 diabetes compared to normal nutritional status after controlling for variables of age, nutritional status in 2014, and the area of residence as confounding."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Nadya R V
"Latar Belakang. Obesitas merupakan faktor risiko luaran buruk pada pasien COVID-19. Sampai saat ini studi penilaian hubungan parameter obesitas berupa nilai lemak viseral, lingkar pinggang (LP), indeks massa tubuh (IMT), dan persentase lemak tubuh secara bersamaan dengan luaran COVID-19 menggunakan metode sederhana berupa bioimpedance analyzer (BIA) masih terbatas. Keempat variabel tersebut akan dinilai kemampuannya untuk memprediksi luaran buruk selama perawatan pasien COVID-19.
Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif dari 261 pasien COVID-19 ringan-sedang di RSUPN Cipto Mangunkusumo rawat inap sejak Desember 2020 hingga Maret 2021. Pasien dilakukan pemeriksaan BIA, LP, dan IMT saat admisi. Dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk menilai kemampuan nilai lemak viseral, persentase massa tubuh, IMT dan LP untuk memprediksi luaran buruk komposit yang mencakup ARDS dan mortalitas.
Hasil. Didapatkan median nilai lemak viseral 10 (setara 100 cm2 ), lingkar pinggang 93 cm, IMT 26,1 kg/m2 , dan persentase lemak tubuh 31,5%. Berdasarkan multivariat regresi logistik, lingkar pinggang secara statistik bermakna sebagai faktor yang berpengaruh terhadap luaran buruk pada pasien COVID-19 [RR 1,04 (IK 95% 1,01-1,08)] bersama dengan derajat COVID-19 [RR 4,3 (IK 95% 1,9- 9,9)], skor NEWS [RR 5,8 (IK 95% 1,1-31)] saat admisi, dan komorbiditas [RR 2,7 (IK 95% 1,1-6,3)].
Kesimpulan. Luaran buruk COVID-19 selama perawatan pasien COVID-19 terkonfirmasi dapat dipengaruhi oleh lingkar pinggang.

Background. Obesity is a risk factor for adverse outcomes in COVID-19 patients. Until now, studies on assessing the relationship between obesity parameters in the form of visceral fat, waist circumference (WC), body mass index (BMI), and body fat percentage simultaneously with COVID-19 outcomes using a simple method such as bioimpedance analyzer (BIA) are still limited. The four variables will be assessed for their ability to predict adverse outcomes during the treatment of COVID-19 patients.
Method. This study is a prospective cohort of 261 mild-moderate COVID-19 subjects at Cipto Mangunkusumo General Hospital who were hospitalized from December 2020 to March 2021. Patients underwent BIA, WC, and BMI examinations upon admission. Multivariate logistic regression analysis was performed to assess the ability of visceral fat, body mass percentage, BMI, and WC to predict poor composite outcomes, including ARDS and mortality.
Results. The median value of visceral fat was 10 (equivalent to 100 cm2 ), WC was 93 cm, BMI was 26.1 kg/m2 , and body fat percentage was 31.5%. Based on multivariate logistic regression, WC was statistically significant as a factor influencing poor outcomes in COVID-19 patients [RR 1.04 (95% CI 1.01-1.08)] along with COVID-19 degree of severity [RR 4.3 (95% CI 1.9-9.9)], NEWS score [RR 5.8 (95% CI 1.1-31)] at admission, and comorbidities [RR 2.7 (95% CI 1.1) - 6.3)].
Conclusion. During the hospitalization of confirmed COVID-19 patients, poor outcomes can be affected by waist circumference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusni Rahma
"ABSTRAK
Insiden hipertensi di Indonesia masih cenderung tinggi, terdapat beberapa faktor yangberkontribusi terhadap munculnya hipertensi, salah satunya adalah obesitas sentral.Obesitas sentral adalah kondisi lemak berlebih yang terpusat pada daerah perut intraabdominalfat . Beberapa penelitian menyatakan bahwa hipertensi lebih banyakditemukan pada individu dengan obesitas sentral dibandingkan dengan obesitas umum.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan obesitas sentral dengankejadian hipertensi diastolik pada penduduk usia 40 tahun atau lebih di Kota Bogortahun 2016. Desain Penelitian ini adalah kohor retrospektif, analisis data sekunder studikohor PTM Litbangkes tahun 2011-2016. Hasil penelitian ini menemukan bahwaInsiden hipertensi diastolik sekitar 90 per 1000 orang-tahun. Penduduk usia 40 tahunatau lebih yang obesitas sentral berisiko 1.929 kali 95 CI 1.660 ndash; 2.242 untukmengalami hipertensi diastolik dibandingkan penduduk tidak obesitas sentral setelahdikontrol oleh aktivitas fisik. Attributable Risk Percent AR sebesar 41,5 . Artinya,eliminasi obesitas sentral, diperkirakan akan menurunkan kejadian hipertensi diastoliksekitar 41,5 .

ABSTRACT
Indonesia still records high incidence of hypertension in the last couple of years. Ofseveral factors that contribute to the emergence of hypertension, growing number ofevidence highlights the contribution of central obesity. Central obesity is a condition offat centered on the abdominal area intra abdominal fat . Some studies suggest thathypertension is more commonly found in central obese individuals compared to generalgeneral obese groups. The purpose of this study was to determine the association ofcentral obesity with the incidence of diastolic hypertension in the population amongpeople above 40 years in the city of Bogor in 2016. This study is a retrospective cohortin design, a secondary analysis of NCD study cohort by Litbangkes year 2011 2016.The results show the incidence of diastolic hypertension is 90 per 1000 person years.Population among people above 40 years of central obesity is 1.929 times 95 CI1.660 ndash 2.242 at risk to get diastolic hypertension compared with non central obeseafter being controlled by physical activity. Attributable Risk Percent AR is 41.5 .This says the incidence of diastolic hypertension can be reduced by 41.5 if there is nocentral obesity cases."
2018
T51109
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Shofia
"ABSTRAK
Nama : Nur ShofiaProgram Studi : Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Studi Validasi Cut-Off Point Obesitas menurut IMT dan Lingkar Pinggang dengan Gold Standard Persentase Lemak Tubuh pada Usia 19-45 Tahun Di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Tahun 2018Pembimbing : Triyanti, SKM, M.ScObesitas merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit tidak menular. IMT indeks massa tubuh dan lingkar pinggang adalah indikator antropometri yang sering digunakan untuk mendefinisikan status obesitas. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa setiap populasi memerlukan cut-off point IMT dan lingkar pinggang yang berbeda untuk mengidentifikasi status obesitas. Studi ini bertujuan untuk menentukan cut-off point optimal dari IMT dan lingkar pinggang terhadap status obesitas pada pria dan wanita dewasa di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Sebanyak 272 subjek usia 19-45 tahun pria, n=116; wanita, n= 156 berpartisipasi dalam pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, dan persentase lemak tubuh. Persentase lemak tubuh diukur menggunakan BIA bioelectrical impedance analysis Omron HBF-212. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cut-off point IMT dan lingkar pinggang dari Kementerian Kesehatan Indonesia memiliki nilai sensitivitas yang rendah dalam mengidentifikasi status obesitas pada subjek penelitian. Cut-off point optimal IMT dan lingkar pinggang bagi pria dan wanita dalam penelitian ini berturut-turut adalah 24.60 kg/m2; 24.05 kg/m2; 82.60 cm; dan 76.00 cm. IMT adalah indikator antropometri yang paling baik untuk menentukan status obesitas pada pria, sedangkan pada wanita adalah lingkar pinggang. Hasil penelitian ini sebaiknya digunakan sebagai evaluasi penentuan cut-off point obesitas menurut IMT dan lingkar pinggang bagi pria dan wanita dewasa di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.Kata kunci:Obesitas; IMT; lingkar pinggang; persentase lemak tubuh; cut-off point.

ABSTRACT
Name Nur ShofiaStudy Program Master of Public Health Title The Validation Study of Obesity Cut off Point according to BMI and Waist Circumference with Body Fat Percentage Gold Standard in 19 45 year old Adults in The Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2018Counsellor Triyanti, SKM, M.ScObesity is a risk factor for non communicable diseases. BMI body mass index and waist circumference WC have been extensively used to define obese status. Several studies have raised that BMI and WC cut off points may be different among various populations. The objective of this study was to determine optimal cut off points for BMI and WC to identify obesity in men and women from Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. A total of 272 subjects aged 19 45 years men, n 116 women, n 156 were assessed for weight, height, WC, and body fat percentage BF . BF was determined using BIA bioelectrical impedance analysis Omron HBF 212. The existing BMI and waist circumference cut off points from Ministry of Health of Indonesia showed low sensitivity to identify obesity in our subjects. The optimal cut off points for BMI and WC for determination of obesity in men and women were 24.60 kg m2 24.05 kg m2 82.60 cm and 76.00 cm, respectively. In conclusion, BMI is the most predictive for men to define obese status, while WC is for women. These research findings should be used to evaluate new cut off points for BMI and WC to define obesity optimally in men and women in Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.Key words Obesity BMI waist circumference body fat percentage cut off point."
[Depok;Depok, Depok]: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maura Octavia
"

Obesitas merupakan keadaan yang terjadi akibat akumulasi lemak yang berlebihan dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga berat badan. Salah satu kelompok masyarakat yang berisiko terhadap obesitas adalah pekerja terutama pekerja kantoran. Para pekerja cenderung tidak memperhatikan pola makan serta melakukan aktvitas fisik yang rendah. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi faktor internal (riwayat keluarga, usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik), faktor eksternal (tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, status perkawinan, dan jenis pekerjaan), dan faktor konsumsi (persen asupan energi, persen asupan protein, dan konsumsi gorengan) terhadap kejadian obesitas pada pekerja di PT Juara Abadi Bersama Tahun 2023. Penelitian dilakukan secara luring selama bulan November – Desember 2023. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan menggunakan metode random sampling untuk mendapatkan 117 responden. Hasil analisis menyatakan bahwa adanya perbedaan proporsi obesitas berdasarkan riwayat keluarga (p value = 0,000), aktivitas fisik (p value = 0,013), asupan energi (p value = 0,001), dan konsumsi gorengan (p value = 0,021). Saran yang diberikan kepada pihak perusahaan serta sivitasnya yaitu untuk lebih aktif dalam mencari informasi terkait gizi dan kesehatan, serta dilakukannya pencegahan terkait obesitas dengan memperhatikan asupan makan yang tepat, melakukan pemantauan terkait status gizi, dan melakukan upaya pencegahan bersama seperti olahraga bersama.


Obesity is a condition that occurs due to excessive accumulation of fats and lasts for a long time hence the increasing of body weight. Workers are one of the group of people who are at risk of obesity, especially office workers. Workers tend not to pay attention to their diet and carry out low levels of physical activity. This study aims to find the proporstion differences between internal factors (family history, age, gender, and, physical activity) external factors (level of education, level of knowledge, marital status, and work section) and consumption factors (percentage of energy intake, percentage of protein intake, and comsumption of fried foods) towards obesity among workers in PT Juara Abadi Bersama in 2023. This study was conducted offline during November – December 2023. This study uses cross sectional design and random sampling methode to get 117 respondents. The outcome from the analysis stated that there is a proportion differences obesity according to family history (p value = 0,000), activity factor (p value = 0,013), energy intake (p value = 0,000), and fried food consumption (p value = 0,021). Advice given to the company and its community members is to be more active in seeking information related to nutrition and health, as well as to prevent obesity by paying attention to appropriate food intake, monitoring nutritional status, and carrying out joint prevention efforts such as exercising together.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>