Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Heru Triatma Jaya
"Pengaturan Keuangan yang sangatlah luas dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, berakibat pula pada meluasnya penerjemahan kerugian negara itu sendiri. Hal ini mengakibatkan menjadi kesulitan juga dalam menentukan apakah suatu perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam  Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memasukkan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai salah satu unsur yang dipenuhi dalam tindak pidana korupsi untuk menilai adanya kerugian negara yang timbul dalam hubungan hukum yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara ataupun Daerah. Hal ini tentu bertentangan dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN maupun BUMD tunduk pada UU Nomor 40 tahun 2007. Sehingga negara hanya bertanggung jawab sebatas modal yang diberikan yang telah di konversi menjadi saham.Jadi, kekayaan negara dalam BUMN maupun BUMD hanya sebatas saham itu sendiri. Perdebatan mengenai sejauh mana keuangan negara yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara sampai sekarang masih terjadi. Penelitian ini akan melihat sejauh mana kerugian negara dalam dikategorikan sebagai unsur dalam tindak pidana korupsi. Tinjauan analisis didasarkan pada teori transformasi keuangan negara, dan melihat mengenai perbedaan mengenai definsi kerugian negara dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu melakukan analisis pada aturan hukum terkait BUMN, BUMD, keuangan negara, kekayaan negara yang dipisahkan, perjanjian,  serta tindak pidana korupsi, merujuk pada Peraturan Perundang-undangan, maupun Peraturan Pemerintah  Jadi, data yang akan diperoleh berupa data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder). Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, adalah : Pertama, Salah satu unsur untuk menentukan ada atau tidaknya suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang timbul terhadap keuangan negara, serta kerugian pada BUMN maupun BUMD tidak dapat dikategorikan secara langsung sebagai tindak pidana korupsi. Kedua, kedudukan debitur dalam suatu perjanjian pada dasarnya adalah setara dengan kreditur, dimana debitur dan kreditur memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi. Ketiga, dalam kasus kredit macet terhadap Bank Papua dan PT. Vitas tidak dapat hanya bertumpu pada kerugian negara semata untuk menyatakan bahwa debitur termasuk dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa adanya tindak pidana korupsi dalam kasus ini.

Financial arrangements that are very broad in a number of current laws and regulations have also resulted in the widespread translation of losses of the state itself. This has caused difficulties in determining whether an act can be categorized as a criminal act of corruption. In Law No.31 of 1999 concerning Corruption Crime, including separated state assets as one of the elements fulfilled in corruption acts to assess the existence of state losses arising in legal relations carried out by State or Regional State-Owned Enterprises. This is certainly contrary to Law Number 19 of 2003 concerning BUMN which states that BUMN and BUMD are subject to Law No. 40 of 2007. So that the state is only responsible as limited as the capital provided which has been converted into shares. So, state wealth in BUMN and BUMD only limited to the stock itself. Debates about the extent to which state finances can be categorized as state losses have still occurred. This study will look at the extent to which state losses are categorized as an element of corruption. The analysis review is based on the theory of state financial transformation, and looks at the differences regarding the definition of state losses in several applicable laws and regulations. The study was conducted using a normative research methodology, namely conducting an analysis of the legal rules relating to BUMN, BUMD, state finance, separated state assets, agreements, as well as corruption, referring to the Laws and Regulations, as well as Government Regulations in the form of secondary data (primary and secondary legal materials). The conclusions that can be obtained from this study are: First, one element to determine whether or not an action can be categorized as a criminal act of corruption is state losses arising from state finances, and losses to BUMN or BUMD cannot be categorized directly as corruption. Second, the position of the debtor in an agreement is basically equivalent to the creditor, where the debtor and creditor have their respective rights and obligations that must be fulfilled. Third, in the case of bad loans to Bank Papua and PT. Vitas cannot only rely on state losses alone to state that debtors are included in corruption, so it cannot be said that there is a criminal act of corruption in this case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52444
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damanik, Patricia Nia Sari
"Akumulasi Iuran Pensiun yaitu kumpulan iuran program pensiun milik Pegawai Negeri Sipil yang saat ini dikelola oleh PT TASPEN (Persero). Dana Akumulasi Iuran Pensiun tersebut pada awalnya dikelola oleh Kementerian Keuangan sebelum akhirnya diserahkan kepada PT TASPEN (Persero) yaitu suatu Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk mengelola program jaminan dan perlindungan bagi Aparatur Sipil Negara. Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun ini juga diatur secara ketat oleh Menteri Keuangan baik itu penggunaannya, penempatannya, dan mekanisme divestasinya melalui peraturan Menteri Keuangan. Jumlah Akumulasi Iuran Pensiun mengalami penurunan akibat kepemilikan 18 stand/kios pada Jembatan Merah Plaza Surabaya yang dilakukan oleh PT TASPEN (Persero). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisa posisi Akumulasi Iuran Pensiun dalam keuangan publik, batasan-batasan penerapan Business Judgment Rule, dan pengenaan kerugian negara terhadap Direksi PT TASPEN (Persero) akibat adanya kerugian Akumulasi Iuran Pensiun tersebut. Masalah difokuskan kepada penerapan prinsip Business Judgment Rule atas kerugian Akumulasi Iuran Pensiun akibat kepemilikan stand/kios pada salah satu mall di Surabaya yaitu Jembatan Merah Plaza dan pengenaan kerugian keuangan negara terhadap kerugian tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal dimana menggunakan metode interpretatif untuk menganalisa kasus pengambilan keputusan Direksi PT TASPEN (Persero) yang hasilnya kemudian dikembangkan menjadi analisis deskriptif. Berdasarkan teori Business Judgment Rules, Keuangan Negara, dan Kerugian Negara, maka disimpulkan bahwa kerugian Akumulasi Iuran Pensiun atas kepemilikan stand/kios Jembatan Merah Plaza bukan merupakan kerugian negara dan Direksi PT TASPEN (Persero) tidak dapat dipersalahkan atas kerugian tersebut karena telah memenuhi kriteria Business Judgment Rule. Penelitian ini menyarankan untuk segera dilakukan cut loss dengan melakukan penjualan terhadap stand/kios tersebut dengan terus mendorong Menteri Keuangan untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan sebagai dasar untuk melakukan cut loss.

Accumulated Pension Contributions is the contributions of pension program belongs to civil servants which collected and currently managed by PT TASPEN (Persero Accumulated Pension Contributions Fund was initially managed by the Ministry of Finance before finally being handed over to PT TASPEN (Persero) one of State-Owned Enterprise established to manage the social insurance program for civil servants. The management of Accumulated Pension Contributions is strictly regulated by the Minister of Finance regarding its use, placement, and divestment mechanism through Minister of Finance regulations. The accumulated amount of pension contributions has decreased due to the ownership of 18 stands/kiosks at the Jembatan Merah Plaza Surabaya carried out by PT TASPEN (Persero). This research aims to examine and analyze Accumulated Pension Contribution's position in public finances, the limitations of implementing the Business Judgment Rule, and the imposition of state financial losses on the Directors of PT TASPEN (Persero) due to Accumulated Pension Contribution's losses. The problem focuses on the application of the Business Judgment Rule principle to the losses of accumulated pension contributions due to ownership of Jembatan Merah Plaza stand/kiosk and the imposition of state financial losses on these losses. This research is doctrinal legal research which uses interpretive methods to analyze cases of decision making by the Directors of PT TASPEN (Persero) whose results are then developed into descriptive analysis. Based on the theory of Business Judgment Rules, State Finances, and State Losses, it is concluded that the loss in Accumulated Pension Contributions from the ownership of the Jembatan Merah Plaza stand/kiosk is not a state financial loss and the Directors of PT TASPEN (Persero) cannot be blamed for this loss because they have met the criteria of Business Judgment Rules. This research suggests cutting loss immediately by selling the stand/kiosk while continuing to encourage the Minister of Finance to issue implementing regulations for Law Number 4 of 2004 concerning Development and Strengthening of the Financial Sector as a basis for cutting loss."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronika Farida Riswanti
"Kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian kredit harus setara dan seimbang. Dalam suatu Perjanjian Kredit seringkali terjadi ketidakseimbangan kedudukan antara Kreditur dan Debitur. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Suatu Perjanjian kredit yang biasanya merupakan perjanjian baku dan memuat aturan-aturan standar yang telah ditetapkan oleh kreditur, harus tetap memperhatikan keseimbangan kedudukan antara kreditur dan debitur. Dengan demikian perjanjian kredit yang dibuat akan dilaksanakan dengan itikad baik dan tanpa adanya paksaan terhadap masing-masing pihak, karena masing-masing pihak memiliki kedudukan yang seimbang.

The position of the parties in the loan agreement shall be equal and balance. In the Loan Agreement often happens inequality position between Creditor and Debtor. This research is analyzed by descriptive analytic with the legal analytic approach. A loan agreement which is commonly as standard contract set up by Creditor, must remain pay attention to the equality position of Creditor and Debtor. Therefore the loan agreement can be performed in good faith and without duress to each party, since each party has equal position."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28891
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nathasya Victoria Ruswandana
"PT Bukit Pembangkit Innovative PT BPI merupakan sebuah Independent Power Producer IPP yang mendapatkan Power Purchase Agreement PPA ,dari PLN pada tahun 2011. PPA adalah perjanjian jual beli tenaga listrik antara IPP dan PLN selama 30 tahun. Untuk pendanaan pembangunan PLTU Mulut Tambang Banjarsari, PT BPI mengeluarkan ekuitas sebesar 30 dan BNI sebesar 70 dari biaya pembangunan PLTU. Kebutuhan pembiayaan pada proyek PLTU diberikan dalam bentuk kredit investasi secara sindikasi. Sejak dimulainya operasi komersial, timbul permasalahan dalam hal ketersediaan PLTU dan juga jaringan transmisi yang menyebabkan munculnya masalah keuangan. PT BPI mendapatkan kendala yang serius dalam pemenuhan kewajibannya mengembalikan pinjaman baik pinjaman pokok maupun bunga dari pinjaman sesuai yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit antara PT BPI dan BNI. Sehingga terjadi potensi default atau kegagalan dalam pelunasan utang baik besaran maupun waktu pelunasan pinjaman oleh PT BPI. Dalam tesis ini, telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisa mengenai kesesuaian perjanjian kredit antara PT BPI dan BNI denga nketentuan yang berlaku, menganalisa mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada debitur dalam klausula-klausula pada perjanjian kredit serta menganalisa mengenai perlindungan hokum bagi debitur jika terjadi resiko default yang timbul dari luar perjanjian kredit. Penelitian ini merupakan penelitian hokum normatif dengan pendekatan kasus dan pendekatan peraturan perundang-undangan yang dilakukan melalu I studi kepustakaan dengan studi dokumen atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa perjanjian kredit antara PT BPI dan BNI telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Namun, Klausula-klausula pada perjanjian kredit PT BPI dan BNI tidak sepenuhnya memberikan perlindungan hokum kepada debitur karena BNI masihmencantumkan klausula yang dilarang oleh Undang-Undang No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, mengenai resiko default yang timbul dari luar perjanjian kredit dalam hal ini disebabkan oleh pihak PLN, yaitu pada saat PLN tidak dapat mengambil seluruh energy yang dihasilkan PLTU karena kesalahan PLN walaupun ada perlindungan ldquo;take or pay rdquo; tapi tidak melindungi potensi kerugian karena adanya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Klausul ldquo;take or pay rdquo;menyatakan bahwa jika PLN tidak dapat membeli listrik sesuai dengan jumlah yang disediakan oleh IPP maka PLN diharuskan untuk membayar minimal 80 dari listrik yang diproduksi.

PT Bukit Pembangkit Innovative PT BPI is anIndependent Power Producer IPP which has been awarded aPower Purchase Agreement PPA by PLN on 2011. The PPA is a contract or agreement between an IPP and PLN to sell the electricity power for the period of 30 years. To finance the development of Mine Mouth Power Plant of PLTU Banjarsari 2 x 110 MW, PT BPI uses the structure of Debt to Equity ratios of 75 to 25 . It means that PT BPI has to put the equity as much as 30 of the total project cost and the 70 of project cost was financed by the loan from lender. This loan needed to finance the project is given by a syndication bank as stated in the loan agreement. Started from the commercial operation there is a problem of the availability of the power plant and also the performance of the transmission line which has resulted the financial problem. PT BPIhas faced a serious problem in the process of repayment of the loan including the interest of the loan. This problem lead to a potential default or the failure in returning the money that has been borrowed by PT BPI. In this thesis, a thoroughly study has been executed, in order to analyse in depth concerning the compliance of the loan agreement to the valid law and regulation related to such agreement. Also it has been studied all the clauses in accordance with the legal protection for the debtor if there is a default that arisen outside of the loan agreement. This study is a normative study with the case to case approaches and also by the valid regulation approach which is done through the literature study, with the study through all of the legally related documents which can be categorized as primary, secondary and tertiary documents. The results of the study and research has shown that the loan facility agreement between PT BPI and BNI is in compliance with the valid law and regulation however its clauses of the loan agreement has not given all the complete legal protection to the debtor, because BNI still incorporated a clause that is prohibited by the Law Number 8 1999 concerning Consumer Protection and POJK Number 1 POJK.07 2013 concerning Consumer Protection in Financial Services Authority, concerning the default risks that arise from the outside of the loan agreement. In this case because of the default caused by PLN whenever PLN can not take the whole energy because their fault, there will be an opportunity lose for IPP. Even though there is the so called ldquo take or pay rdquo clause in which whenever PLN could not take the power as stated in the contract, PLN must pay the amount of 80 from the availability of the power plant to ensure the IPP will still pay the loan to the bank.So the ldquo take or pay rdquo clause is a kind of protection for the Bank. Also for the Bank itself there is a protection in which as stated in the loan agreement ie. the pledge of shares agreement in which the Share Holders of IPP will pledge all of their share in the IPP."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imron Rosadi
"Piutang merupakan harta kekayaan suatu perusahaan yang dapat dijadikan jaminan kredit kepada Bank. Dalam praktik pemberian kredit Perbankan piutang usaha dijadikan jaminan kredit dengan mekanisme penyerahan oleh debitur kepada Bank melalui Cessie. Setelah piutang diserahkan kepada Bank sebagai jaminan maka piutang tersebut beralih pemilikannya. Dalam hal terjadi kepailitan terhadap debitur mengakibatkan seluruh harta kekayaannya dalam keadaan sita umum dan dalam penguasaan Kurator. Berdasarkan ketentuan UUK PKPU bahwa apabila dalam waktu 2 (dua) bulan setelah debitur pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi kreditur pemegang jaminan Hak atas Kebendaan tidak dapat melakukan eksekusi atas objek jaminan maka setelahnya kurator wajib untuk menuntut objek jaminan atas hak kebendaan tersebut untuk diserahkan kepada Kurator. Putusan perkara gugatan lain-lain yang dengan register perkara dengan register nomor : 34/PDT.SUS.G.L.L/2020/PN.NIAGA.JKT.PST menyatakan bahwa piutang usaha yang telah diserahkan kepada Bank merupakan harta pailit. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah mengenai kedudukan piutang debitur yang telah dijadikan jaminan kredit melalui cessie dalam hal terjadi kepailitan terhadap debitur. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian secara doktrinal dengan mengkaji penerapan undang-undang dalam studi kepustakaan mengacu pada data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, literature dan buku-buku yang relevan. Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa piutang yang telah diserahkan sebagai jaminan kredit melalui cessie telah berpindah kepemilikannya kepada Bank dan oleh karenanya tidak dapat dimasukkan dalam harta pailit. Telah terjadi kesalahan penerapan hukum oleh Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa piutang yang telah diserahkan melalui cessie merupakan boedel Pailit. Putusan tersebut mengakibatkan Bank sebagai cessionaris tidak memilki kepastian hukum karena tujuan dibuatnya cessie piutang adalah agar Bank dapat mendapatkan nilai ekonomis atas piutang tersebut untuk memastikan kreditnya dapat dibayar. Dengan dimasukkannya piutang debitur yang telah dicessie sebagai boedel pailit maka Bank tidak dapat melakukan eksekusi secara langsung dan menerima pembayaran dari piutang tersebut karena harus melalui Kurator.

Receivables are assets of a company that can be used as collateral for credit to the Bank. In the practice of granting banking credit, trade receivables are used as credit collateral with a mechanism for handing over by the debtor to the Bank via Cessie. After the receivables are handed over to the Bank as collateral, the ownership of the receivables changes. In the event of bankruptcy of the debtor, all of his assets will be subject to general confiscation and under the control of the Reciever. Based on the provisions of the Bancruptcy and Debt Posponing Law, if within 2 (two) months after the debtor is declared bankrupt, the creditor holding the collateral for property rights is unable to execute the collateral object, then after that the reciever is obliged to demand that the collateral object for the material rights be handed over to the Curator. The decision on the miscellaneous lawsuit case which is registered with case number: 34/PDT.SUS.G.L.L/2020/PN.NIAGA.JKT.PST states that the trade receivables which have been handed over to the Bank are bankruptcy assets. The problem discussed in this thesis is regarding the position of the debtor's receivables which have been used as credit collateral through a cessie in the event of the debtor's bankruptcy. The research method used is doctrinal research by examining the application of laws in literature studies referring to secondary data such as statutory regulations, official documents, relevant literature and books. The results of this research are that the receivables which have been submitted as credit collateral through a cessie have transferred ownership to the Bank and therefore cannot be included in the bankruptcy assets. There has been an error in the application of the law by the Commercial Court Judge at the Central Jakarta District Court who stated that the receivables which had been handed over via cessie constituted Bankruptcy issues. This decision resulted in the Bank as cessionary not having legal certainty because the purpose of creating a cession of receivables was so that the Bank could obtain economic value for the receivables to ensure that the credit could be paid. By including the debtor's receivables which have been accessed as bankruptcy documents, the Bank cannot carry out direct execution and receive payment from these receivables because they have to go through the reciever."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farid Wajdi
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tinjauan yuridis tanggung jawab agen perjalanan sebagai pelaku usaha yaitu GMT Tour Travel dalam hal terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen yaitu M. Yahya Arwiyah yang melakukan pembelian tiket pesawat melalui pihak GMT Tour Travel, tetapi tiket yang dibeli terdapat kesalahan nama dan tujuan penerbangan. Tinjauan ini dilakukan untuk menentukan bahwa agen harus agen harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang timbul atau prinsipalnya yang harus ikut bertanggung jawab, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

ABSTRACT
This thesis describes the legal review of travel agent 39 s responsibility as a business actor that is GMT Tour Travel in the event of loss experienced by the consumer that is M. Yahya Arwiyah who purchased airfare through GMT Tour Travel, but the ticket purchased there got error in name and destination. This review is undertaken to determine that the agent must responsible for any losses incurred or the principal to be held accountable, as provided for in Article 19 of Law number 8 year 1999 on Consumer Protection."
2017
S68869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvi Astuti
"Media massa adalah agen sosial yang seringkali dianggap pula sebagai agen perubahan. Ada beberapa fungsi yang diperankan oleh media massa salah satunya dan juga menjadi fungsi awalnya adalah informasi. Berita adalah salah satu produk dari media massa yang menjalankan fungsi informatif ini. Sebagai suatu informasi, berita awalnya hanya berbentuk pelaporan suatu peristiwa. Dalam perkembangannya kemudian, berita tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga memiliki kekuatan politis tertentu yang dapat mengubah sistem politik suatu negara ataupun membentuk opini umum. Kini sejalan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan struktur organisasi yang semakin kompleks, berita tidak hanya memiliki kekuatan politis tetapi juga kekuatan ekonomi. Dikemas dengan gaya penyampaian yang menarik, sebuah berita dapat menjadi komoditi yang layak dijual. Berita sebagai komoditas dalam sistem kapitalisme media terdiri dari tanda-tanda yang dikomoditaskan dan diciptakan dengan tujuan akhir menghasilkan keuntungan bagi pihak media. Di sini, berita bukanlah kekuatan terpisah, di luar dari hubungan sosial yang ada, tetapi merupakan bagian dari mereka. Televisi — dengan karakteristik medium audiovisual dapat secara maksimal mengeksploitasi tanda-tanda yang ada dalam suatu peristiwa hingga menarik perhatian. Struktur berita yang naratif disertai dengan gambar-gambar yang dramatis dapat merepresentasikan suatu drama kehidupan yang terjadi pada sekelompok manusia menjadi bentuk opera sabun dalam medium televisi. Konflik antar manusia dieksploitasi, pelaku-pelaku peristiwa ditonjolkan disertai dengan penekanan pada karakterkarakternya. Semua ini ditujukan tidak sekedar untuk menyampaikan informasi mengenai suatu isu, tetapi juga untuk menyenangkan khalayak dengan cerita dan gambar dramatis yang pada kahirnya adalah untuk keuntungan media. Di sini berita diposisikan sebagai nilai tukar dalam hubungan antara media dan khalayak. Dalam proses pembentukan teks di kamar berita, rutinitas media lebih dekat kepada khalayak daripada sumber. Walaupun bentuk hubungannya abstrak karena media tidak berhubungan langsung dengan khalayak tetapi dalam setiap rutinitas yang dilakukan mulai dari perencanaan, produksi teks dan gambar sampai editing semuanya ditujukan untuk kepuasan khalayak. Sementara sumber atau pelaku-pelaku yang ada dalam berita tersebut hanya dianggap sebagai ordinary people yang dieksploitasi kisahnya untuk kepentingan tertentu, yaitu keuntungan media. Karena hal ini berhubungan dengan sistem kapitalisme media terutama berlaku pada televisi swasta yang berorientasi pada pencarian keuntungan. Salah satu yang paling menguntungkan dalam dunia kapitalisme modern ini adalah ketertarikan khalayak karena dengan begitu akan mendatangkan banyak pengiklan yang pada akhirnya mendatangkan banyak keuntungan pula bagi media. Berita sebagai salah satu produk dari organisasi media yang berada dalam sistem kapitalis juga pada akhirnya dijadikan komoditas. Berita tidak hanya berita yang menyandang fungsi informasi dan menyajikan suatu peristiwa apa adanya, tetapi juga menyandang beban ekonomi di mana berita juga harus menghasilkan keuntungan bagi pihak media. Karena itulah pertimbangan wacana hiburan dalam sebuah pemberitaan juga dianggap sebagai elemen penting agar berita tetap ditonton."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S4300
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sadam Permana
"Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu masa dimana pihak debitor dan kreditor diberi kesempatan untuk melakukan musyawarah tata cara pembayaran utang. Adapun dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor tetap memiliki kewenangan untuk dapat melakukan pengurusan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. PKPU merupakan mekanisme yang ditempuh untuk menghindari ancaman harta kekayaan debitor yang akan dilikuidasi. Adapun kasus yang diangkat dalam penulisan ini adalah kasus PKPU pada PT. Gunung Raja Paksi, Tbk. sebagai debitor yang diajukan oleh PT. Naga Bestindo Utama sebagai kreditor. Kreditor dalam kasus tersebut mengajukan PKPU dikarenakan debitor yang tidak melakukan pembayaran utanng terhadap debitor. Namun pada nyatanya, PT. Naga Bestindo Utama seagai kreditor melakukan penutupan rekening sehingga PT. Gunung Raja Paksi, Tbk tidak dapat melakukan pembayaran utang yang dimiliki. Majelis hakim dalam Putusan PKPU Nomor 432/PDT. SUS-PKPU/202/PN Niaga.Jkt.Pst mengabulkan permohonan untuk PT. Gunung Raja Paksi, Tbk berada dalam keadaan PKPU, meskipun memiliki kemampuan dalam melakukan pembayaran utang yang dimiliki. Metode yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis-normatif yang bersumber pada bahan pustaka hukum. Dalam penulisan ini, ditemukan beberapa solusi terhadap perlindungan hukum PT. Gunung Raja Paksi, Tbk. yang mampu melakukan pembayaran utang yang dimiliki. Pengaturan mengenai PKPU di Indonesia memberikan mekanisme pencabutan terhadap proses PKPU yang ditempuh oleh debitor, sepanjang dapat dibuktikan bahwa harta yang dimiliki oleh debitor memungkinkan untuk membayar utang yang dimiliki kepada para kreditor. Adapun pencabutan terhadap PKPU diatur dalam Pasal 259 UUK-PKPU. Dalam tulisan ini akan dibahas dengan lebih mendetail dan menyeluruh mengenai permasalahan yang dibahas di atas.

Postponement of Debt Payment Obligations is a period where debtors and creditors are given the opportunity to deliberate on debt payment procedures. As for the Postponement of Debt Payment Obligations process, debtors still have the authority to be able to manage their assets. PKPU is a mechanism taken to avoid the threat of the debtor's assets being liquidated. The case raised in this paper is a PKPU case at PT Gunung Raja Paksi, Tbk. As a debtor filed by PT Naga Bestindo Utama as a creditor. The creditor in the case filed for PKPU because the debtor did not make debt payments to the debtor. But in fact, PT Naga Bestindo Utama as a creditor closed the bank account so that PT Gunung Raja Paksi, Tbk could not make payments on its debts. The panel of judges in PKPU Commercial Court Verdict Number 432/PDT. SUS-PKPU/202/PN Niaga.Jkt.Pst granted the application for PT Gunung Raja Paksi, Tbk to be in PKPU, even though it has the ability to make debt payments. The method that will be used in this writing is the juridical- normative research method which is sourced from legal literature. In this writing, several solutions were found for the legal protection of PT Gunung Raja Paksi, Tbk. The PKPU regulation in Indonesia provides a mechanism for revocation of the PKPU process pursued by the debtor, as long as it can be proven that the assets owned by the debtor make it possible to pay the debts owed to the creditors. The revocation of PKPU is regulated in Article 259 UUK-PKPU. This paper will discuss in more detail and thoroughly about the issues discussed above."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irena Fatma Pratiwi
"Pada dasarnya suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan syarat di luar undang-undang. Namun ada beberapa perjanjian yang belum dianggap sah apabila tidak dibuat dalam bentuk akta otentik atau dibuat di hadapan notaris. Umumnya, keharusan dibuatnya akta otentik tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pembuktian di pengadilan atau karena adanya syarat bentuk akta otentik untuk perjanjian tertentu, seperti dalam perjanjian hibah dan perjanjian perdamaian, yang jika tidak dipenuhi akan membuat perjanjian tersebut batal. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab notaris dalam membuat akta otentik sehingga sangatlah penting. Notaris yang lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik pembuat akta otentik sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak yang bersangkutan dapat dituntut berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga dan mendapatkan sanksi dari Majelis Pengawas Notaris. Tujuan dari penelitian hukum ini adalah mengetahui bagaimana kekuatan hukum suatu perjanjian yang dibuat di hadapan notaris, mengetahui bagaimana pertanggungjawaban seorang notaris dalam hal suatu perjanjian batal demi hukum dan mengetahui sanksi hukum bagi notaris dalam hal ketidakhati-hatian dalam melakukan pekerjaannya. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan undang-undang atau statute approach.

An agreement is basically considered legal if it has meet the legal conditions of agreement as referred in Article 1320 The Book of Civil Code (Burgerlijk Wetboek) and other conditions outside law. But some agreement considered illegal if there is no authentic deed made in front of a notary. The requirement of the authentic deed is generally intended for the importance of evidence/testimony in court or because an authentic deed is the condition for some agreement, as in a peace treaty or a grant agreement, which will make the agreement flawed when not fulfilled. Therefore, notary?s roles and responsibilities in making authentic deed are vital. When a notary failed to perform his/her task as public officials in making authentic deed and create loss to parties concerned, he/she will be charged with expenses incurred, losses and interest to the notary, and obtain sanctions from the Notary Supervisor Assembly. The objective of this law research is to acquaint the force of an agreement made in front of a notary, knowing how A notary account for an agreement which revoked in the name of law and knowing a law sanction for a notary for not being careful enough to his/her work. This research use normative mode with statute approach."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S1573
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Muhammad
"Praktik transfer pricing di Indonesia semakin berkembang beriringan dengan perkembangan perusahaan multinasional. Berkaitan dengan hal ini, baik DJP maupun Wajib Pajak harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada praktik transfer pricing. Namun, tidak jarang bahwa baik wajib pajak maupun DJP belum dapat mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut, yang kemudian mengarah kepada terjadinya sengketa pajak, salah satunya terjadi pada sengketa yang dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penetapan harga transfer PT ABC atas pembelian dari pihak afiliasi serta koreksi yang dilakukan oleh DJP atas pembelian tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan berupa pendekatan kualitatif dengan melakukan studi literatur dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT ABC belum memenuhi ketentuan perpajakan dalam praktik penetapan harga transfer dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dikarenakan pembuatan dokumentasi Transfer Pricing yang tidak lengkap. Disamping itu, penetapan koreksi dianggap keliru karena belum ada peraturan rigid terkait constructive dividend serta tahapan pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP juga masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikarenakan DJP tidak turut mempertimbangkan latar belakang dan kondisi PT ABC dalam melakukan analisis kesebandingan.

Transfer pricing practices in Indonesia are growing in tandem with the development of multinational companies. In this regard, both DGT and Taxpayers must comply with the prevailing laws and regulations in applying the Arm’s Length Principle in transfer pricing practices. However, it is not uncommon that both taxpayers and the DGT have not been able to implement these provisions, which then leads to disputes, one of which is the dispute discussed in this study. This study aims to determine the transfer price of PT ABC for purchases from third parties as well as correction made by the DGT for these purchases in accordance with the laws and regulations and other provisions in force in Indonesia. The research method used is an approach by conducting literature studies and field studies. The results of the study indicate that PT ABC has not complied with the tax provisions in the application of transfer pricing with related parties due to incomplete transfer price documentation. In addition, the determination of the correction is considered wrong because there are no rigid regulations regarding constructive dividends and the stages of inspection carried out by the DGT are also not in accordance with the applicable regulations because the DGT does not take into account the background and condition of PT ABC in conducting a comparability analysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>