Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218949 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Anggraini
"ABSTRAK
Tahun 2010 ketika Viktor Orban terpilih sebagai Perdana Menteri Hungaria, populisme semakin kuat hingga berujung dengan kemunculan iliberalisme demokrasi di Hungaria. Bentuk pemerintahan di era Viktor Orban cukup bertentangan dengan nilai dan prinsip Uni Eropa yang termaktub dalam Artikel 2 Treaty on European Union (TEU), yaitu berdasarkan kebijakannya, Hungaria dianggap telah membahayakan nilai demokrasi, hak asasi manusia, nilai kebebasan, dan supremasi hukum. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dengan menggunakan konsep populisme. Sebagai salah satu negara anggota Uni Eropa, Hungaria mendapat berbagai teguran dan peringatan dari Uni Eropa. Viktor Orbán pun seringkali tidak mempedulikan peringatan Uni Eropa, sehingga berujung pada keputusan Uni Eropa yang pada akhirnya sepakat untuk melakukan aktivasi mekanisme Artikel 7 TEU pada September 2018. Berdasarkan Artikel 7 TEU, Uni Eropa melalui hasil pemungutan suara Parlemen Eropa telah menyepakati bahwa terdapat clear risk of a serious breach di Hungaria. Sampai dengan saat ini, proses kelanjutan reaksi Uni Eropa terhadap Hungaria measih menunggu keputusan dari Komisi, yaitu menunggu hasil apakah Hungaria akan diberikan sanksi atau tidak. Kesepakatan untuk melakukan aktivasi mekanisme Artikel 7 TEU juga merupakan hal yang pertama kali dilakukan oleh Uni Eropa sejak institusi tersebut dibentuk, sehingga penelitian ini menggunakan teori liberal intergovernmentalisme untuk melihat lebih dalam terkait proses terbentuknya keputusan Uni Eropa tersebut.

ABSTRACT
In 2010 when Viktor Orban was elected Prime Minister of Hungary, populism grow stronger until it ended with the emergence of the illiberalism democracy in Hungary. The form of government in the Viktor Orban era is quite contrary to the values and principles of the European Union as contained in Article 2 of the Treaty on European Union (TEU), which is based on its policy, Hungary is considered to endanger the values of democracy, human rights, values of freedom, and the rule of law. Therefore, this study aims to research further using the concept of populism. As one of the European Union member states, Hungary has received various warnings from the European Union. Viktor Orban often ignored the EUs warnings, which led to the European Unions decision finally agreed to activate the mechanism of Article 7 TEU in September 2018. Based on Article 7 TEU, the European Union passed the results of the European Parliaments agreement that there was clear risk of a serious breach in Hungary. Until now, the process of continuing the European Unions reaction to Hungary has awaited a decision from the Commission, which is awaiting the results of whether or not Hungary will be sanctioned. The agreement to activate the Article 7 TEU mechanism is also the first thing that has been done by the European Union since the institution was formed, so that this study uses the liberal intergovernmentalism theory to look deeper into the process of the European Unions decision"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T52496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aulia
"Penelitian ini adalah analisis kritis terhadap hegemoni, konflik kepentingan, serta politik luar negeri Prancis dan Uni Eropa di 6 kawasan Teritori Seberang Lautan (Territoire dOutre Mer) Prancis yang juga merupakan Outermost Region (OR) Uni Eropa, yakni Guadeloupe, Guyana Prancis, Réunion, Martinique, Mayotte, dan Saint-Martin. Keenam teritori itu ialah bekas jajahan Prancis yang kini terintegrasi secara politik dengan Uni Eropa sebagai Teritori Seberang Lautan Prancis. Penelitian ini memiliki 2 tujuan. Pertama, untuk memperoleh penjelasan atas motivasi yang mendorong Prancis dan Uni Eropa mempertahankan 6 OR itu meskipun terpaut jarak yang jauh, dependen secara ekonomi, dan memiliki budaya yang berbeda dari Prancis Metropolitan. Kedua, untuk mengetahui bagaimana kebudayaan yang terbentuk akibat interaksi Prancis, UE, dan OR. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif dengan pendekatan hubungan internasional dan sejarah kebudayaan. Adapun teori yang dipakai sebagai instrumen analisis ialah teori Hegemoni Gramsci-baik yang menggunakan perspektif HI, maupun kebudayaan-teori Neofungsionalisme Ernst B. Haas, serta teori Praktik Budaya Pierre Bourdieu. Di akhir penelitian ini, terlihat bahwa motivasi Prancis dan UE tetap mempertahankan keenam OR Prancis ialah (1) keuntungan ekonomi, (2) ekspansi Euro dan politik UE di luar Eropa Daratan, (3) kekuasaan kelompok elit, serta (4) idealisme Prancis untuk mempertahankan pengaruhnya sebagai sebuah imperium yang besar. Interaksi antara Prancis dan OR lebih mempengaruhi kebudayaan OR dibandingkan sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh kekuatan simbolik yang dimiliki Prancis lebih besar dibandingkan OR. Prancis mengakibatkan lahirnya kreolitas dan identitas ganda di OR, sedangkan OR mengubah Prancis yang mulanya tidak menoleransi kreolitas menjadi negara yang mengakui fenomena itu sebagai bagian dari kekayaan nasional. Interaksi itu juga mengubah sistem pendidikan Prancis menjadi lebih terbuka pada kebutuhan untuk mempelajari bahasa-bahasa minor teritorinya.

This study is a critical analysis of hegemony, conflict of interest, as well as French and European Union foreign policy in 6 French Overseas Territories (Territoire dOutre Mer) which are also the European Unions Outermost Region (OR), namely Guadeloupe, French Guiana, Réunion, Martinique, Mayotte, and Saint-Martin. The six territories are former French colonies which are now politically integrated within the European Union as the French Overseas Territory. This study has 2 objectives. First, to get an explanation of the motives that pushed France and the European Union to maintain the 6 ORs even though they were at a great distance, economically dependent, and has had a different culture from Metropolitan France. Second, to gain understanding on how culture is formed due to France, the EU and the ORs interaction. This study employes qualitative methods within international relations and cultural approaches. The theories which were used as instruments of analysis were Gramscis Hegemony theory, Ernst B. Haas Neofunctionalism theory, and Pierre Bourdieus Cultural Practice theory. At the end of this study, it appears that the motivation of France and the EU to maintain its ORs are (1) economic benefits, (2) Euro and EU expansion outside of Mainland Europe, (3) elite group power, and (4) French idealism to maintain its influence as a great empire. The interaction between France and its ORs has more influence on OR culture than vice versa. This is due to the symbolic powers that France possesses are far greater than ORs. Such interaction has resulted in the birth of creativity and multiple identities in the ORs. On the other hand, ORs had also promted France to shift from a regime which did not tolerate creolness into a country that acknowledges divesity as a national asset. The interaction also changed French education system to be more open to territorial minor languages."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Azmi
"Tesis ini membahas tentang kajian strategi Hungaria dalam hubungannya dengan Rusia pada konteks sanksi Uni Eropa terhadap Rusia. Sanksi tersebut diperpanjang berkali-kali sampai Juli 2020. Penelitian ini menggunakan konsep keamanan energi dan teori diplomasi energi melalui perspektif state dan non-state actor untuk menganalisis isu tersebut. Penelitian ini menggunakan mix methods dengan desain triangulasi konkuren yang menggunakan studi pustaka, literatur, dokumentasi atau observasi yang dibatasi oleh rentan waktu adanya sanksi Uni Eropa kepada Rusia. Penelitian ini menemukan 4 faktor keamanan energi Hungaria yang menjadi alasan kuat mengapa bekerjasama dengan Rusia ditengah sanksi Uni Eropa. Selain itu, Penelitian ini juga mengungkapkan peran penting Perusahaan milik Rusia dalam menyukseskan keberhasilan kerjasama dalam sektor energi. Faktor kerjasama keamanan energi dapat mempererat hubungan baik antara Hungaria dengan Rusia ditengah konflik sanksi Uni Eropa. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana eratnya hubungan antara Hungaria dengan Rusia di era sekarang serta hubungannya Uni Eropa sebagai anggota sejak 2004. Selain itu, penelitian ini juga melihat kebijakan Hungaria dalam mendiversifikasi keamanan energi negaranya untuk kepentingan serta contoh pola kebijakan untuk negara eropa lainnya.

This thesis discusses the study of Hungary's strategy in relation to Russia in the context of European Union sanctions against Russia. The sanctions were extended several times until July 2020. This study uses the concept of energy security and energy diplomacy theory through the perspective of state and non-state actors. This study uses mixed-methods with concurrent triangulation design that uses literature studies, literature, documentation, or observations that are limited by the timeframe of the EU sanctions against Russia. This study finds 4 factors of Hungarian energy security which are strong reasons for cooperating with Russia in the midst of European Union sanctions. In addition, this study also reveals the important role of Russian-owned companies in the success of cooperation in the energy sector. The energy security cooperation factor can strengthen good relations between Hungary and Russia amid the European Union sanctions conflict. This study was conducted to see how close the relationship between Hungary and Russia is in the present era and the relationship between the European Union as a member since 2004. In addition, this study also looks at Hungary's policy in diversifying its country's energy security for the benefit and examples of policy patterns for other European countries."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wielfried Milano Maitimu
"ABSTRAK
Kebijakan Amerika Serikat dibawah kepemimpinan presiden Donald Trump yang memindahkan kedutaan mereka dari Tel-Aviv ke Yerusallem sekaligus mengakui kedaulatan Israel terhadap kota tersebut memicu ketegangan dan instabilitas politik internasional. Kebijakan dan pengakuan tersebut ditentang oleh komunitas internasional yang menganggapnya sebagai penghianatan terhadap kesepakatan dunia menyangkut status Yerusallem sebagai corpus separatum dan dengan demikian dituding menghianati upaya perundingan damai yang seharusnya melibatkan kedua belah pihak yakni Israel dan Palestina (two state solution). Tanpa terkecuali Uni-Eropa selaku sekutu mereka juga mengecam tindakan pengakuan tersebut dan menghimbau komunitas dunia untuk tetap berpegang pada solusi dua negara. Namun tindakan Uni-Eropa itu sendiri selaku suatu organisasi supranasional nampaknya memiliki kesulitan tersendiri yang diakibatkan oleh terdapatnya beberapa negara anggota yang justru ingin mengikuti langkah Amerika untuk mengakui dan memindahkan kedutaan mereka menuju Yerusallem. Hal ini kemudian berdampak pada upaya Uni-Eropa untuk bangkit menjadi suatu kekuatan besar (great power) dalam panggung internasional terkhususnya dalam kapasitas mereka memainkan peran mereka menjaga tatanan dan ketertiban dunia internasional (Timur-tengah) sesuai dengan konsep great power management English school.

 

Kata Kunci: Pengakuan; Amerika; Uni-Eropa; Negara Anggota; Power; Tatanan & Ketertiban Dunia; English School


United States policy under the leadership of President Donald Trump who moved their embassy from Tel-Aviv to Yerusallem while recognizing Israel's sovereignty over the city triggered tensions and instability in international politics. The policy and recognition were opposed by the international community who considered it a betrayal of the world agreement regarding Yerusallem's status as a corpus separattum and thus accused of betraying the efforts of peace negotiations that should involve both parties namely Israel and Palestine (two state solution). Without exception, the European Union as their ally also condemned the act of recognition and called on the world community to stick to the two-state solution. But the EU action itself as a supranational organization seems to have its own difficulties caused by the presence of several member countries who want to follow America's steps to recognize and move their embassy to Yerusallem. This then had an impact on the efforts of the European Union to rise to become a great power on the international stage especially in their capacity to play their role in maintaining the international order and order (Middle-East) in accordance with the great power management concept of English school.

 

Keywords: Recognition; America; European Union; Member State; Power; World Order; English School

"
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T52427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Averil Khalisha Paramesti
"Tesis ini meneliti bagaimana liputan media tentang krisis imigran di Italia dan Spanyol memengaruhi proses decision-making kebijakan penanganan imigran kedua negara tersebut. Tesis ini memiliki dua tujuan penelitian: (1) menjelaskan bagaimana media Italia dan Spanyol melakukan representasi diskursif aktor-aktor politik dalam krisis imigran di negara mereka dan (2) menelaah hubungan antara representasi aktor-aktor politik tersebut dan proses pengambilan keputusan (decision-making) kebijakan penanganan imigran di negaranya masing-masing. Menerapkan teori analisis wacana kritis sosiosemantik Theo van Leeuwen dan pendekatan konstruktivisme Alexander Wendt, publikasi daring dua surat kabar terbesar Italia (Corriere della Sera, La Repubblica) dan Spanyol (El País, El Mundo) antara tahun 2014 dan 2016 dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa representasi diskursif aktor-aktor politik dalam masing-masing surat kabar mencerminkan kecenderungan ideologis mereka, di mana pemberitaan cenderung menekankan perbedaan antara “kita” (Uni Eropa dan pemerintah) dan “mereka” (para pencari suaka) serta meniadakan kemanusiaan para pencari suaka. Kecenderungan ideologis dari representasi aktor-aktor politik keempat surat kabar itu sendiri merupakan cerminan bagaimana Italia dan Spanyol memandang krisis imigran Eropa sebagai ancaman terhadap identitas nasional mereka. Dengan bantuan media massa, Italia dan Spanyol melakukan sekuritisasi terhadap krisis imigran Eropa untuk “membujuk publik agar setuju” mengambil tindakan-tindakan yang tegas, ekstrem, dan terkadang melanggar hukum dalam menghadapi ketidakstabilan dan ketidakpastian krisis. Selain itu, dalam konteks integrasi Eropa, konflik “kita” versus “mereka” menjadi sebuah bukti akan kurangnya solidaritas di antara negara-negara anggota dan naiknya kepopuleran populisme serta nasionalisme individu, sehingga hal ini mengundang pertanyaan mengenai rapuhnya Uni Eropa sebagai proyek integrasi.

This thesis investigates how media coverage of the European refugee crisis in Italy and Spain influences policymakers’ decisions on how to deal with asylum seekers and refugees in both countries. Two research objectives are outlined as the foundation of the thesis: (1) to explain how political actors in the refugee crisis are represented in the Italian and Spanish press, and (2) to investigate the relationship between the political actors’ discursive representations and their countries’ immigration policy decision-making process. Online publications about the European refugee crisis from two mainstream news agencies in Italy (Corriere della Sera, La Repubblica) and Spain (El País, El Mundo) between 2014 and 2016 are analyzed using Theo van Leeuwen’s sociosemantic approach of critical discourse analysis and Alexander Wendt’s constructivist approach. The findings of the thesis reveal that each newspaper’s discursive representations of political actors are in accordance to their ideological tendencies, with the news emphasizing the divide between “us” (the European Union and the government) and “them” (asylum seekers) and erasing asylum seekers’ humanity. The ideological tendencies in the four newspapers’ representation of political actors reveal how Italy and Spain perceive the European refugee crisis as a danger to their national identity. With the help of mass media, Italy and Spain securitize the European refugee crisis in order to “persuade the public to consent” to take bold, radical, and sometimes law-breaking measures in dealing with the crisis’ instability and uncertainty. In addition, the “us” against “them” conflict in the context of European integration reflects a lack of cooperation among member states, as well as the rising appeal of populism and individual nationalism, creating concerns about the European Union’s viability as an integration project."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riefky
"Kebangkitan populisme dan krisis pengungsi telah menghadapkan Uni Eropa (UE) pada potensi ancaman dan tantangan dalam mempertahankan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan HAM yang dianut oleh UE. Di sisi lain, UE juga harus menjamin keamanan dan menyerap aspirasi warganya, khususnya di tengah desakan nativisme kaum populis untuk menolak pengungsi yang dianggap merugikan masyarakat Eropa. Kondisi tersebut mengarahkan penelitian ini untuk memvalidasi strategi UE dalam mengatasi potensi ancaman atas bangkitnya populisme dan krisis pengungsi terhadap kondisi demokrasi dan keamanan di Eropa. Menjawab permasalahan itu, penelitian ini menggunakan Teori Populisme, Teori Persepsi Ancaman, dan Teori Strategi sebagai indikator dalam menganalisis berbagai kajian literatur, kebijakan Uni Eropa, serta pernyataan politik pemimpin Eropa terkait masalah pengungsi dan kebangkitan populisme dalam kurun waktu 2014-2019. Setelah menganalisis potensi ancaman populisme dan merumuskan strategi UE berdasarkan Five P’s Mintzberg, yang terdiri dari indikator Plans, Patterns, Positions, Perspectives, dan Ploys, maka temuan penelitian ini menjelaskan bahwa strategi utama UE adalah melakukan perimbangan kekuatan dan pemberian ruang politik kaum populis secara terukur. Melalui strategi ini, kelompok populis seolah terakomodir agenda politiknya dan menjadi bagian dari kekuasaan, namun sejatinya tidak. Melalui strategi ini, UE dianggap berhasil mengelola tekanan kaum populis dan mengatasi masalah pengungsi tanpa mengabaikan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Penelitian ini menyimpulkan bahwa populisme akan selalu hadir menjadi potensi ancaman dan tantangan bagi UE dengan mengangkat berbagai isu strategis dalam skala yang berbeda, sehingga strategi UE untuk beradaptasi terhadap perkembangan situasi global akan sangat diperlukan. Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya untuk mengkaji perkembangan gerakan populisme pada ranah nasional, regional, dan global.

The rise of populism and the refugee crisis has exposed the European Union (EU) to potential threats and challenges in defending the basic principles of democracy and human rights. On the other hand, the EU have to ensure the security and absorb the aspirations of its citizens, especially in the midst of the populist nativism pressure to reject refugees who are considered detrimental to European society. These conditions lead this research to validate the EU's strategy in overcoming the potential threats of the rise of populism and the refugee crisis to the conditions of democracy and security in Europe. Answering this problem, this study uses Populism Theory, Threat Perception Theory, and Strategy Theory as indicators in analyzing various literature studies, European Union policies, and political statements by European leaders related to refugee issues and the rise of populism in the period 2014-2019. After analyzing the potential threat of populism and formulating an EU strategy based on Five P's Mintzberg's Strategy, which consists of the Plans, Patterns, Positions, Perspectives, and Ploys indicators, the findings of this study explain that the EU's main strategy is to balance power and provide populist political space in a measurable way. Through this strategy, populist groups seem to be accommodated by their political agenda and become part of power, but in reality they are not. Through this strategy, the EU is considered successful in managing populist pressure and overcoming the refugee problem without ignoring democratic values ​​and human rights. This study concludes that populism will always be a potential threat and challenge for the EU by raising various strategic issues at different scales, so that the EU's strategy to adapt to the development of the global situation will be very necessary. Furthermore, this research is expected to be a reference for further research to examine the development of the populism movement in the national, regional, and global spheres."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Jufri Kadir
"Skripsi ini membahas kondisi wilayah Kaliningrad sebagai representatif Rusia di kawasan Baltik serta konflik yang memperburuk hubungan antara Rusia dengan Polandia. Wilayah Kaliningrad menjadi tonggak utama dalam hubungan Rusia-Polandia. Bagian selatan wilayah ini langsung berbatasan dengan bagian utara Polandia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metodologi deskriptif-analitis.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa hubungan Rusia-Polandia pada tahun 2000 ndash; 2017 selalu berubah-ubah atau fluktuatif dan mempeburuk kondisi wilayah Kaliningrad yang berada di kawasan Baltik. Namun, hubungan tersebut juga memperlihatkan kemorosotan atau semakin memburuk pada periode 2012 - 2015. Hal tersebut diperburuk dengan tidak adanya program kerjasama yang baik dalam hubungan kedua negara.

This thesis discusses the conditions of the Kaliningrad region as a Russian representative in the Baltic region as well as a conflict that exacerbates relations between Russia and Poland. The Kaliningrad region is a major milestone in Russian Polish relations. The southern part of the region is directly adjacent to the northern part of Poland. This research is a qualitative research using descriptive analytical methodology.
The results of this study explain that the Russian Polish relations from 2000 ndash 2017 have always been volatile or fluctuating. However, the relationship also shows a slump or worsening in the period 2012 2015. This is exacerbated by the absence of a good cooperation program in the relations between the two countries.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogie Nugraha
"Metodologi dalam penelitian ini menggunakan Studi Literatur dan merupakan analisis kualitatif dan deskriptif. Studi ini akan berfokus pada tujuan peneliti untuk melakukan Analisis tentang kerja sama yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Turki dalam menangani krisis pengungsi. Analisis akan didasarkan pada implementasi hasil Kesepakatan Bersama antara Uni Eropa dan Turki dalam Uni Eropa – Turkey Joint Action Plan dan Uni Eropa – Turkey Statement. Proses kerja sama internasional yang dilakukan Uni Eropa dan Turki dalam menangani krisis pengungsi menarik para peneliti untuk melakukan penelitian tentang kerja sama yang dilakukan. Kesepakatan akhir antara Uni Eropa dan Turki dalam pernyataan Uni Eropa-Turki dikatakan memiliki dampak yang lebih efektif pada penanganan krisis pengungsi Suriah daripada kerja sama sebelumnya, Uni Eropa – Turkey Joint Action Plan. Namun Uni Eropa – Turkey Joint Action Plan belum memenuhi dengan hasil dari Konvensi Jenewa 1951, kemudia hadirlah EU – Turkey Statement dalam menangani permasalahan krisis pengungsi Suriah dan Langkah yang diambil oleh EU – Turkey dalam mengatasi Pengungsi Suriah. Sehingga dalam hal ini, peneliti juga akan melakukan Analisa mengenai kebijakan yang dibuat antara Turkey dan Uni Eropa dalam mengatasi krisis pengungsi Suriah dan membahas ancaman Kawasan yang terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaiman Uni Eropa dan Turki mengatasi Pengungsi Suriah, Langkah – Langkah yang diambil dalam mengatasi permasalahan pengungsi Suriah dan ancaman Kawasan yang terjadi.

The methodology in this research uses Literary Studies and is a qualitative and descriptive analysis. The study will focus on the researchers' goal of conducting an Analysis of cooperation conducted by the EU and Turkey in dealing with the refugee crisis. The analysis will be based on the implementation of the results of the Joint Agreement between the EU and Turkey within the European Union – Turkey Joint Action Plan and the European Union – Turkey Statement. The process of international cooperation by the European Union and Turkey in dealing with the refugee crisis attracted researchers to conduct research on the cooperation carried out. The final agreement between the EU and Turkey in the EU-Turkey statement is said to have a more effective impact on the handling of the Syrian refugee crisis than the previous cooperation, the EU – Turkey Joint Action Plan. But the European Union – Turkey Joint Action Plan has not complied with the results of the 1951 Geneva Conventions, then came the EU – Turkey Statement in addressing the issue of the Syrian refugee crisis and the Steps taken by the EU – Turkey in dealing with Syrian Refugees. In this case, the researchers will also conduct an analysis of the policies made between Turkey and the European Union in addressing the Syrian refugee crisis and discussing the regional threats that occur. The purpose of this study is to find out how the European Union and Turkey are coping with Syrian Refugees, the steps taken in addressing the Syrian refugee problem and the Regional threats that occur."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Tri Anggini
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai perubahan sikap politik harian Pedoman pada pemilihan umum tahun 1955. Harian Pedoman adalah surat kabar yang menyatakan dirinya tidak memiliki keterikatan dengan partai politik. Fakta tersebut kemudian dipatahkan oleh harian Pedoman menjelang hari pemilihan. Keterikatannya pada PSI mulai terlihat sampai akhirnya harian Pedoman mengeluarkan tajuk rencana yang isinya mendukung PSI pada pemilihan umum tahun 1955. Studi sebelumnya membahas posisi dan orientasi harian Pedoman pada masa demokrasi parlementer. Studi tersebut mengungkapkan bahwa berafiliasinya pers dengan partai politik tergantung pada hidup atau matinya partai politik yang menyokongnya. Adapun studi lain membahas pembredelan harian Pedoman. Studi tersebut turut menyatakan Pedoman berafiliasi dengan dicantumkannya lambang PSI dalam terbitan-terbitan harian Pedoman di tahun 1955. Selain itu, studi lainnya menyatakan harian Pedoman sebagai party directed, maknanya adalah surat kabar yang mengarahkan politiknya kepada satu partai. Penelitian ini menggunakan tahapan-tahapan yang ada dalam metode sejarah. Data-data yang digunakan berupa surat kabar harian Pedoman dari tahun 1950 ?? 1955.

ABSTRACT
This thesis discusses about the changing attitude of political newspaper Pedoman in general election year 1955. Pedoman daily is a newspaper which declare herself have no attachment to political party. The fact is then broken by the Pedoman newspaper ahead of election s day. His attachment to the PSI began to show up until finally the Pedoman newspaper released an editorial in support of the PSI in the 1955 general election. Previous studies discussed the position and orientation of the Pedoman newspaper in the period of parliamentary democracy. The study revealed that press affiliation with political parties depends on the life or death of the political parties that support it. As for another study that discusses the banning of the Pedoman newspaper. The study also stated that Pedoman was affiliated with the inclusion of the PSI symbol in the publications of the Pedoman newspaper in 1955. In addition, another study stated that Pedoman newspaper as a party directed, its meaning is as a newspaper directing its politics to one party. This study uses the steps that exist in the method of history. The data used in the form of Pedoman newspaper from 1950 1955. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febrianto Ardiansyah
"Sejak 1901, ketika menjadi federasi independen dari Parlemen Inggris, Australia telah bekerja keras untuk menjadi salah satu negara paling demokratis di dunia. Demokrasi di dunia modern, di sisi lain, adalah korban dari kesenjangan yang mengakar antara kaya dan miskin di dunia di mana uang sangat dihargai. Seperti dapat dilihat, telah terjadi pertumbuhan disparitas kelas, ketimpangan antara si kaya dan si miskin, dan pemerintah dan non-pemerintah. Sebagai akibat dari statusnya sebagai ibu kota Queensland, Brisbane mengalami pertumbuhan tunawisma yang luar biasa, yang gagal ditangani dengan tepat oleh pemerintah Australia. Arsitektur telah terbukti membantu dalam kontribusi menyampaikan suara orang, yang berkontribusi dengan media yang beragam. Arsitek telah bekerja untuk mengembangkan solusi jangka panjang hingga jangka pendek bagi masyarakat sebagai agen keadilan sosial. Akibatnya, dapat dikatakan bahwa arsitektur memiliki potensi yang sangat besar sebagai senjata untuk menangkal dampak negatif demokrasi kapitalis. Pada dasarnya, Hall of Democracy yang direncanakan menyelidiki pilihan untuk menghilangkan disparitas kelas melalui desain dan membantu komunitas untuk tumbuh. Sebagai simbol komunitas yang berkelanjutan, bangunan ini menyoroti kegunaan belas kasih masyarakat dalam mengimbangi dampak negatif demokrasi yang digerakkan oleh modal. Lebih jauh, ia berfungsi sebagai ekspresi demokrasi yang menarik dengan berfungsi sebagai ruang yang biasa, inklusif, dan fungsional. Akhirnya, gagasan tersebut akan berdampak signifikan terhadap demokrasi Brisbane dengan menciptakan beberapa opsi untuk perubahan masyarakat.

Since 1901, when it became an independent federation from the British Parliament, Australia has worked hard to become one of the world's most democratic countries. Democracies in the modern world, on the other hand, are victims of the entrenched disparity between rich and poor in a world where money is highly prized. As it can be seen, there has been a growth in class disparity, inequality between the rich and poor, and the government and non-government. As a result of its status as Queensland's capital, Brisbane has seen an extraordinary growth in homelessness, which the Australian government has failed to address appropriately. Architecture has been shown to aid in the contribution of conveying people’s voices, which contributed with a diverse media. Architects have worked to develop long-term to short-term solutions for the communities as agents of social justice. As a result, it may be claimed that architecture has enormous potential as a weapon for counteracting the negative impacts of capitalist democracy. Fundamentally, the planned Hall of Democracy investigates options for eliminating class disparity through design and helping the communities to grow. As a symbol of a sustainable community, the building highlights the usefulness of society's compassion in counterbalancing the negative impacts of capital-driven democracy. Furthermore, it functions as a compelling expression of democracy by serving as an ordinary, inclusive and functional space. Finally, the idea will significantly impact Brisbane's democracy by creating several options for societal change."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>